Lisa Anggraeni , seorang gadis yang tengah berjalan dengan sahabatnya setelah dari aktifitas kuliah mengalami kecelakaan saat dia tengah menunggu bus yang ada di sebrang jalan. Dia menoleh dan melihat ada motor melanu cepat membuatnya mendorong Hani. Dan membuatnya menjadi korban kecelakaan. Lisa yang mengalami luka luka sempat di bawa ke rumah sakit. Namun sayang, saat dirinya sedang di operasi, nyawanya tak bisa di selamatkan.
Lisa yang tahu dirinya mengalami kecelakaan sebelumnya mengira dia selamat, dan berada di salah satu rumah sakit.
Tapi saat dia sadar justru, dia sedang di salah satu ruangan kosong gelap dan pengap.
Namun saat dirinya berusaha mencari jalan keluar, dia justru melihat bayangan seseorang dari kaca hias kecil.
"Aaaaaa... Wajah siapa yang ada di mukaku ini!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adira_Mutiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kisah
Byuuur....
"Astaga!!! "
"Heh .... Harusnya kamu itu sadar diri dong!! Udah tau numpang tapi malas malasan" Maki seorang wanita gendut yang sedang memarahi gadis yang baru saja dia siram dengan air.
Gadis itu hanya menunduk, dia takut dan lelah karena dia baru saja tidur setelah mengerjakan tugas kuliahnya. Padahal dia tadi sudah meminta ijin untuk beristirahat sebentar sebelum dia berangkat kerja. Namun baru saja merasa nyenyak tidur, wajahnya justru di siram oleh air satu ember.
"Kamu itu.. Kerjaannya tidur tidur doang,,, "
"Maaf bude. Tapi cucian baju sama piring kotor sudah bersih semua"
Benar. Walau dia menumpang, tapi semua pekerjaan rumah dia yang mengerjakan. Dari menyapu, mengepel, bahkan sampai mencuci pakaian keluarga budenya. Dia sadar karena hanya keluarga budenya saja yang mau menerima dia tinggal di kota.
Perkenalkan dulu, namanya Lisa Anggraeni. Dia baru saja pindah ke kota setelah mendapatkan beasiswa FULL dari salah satu kampus ternama. Lisa yang berasal dari desa berniat ingin mengekost saja. Tapi saat hendak berangkat ke kota, salah satu saudara dari pihak ayahnya mengatakan jika dia bisa tinggal di rumahnya. Karena bingung lisa memilih untuk tinggal bersama saudaranya untuk beberapa waktu sebelum dia menemukan kost yang pas harga di kantongnya.
Namun setelah tinggal dua bulan di rumah itu, Lisa justru seperti seorang pembantu yang di suruh suruh oleh istri dari pamannya. Dia harus melakukan semuanya.
*
*
Sebelum fajar menyingsing, Lisa sudah terbangun dari tidurnya. Dengan langkah yang masih terasa berat, dia menghampiri dapur untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga pamannya. Dalam hati kecilnya, dia merasa lelah, tapi dia tahu dia tidak bisa mengeluh. Setiap sudut rumah itu harus bersih sebelum dia berangkat ke kampus.
Lisa menyeka keringat di dahinya dengan ujung baju yang sudah agak basah, sambil sesekali melirik jam dinding yang seolah bergerak begitu lambat. Dia menghela napas, mengingatkan diri sendiri bahwa ini semua akan berakhir, bahwa suatu hari dia akan bisa meninggalkan rumah ini.
Suara bentakan dari ruang tamu menarik perhatiannya. Istri pamannya, Tante Rina, sedang berteriak pada anaknya yang tampaknya telah membuat ulah lagi. Lisa tahu dia harus menghadapi ini. Dia mengambil sapu dan mulai membersihkan serpihan biskuit yang berserakan di lantai, sambil sesekali mengintip keadaan di ruang tamu.
“Sudah berapa kali harus ibu bilang untuk tidak bermain bola di dalam rumah?!” teriak Tante Rina pada anaknya yang hanya menunduk. Lisa bisa melihat betapa takutnya anak itu, dan dia tahu betul perasaan itu.
Meski ingin menolong, Lisa sadar dia hanya seorang keponakan yang menumpang dan tidak memiliki banyak suara di rumah ini. Jadi dia kembali ke dapurnya, menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan berdoa agar semuanya cepat selesai. Dia sudah tidak sabar untuk berangkat ke kampus, tempat dia bisa sedikit bernafas lega dari semua ketegangan ini.
Dia memandang sekilas pakaian kuliahnya yang sudah tergantung rapi di pintu kamar. Itu adalah simbol harapan, bahwa setiap buku yang dibaca dan setiap ujian yang dilalui membawanya lebih dekat kepada kebebasan. Dan dengan gaji pertama dari pekerjaan paruh waktu yang telah dia amankan, Lisa yakin, tidak akan lama lagi dia akan meninggalkan rumah ini.
"Mungkin nanti sore aku harus ke tempat kost Hani.."
*
*
"Eh... Lisa., coba lo baca novel ini deh.. Seru banget ceritanya."
Di tengah keramaian kantin kampus yang dipenuhi suara riuh mahasiswa, Lisa menatap buku novel berjudul 'Kau dan Dia' yang baru saja diberikan Hani kepadanya. Cover buku itu sederhana, namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Cerita apa ini?" tanya Lisa dengan rasa penasaran yang tergambar jelas di wajahnya.
Hani, yang sedang menikmati jus jeruknya, menoleh dengan senyum tipis. "Ini tentang pemuda yang selalu memprioritaskan teman kecilnya daripada pacarnya," jelas Hani, matanya berkilau penuh antusias.
Lisa terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. "Terus gimana ceritanya?" tanyanya lagi, ketertarikan semakin terlihat.
Hani menutup sedotannya dan menatap Lisa. "Aku sudah bosan dengan cerita-cerita yang alurnya bisa ditebak. Protagonis yang selalu menang, antagonis yang kalah karena kejahatannya," ujarnya, rasa jenuh terasa dalam nada bicaranya.
Lisa menggelengkan kepala, tersenyum kecil mendengar keluhan Hani. "Yah, itu memang klasik," sahutnya sambil membuka halaman pertama novel tersebut.
"Tapi kamu harus baca sendiri, seru kok. Ada twist yang tidak terduga di akhir cerita," tambah Hani, menggoda Lisa dengan sebuah kedipan mata.
Lisa, yang kini menjadi penasaran, memutuskan untuk membaca novel itu selagi menikmati suasana kantin yang ramai. Di hatinya, ia berharap menemukan sesuatu yang baru dan berbeda dari cerita-cerita yang biasa ia baca.
Lisa terus larut dalam setiap kata yang tertulis di novel yang dipinjam dari sahabatnya. Cahaya matahari sore yang temaram menerobos jendela kantin, namun tak cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Tiba-tiba, sebuah dentuman keras terdengar ketika Sesil menabrakkan tangannya ke meja tempat Lisa membaca. Buku itu terhempas, dan beberapa halaman melayang sebelum mendarat kembali dengan pelan.
Lisa yang terkejut, mendongak dan menemukan Sesil yang berdiri tegak dengan wajah memerah dan mata yang berbinar marah. "Lo ya. Gue udah bilang jangan deketin Ferdi. Tapi kenapa masih gatel aja?" teriak Sesil, suaranya memenuhi ruang kantin dan membuat semua mata tertuju pada mereka.
Lisa, dengan ketenangannya yang mengejutkan, menjawab dengan nada angkuh, "Emang kenapa? Dia yang deketin gue." Suaranya tenang namun penuh kepercayaan diri. Lisa tidak menunjukkan rasa takut atau gentar; dia berdiri tegak, menantang balik Sesil dengan pandangan yang tajam.
Di sekeliling mereka, bisikan dan tatapan penasaran menguar di antara teman-teman sekelas yang kebetulan juga berada di kantin. Beberapa dari mereka saling berpandangan, bertanya-tanya tentang kebenaran dari tuduhan Sesil.
Namun, di dalam hati Lisa, dia tahu kebenaran yang tidak bisa diungkapkan di depan kerumunan ini. Hubungannya dengan Ferdi tidak lebih dari sekadar pertemanan, namun Sesil terlalu buta oleh cemburu untuk bisa melihatnya dengan jelas.
Di tengah kerumunan yang bising, Sesil dengan cepat menarik rambut Lisa dengan kekuatan penuh, menyebabkan Lisa mengerang kesakitan. Tak ingin dipermainkan, Lisa pun membalas dengan menarik rambut Sesil, keduanya mengerang dan mengumpat dalam rasa sakit dan amarah.
"Sialan! Lepasin rambut gue, bego!" teriak Sesil, sambil menambah kekuatan tarikannya, membuat Lisa semakin kesakitan.
"Rambut dibalas dengan rambut!" balas Lisa, semakin mengencangkan genggamannya pada rambut Sesil.
Hani, yang semula hanya bingung menyaksikan pertengkaran itu, segera bergegas mengambil segelas air dan menyiramkan isi gelas tersebut ke atas kepala Sesil dan Lisa. Kedua gadis itu terkejut dan secara refleks melepaskan cengkeraman mereka masing-masing.
"Tenang, gue cuma mau melerai!" kata Hani, mencoba menenangkan situasi yang sudah memanas itu.
Ferdi tiba di kantin dengan nafas yang terengah-engah, seakan-akan baru saja menyelesaikan maraton. Matanya mencari sosok yang telah mengiriminya pesan mendesak itu, dan akhirnya terhenti pada Sesil yang sedang berdiri dengan raut muka muram.
"Sayang!! Kamu ini kenapa sih?" ucap Ferdi dengan nada kesal yang tak tersembunyi lagi. Rasa frustrasi memuncak setiap kali topik tentang Lisa dibawa ke permukaan.
Sesil, dengan sorot mata tajam, menunjuk ke arah Lisa yang duduk tak jauh dari mereka. "Dia deketin kamu. Aku ga terima ya," keluhnya, suara penuh kecemburuan.
Ferdi menghela napas berat, kepalanya terasa berat dengan tuduhan yang sama berulang kali. "Turunkan jarimu," katanya dengan tenang namun tegas. "Gue udah bilang berkali-kali. Gue ga ada hubungan apapun sama dia. Dan lo, Fer—lebih baik pertemanan kita udah aja deh. Ribet sama cewek lo."
Lisa, yang telah mencoba untuk tetap tenang selama konfrontasi itu, akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat kecewa dan sedikit tersinggung. Dia berjalan pergi meninggalkan kantin, diikuti oleh Hani yang mencoba menenangkannya.
Tinggal Ferdi dan Sesil yang saling menatap, udara di antara mereka terasa begitu berat dan dingin. Sesil tampak ingin berkata lebih banyak namun kata-kata terasa terhenti di tenggorokannya. Ferdi, di sisi lain, hanya bisa berharap agar keadaan bisa segera membaik, meski di dalam hatinya ia tahu, beberapa keretakan memang sulit untuk diobati.
*
*
Sore menjelang malam itu, halte bus yang tidak terlalu ramai menjadi saksi bisu dua sahabat, Lisa dan Hani. Mereka berdua duduk berdampingan, masing-masing tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Hani asyik menggulir layar ponselnya, sementara Lisa tenggelam dalam alur cerita novel yang baru saja dipinjamkan oleh Hani.
Udara dingin menyengat, namun dinginnya cerita yang dibaca Lisa membuatnya lupa akan cuaca. Dia begitu terhanyut, hingga halaman demi halaman terlipat begitu saja. Namun, ketika ia tiba pada bab terakhir, emosinya tak terbendung.
"Sialan," umpatnya keras, kecewa dengan akhir cerita tersebut.
Hani yang duduk di sampingnya terlonjak kaget. "Bikin kaget aja," keluhnya, menatap Lisa dengan alis berkerut.
Lisa menutup buku itu dengan kasar, raut mukanya memerah, "Jadi mereka malah salah paham dan berakhir saling menyakiti. Sialan," gerutunya lagi, lebih kepada diri sendiri.
Hani menoleh, mencoba memahami. "Ceritanya padahal bagus tapi malah sampai kamu sekesal itu"
Lisa menghela napas, matanya masih membara. "Antagonisnya, dia... dia sebenarnya hanya ingin memperbaiki hidupnya, menjadi lebih baik. Tapi, sang protagonis itu, dia selalu menyalah-interpretasikan setiap tindakan. Apapun yang dilakukan antagonis, selalu dianggap salah. Jadi, bukannya membantu, dia malah menambah masalah. Sialan betul."
Hani memandang penuh simpati, mengerti betapa sebuah cerita bisa mempengaruhi emosi seseorang. "Itu memang menyebalkan. Kadang-kadang penulis bisa bikin kita ikut emosi juga dengan tokohnya, ya?"
Lisa mengangguk, masih terbawa suasana. Di benaknya, dia tidak hanya kecewa, tapi juga merasa sedikit terluka, seolah-olah dia sendiri yang mengalami kesalahpahaman itu. Di luar kekecewaannya pada plot cerita, ada sesuatu tentang cara cerita itu berakhir yang meninggalkan kesan mendalam dalam dirinya, sebuah pelajaran tentang pentingnya komunikasi dan pengertian.
"Udah, yuk pulang. " Ajak Hani.
Lisa beranjak dan menenteng buku novel itu di tangan. Dan Hani berjalan di sampingnya menuju bus yang berada di sebrang jalan. Keduanya berhenti sejenak dan menatap kanan kiri memastikan jalanan kosong. Namun saat menyebrang dan sudah berada di tengah jalan. Sebuah motor dari kejauhan melaju dengan kencang dan langsung menghantam Lisa yang sudah mendorong Hani, karena dia menyadari bahaya.
Bughh....
"Lisaaaaaaa......"