Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Ratih dan Dara saling berpegangan, tubuh mereka gemetar bukan hanya karena dingin, tapi juga karena getaran nyanyian sedih yang semakin jelas. Melodi itu memilin udara, menarik setiap bulu kuduk mereka, seolah-olah liriknya secara langsung menyebut nama mereka.
"Si... siapa itu?" bisik Dara, air matanya menetes lagi. Ia berusaha menahan berat badannya pada Ratih.
Ratih tidak menjawab, matanya bergerak liar mencari asal suara. Ia merasa udara di sekitar mereka semakin berat, seolah sesuatu yang besar dan tak terlihat sedang bergerak di antara pepohonan.
Tiba-tiba, dari kegelapan di sebelah kanan mereka, terdengar suara gesekan daun yang cepat, bukan langkah menyeret mayat hidup, melainkan langkah lincah seseorang yang berlari.
Sepersekian detik kemudian, bayangan itu melompat. Bukan menyerang, melainkan mendarat di hadapan mereka.
Itu adalah seorang pemuda. Pakaiannya serba gelap, berlumuran lumpur, dan ia membawa sebilah parang pendek yang diikatkan di pinggangnya. Matanya tajam, memancarkan kewaspadaan yang tinggi.
"Kalian tidak boleh di sini!" bisik pemuda itu, suaranya rendah dan mendesak. "Lagu itu memanggil. Kalian harus ikut aku, SEKARANG!"
Sebelum Ratih sempat bertanya, pemuda itu sudah bertindak. Ia dengan cekatan memanggul Dara yang pincang di pundak kirinya, sementara tangan kanannya menarik pergelangan tangan Ratih.
"Cepat! Ikuti jejak kakiku, jangan pernah menyentuh akarnya!" perintahnya.
Mereka berlari menembus hutan. Pemuda itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah ia sudah hafal setiap lekuk dan jebakan di hutan tersebut. Ratih harus mengerahkan sisa tenaganya untuk mengimbangi langkahnya yang panjang, sementara Dara hanya bisa memejamkan mata dan menggigit bibir menahan sakit dan takut.
Nyanyian itu kini terdengar lebih dekat, seolah penyanyinya berada tidak jauh di belakang mereka, bergerak mengikuti setiap jejak yang mereka tinggalkan.
Setelah sekitar sepuluh menit berlari dalam ketegangan yang mencekik, pemuda itu tiba-tiba berhenti di depan sebuah pohon beringin raksasa. Pohon itu begitu besar hingga tampak seperti sebuah benteng kuno.
"Di sini," katanya, dengan napas terengah.
Ia menyingkap sehelai anyaman daun yang sangat tebal, menyembunyikan sebuah lubang di bagian bawah akar pohon yang sangat besar. Lubang itu nyaris tidak terlihat.
"Masuk! Cepat!"
Pemuda itu membantu Dara masuk lebih dulu, dengan hati-hati meletakkannya di atas tumpukan daun kering di dalam lubang. Lubang itu ternyata cukup luas untuk mereka bertiga duduk berdesakan. Udara di dalamnya terasa kering dan hangat.
Ratih masuk terakhir. Begitu ia masuk, pemuda itu segera menutup kembali pintu anyaman daun. Kegelapan langsung menyelimuti mereka, hanya diselingi sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah anyaman.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, keheningan yang jauh lebih alami dan menenangkan daripada keheningan di mulut hutan tadi.
"Siapa kamu?" tanya Ratih, dengan suara bergetar. Ia menempelkan pisau lipatnya yang kecil ke paha, siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Pemuda itu membalas tatapan Ratih. "Namaku Jaya. Aku... penjaga. Aku sudah menunggu kalian. Lebih tepatnya, aku menunggu Nenekmu."
Dara yang tadinya merintih kini terdiam, terkejut mendengar nama Tumbal Terakhir kembali disebut.
"Menunggu Nenekku?" Ratih mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Jaya menyandarkan punggungnya ke dinding akar, menghela napas panjang.
"Mayat-mayat hidup itu, mereka bukan yang terburuk. Mereka hanya anjing-anjing yang patuh. Yang berbahaya adalah Penghuni Hutan," katanya sambil menunjuk ke atas dengan dagunya, ke arah nyanyian yang kini terdengar samar, seolah melewati lapisan dinding tebal. "Lagu itu adalah cara dia mencari. Dia tahu Nenekmu adalah kunci terakhir."
"Kunci apa?" desak Ratih.
"Kunci untuk membuka segel yang menahan desa ini. Segel yang dibuat oleh leluhurmu untuk menenangkan mereka bertahun-tahun yang lalu. Dan kalian," Jaya menatap Ratih dan Dara secara bergantian, "kalian adalah umpan yang sempurna untuk menariknya keluar dari perlindungan."
Jaya menggeser tubuhnya untuk memeriksa pergelangan kaki Dara. "Kaki temanmu terkilir parah. Kita tidak bisa bergerak sampai menjelang subuh. Untungnya, tempat ini adalah titik buta mereka. Tidak ada akar yang akan menyentuh kalian di sini."
Ratih menatap Jaya. Ia tidak sepenuhnya percaya, namun fakta bahwa pemuda itu sudah menyelamatkan mereka dari maut, dan pengetahuannya tentang 'Nenek' serta 'Tumbal Terakhir' membuat Ratih memutuskan untuk sementara waktu mempercayainya.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Ratih.
Jaya mengeluarkan kantung kain kecil dari balik jaketnya. "Tunggu sampai lagu itu berhenti total. Kita akan keluar dan mencari rumah yang aman di luar perbatasan desa. Dan sebelum itu, kamu harus memberitahuku, Ratih... di mana Nenekmu sekarang? Karena malam ini adalah batas waktu sebelum segel itu hancur total, dan jika itu terjadi, bukan hanya desa ini, tapi seluruh wilayah akan menjadi milik mereka."
Ratih menelan ludah. Wajahnya pucat pasi. Keputusannya kini bukan hanya tentang menyelamatkan diri dan Dara, melainkan menyelamatkan semua orang dari malapetaka yang tidak ia duga.
" Aku tidak tau diamana nenekku, kami baru sampai disini karena sebuah surat" ucap Ratih dengan wajah ketakutan akan akibat jika neneknya tidak ketemu.
" Sial, " ucap jaya.
" Lalu bagaimana sekarang?" Tanya Ratih, dara hanya terdiam menahan rasa sakit.
" Malam ini kita harus temukan tuk guru, seorang laki-laki tua penjaga hutan ini, hanya dia yang bisa menghentikan mereka dan membuat mereka terkurung didesa ini untuk sementara waktu" jelas jaya.
Jaya menghela napas panjang, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang berlumuran lumpur. "Kalau begitu, kita harus mencari Tuk Guru. Dia satu-satunya yang mungkin tahu di mana Nenekmu, atau setidaknya, bagaimana menghentikan kehancuran ini sebelum fajar."
Ia merogoh kantungnya lagi, mengeluarkan sebotol kecil cairan bening. "Ini, untuk kakimu," katanya pada Dara, mengoleskan cairan itu dengan hati-hati ke pergelangan kaki Dara yang bengkak. Cairan itu dingin, namun seketika meresap, memberikan sedikit kelegaan. "Ramuan dari dedaunan khusus, akan mengurangi bengkaknya, tapi tidak menyembuhkan sepenuhnya."
Ratih merasa sedikit lega melihat Jaya begitu perhatian, meskipun ia masih menyimpan banyak pertanyaan. "Siapa Tuk Guru itu? Dan bagaimana kita bisa menemukannya di tengah hutan gelap begini?"
Jaya menyunggingkan senyum tipis, senyum pertama yang Ratih lihat darinya. "Tuk Guru adalah penjaga rahasia hutan ini. Dia sudah hidup lebih lama dari siapapun yang kau kenal, dan dia tahu setiap jengkal tanah, setiap rahasia yang tersembunyi. Untuk menemukannya, kita harus mengikuti bintang-bintang."
Ia menunjuk ke celah anyaman daun di atas mereka, di mana secercah bintang mulai terlihat. "Bintang itu, bintang kembar yang berdekatan. Itu adalah penunjuk arah ke tempat persembunyian Tuk Guru. Tapi kita hanya bisa bergerak saat lagu itu benar-benar hening."
Waktu merangkak lambat. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Nyanyian sedih dari "Penghuni Hutan" kadang menguat, kadang melemah, membuat Ratih dan Dara terus-menerus tegang. Mereka bisa merasakan getaran tanah di bawah mereka setiap kali lagu itu memuncak, seolah sesuatu yang besar sedang berpatroli di atas sana.
Dara tertidur pulas setelah efek ramuan itu bekerja, namun Ratih tetap terjaga, mendengarkan setiap suara di luar. Jaya juga tetap waspada, sesekali mengintip dari celah anyaman, memantau keadaan.
Tiba-tiba, suara nyanyian itu berhenti. Keheningan yang sempurna menyelimuti hutan, keheningan yang lebih mencekam daripada suara apapun. Ratih merasa bulu kuduknya merinding, seolah sesuatu yang jauh lebih berbahaya kini sedang mengintai.
"Sudah waktunya," bisik Jaya. Ia dengan hati-hati membuka anyaman daun, mengintip keluar. Udara malam terasa dingin menusuk tulang, dan cahaya rembulan menyinari sebagian kecil hutan, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan.
Jaya membantu Dara keluar dari lubang, memanggulnya lagi di pundaknya. "Ratih, tetap dekat denganku. Ingat, jangan sentuh akarnya."
Mereka bergerak perlahan, menembus kegelapan hutan. Jaya memimpin, matanya tak lepas dari bintang kembar di langit. Ratih mengikuti, kakinya terasa berat, namun tekadnya untuk menemukan Neneknya dan menghentikan malapetaka ini jauh lebih kuat.
Hutan itu kini terasa berbeda. Bukan hanya karena ketiadaan nyanyian, melainkan karena kehadiran yang tidak terlihat. Ratih merasa ada mata-mata yang mengawasi mereka dari balik setiap pohon, dari balik setiap bayangan.
Beberapa kali, mereka mendengar suara gesekan daun yang mencurigakan, atau ranting patah di kejauhan. Jaya selalu merespons dengan sigap, menarik Ratih untuk bersembunyi di balik semak-semak lebat atau di balik batang pohon yang besar. Ia terlihat tidak takut, namun kewaspadaannya sangat tinggi.
Setelah berjalan sekitar satu jam, mereka tiba di sebuah area terbuka kecil di tengah hutan. Di sana, dikelilingi oleh pohon-pohon raksasa, berdiri sebuah gubuk tua yang tampak reyot. Lampu minyak kecil berkelip di dalamnya, memancarkan cahaya redup.
"Itu dia," bisik Jaya. "Rumah Tuk Guru."
Mereka mendekat dengan hati-hati. Udara di sekitar gubuk terasa hangat dan entah mengapa, menenangkan. Aroma dupa dan dedaunan kering tercium samar, mengusir dinginnya malam.
Jaya mengetuk pintu gubuk yang terbuat dari kayu lapuk. Suara ketukan itu terdengar nyaring di keheningan malam.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang lelaki tua berambut putih panjang, dengan jenggot lebat dan mata tajam, muncul di ambang pintu. Ia mengenakan jubah lusuh dan memegang tongkat kayu ukiran. Wajahnya dipenuhi kerutan, namun matanya memancarkan kebijaksanaan yang tak terhingga.
"Jaya," kata Tuk Guru, suaranya serak namun tegas. Ia menatap Ratih dan Dara, lalu mengangguk pelan. "Aku sudah menunggu kalian."
Ratih merasakan gelombang kelegaan. Akhirnya, seseorang yang mungkin bisa memberi mereka jawaban. Namun, ia juga merasakan firasat aneh, seolah Tuk Guru sudah mengetahui segalanya bahkan sebelum mereka tiba.
"Tuk Guru," kata Jaya, suaranya penuh hormat. "Mereka adalah keturunan Tumbal Terakhir. Nenek mereka hilang, dan segel itu... segel itu hampir hancur."
Tuk Guru menghela napas panjang, menatap ke arah hutan gelap. "Aku tahu. Aku sudah merasakan getarannya. Masuklah, anak-anak. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan sebelum fajar tiba."
Mereka masuk ke dalam gubuk. Di dalamnya, suasana terasa lebih hangat. Sebuah api kecil membakar di perapian, dan berbagai macam ramuan serta gulungan kertas kuno tergantung di dinding.
"Duduklah," kata Tuk Guru, menunjuk ke tikar anyaman di lantai. "Jaya, letakkan Dara di sana, kakinya harus diperiksa."
Setelah Dara dibaringkan, Tuk Guru mendekatinya, memegang pergelangan kakinya dengan lembut. Ia memejamkan mata, menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti Ratih, lalu membuka matanya.
"Ramuan Jaya cukup baik. Tapi ini akan lebih mempercepat penyembuhan," katanya, mengeluarkan sehelai daun kering dari kantungnya dan menggosokkannya ke pergelangan kaki Dara. Seketika, bengkaknya terlihat sedikit mengempis.
Kemudian, Tuk Guru menoleh ke Ratih. "Kau mencari Nenekmu, Nak?"
Ratih mengangguk cepat. "Iya, Tuk Guru. Kami baru sampai di sini karena surat darinya. Tapi kami tidak tahu di mana dia."
Tuk Guru tersenyum tipis. "Nenekmu, dia adalah wanita yang sangat bijaksana. Dia tahu segel itu akan melemah. Dia tahu 'Penghuni Hutan' akan bangkit lagi."
"Penghuni Hutan?" ulang Ratih, ngeri. "Maksudmu... yang bernyanyi itu?"