NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Riana Maheswari

Pagi itu, suara Rahayu menggema dari lantai bawah, terdengar kesal namun sudah menjadi rutinitas harian.

“Riri, kamu bangun dong! Masa anak gadis jam segini masih tidur?” teriaknya sambil melipat tangan di dada.

Riri menggeliat malas di balik selimut tebalnya. Matanya masih setengah tertutup, rambutnya acak-acakan.

“Sebentar dong, Ma… Riri baru juga tidur,” gumamnya manja.

“Semalam tuh habis nonton drama…”

Rahayu menghela napas panjang, jelas kesal.

“Mama gak mau tahu ya, Riri. Kamu bangun sekarang juga! Atau Mama siram ya kamu?!”

Mendengar ancaman itu, Riri langsung menyingkap selimut dengan wajah masam.

“Iya, iya… Berisik banget…” keluhnya sambil duduk malas di tepi ranjang.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang makan. Raden Purnama muncul sambil menguap ringan, sudah terbiasa dengan keributan pagi antara istri dan anak gadisnya.

“Ini ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut?” tanyanya tenang, meski nada suaranya menunjukkan kalau ia juga sudah hafal adegan ini.

Rahayu menunjuk ke arah tangga, tempat Riri turun dengan wajah malas.

“Itu loh, Mas… anakmu! Masa jam segini anak gadis belum bangun? Bukannya bantuin Mama, malah tidur terus.”

Raden hanya tersenyum kecil.

“Ya lagian kan ini hari Minggu, Ma. Emang kenapa sih kalau bangunnya siang? Aku juga gak ngapa-ngapain.”

“Iya, kamu tuh gak ngapa-ngapain,” balas Rahayu ketus. “Bantu Mama juga enggak. Cari kerja sana biar gak males-malesan terus di rumah!”

Riri langsung duduk di kursi makan dengan wajah memelas.

“Pa… emang di perusahaan Papa gak ada lowongan ya buat aku?” tanyanya manja sambil menggoyang-goyangkan bahu ayahnya.

Raden menatap anak gadisnya dengan lembut.

“Iya, nanti kalau ada Papa infoin ke kamu ya,” jawabnya tenang.

Sejak kecil, Riri memang jadi permata hati Raden. Ia sulit menegur dengan keras, apalagi membentak. Semua keinginan Riri hampir selalu dituruti, dan hal itulah yang membuat sifat manja Riri semakin terbentuk.

Rahayu hanya menggeleng, setengah pasrah.

“Tuh kan, dimanjain terus. Lama-lama bisa-bisa anak kita gak bisa mandiri, Mas…” gumamnya.

Sementara Riri hanya menyengir, tak merasa bersalah sedikit pun.

“Sudah, kalian jangan berantem di meja makan,” ujar Raden dengan nada lembut namun tegas, melerai adu mulut kecil antara istrinya dan sang putri. Ia meletakkan koran pagi ke meja dan menatap keduanya dengan sabar.

Suasana ruang makan sempat hening beberapa detik sebelum Raden kembali membuka pembicaraan, kali ini dengan nada lebih ringan.

“Oh iya, Ri… nanti malam kamu ikut Mama sama Papa, ya. Kita ada acara makan malam perusahaan Papa. Kebetulan bos Papa juga mau datang.”

Riri yang sedang memainkan sendoknya langsung menghela napas panjang.

“Aduh… aku malas deh, Pa, kalau acara-acara kantor gitu. Lagian juga kan aku gak ada urusan apa-apa sama teman-teman Papa. Ngapain aku harus ikut?” keluhnya dengan nada manja.

Rahayu mendengus kesal.

“Cuma diajak makan malam aja kamu nolak, Ri. Apalagi kalau disuruh yang lain-lain,” sindirnya.

Raden mencoba tetap tenang dan membujuk.

“Iya, Ri. Ini cuma makan malam aja kok. Jadi kamu ikut ya. Lagian, sejak kamu kuliah di luar kota, kamu udah jarang banget ikut acara-acara Papa. Sesekali gak apa-apa kan?”

Riri terdiam sejenak, memutar bola matanya dengan ekspresi malas khasnya. Namun tatapan lembut ayahnya membuatnya tak tega untuk terus membantah.

“Yaudah…” ujarnya akhirnya, dengan nada setengah terpaksa.

Rahayu menggeleng sambil tersenyum tipis.

“Nah, gitu dong. Tampil yang rapi nanti malam, ya. Jangan pakai kaus dan celana pendek kayak di rumah begini.”

Riri hanya menjulurkan lidah kecil ke arah mamanya, membuat Raden terkekeh kecil. Di balik sikap manja dan malasnya, Riri tahu ia tak akan bisa menolak terlalu lama jika ayahnya yang meminta.

---

Malam itu, rumah keluarga Purnama kembali dipenuhi suara khas Rahayu yang menggema ke seluruh sudut rumah.

“Riri! Cepet dong, Papa sama Mama udah nunggu di bawah!” teriaknya dari bawah tangga, tepat di depan ruang tamu.

Suara itu terdengar jelas sampai ke kamar Riri yang berada di lantai atas. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan gadis itu muncul dengan tampilan yang jauh dari keseharian manjanya.

Riri menuruni tangga pelan-pelan. Malam itu, ia mengenakan dress hitam sabrina yang memperlihatkan bahunya dengan anggun. Sepasang heels sederhana mempertegas langkahnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lembut, sedikit bergelombang alami. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aura anggun seorang wanita muda begitu jelas terpancar dari dirinya.

Raden yang melihatnya dari ruang tamu langsung tersenyum lebar, matanya berbinar bangga.

“Ya ampun… cantiknya anak Papa,” ujarnya penuh kekaguman.

Riri tersipu kecil, lalu dengan gaya manja khasnya, ia bergelayut di lengan sang ayah saat menuruni anak tangga.

“Iya dong… anak siapa dulu?” balasnya genit.

“Anak Papa lah,” jawab Raden sambil tertawa kecil.

Rahayu yang sedari tadi menunggu sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatu hanya menggeleng melihat tingkah ayah dan anak itu.

“Kamu tuh ya… kalau gak punya Mama yang cantik, muka kamu juga gak bakal secantik itu, Riri,” celetuknya setengah menggoda.

“Ih, Mama…” Riri mendengus kecil sambil memutar mata, tapi jelas ada tawa tipis di bibirnya.

“Udah, ayo! Nanti kita telat,” potong Rahayu, berusaha mengakhiri momen manja ayah dan anak yang tak ada habisnya.

“Mama galak banget sih, jalan bareng aku aja sini,” sahut Riri dengan nada setengah kesal, sambil meraih tas kecilnya.

____

Restoran mewah di pusat kota malam itu dipenuhi cahaya hangat lampu gantung dan deretan meja panjang yang tersusun rapi. Musik lembut mengalun dari pojok ruangan, menciptakan suasana elegan namun ramai oleh suara tamu yang saling bercengkerama.

Riri melangkah masuk bersama kedua orang tuanya, matanya langsung membulat melihat keramaian di dalam.

“Rame banget, Pa…” gumamnya sambil melirik ke kiri dan kanan.

Raden tersenyum, tangannya merangkul pundak putrinya dengan bangga.

“Iya, Nak. Ini kan acara perusahaan. Jadi bukan cuma Papa yang diundang, tapi semua karyawan kantor juga,” jelasnya.

Riri hanya mengangguk kecil, masih merasa canggung berada di tengah suasana formal seperti itu.

Seorang waitress muda menghampiri mereka dengan senyum ramah.

“Silakan, Pak. Ini meja untuk Bapak sekeluarga,” ujarnya sopan sambil menunjukkan arah.

“Terima kasih, Mbak,” balas Raden dengan ramah, lalu mereka bertiga duduk di kursi yang telah disiapkan.

Sambil menata tas kecilnya di pangkuan, Riri melirik ke sekeliling ruangan.

“Emang kita mau ketemu bos Papa yang mana, sih?” tanyanya pelan.

Raden terkekeh kecil.

“Kamu nggak akan tahu, Riri. Karena kamu belum pernah lihat,” jawabnya.

Rahayu segera menyela dengan nada serius.

“Riri, nanti kamu harus sopan ya sama bos Papa,” ujarnya seperti sedang memberi peringatan.

“Iya, Ma. Lagian aku mau ngapain, sih? Nggak ada urusan juga,” sahut Riri malas.

“Iya, tapi kamu kalau ngomong harus baik, harus sopan. Jangan asal ceplas-ceplos kayak di rumah,” tegas Rahayu lagi.

“Iya, iya…” balas Riri dengan nada setengah jenuh. Ia sudah terbiasa dengan ‘ceramah pembuka’ sang mama di acara-acara resmi seperti ini.

Namun sebelum makanan pembuka disajikan, tiba-tiba perutnya terasa tak nyaman. Riri menepuk-nepuk pelan bagian bawah perutnya.

“Pa, Ma… aku ke toilet dulu ya,” katanya buru-buru.

“Yaudah, sana,” jawab Rahayu sambil melambai ringan, fokus ke buku menu.

Riri berdiri dengan cepat, melangkah tergesa-gesa menuju area toilet di bagian samping restoran. Karena terburu-buru, ia tidak memperhatikan jalan di depannya, hingga bruk!

Tubuhnya menabrak seseorang yang muncul dari arah berlawanan. Keduanya sama-sama terhuyung, tapi sebelum Riri sempat jatuh, lengan kuat pria itu sigap menahan tubuhnya.

“Au!” seru Riri refleks, separuh kaget separuh kesakitan.

“Kamu nggak apa-apa?” suara pria itu tenang namun jelas, sedikit berat dan berwibawa.

Riri buru-buru menegakkan tubuhnya. Pipi putihnya langsung merona karena malu. Ia menunduk dan mengibas-ngibaskan tangannya.

“Nggak… nggak apa-apa, Pak. Maaf ya, Pak. Saya buru-buru. Maaf, maaf, terima kasih…” katanya terbata-bata.

Pria itu hanya tersenyum tipis melihat kepanikan gadis muda itu. Tatapan matanya tajam namun teduh, seperti sedang menilai tanpa menghakimi.

“Hati-hati lain kali,” ucapnya singkat.

“Iya… makasih, Pak,” jawab Riri cepat, lalu melesat ke toilet dengan langkah setengah berlari.

Pria itu memperhatikan punggung gadis itu yang semakin menjauh. Entah kenapa, ada kesan tersendiri yang tertinggal di pikirannya.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!