Kisah ini tampak normal hanya dipermukaan.
Tanggung jawab, Hutang Budi(bukan utang beneran), Keluarga, cinta, kebencian, duka, manipulasi, permainan peran yang tidak pada tempatnya.
membuat kisah ini tampak membingungkan saat kalian membacanya setengah.
pastikan membaca dari bab perbab.
Di kisah ini ada Deva Arjuno yang menikahi keponakan Tirinya Tiara Lestari.
Banyak rahasia yang masing-masing mereka sembunyikan satu sama lain.
____________
Kisah ini sedang berjuang untuk tumbuh dari benih menjadi pohon.
Bantu aku untuk menyiraminya dengan cara, Like, Komen dan Subscribe kisah ini.
Terimakasih
Salam cinta dari @drpiupou 🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku istrimu
...POV Tiara...
...****************...
Minggu, 7 Juli.
Hari ini adalah hari pertamaku menyandang status sebagai istri dari paman tiriku sendiri.
Namaku Tiara Lestari. Aku masih tak habis pikir mengapa mereka memaksaku menikah dengannya.
Ibu dan ayahku yang menyarankan semua ini, sebuah pernikahan yang jauh dari bayangan umum,digelar sederhana, hanya dihadiri segelintir orang di acara akad nikahku dengan Mas Deva. Begitulah aku memanggilnya, setelah sah terikat dalam janji suci.
Kini, aku dan Mas Deva sedang dalam perjalanan menuju Kota Mon, salah satu kota terbesar di wilayah Distrik Jons.
Aku duduk diam di jok penumpang, mencoba menyandarkan punggung, tapi tubuhku tetap kaku. Tanganku mengepal di pangkuan, lalu kugeser perlahan, seolah berharap ada sentuhan darinya. Namun, tidak.
Deva tetap fokus pada jalan di depan, satu tangan kokoh di setir, sementara tangan lainnya sesekali menyentuh tombol-tombol layar navigasi. Aku meliriknya dari ekor mataku.
Tatapannya hanya tertuju ke depan, ekspresinya datar, rahangnya terkunci rapat.
Bahkan dari jarak sedekat ini, aku merasa seperti orang asing yang tak sengaja duduk di sebelahnya.
Aku meneguk ludahku kasar. "Apa masih lama, Mas?" tanyaku lirih, berharap suaraku cukup terdengar olehnya. Kulihat lehernya sedikit menegang.
Ia menoleh sepersekian detik, lalu kembali menatap ke depan, fokus pada kemudi.
Beberapa menit berlalu, terasa seperti setahun— sebelum Mas Deva akhirnya menjawab pertanyaanku.
"Sentra Aruna, Bagian Selatan," ucapnya dengan nada yang sangat datar. Aku mengangguk sembari tersenyum kecil ke arahnya, padahal aku tahu Mas Deva tak melihatku.
Aku palingkan wajah ke luar jendela, berharap ia akan mengajakku mengobrol.
Namun, harapan itu hanya menjadi sekadar angan kosong.
Hanya suara AC mobil dan dengung ban menyentuh aspal yang mengisi ruang di antara kami.
Tanganku bergerak menyentuh ujung kerudung, meluruskan bagian yang terasa sedikit miring. Jemariku bergetar kecil.
Aku tidak mengerti, apakah karena gugup... atau karena aku takut. Mungkin keduanya.
Setengah jam kemudian, kami tiba. Deva turun lebih dulu, gerakannya cepat, efisien, tanpa basa-basi. Ia membuka bagasi, mengangkat koperku seolah tak ada isiny, lalu berjalan menuju rumah tanpa menoleh. Aku buru-buru membuka pintu mobil dan mengikuti langkahnya.
Tumitku beradu dengan kerikil di jalan masuk, membuat langkahku sedikit limbung.
Kutarik ujung gamis agar tidak tersangkut.
"Mas, tunggu..." gumamku, meski suaraku terlalu kecil untuk dia dengar. Kutatap halaman yang terasa sangat luas. Rumah inilah yang akan kutempati bersama Mas Deva.
Sebuah rumah dua lantai, dengan lantai marmer berkilau dan dinding kaca di sepanjang sudut ruangan.
Dindingnya berwarna abu-abu dan putih, terkesan sangat dingin.
Seperti...
Mas Deva.
Di dalam, cahaya lampu sorot menyorot ke arah dinding, menambah kesan indah.
Aku melihat dengan kagum bercampur takjub.
Mas Deva menempelkan jarinya ke pemindai di samping pintu.
Bipp... Bipp... klakk
Pintu itu terbuka otomatis setelah sidik jarinya terpindai.
Tanpa berkata apa-apa, ia masuk.
Langkah kakinya tampak tak ragu sama sekali.
Aku mengikutinya dari belakang, pandangan mataku menelusuri lantai marmer putih yang mengilap, seolah baru dipel dengan saksama. Aku menahan napas saat masuk.
Tanganku refleks menyentuh dada ku.
Suara langkahku menggema di segala penjuru ruangan.
Aku merasa seperti tamu, bukan seorang istri yang ikut suaminya untuk pulang.
"Kamar di atas, paling kiri," ucapnya tiba-tiba, suaranya terdengar datar, lalu ia meletakkan koperku di ujung tangga.
Aku menatapnya, mencoba membaca wajahnya. Namun, aku masih belum mengerti apa yang saat ini ia pikirkan tentang keponakan, sekaligus istrinya ini.
"Kamar kita, 'kan?" tanyaku lirih padanya. Ia menatapku sejenak, lalu memalingkan wajahnya dengan cepat.
"Kau bisa tidur di kamar itu. Aku akan tidur di ruang kerja."
Mas Deva melangkah meninggalkanku setelah mengatakan sepatah kata yang menurutku sangat singkat untuk aku yang suka banyak bicara.
Aku terpaku, terlalu bingung untuk menjawab perkataannya.
Seolah jantungku berhenti berdebar. Kuanggukkan kepalaku meski hatiku ingin menolak kata-katanya. "Iya, Mas..." akhirnya aku menjawab dengan kata "iya."
Mas Deva melangkah menuju dapur, berjalan menyusuri ruangan hingga langkahnya berhenti di depan kulkas.
Kulihat ia meminum segelas air dingin yang ada di dalamnya.
Gerak jakunnya terlihat sangat menggoda diriku. Namun, aku menepis segala pemikiran kotor yang sempat terlintas di benakku.
Tanganku menyentuh pegangan tangga, dingin dan licin. Langkah kakiku perlahan menaiki tangga. Seperti takut suara langkahku mengganggu seseorang yang tidak ingin terganggu.
Sesampainya di depan pintu kamar, aku membukanya dan lekas melangkah memasuki ruangan.
Lalu aku menguncinya dari dalam, takut Mas Deva memasuki kamarku.
Kuhembuskan napasku dengan kasar. Yah, memang aku sempat sulit bernapas karena berdekatan dengan Mas Deva.
Aku memandang ke sekeliling kamarku.
Kamar yang luas, ada sebuah lemari besar dengan pintu cermin, meja kecil di sudut, dan ranjang king-size yang terlalu besar untuk tidur sendirian.
Kupandangi koperku yang tadi ditaruh Mas Deva. Kupeluk lenganku sendiri, ku letakkan bokongku di ujung ranjang.
Perlahan ku gerakkan tanganku saat membuka koper. Jemariku gelisah.
Kupingku awas mendengar suara dari luar. Takut Mas Deva tiba-tiba naik. Klik.
Resleting koper terbuka.
Ku sibuk baju-baju yang tersusun rapi.
Sweater abu-abu, mukena kecil, beberapa jilbab yang sudah disetrika.
Namun, tanganku langsung menyelinap ke sisi kanan dalam koper.
Ada kantong kecil tersembunyi, dijahit khusus di dalam lapisan kain.
Kutemukan kantong itu. Ku genggam erat sebentar. Jari-jariku berusaha tidak gemetar. Benda itu masih di sana dan tersimpan aman. Ku pandangi sebentar... lalu ku tutup kembali koper dengan cepat. Kutarik resleting koperku perlahan.
Kubiarkan koper itu di lantai, lalu berdiri dan menoleh ke arah pintu. Masih tertutup.
Aku menatap diriku di cermin lemari.
Mataku merah.
Tapi aku tersenyum.
Senyum yang aku latih berkali-kali di depan kaca selama ini. Malam itu aku tidur dengan gamis panjang dan jilbab yang masih menempel.
Selimut ditarik sampai leher.
Tubuhku miring ke kanan, memunggungi pintu.
Tanganku memeluk guling, tapi mataku tak bisa ku pejamkan.
Ku rekam semua suara dari luar, kipas angin, AC, bahkan mungkin... langkah kaki Mas Deva yang lewat di bawah sana.
Aku sendirian merasakan kesepian yang menyakitkan.
Rasa sesak tiba-tiba meliputi ku.
Dan aku tahu, rumah ini akan tetap sepi seperti ini.
Alasannya karena suamiku... tidak menginginkanku.
Padahal aku... di sini.
Aku memang bukan istri pilihan Mas Deva, tapi aku di sini. Aku akan tetap menunggunya.
Karena aku punya alasan untuk tetap di sini, aku istrinya.
Walau bukan yang dia inginkan.
Keren Thor... semangat terus ya