Menjadi istri tapi sama sekali tak di anggap? Bahkan dijual untuk mempermudah karir suaminya? Awalnya Aiza berusaha patuh, namun ketidakadilan yang ia dapatkan dari suaminya—Bachtiar membuat Aiza memutuskan kabur dari pernikahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak mudah, Bachtiar tak semudah itu melepaskannya. Bachtiar seperti sosok yang berbeda. Perawakan lembut, santun, manis, serta penuh kasih sayang yang dulu terpancar dari wajahnya, mendadak berubah penuh kebencian. Aiza tak mengerti, namun yang pasti sikap Bachtiar membuat Aiza menyerah.
Akankah Aiza bisa lepas dari pernikahannya. Atau malah sebaliknya? Ada rahasia apa sebenarnya sehingga membuat sikap Bachtiar mendadak berubah? Penasaran? Yuk ikuti kisah selengkapnya hanya di NovelToon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter—1
Lenguhan tertahan pecah di kamar apartemen bergaya modern. Suara ranjang yang berguncang, napas tercekat, dan erangan samar menjadi irama paling jujur malam itu. Di antara kain yang tercecer dan peluh yang menetes, dua tubuh bersatu tanpa cinta—hanya sebatas transaksi.
Bachtiar Yunanda, pria berusia 30 tahun dengan tubuh tegap dan rahang keras, menggerakkan tubuhnya dalam ritme cepat, menenggelamkan diri dalam pelukan wanita yang bukan istrinya. Jemarinya mencengkeram rambut wanita itu, menariknya ke belakang, memaksa leher jenjang itu mendongak.
“Aku… hampir sampai,” desah sang wanita—Fanya Mahira—penggoda profesional yang tahu betul cara menyenangkan pria sekelas Bachtiar.
Tanpa banyak kata, Bachtiar membalik tubuhnya. Ia mendorong Fanya ke ranjang, menancapkan kembali miliknya ke dalam dinding kenikmatan yang dibeli dengan uang. Tiada kelembutan, hanya desakan. Tiada cinta, hanya pelarian.
“Kau memang nikmat, Fanya,” gumamnya, suara itu terdengar serak, juga dibalut ego yang tak pernah kenyang.
Fanya mengerang. Kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu, memeluknya seperti perangkap seolah tak ingin ia lepas. “Dan kau memang hebat, Bachtiar…”
Bachtiar menyeringai—narsis, seperti biasa. Tapi bagi Fanya, malam ini terasa berbeda. Ia merasa sikap Bachtiar lebih beringas, lebih gelap. Seperti ada sesuatu yang sedang ia kubur, ia sembunyikan? Seperti luka atau mungkin kemarahan?
Fanya mencoba melepaskan pelukannya. Tapi Bachtiar menahannya. “Jangan bergerak. Tetap di sana.” Suara itu terdengar berat, dalam, juga penuh tuntutan.
“Masih mau lagi?” Fanya bertanya seraya tersenyum kecil. Namun sesaat... senyuman itu langsung padam oleh kenyataan yang muncul dalam kepalanya.
Malam ini—adalah malam pertama pernikahan Bachtiar dengan Aiza Natsuka 21 tahun. Gadis sederhana, bekerja sebagai kasir di sebuah kafe kecil di pinggir kota.
bahkan Fanya sempat hadir saat resepsi pernikahan keduanya. Juga melihat sendiri bagaimana Aiza tersenyum dalam balutan kebaya putih, yang membuatnya tampak begitu cantik, anggun, serta elegan. Tapi kini, Bachtiar malah melabuhkan dirinya ke dalam tubuh Fanya. Padahal seharusnya malam ini, layaknya pasangan pengantin pada umumnya, Bachtiar dan Aiza harusnya melebur bersama.
“Kau harus pulang sekarang,” ucap Fanya. Lembut, tapi tegas.
Bachtiar mengernyit, ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan. “Kenapa? Apa karena aku sudah menikah?”
“Aku hanya mengingatkan. Malam ini malam pertama kalian. Bukankah seharusnya kau saat ini bersamanya?”
ucapan Fanya membuat wajah Bachtiar mengeras. Fanya bisa melihatnya, meski hanya sekilas bayangan muram yang terpancar di balik mata pria itu.
“Setahuku… kau mencintai Aiza. Kau bahkan bercerita banyak tentangnya, tentang cara dia tertawa, cara dia memandangmu. Tapi sekarang… Kenapa kau justru di sini?” tanya Fanya yang tak langsung dijawab oleh Bachtiar.
Bachtiar terdiam lama. Tatapannya kosong. Tapi kemudian, ia menoleh pelan, lalu berbisik di telinga Fanya, “Tadi kau tanya, apakah aku ingin lagi? Sekarang aku jawab ‘ya’. Bahkan… aku ingin kau menemaniku sampai pagi.”
Tanpa peringatan, ia menancapkan diri sekali lagi. Fanya terkejut, tapi tak menolak. Tubuhnya bergerak mengikuti irama yang kembali dibangun. Namun pikirannya… melayang.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan pria ini? Apa yang membuatnya begitu asing malam ini? Mungkinkah ada sesuatu terhadap Aiza, yang mungkin baru diketahui oleh Bachtiar?
***
Aiza tampak gelisah. Ia terlihat tak tenang dalam tidurnya. Berulang kali gadis muda itu melirik ke arah ponselnya, dengan harapan ada satu pesan masuk dari suaminya—Bachtiar.
“Kenapa dari tadi, Bang Bachtiar, nggak ngasih kabar?” Aiza mengernyit gelisah. “Sebenarnya ia pergi kemana? Kenapa udah jam segini belum juga pulang?” gadis cantik itu bahkan menggigiti kecil ujung kukunya. Kebiasaan sedari kecil saat ia sedang dilanda keresahan.
Tadi, tepatnya pukul sepuluh malam. Ketika resepsi usai digelar Bachtiar memang sempat membawa Aiza pulang ke kediamannya. Namun, setelah itu Bachtiar malah pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan Aiza di dalam kamarnya.
Aiza memang tidak sempat bertanya. Ia pikir Bachtiar mungkin hanya keluar sebentar. Tapi sampai selarut ini suaminya itu belum juga kembali.
Kemana ia?
Sebenarnya Aiza ingin bertanya pada sang ibu mertua—Kamariah, namun ia enggan. Tidak ingin di cap sebagai istri tak berpengertian, padahal baru resmi menikah.
Terlebih selama ini Kamariah pun selalu menunjukkan secara terang-terangan, jika ia tidak menyukai Aiza.
Semua itu karena status Aiza yang merupakan seorang kasir. Padahal jika ditilik dari posisi Bachtiar sekarang yang merupakan seorang direktur di sebuah perusahaan ternama yang ada di kota mereka tinggal, Kamariah yakin jika Bachtiar bisa mendapatkan seorang pendamping yang lebih dari Aiza.
Waktu menunjukkan pukul 03:013 Wib. Aiza yang sempat terlelap, kini kembali terjaga dari tidurnya. Kesejukan menyergap. Tak hanya sebab gerimis di luar, mesin AC yang terus menyala juga ikut andil pada kedinginan yang saat ini Aiza rasakan.
Aiza kembali memeriksa ponsel. Ia berharap sang suami sudah membalas pesannya. Akan tetapi pengharapan itu lenyap saat maniknya mengerling pada layar, yang tidak menampilkan notifikasi apapun di sana.
“Bang Bachtiar… sebenarnya kamu ke mana sih? Kenapa udah jam segini belum juga pulang?” keluh Aiza.
Selain khawatir tentang keberadaan sang suami, Aiza juga berkeinginan melakukan ibadah subuh pertamanya setelah menjadi seorang istri dengan Bachtiar. Tapi sampai sekarang Bachtiar tak kunjung menampakan batang hidungnya.
“Huh....” Aiza mengempeskan nafas panjang. Meski kedinginan karena volume AC yang terbilang rendah. Gadis itu tetap berusaha bangkit dari peraduan. Aiza menyingkap selimut, ia tak boleh bermalas-malasan. Gegas menuju kamar mandi, lalu kembali menghampiri nakas.
Senyum Aiza terkembang saat kini ia memandangi salah satu mahar yang Bachtiar berikan. Seperangkat alat salat, yang akan Aiza gunakan. Lalu setelahnya Aiza berdoa kepada sang khalik agar diberi kemudahan dalam menjalani ibadah terpanjangnya, dalam menjadi istri yang baik serta taat terhadap Bachtiar.
Byuuurrr!!!
Guyuran air bercampur pasir membasahi seluruh tubuh Aiza. Tentu saja gadis itu tersentak, terjaga dari tidur lenanya, usai tadi kembali tertidur setelah menyelesaikan ibadah subuh.
Seluruh tubuh Aiza basah. Bahkan mukena serta sajadah yang merupakan maskawinnya juga ikut kotor karena air bekas pel yang barusan diguyur oleh sang mertua. Aiza ingin protes. Namun, bentakan yang keluar dari mulut Kamariah membuat suara Aiza tercekat di tenggorokan.
“Dasar menantu pemalas! Jam segini masih malas-malasan?! Kau pikir ini rumahmu jadi bisa se-enaknya. Cepat, pergi sana siapkan sarapan! Aku mau lihat sejago apa kau dalam mengolah bahan makanan, sehingga pantas kau sajikan kepada putraku!” Manik Kamariah menyorot tajam. Tatapannya terlihat begitu buas, juga sinis.
Tapi Aiza tak lantas berdiri. Ia masih terpekur terhadap sikap kasar sang mertua. Kenapa begini? Bukankah… kemarin-kemarin sang ibu mertua sudah berjanji pada suaminya jika akan memperlakukan Aiza dengan baik?
“Ya Tuhan… Kenapa masih berdiri di sini? Kau ini tuli ya?! Cepat, sana lakukan pekerjaanmu. Buatkan aku dan Nurma sarapan, sekarang juga!” pekik Kamariah dengan sorot mata kian membelalak.
Aiza mengangguk. Ia buru-buru berlalu untuk mengerjakan apa yang sang ibu mertua suruh. Akan tetapi saat melewati Kamariah, tubuhnya malah terdorong ke belakang.
Bruukkk!
“Aaaakkhhh…,” ringis Aiza sambil memegangi belakang pinggangnya yang sakit.
“Kenapa, sakit?” Kamariah mencibir. “Itu akibatnya karena kau terlalu lelet jadi perempuan! Sekarang, cepat bangun! Kalau enggak, maka aku akan kembali mendorongmu sampai wajahmu yang membentur lantai!” imbuhnya kemudian dengan tatapan nyalang, yang membuat Aiza ketakutan.
Bersambung.