NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Belum Padam

Langit sore Gainesville menempel di ujung horizon dengan semburat oranye dan ungu membaur perlahan. Udara dingin merayap melalui pepohonan, membawa aroma tanah yang lembap akibat hujan tadi siang. Aku duduk di atas kursi di dalam kantin kampus, tanganku menggenggam segelas teh hijau hangat yang mulai dingin, tapi pikiranku tidak ikut tenang. Suara tawa mahasiswa, denting gelas, dan musik lembut dari speaker hampir tak terdengar. Mataku menelusuri setiap sudut, menunggu sosok yang sudah tak asing lagi—Nick.

"Nora!", seru Nina yang baru saja muncul dari kerumunan para mahasiswa di dekat pintu kantin sana. "Ku kira kamu sudah pulang bersama Nick.", katanya, duduk di sebelahku.

"Hmm, aku masih menunggunya. Seharusnya dia sudah disini sejak dua puluh menit yang lalu. Tapi, sampai sekarang dia belum datang juga.", kataku, menarik sudut bibirku ke samping.

"Hmm, sudah menghubunginya?"

"Tidak ada jawaban. Sepertinya Nick sedang sibuk."

"Baiklah, kalau begitu ayo kita kesana!", ajaknya.

Aku menautkan kedua alisku. "Hah? Kemana?"

"Ke tempat Nick. Kebetulan aku akan pergi kesana untuk meminjam lensa kamera milik temanku dari jurusan hukum. Mau ikut? Kita bisa mencari Nick dan memastikan kenapa dia terlambat menemuimu."

Aku terdiam, sejenak. Mencoba menimbang-nimbang saran dari Nina, yang sepertinya itu...ide yang bagus. "Baiklah, aku ikut."

"Baiklah. Tunggu disini! Aku akan membeli minuman dulu, setelah itu kita pergi.", Nina bangkit dari posisi duduknya, lalu beranjak pergi untuk membeli minuman. Setelah itu, kami melangkahkan kaki menuju tempat Nick, Fakultas Hukum Levin.

Fakultas Hukum Levin berdiri seperti bangunan yang memegang rahasia dunia—megah, tegak, dan dingin. Dindingnya terbuat dari bata merah yang memantulkan cahaya siang menjadi kilau hangat, namun bayang-bayang di koridor panjangnya justru terasa sejuk. Saat kami memasuki pintu depan, aroma perpaduan buku tua, kopi, dan wangi kertas baru menyambut seperti undangan tak tertulis untuk menetap lebih lama.

Di aula utama, langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung yang berkilau seperti tetesan embun beku. Suara langkah sepatu bergema di lantai marmer, bercampur dengan bisikan mahasiswa yang sibuk menenteng buku tebal dan map penuh dokumen.

Teman Nina menunggu di dekat papan pengumuman yang penuh tempelan selebaran acara dan jadwal seminar. Perempuan itu berambut sebahu, mengenakan cardigan abu-abu dan celana hitam, dengan kamera DSLR menggantung di lehernya.

“Nina!” serunya sambil melambaikan tangan.

“Hey, Lexi!” Nina membalas sambil menarikku mendekat. “Ini Nora, teman sekamarku.”

Lexi tersenyum ramah. “Hai, Nora. Aku Lexi. Senang bertemu denganmu. Kamu juga menyukai fotografi?”

Aku menggeleng, tersenyum tipis. “Sayangnya tidak. Aku tidak memiliki tangan ajaib seperti kalian. Aku sama sekali tidak mahir dalam hal itu.”"

Nina cepat-cepat mengembalikan fokus pada urusannya. “Kamu membawa lensa yang ingin kupinjam?”

Lexi membuka tas kamera berwarna hitam miliknya, mengeluarkan lensa tele panjang dengan hati-hati. “Ini. Tapi berhati-hatilah, Nina! Ini favoritku.”

“Tenang saja, akan kuperlakukan seperti bayi,” Nina terkekeh, lalu menoleh padaku. “Oh, benar. Lexi, apa kamu tahu di mana Nick?”

Lexi mengangkat alis, seperti mengingat sesuatu. “Nick Harvey? Hmm… tadi aku melihatnya di ruang serba guna lantai dua. Sepertinya dia sedang rapat panitia acara Law Student Gala bersama Alice dan beberapa orang lainnya.”

Aku merasakan sesuatu berdesir aneh di dadaku mendengar nama itu—Alice.

“Trims, Lexi.”, jawab Nina, lalu menarik lenganku. “Ayo, kita ke sana!”

Tangga menuju lantai dua dipenuhi papan kayu yang dipernis mengilap, aroma khasnya bercampur dengan wangi kertas dari perpustakaan di ujung lorong. Kami berjalan melewati deretan ruang kelas berbingkai kaca. Dari dalam, kulihat mahasiswa sibuk mengetik di laptop, beberapa sedang berdebat di depan papan tulis penuh catatan hukum yang rumit.

Di depan pintu ruang serba guna, suara tawa bercampur dentingan gelas kopi terdengar samar. Daun pintunya sedikit terbuka, memberi celah bagi mataku untuk melihat ke dalam.

Di dalam sana, Nick duduk di ujung meja panjang, kemeja biru navy-nya digulung sampai siku. Dia tampak santai, tapi pandangannya fokus pada layar laptop di depannya. Di sampingnya, Alice duduk miring, dagunya bertumpu di tangan, matanya memandangi Nick dengan ekspresi yang terlalu akrab untuk disebut profesional. Sesekali, dia menyentuh lengan Nick saat berbicara—gerakan yang tampak sepele, tapi cukup untuk membuatku menelan ludah.

Nina mencondongkan tubuh, berbisik di telingaku.

“Sepertinya mereka sibuk. Mau masuk sekarang, atau menunggu?”

Aku menarik napas, mencoba menahan denyut tak nyaman di dadaku. “Aku akan menunggu sebentar. Kamu boleh kembali dulu, Nina.”

"Apa kamu akan baik-baik saja?", tanyanya, tampak ragu. Mungkin ia khawatir Alice akan mempermainkanku seperti malam itu.

"Ya, Nina. Kurasa aku akan baik-baik saja.", kataku, berusaha meyakinkannya.

Nina menatapku dengan tatapan serius. "Jangan biarkan perempuan gila itu mengusikmu, Nora! Kamu tahu kalau perasaan Nick hanya untukmu."

"Baiklah, Nina. Aku akan mengingatnya.", balasku, tersenyum.

Nina pun pergi. Sementara aku menunggu Nick keluar dari balik pintu ruang serba guna yang terbuka sedikit itu. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menahan rasa kecewa karena sejak tadi aku menunggunya di kantin, tapi Nick tak kunjung muncul. Aku tidak mempermasalahkan tentang kesibukannya saat ini, hanya saja seharusnya Nick bisa menghubungiku dan mengabariku, alih-alih membiarkanku menunggunya dengan gelisah di kantin kampus.

Tak lama kemudian, pintu di depanku itu terbuka. Satu per satu orang keluar sambil bercakap ringan. Dan di antara mereka, Nick muncul—wajahnya sedikit lelah tapi tetap menampilkan senyum hangat. Matanya langsung menangkapku.

"Nora?", suaranya terdengar tulus terkejut. Ia melangkah cepat mendekat. "Kamu sudah lama menunggu disini? Aku benar-benar minta maaf, Nora. Ada rapat mendadak. Aku tidak bisa melewatkannya. Dan—", ia menghela nafas, mengangkat ponsel yang mati total, "—baterai ponselku habis, jadi aku tidak bisa menghubungimu."

Aku tersenyum tipis, menegakkan badan. "Tidak apa-apa, Nick. Aku mengerti."

"Maaf, Nora. Seharusnya aku yang menemuimu di kantin."

"Tidak apa-apa, Nick." , kataku, mencoba terdengar santai, meski hatiku sedikit bergejolak karena rasa kecewa yang belum sepenuhnya hilang.

Kemudian, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari balik pintu, seorang perempuan keluar—rambut pirang bergelombang, bibir merah tipis, dengan blazer hitam yang membuatnya terlihat dewasa dan percaya diri. Alice— satu jurusan dengan Nick, panitia aktif di beberapa acara fakultas, dan perempuan yang secara terang-terangan berusaha mendekati Nick.

Ia melangkah santai, lalu—entah sengaja atau tidak—menepuk bahu Nick sambil tersenyum manis. "Good job, Nick. Tadi presentasimu menarik sekali. Bahkan , aku hampir tidak bisa mengalihkan pandanganku, untuk melewatkannya sedetik pun.", suaranya dibuat ringan, tapi matanya menatap Nick cukup lama.

Nick tertawa singkat, jelas tidak menganggap serius pujiannya. "Trims, Alice."

Alice melirik ke arahku, sekilas, seperti baru sadar aku ada di situ. "Oh, hai.", lalu ia kembali menatap Nick. "Baiklah, aku pulang dulu. Sampai bertemu besok, Nick.", katanya sambil tersenyum.

Begitu ia pergi, aku masih bisa mencium samar aroma parfumnya yang tertinggal di udara. Sesuatu di dadaku menghangat, tapi bukan hangat yang menyenangkan. Lebih seperti bara kecil yang menyala pelan—rasa cemburu yang mencoba kututup rapat-rapat. Aku tersenyum seadanya, berpura-pura tak terganggu.

Nick kembali menatapku. "Sudah makan?"

"Belum," jawabku singkat.

"Kebetulan, aku juga sedang lapar. Ayo pergi ke kantin kampus! Kita akan memesan sesuatu yang enak, yang belum sempat kamu coba. Bagaimana?"

"Ide bagus."

Kami berjalan beriringan, obrolan ringan mengisi perjalanan menuju kantin kampus. Nick bercerita soal acara jurusan yang sedang mereka siapkan, sambil sesekali melontarkan lelucon. Aku tertawa kecil, mencoba ikut menikmati momen. Tapi jauh di dalam, pikiranku masih terhenti di tatapan Alice tadi—tatapan yang seolah mengisyaratkan sesuatu yang hanya ingin kutepis, tapi malah semakin mengendap di benak.

Meski di luar aku tersenyum, di dalam hatiku aku tahu… api cemburu itu masih menyala.

Percakapan di antara kami terus mengalir, bahkan saat kami sudah ada di dalam kantin kampus. Tapi ada jarak tak terlihat yang tercipta, bukan di antara kami, tapi antara hatiku dan ketenangan yang biasanya kurasakan bersamanya. Setiap kali Nick tersenyum atau tertawa kecil, aku tak bisa sepenuhnya menyingkirkan bayangan Alice dari benakku.

Kami menghabiskan makan siang itu dengan obrolan ringan, tapi aku sadar—meski aku tersenyum dan menertawakan leluconnya, cemburu ini masih menyala, menyelimuti hatiku dengan rasa yang belum bisa kutepis sepenuhnya. Dan saat kami selesai makan dan bersiap meninggalkan kantin, aku tahu satu hal, bahwa api kecil itu masih membara, dan aku harus belajar menenangkannya, sebelum ia merusak apa yang kami miliki.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!