"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpayung Jingga
Deburan ombak pasang menyapa kaki telanjang yang berdiri tegak di tepian pantai. Jingga di ujung langit menyapa wajah cantiknya dengan begitu lembut. Tidak ada yang lebih menenangkan dari semilir angin laut yang membelai setiap sisi wajahnya.
Kepalanya menunduk, menatap pada kaki yang sesekali menendang pelan pasir basah di bawah sana. Mungkin impiannya tengah terkubur di dalam sana.
"Menikah dengan pilihan Romo atau kamu tidak Romo ijinkan untuk melanjutkan langkahmu, Nduk!"
Kalimat yang dia dengar beberapa waktu yang lalu itu masih terputar jelas di kepalanya. Membuat langkahnya terasa semakin ragu dan begitu berat.
Gadis itu memutar tubuhnya. "Sewindu harus gimana, Bu?" tanyanya pada sosok wanita paruh baya yang tak jauh darinya.
Ibu yang sebelumnya hanya menatap punggung lesu anaknya itu kini dapat melihat gurat gelisah yang tak kunjung padam.
Wanita itu tersenyum, menyiratkan ketenangan yang didamba oleh Sewindu. "Wis, Nduk! Ora usah dipikir omongan Romo-mu tadi."
Langkah Sewindu mulai mendekat. Dia ikut bersimpuh di bawah teduhnya pohon kelapa di tepi pantai, menyandarkan kepalanya di atas lututnya yang tertekuk.
"Sebenarnya, apa alasan Romo minta Sewindu buat nikah, Bu?" tanyanya lagi, tanpa menatap pada Ibu.
Belai lembut tangan Ibu menyapa surainya yang terikat tinggi. Hanya sebentar sebelum akhirnya Ibu kembali menyembunyikan tangannya ke dalam saku jaket.
Ibu kembali menatap pada jingga yang mulai memudar di ufuk barat sambil berkata, "Kamu ini satu-satunya anak yang Romo dan Ibu punya, Ndu. Perempuan lagi. Wajar kalau Romo-mu khawatir kamu hidup sendiri di perantauan nanti."
Sewindu menoleh dengan kerut ringan di dahinya. "Tapi, ini Windu ke Jogja loh, Bu. Tempat asal Romo sama Ibu, toh? Apa yang mau ditakutkan?"
"Justru karena itu, Nduk. Karena Jogja," gumam Ibu sambil memalingkan wajahnya. Sewindu bahkan tidak mendengar gumaman itu di antara gemuruh angin di sekitar mereka.
"Bu..." Sewindu mendekatkan wajahnya, "Bantu Windu buat ngomong sama Romo ya, Bu?"
Langit semakin gelap dengan rembulan yang sudah siap menggantikan sang mentari. Angin pantai pun semakin dingin membelai tubuh mereka. Sementara Ibu dan anak perempuan satu-satunya ini masih saling tatap dalam hening.
Setitik harap masih terlihat jelas di mata Sewindu. Harapan bahwa dia akan lanjut mengejar mimpinya tanpa bayang-bayang pernikahan.
"Atau mungkin, Romo sama Ibu mau ikut Windu saja ke Jogja? Sekalian pulang kampung, toh?"
Sementara Ibu, tak berpikir demikian. Mendengar kata Yogyakarta membuatnya sedikit setuju dengan ucapan suaminya. Tidak ada yang lebih menakutkan selain bayang-bayang kehidupan di kota itu.
Tak menggubris ucapan Sewindu, Ibu berdiri lebih dahulu meninggalkan pasir hangat yang menjadi tumpuan tubuhnya. "Ayo pulang, Nduk. Ibu belum masak makan malam tadi. Kasihan juga Pak Tomo nunggu di mobil."
Setitik harapan yang sebelumnya pekat itu kian luntur bersama punggung Ibu yang menjauh. Kini, Sewindu hanya punya dua pilihan yang diberikan Romo beberapa saat yang lalu.
"Menikah atau tidak melanjutkan impianku," gumam Sewindu di sela malam yang mulai menjemput.
Gadis itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Tak peduli apakah Ibu dan Pak Tomo akan menunggunya atau meninggalkannya begitu saja.
Sewindu masih butuh waktu untuk mencerna semuanya. Ibu yang sebelumnya mendukungnya, kini juga sudah berada di pihak Romo.
"Memangnya, ada apa di Jogja?" gumamnya dengan kerut bingung.