Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1 Khilaf Semalam Yang Membuat Candu
Happy reading
Selimut malam mulai tersingkap. Berganti sentuhan mentari pagi yang menghangatkan bumi.
Membangunkan insan yang masih serasa enggan membuka mata karena raga-nya terasa lelah seusai melakukan ritual semalam.
Tubuh menggeliat diikuti sepasang netra yang mulai terbuka perlahan, mengerjap_menyesuaikan cahaya di dalam kamar yang tak lagi temaram karena pancaran sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela.
Kedua sudut bibir melengkung, membentuk seutas senyum.
Terbayang dalam ingatan, hal termanis yang dilakukannya semalam bersama Dira. Wanita yang saat ini masih tampak lelap di dalam pelukan.
Menyatukan ra-ga. Mereguk kenikmatan surga dunia. Memiliki wanita yang dicinta meski hanya satu malam.
"Selamat pagi, Dira." Kecupan lembut berlabuh di kening Dira dan sukses membuat Dira terbangun dari mimpi.
Mimpi yang dirasa nyata. Dan sebenarnya memang nyata.
Sepasang netra Dira terbuka perlahan, lalu mengerjap.
Sepersekian detik wanita berparas ayu itu terdiam untuk mengumpulkan kesadaran.
Namun setelah benar-benar tersadar, manik mata Dira seketika membulat sempurna kala wajah Dariel memenuhi ruang pandang.
Ia terkejut sekaligus marah ketika menyadari kelancangan Dariel. Memeluk dan berbaring di atas ranjang yang sama dengannya.
"Dariel, kamu --"
Dariel mengulas senyum dan memangkas ucapan Dira dengan melabuhkan kecupan di bibir.
"Kurang ajar!" Dira melayangkan tangannya dan bermaksud memberi hadiah tamparan pada Dariel yang dirasa telah berbuat kurang ajar.
Namun sebelum tangan Dira menyentuh pipi, Dariel berhasil menangkap dan membuat wanita yang telah digau-linya itu tak berkutik karena tatapan mata yang mampu menghipnotis.
"Apa kamu lupa hal termanis yang kita lakukan semalam, Ra?" Bisikan Dariel terdengar lembut, membuat tubuh Dira seketika meremang.
Dira mematung. Bibirnya tak kuasa untuk berucap karena terbius rasa yang membuat raganya tak berdaya.
"Nadhira Farzana, coba kamu ingat kembali ritual yang telah kita lakukan semalam." Dariel kembali berbisik lembut dan memaksa Dira untuk mengingat kejadian semalam yang dirasa hanya mimpi.
---
Tiga jam, Dira menanti Aldi yang berjanji akan menemuinya malam ini di Sunshine Cafe. Tempat pertama mereka bertemu. Namun yang dinanti seolah melupakan janji.
Berpuluh-puluh kali Dira mengirim chat ke nomor WA Aldi. Namun tak satu pun chat darinya dibaca, apalagi dibalas oleh kekasihnya itu.
Bahkan, telepon dan vidio call darinya pun tak diangkat.
Tentu saja Dira merasa kecewa, marah, dan teramat sedih karena penantiannya selama tiga jam sia-sia.
Dira yakin, kali ini Aldi tidak akan menepati janjinya lagi.
Bodoh! Kenapa aku masih menunggunya?
Ia merutuki dirinya sendiri.
Cinta membuat otak cerdasnya menjadi tumpul dan tak bisa tegas menghadapi sang kekasih yang sering kali mengabaikan janji.
Dira tetap bertahan dengan hubungan yang sudah terjalin selama tiga tahun karena cintanya pada Aldi. Meski mencintai Aldi sama seperti menggenggam kaktus yang penuh duri. Ke mana hubungan mereka akan bermuara pun seolah tak pasti.
Air langit mulai membasahi bumi, bersamaan dengan detik mesin waktu yang kini menunjuk angka dua belas malam.
Sepi menuntun jari lentik untuk mendial nomor Dariel--sahabatnya.
Tiga puluh menit berlalu, Dariel tiba di hadapan Dira yang kini berdiri menanti di depan pintu gerbang Sunshine Cafe.
Rupanya cafe tersebut telah tutup lima belas menit yang lalu.
Tanpa banyak kata, Dariel segera menuntun Dira masuk ke dalam mobil.
Wajah Dira tampak pucat, tubuhnya menggigil kedinginan karena guyuran air langit.
"Ra, aku antar ke rumah ya?"
Dira menggeleng pelan. "Jangan, Riel," ucapnya lemah.
"Lalu, kamu mau diantar ke mana?"
"Ke rumah Aldi. Dia sudah berjanji akan menemui ku malam ini."
"Ck, si breng-sek itu nggak mungkin menepati janji lagi. Dia lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang menemui kamu. Buktinya, malam ini dia membuatmu menunggu lagi. Tapi apa? Dia nggak datang 'kan? Dan malah membiarkanmu menggigil kedinginan seperti ini."
"Riel, ada yang perlu aku omongin sama dia. Jadi, antarkan aku ke rumahnya."
"Sudahlah, nggak usah menemui dia!"
"Tapi, Riel --"
"Apapun alasanmu, aku nggak bakal mengantarmu ke rumah pria breng-sek itu, Ra."
Dariel selalu terpancing emosi setiap Dira membicarakan Aldi.
Ia sungguh muak dengan sikap Aldi yang sering tak acuh pada Dira dan teramat gila kerja.
Dira terdiam. Kali ini, ia enggan berdebat dengan Dariel dan memilih untuk memejamkan mata karena tubuhnya serasa lemah. Seolah tiada daya.
Lelah dan kehilangan semangat. Itu yang dirasa Dira saat ini.
Angin bertiup kencang, disertai air langit yang turun semakin deras.
Tanpa bertanya pada Dira, Dariel memutuskan untuk menghentikan laju kendaraan besinya dan bermalam di Omah Kenangan--penginapan bernuansa Jawa romantis, sebab ia merasa bingung harus mengantar Dira kemana.
Dira tidak mau diantar pulang ke rumah. Sementara dia tidak ingin mengantarkan Dira ke rumah Aldi.
Setelah memesan satu kamar, Dariel membawa Dira masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuh mungil sahabatnya itu di atas ranjang yang terbalut kain sprei berwarna putih dan bertabur bunga mawar, selayaknya ranjang yang dipersiapkan untuk pengantin baru.
Dariel dilanda ragu.
Ia tidak tega melihat Dira yang tertidur dengan pakaian basah dan ingin membantu melepas pakaian yang dikenakan oleh sahabatnya itu. Namun serasa tidak mungkin.
Ia tidak ingin dianggap lancang dan kurang ajar oleh Dira.
"Ra, aku harus gimana?"
Dariel duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Dira.
Panas.
Dira demam.
Karena teramat mengkhawatirkan keadaan Dira, Dariel menghempas ragu dan memberanikan diri untuk melepas pakaian yang membalut tubuh Dira.
Namun sebelum melakukannya, Dariel mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang temaram, sehingga tubuh Dira tak begitu terekspos.
Dengan tangan gemetar, Dariel membuka kancing kemeja yang dikenakan Dira, hingga terlepas satu persatu.
Berulang kali diraupnya udara dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan seraya menghempas gejolak rasa yang dengan lancangnya hadir.
"Ra, ma-af. A-aku terpaksa melepas semua pakaianmu," ucapnya terbata sambil menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Dira yang kini tampak polos, tanpa sehelai benang pun yang membalut.
"Riel, dingin." Dira mengigau. Tangannya menarik ujung kaos Dariel cukup kuat dan membuat tubuh Dariel terjatuh tepat di atas da-da.
"Ra --"
Dariel menelan saliva saat da-da bidangnya membentur bagian tubuh Dira yang terasa empuk.
"Ra --"
"Dingin, peluk aku --" Dira kembali mengigau dengan suaranya yang terdengar lemah. Seakan teramat memohon untuk dipeluk.
"Baiklah, Ra. Aku akan memelukmu."
Rasa kasihan memaksa Dariel untuk memenuhi permintaan Dira.
Ia benahi posisi tubuh dan berbaring di samping Dira. Kemudian membawa tubuh polos sahabatnya itu ke dalam pelukan.
Hasrat tak kuasa dicegah.
Naf-su mengalahkan logika dan membuat lupa.
Kesucian yang seharusnya dijaga, terno-da di malam ini. Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Khilaf semalam, menodai janji suci persahabatan yang pernah mereka kumandangkan.
Dariel dan Dira terlupa. Mereka terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga, tanpa ikatan suci yang dihalalkan.
"Ra, maaf."
Dariel melabuhkan kecupan dalam di kening Dira seusai menuntaskan ha-srat.
Sementara Dira, ia tampak terlelap.
Baginya, ritual penyatuan ra-ga yang dilakukannya bersama Dariel hanyalah mimpi.
Mimpi terla-rang yang hadir karena jiwa nya serasa hampa dan menginginkan curahan cinta kasih dari seorang pria berstatus kekasih.
"Ra --"
Suara Dariel memecah kaca lamun.
Kristal bening yang semula menganak di kelopak mata, kini terjatuh membasahi pipi.
Dira tak kuasa berkata-kata, apalagi mengangkat wajah--menatap pria yang telah diizinkannya meno-dai Marwah.
"Ra, maaf."
Dariel menatap lekat wajah Dira yang terlihat sendu dan terbingkai air kesedihan.
"Ra, maafin aku." Kata maaf kembali terucap disertai usapan lembut jari jemari--menyeka wajah ayu yang tampak basah.
Dariel teramat menyesal.
Batinnya merutuki dirinya sendiri karena telah membuat wanita yang dicinta hancur dan meneteskan air mata.
"Kamu nggak sepenuhnya salah, Riel. Tapi aku --"
"Andai aku nggak menunggunya sampai larut malam, mungkin kita nggak akan --" Dira menangis tergugu dan meremas selimut yang masih menutupi tubuh polosnya.
Ia sungguh tak mampu melanjutkan kata-kata karena kesedihan yang dirasa teramat mendalam dan membuat tenggorokannya serasa tercekat.
Kesucian yang semestinya dipersembahkan untuk sang kekasih halal, telah diserahkan pada sahabatnya sendiri. Bahkan tanpa didasari oleh rasa cinta dan ikatan suci--pernikahan.
Dariel tak kuasa menyaksikan Dira yang terlihat sedih dan teramat hancur. Ulu hatinya terasa nyeri.
Direngkuhnya tubuh Dira, lalu dibawanya ke dalam pelukan seraya mentransfer energi positif untuk memberi rasa tenang.
"Ra, aku bakal bertanggung jawab. Aku janji akan segera menikahi kamu."
Dira menggeleng dan mendorong pelan tubuh Dariel, sehingga pelukannya terurai.
"Nggak, Riel."
"Why? Aku yang merenggut kesucian-mu, aku juga yang harus bertanggung jawab, Ra."
"Riel, anggap ... khilaf yang kita lakukan semalam nggak pernah terjadi. Cukup, kita saja yang tau."
"Tapi, Ra --"
"Aku mohon, Riel."
"Ra --"
"Kalau kamu masih menyayangi aku sebagai sahabat, tolong penuhi permintaanku. Aku mohon, rahasiakan semua yang terjadi semalam. Jangan beri tahu ayah dan bundaku, apalagi Aldi. Please, Riel!"
Dariel meraup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.
Sulit baginya untuk memenuhi permintaan Dira, setelah apa yang terjadi semalam.
Candu. Ia candu menyentuh tubuh yang semalam menyatu dengan tubuhnya.
Ingin memiliki utuh. Namun saat ini, serasa tidak mungkin.
Dariel cukup tahu diri. Yang dicintai Dira bukan dirinya, tetapi Aldi dan dia hanya berperan sebagai sahabat.
Tempat untuk bersandar dan mencurahkan isi hati, ketika Dira merasa sepi, hampa, dan terluka.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah