Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Sinar matahari siang menyelinap melalui jendela kamar mandi, memantulkan bayangan Karmel yang sedang menyelesaikan riasan terakhirnya di cermin. Kuas halus menyapu warna netral di kelopak matanya yang sedikit bengkak karena kurang tidur. Bibirnya yang sudah dioleskan lipbalm bening terkatup rapat, membentuk garis lurus tanpa senyum. Dia mengenakan dress bunga sederhana dari katun, motif bunga biru kecil-kecil dengan potongan longgar yang sengaja menyembunyikan lekuk tubuhnya. Tidak ada anting, hanya jam tangan sederhana di pergelangan tangan kirinya. Penampilan ini adalah perlawanan diam-diam, sebuah pernyataan bahwa hari ini tidak spesial.
Tiba-tiba, getar ponsel di atas meja rias memecah konsentrasinya. Layar menyala, memperlihatkan nama yang membuat dadanya sesak.
MAS BIMA
Ibu jari Karmel bergerak tak pasti sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Mas," suaranya terdengar datar, berusaha netral.
"Mel, gimana? Apa hari ini kamu bisa temenin aku ke galeri?" Suara Bima di seberang tetap lembut, penuh harap yang tidak menuntut. Latar belakang suara lalu lintas yang tenang mengindikasikan dia mungkin sudah di perjalanan, atau sedang menunggu.
Seketika, rasa bersalah yang tajam menusuk Karmel. Dia menatap bayangan dirinya sendiri di cermin—wanita yang sedang berbohong. "Maaf, Mas," ucapnya, mata mereka beradu dengan bayangannya sendiri, seakan mencari keberanian. "Ibu tadi baru bilang ada acara keluarga dirumah budheku." Kata-kata dusta itu terasa pahit di lidahnya. "Ini aku lagi siap-siap mau pergi." Ia menambahkan, berusaha membuatnya terdengar meyakinkan.
Ada jeda singkat. Karmel bisa membayangkan ekspresi wajah Bima yang biasa memahami, mungkin sedikit kecewa tapi tak akan pernah memperlihatkannya. "Oke, nggak papa, Mel. Lain kali mungkin," jawabnya, tetap hangat, tanpa sedikitpun nada menyalahkan.
Rasa bersalah itu menggumpal jadi bola besar di tenggorokan Karmel. "Maafin aku ya, Mas."
"Santai aja, Mel," balas Bima, ringan, sebelum panggilan berakhir.
Tuuut...
Bunyi putusnya panggilan terasa seperti pukulan. Karmel meletakkan ponselnya, tangan gemetar. Dia menatap kosong ke depan. Dua perasaan bertarung: rasa bersalah yang mendalam pada Bima yang begitu baik, dan kemarahan membara pada Renzi yang telah memaksanya ke dalam situasi ini. Napasnya berat. Dia benci berbohong, terutama pada orang yang bersikap tulus. Tapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang, meski dipaksa, masih ingin pergi dengan Renzi. Kebencian dan cinta itu terjalin tak terurai.
Dengan langkah berat, ia turun ke ruang tamu. Ibu Nani yang sedang menyiram tanaman, langsung memandanginya dari ujung kaki ke kepala.
"Kok pakaiannya biasa banget, Mel?" tegur sang ibu, alisnya berkerut. "Kan jalan sama Renzi."
Karmel mengangkat bahu, sikap acuh tak acuh yang dipaksakan. "Ya, emang mau kemana? Lagian cuma jalan sama Renzi doang." Setiap kata 'Renzi' diucapkan dengan nada datar dan sedikit mengejek, berharap bisa mengurangi signifikansi 'jalan' ini.
Nani menghela napas. "Dandan yang cantik dong, Mel. Biar Renzi makin sayang."
Kesabaran Karmel mulai habis. "Aku udah cantik, nggak usah dandan," balasnya dengan ketus, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Sebelum Nani memprotes lebih lanjut, suara rendah terdengar dari balik sofa. Renzi, yang ternyata sudah berdiri dan mengamati dengan diam, melangkah mendekat. Cahaya dari jendela menyorot posturnya yang tegak. Wajahnya tenang, tapi matanya yang hitam mengamati dress Karmel dengan seksama, seolah membaca setiap maksud di balik pilihan kain sederhana itu.
"Nggak papa, Bu," ucap Renzi, suaranya halus namun memuat nada menggoda yang hanya bisa dideteksi oleh Karmel. "Nanti Renzi yang akan sulap dia jadi cantik." Dia berhenti sejenak, tatapannya naik bertemu mata Karmel yang sudah menyala. "Biar aja sekarang jelek."
Kalimat itu seperti percikan api di bensin. "Siapa yang kamu bilang jelek?!" desis Karmel, langkahnya maju mendekati Renzi. Wajahnya memerah, mata hijau hazel-nya berkilat marah. Keacuhannya hancur seketika.
Renzi tidak menjawab. Hanya senyum tipis, licik, muncul di sudut bibirnya. Dia sudah berhasil membuatnya bereaksi, mengeluarkan emosi aslinya. Dengan gerakan cepat dan penuh keyakinan, tangan kanannya meraih pergelangan tangan kiri Karmel. Genggamannya kuat, hangat, dan tak terbantahkan.
"Renzi sama Karmel jalan dulu ya, Bu," ucapnya pada Nani, seolah semuanya sudah direncanakan dan disetujui.
Nani mengangguk antusias. "Hati-hati di jalan ya, Nak."
Saat mereka hampir sampai di pintu, Renzi berhenti, menoleh kembali ke Nani. "Pulang larut nggak masalah kan, Bu?" tanyanya, polos, seolah hanya meminta izin biasa.
Tapi bagi Karmel, pertanyaan itu terdengar seperti deklarasi, sebuah peringatan bahwa hari ini akan panjang dan sepenuhnya di bawah kendalinya.
"Nggak papa, Renz. Asal sama kamu," jawab Nani dengan keyakinan penuh, tanpa ragu.
Jawaban itu membuat Karmel ingin menjerit. Dia merasa dikepung oleh persekongkolan ini. Renzi tidak hanya memanipulasi ibunya, tapi juga menggunakan persetujuannya sebagai senjata.
Dengan gerakan tak terlalu halus, Renzi membimbing Karmel keluar dari rumah, tangannya masih erat menggenggam pergelangan tangan Karmel. Saat pintu tertutup, meninggalkan ibunya yang tersenyum puas, Karmel merengsek.
"Lepasin!" geramnya.
Tapi Renzi tak perduli. Tangannya masih erat mengandeng Karmel memasuki mobil mewahnya.
***
Mobil Renzi berhenti dengan halus di depan butik mewah yang terletak di kawasan segitiga emas. Plakat perunggu bertuliskan “Maison de Lumière” berkilau di bawah kanopi hitam. Butik ini bukan sekadar toko, melainkan sebuah institusi bagi keluarga-keluarga seperti Jayawardhana, tempat para penjahit dan stylist pribadi melayani dengan bahasa tubuh yang hampir membungkuk.
Begitu mereka melangkah masuk, udara dingin beraroma bunga lili dan kulit berkualitas tinggi menyergap. Suasana hening dan eksklusif. Beberapa staff yang tengah melipat scarf langsung menoleh, dan wajah-wajah mereka berseri.
"Pak Renzi! Selamat siang,” sapa manajer butik, seorang wanita paruh baya dengan sanggul rapi, berjalan cepat menyambut. Matanya kemudian berpindah ke Karmel, dan senyumnya melebar menjadi sapaan hangat yang asli. “Oh, Mbak Karmel! Wah, sudah lama tidak bertemu.”
Karmel hanya mengangguk singkat, senyumnya tipis dan dipaksakan. Dia mengenal butik ini. Dia dan Renzi pernah sering ke sini di masa awal hubungan mereka, ketika segala sesuatu masih terasa seperti mimpi indah.
Renzi, dengan tangan di saku, langsung mengambil alih kendali. “Mbak, pilihin gaun yang cocok buat dia,” perintahnya, suara datar namun penuh otoritas, sambil menunjuk ke arah Karmel dengan anggukan kepala.
Sang manajer, Mbak Rina, tersenyum. “Tentu, Pak Renzi.” Dia memandang Karmel dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan mata profesional. “Kalau Mbak Karmel sih, gaun apa saja cocok, deh. Silakan ikut saya ke area privat.”
Renzi sudah menjatuhkan dirinya di sofa empuk berlapis velvet biru tua yang sengaja ditempatkan menghadap ke ruang fitting room privat. Kaki disilang, sikapnya seperti seorang raja yang menunggu persembahan.
Di dalam ruang ganti yang luas dan berlapis karpet tebal, Karmel berdiri dengan tangan terkepal. Rasa kesal masih mendidih di dadanya. Seorang asisten sudah membawa tiga gaun pertama.
Gaun Pertama: Sebuah cocktail dress berwarna merah muda muda, dengan lengan puff dan siluet A-line. Cantik, feminin, dan aman.
“Coba yang ini dulu,Mbak,” bisik asisten.
Karmel mengenakannya.Gaun itu memang cantik, membuat kulitnya yang sehat berkilau. Tapi potongannya menyembunyikan terlalu banyak. Dia membuka tirai.
Renzi,yang sedang memeriksa ponselnya, mengangkat mata. Pandangannya menyapu tubuh Karmel dalam sekejap. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Terlalu… kekanak-kanakan. Ganti,” ujarnya, lalu kembali ke layar ponselnya.
Karmel menggigit bibir.Dia sendiri setuju, tapi penolakannya yang begitu cepat terasa seperti penghinaan.
Gaun Kedua: Sebuah jumpsuit putih dengan potongan wide-leg dan neckline segi empat yang elegan. Modern, kuat, mencerminkan kepribadian Karmel.
Setelah mengenakannya,Karmel merasa lebih nyaman. Jumpsuit ini memberinya rasa berdaya. Dia melangkah keluar.
Renzi meletakkan ponselnya.Matanya mengamati lebih lama kali ini, menyusuri garis bahunya yang tegak, pinggang yang diikat sabuk kulit, hingga panjang kaki yang tercipta oleh potongan wide-leg. Namun, alisnya sedikit berkerut. “Terlalu maskulin. Kamu bukan sedang ke rapat direksi. Ganti,” putusnya, suara dingin.
Gaun Ketiga: Sebuah gaun biru laut mermaid style, bersulam payet halus. Sangat glamor dan ketat.
Karmel nyaris menolak.Gaun ini terlalu banyak pernyataan. Tapi dengan napas dalam, dia mengenakannya. Kain itu melilit tubuhnya seperti selubung kedua, menekankan setiap lekuk: kurva pinggul yang membesar lalu mengecil di betis. Saat dia berbalik di depan cermin dalam ruang ganti, dia melihat pantulan dirinya yang dramatis. Dengan hati berdebar, dia membuka tirai.
Renzi terdiam.
Dia tak bergerak dari sofa.Namun, posturnya yang tadinya santai, menjadi sedikit tegang. Tatapannya, yang biasanya cepat dan analitis, kini tertambat. Dia menyapu seluruh siluet Karmel—dari garis leher yang memperlihatkan tulang selangkanya, turun ke bagian yang ketat di pinggang dan pinggul, hingga ujung gaun yang melebar di betis. Rasa kepuasannya nyaris terpancar.
“Tidak,”ucapnya tiba-tiba, suaranya sedikit serak sebelum dia berdeham. “Terlalu… berlebihan. Dan payetnya akan mengganggu.”
“Mengganggu apa?”tanya Karmel, tak tahan.
Renzi menatapnya langsung.“Mengganggu pandanganku,” jawabnya, ambigu. “Ganti.”
Keputusasaan mulai merayap. Karmel bersandar di dinginnya cermin. Dia lelah. Lelah dengan permainan ini. Lelah dengan cara Renzi mengontrolnya hingga ke pakaian yang harus dia kenakan.
Mbak Rina, yang mengamati dari luar, akhirnya masuk dengan membawa satu gaun terakhir. “Mungkin ini, Mbak Karmel. Saya rasa ini yang Pak Renzi cari.” Suaranya penuh pengertian.
Gaun Keempat: Gaun itu bergantung, terlihat sederhana sekilas. Sebuah little black dress, tetapi bukan yang biasa. Bahannya adalah sutra crêpe yang jatuh seperti air. Lehernya halter neck dengan belahan yang dalam namun elegan, membentuk huruf V yang curam dari antara tulang selangka hingga ke atas perut. Bagian belakang terbuka rendah. Potongannya bodycon, mengikuti setiap inci tubuh tanpa terkesan murahan. Dan yang paling mencolok—belahan tinggi di samping yang membentang dari paha hingga hampir ke pinggang, hanya diikat oleh sebuah knot kecil di pinggul.
Karmel mengenakannya dengan perasaan pasrah.
Saat kain itu menyentuh kulitnya,dia tahu ini berbeda. Gaun ini bukan menyembunyikan atau memproklamirkan. Ia mengungkapkan. Dengan napas berat, dia membuka tirai.
Renzi, yang sedang menatap ke arah lain, menoleh.
Dan kali ini,dia benar-benar terdiam. Semua ketenangan, semua kendali, seolah menguap selama beberapa detik yang penting.
Dia tidak berkata “ganti”. Dia bahkan tidak bernapas.
Karmel berdiri di bawah sorot lampu chandelier ruang fitting. Gaun hitam itu seperti bayangan kedua yang sempurna bagi tubuhnya yang pucat. Leheran yang rendah menampilkan lekuk payudaranya yang montok namun padat dengan cara yang sangat seni, hanya menawarkan glimpse sebelum kain sutra menyatu dengan bentuknya. Pinggangnya yang ramping terlihat makin kecil, menjadi titik tolak bagi lekuk pinggul yang sensual. Belahan samping membuka jejak kulit pucat yang membentang dari lutut hingga tinggi, mengungkapkan garis otot paha yang indah setiap kali dia bergeser. Gaun itu adalah sebuah paradoks—sederhana, namun mematikan. Menutupi hampir semua, namun menyoroti setiap aset terbaiknya dengan presisi seorang ahli bedah.
Renzi berdiri perlahan. Dia mendekat, langkahnya pelan, seperti mendekati sesuatu yang liar dan berharga. Matanya yang hitam memindai setiap detail, dari lekuk di lehernya, turun ke kurva yang tercipta di pinggang, hingga ke belahan yang mengundang itu. Dalam diamnya, ada sebuah pengakuan yang dalam. Dia telah mengenal banyak wanita cantik. Tetapi Karmel… proporsi tubuhnya, kepercayaan dirinya yang tertahan dalam kemarahan, dan kecantikan yang tak perlu banyak hiasan—ini adalah sesuatu yang lain. Dan itu miliknya. Atau, dulu miliknya.
“Oke,” akhirnya suaranya keluar, lebih rendah dan parau dari biasanya. Dia berusaha keras menetralkan suaranya. “Yang itu.” Dia memalingkan wajah, seolah-olah melihat ke rak sepatu, memberikan dirinya waktu untuk mengumpulkan kembali komposisinya. “Pilihkan juga sepatu yang cocok,” tambahnya pada Mbak Rina, kembali ke nada perintah.
Tetapi untuk sesaat yang singkat, Karmel melihatnya. Dia melihat kekaguman yang tak tersamarkan di mata Renzi, panas dan intens. Dan di balik kemarahan dan rasa terpaksanya, ada getar kecil dari kemenangan yang beracun. Dia membenci gaun ini, membenci situasi ini. Tapi dia tidak bisa menyangkal fakta: dia masih bisa membuat Renzi, sang manipulator yang dingin, kehilangan kata-kata. Dan pengetahuan itu, sayangnya, terasa seperti pedang bermata dua yang justru melukai hatinya sendiri.
Yahh begitulah pemirsaa benci tp cinta ya begini, kalo ada yg nyalahin Karmel mungkin blm pernah ngerasain benci tp cinta ya