Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Rabu malam di Padang terasa berat dan lengket. Kelembapan udara sisa hujan sore tadi seakan menyelinap masuk melalui celah ventilasi kamar Akbar, membuat putaran kipas angin tua di sudut ruangan terasa sia-sia. Di layar laptopnya, halaman Microsoft Word yang berisi bab pendahuluan skripsi menatapnya dengan kursor yang berkedip-kedip mengejek. Jenuh. Satu kata itu sudah cukup untuk merangkum seluruh dunianya selama beberapa bulan terakhir.
Untuk kesekian kalinya malam itu, Akbar menyerah. Laptop ia geser menjauh, dan ponsel menjadi satu-satunya sumber cahayanya. Jemarinya yang lelah mulai melakukan ritual pelarian modern: menggulir linimasa media sosial tanpa tujuan. Sebuah parade kebahagiaan orang lain, lelucon basi yang diulang-ulang, dan iklan-iklan yang seolah tahu isi kepalanya. Semua terasa sama. Hampa.
Lalu, jemarinya berhenti.
Di antara ratusan konten yang melintas, sebuah gambar dari laman eksplorasi berhasil membekukan gerakannya. Itu bukan foto seorang selebriti atau model profesional. Hanya seorang gadis remaja berseragam putih abu-abu yang tersenyum ke arah kamera, dengan beberapa temannya yang sedikit buram di latar belakang.
Namun, senyum itu... ada sesuatu yang berbeda. Senyum yang tidak dibuat-buat, yang seolah menarik sudut bibirnya hingga matanya yang sedikit sipit ikut tersenyum, memancarkan binar polos yang menular. Rambut hitamnya yang panjang tergerai begitu saja, sedikit berantakan ditiup angin, namun justru menambah kesan alami. Kesan hidup.
Akbar, yang dunianya sedang terasa abu-abu, tiba-tiba merasakan percikan warna hanya dari melihat sebuah foto.
Tanpa sadar, ia mengetuk foto itu. Nama akunnya muncul di sudut kiri bawah: erencya.j.
Erencya. Nama yang indah, terasa asing di lidah Minangnya. Rasa penasaran yang lebih kuat dari rasa kantuknya mendorong Akbar untuk membuka profil itu. Galeri fotonya adalah sebuah jendela menuju dunia yang sama sekali lain. Potongan-potongan kehidupan seorang gadis SMA di Jambi. Foto saat ia tertawa lepas bersama teman-temannya di depan gerbang sekolah, foto semangkuk mie pangsit yang ia sebut sebagai yang terbaik di kota, foto saat perayaan Imlek bersama keluarga besarnya, dengan lampion-lampion merah terang dan senyum bahagia di antara sanak saudara.
Lalu, sebuah foto membuatnya terdiam sejenak. Erencya, mengenakan gaun sederhana, berdiri di pelataran sebuah vihara yang megah, dengan tangan menangkup di depan dada. Di belakangnya, patung-patung emas berkilauan di bawah cahaya sore.
Jambi. Ratusan kilometer dan sebuah selat memisahkan mereka. Keturunan Tionghoa. Sebuah budaya yang berbeda. Dan keyakinan... sebuah dunia yang begitu berbeda dari kesehariannya yang diwarnai oleh lima panggilan azan setiap hari.
Logika di kepala Akbar berteriak bahwa ini konyol. Untuk apa ia begitu terpaku pada profil seorang gadis SMA di kota yang bahkan belum pernah ia kunjungi? Seorang gadis yang dunianya begitu jauh berbeda.
Tapi hatinya, untuk pertama kali setelah sekian lama, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar penasaran. Sebuah getaran hangat yang menjalar, mengusir rasa jenuh yang sedari tadi membelenggunya. Senyum di foto itu terasa seperti sapaan personal untuknya.
Malam semakin larut, diiringi suara jangkrik dari halaman belakang. Azan Subuh masih beberapa jam lagi. Dalam kesunyian kamarnya di Padang, Akbar melakukan sesuatu yang tidak ia sadari akan menjadi titik awal dari babak terpenting sekaligus terpedih dalam hidupnya.
Dengan jantung yang sedikit berdebar, ia menekan tombol biru bertuliskan "Ikuti".
Itu bukan sekadar menekan sebuah tombol. Di detik itu, rasanya seperti membuka sebuah pintu menuju dunia yang sama sekali asing, tanpa tahu apa yang menunggunya di balik pintu itu.