Mendadak Bapak ( Session 2 )

Mendadak Bapak ( Session 2 )

Axl Hadley-Greyson

Ketukan palu terdengar di ruang sidang yang tak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang terlihat hadir disana.

Siang itu langit sedikit mendung, Andrew Hadley duduk diantara hadirin. Raut wajahnya tak begitu senang. Karena majelis hakim baru saja mengabulkan permohonan pergantian nama, dari Axl Maldino Hadley menjadi Axl Hadley-Greyson.

Sementara disisi lain, Darren tampak sedikit lega karena apa yang ia inginkan akhirnya terpenuhi. Sudah dua tahun belakangan ini ia meminta Axl untuk mengubah nama belakangnya.

Namun permintaan tersebut seperti tak digubris oleh anak laki-lakinya itu. Karena Axl masih mempertimbangkan perasaan Andrew, sebagai orang tua yang telah mengasuh dan membesarkannya selama ini.

Namun sepanjang dua tahun belakangan ini, Darren begitu gigih memperjuangkan haknya. Yakni menjadikan Axl sebagai anaknya yang sah dimata hukum, bukan sekedar sebagai anak biologis semata.

Ia ingin memenangkan hak asuh atas Axl dan memberikan anak itu nama keluarga Greyson di belakang namanya. Namun Darren agaknya memang kurang beruntung, pasalnya majelis hakim tidak mengabulkan gugatannya atas hak asuh Axl.

Meskipun sudah boleh memilih karena, telah berusia di atas 12 tahun. Tetap saja pilihan Axl jatuh kepada orang yang telah membesarkannya, yakni Andrew Hadley.

Dua tahun berjuang mendapatkan hak asuh, Darren akhirnya menyerah. Namun entah mengapa Axl tiba-tiba mengatakan padanya, jika ia mau mengganti nama belakangnya.

Tentu saja hal ini membuat Darren senang, setidaknya ia diakui sebagai seorang ayah. Dan Axl mengakui silsilah keluarganya, bahwa ia adalah keturunan keluarga Greyson.

Usai bersalaman dengan Hakim dan yang lainnya, Axl segera menghampiri Darren. Darren pun memeluknya dengan erat.

"Thanks." ucap Darren lalu mencium kening Axl. Perasaan haru kini menjalar di hatinya.

Sementara Andrew Hadley melangkah keluar dari ruangan sidang. Ia masuk ke dalam mobilnya sambil menunggu Axl disana.

"Pa, Axl langsung pulang ya." ujar Axl pada Darren, dan ayahnya itupun hanya mengangguk. Sudah cukup untuk hari ini, ia tidak ingin meminta apa-apa lagi. Axl pergi dari ruang sidang dan menuju ke mobil Andrew.

Suasana di dalam mobil tersebut agak canggung. Axl dan Andrew sama-sama terlihat tidak nyaman dan lebih banyak membuang pandangan ke arah yang berlawanan.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Lidah rasanya kelu, tubuh pun seolah kaku. Keduanya tenggelam dalam diam.

Sampai kemudian, karena kurangnya konsentrasi akibat terlalu memikirkan kejadian hari ini. Hampir saja mobil Andrew bertabrakan dengan mobil yang ada di sebelahnya. Akibatnya ia pun membanting stir kekiri dan mobil mereka menabrak sebuah pohon.

"Braaaak."

Beberapa saat kemudian, mereka berdua tampak sudah berada di tempat reparasi mobil. Mereka duduk pada dua buah kursi sambil memegang air mineral. Axl tampak menjatuhkan pandangannya ke suatu sudut, begitu juga dengan Andrew.

"Dad, Nino mau ganti nama itu bukan karena apa-apa. Cuma supaya papa nggak berisik aja, supaya dia nggak terus-terusan desak Nino. Setelah keinginan dia atas hak asuh Nino, nggak terpenuhi."

Andrew menghela nafas dan kemudian mereguk air mineralnya. Ia lalu berdiri dan menuju ketempat dimana mobilnya tengah diperbaiki, sementara Axl kini makin serba salah.

Setelah semuanya selesai di perbaiki, Andrew masih saja enggan berkata sepatah pun. Di sepanjang perjalanan ke rumah, ia hanya diam.

Seumur hidup, Axl belum pernah melihat Andrew sediam itu. Ia adalah orang yang paling tidak bisa marah dalam waktu yang cukup lama, terlebih pada Axl. Tapi kali ini, entahlah. Agaknya Andrew memang benar-benar kecewa dengan keputusan Axl. Mungkin juga ia akan marah dalam waktu yang tak terkira.

"Dad, daddy ngerti in Nino dong dad. Nino tuh serba salah jadinya."

Andrew tetap bungkam, hingga akhirnya mobil tersebut pun melaju. Perjalanan kali ini terasa lebih berat, seperti tidak sampai-sampai. Hal tersebut karena Axl dan Andrew masih berada dalam suasana yang serba kaku.

"Dad, Nino harus gimana sekarang?. Daddy kalau apa-apa itu ngomooong."

"Braaaaaak." Axl membanting pintu mobil. Andrew telah keluar terlebih dahulu dan kini berada dalam posisi membelakanginya, menuju pintu rumah. Penuh kemarahan pria itu pun lalu berbalik menghadap Axl.

"Jangan pernah berteriak Ninooo." Andrew balas berteriak di muka Axl, membuat anak itu terkejut setengah mati. Ia tak menyangka jika Andrew bisa bersikap seperti itu.

"Daddy nggak pernah mengajarkan kamu berteriak sama orang tua, daddy tau kamu sudah berpihak sama ayah kandung kamu. Harusnya kamu berfikir dulu, siapa yang sudah membesarkan kamu dengan susah payah. Ini balasan kamuuu?"

Andrew makin berteriak, kemarahannya sudah berada di puncak.

"Jadi, daddy pikir Nino ini anak yang nggak tau terima kasih?. Daddy kira Nino nggak berfikir panjang dalam memutuskan sesuatu?. Daddy pikir Nino mau dengan semua kenyataan ini?. Bukan salah Nino, kalau Nino bukan anak kandung daddy. Nino nggak minta jadi anak papa Darren, Nino nggak mintaaa."

"Teriak aja terus, Ninooo. Biar semua tau daddy gagal mendidik kamu. Teriak aja terus sama orang tua sampai kamu puas, emang cuma itu kan yang bisa kamu kasih ke daddy. Teriakan, kemarahan."

"Jadi daddy mau dibalas atas semua kebaikan daddy dengan apa?. Dengan uang?. Daddy hitung aja semuanya, berapa biaya daddy selama membesarkan Nino. Nino gantiii."

"Apa kamu bilang?" Andrew menatap Axl dengan penuh kekecewaan, suaranya berada di antara marah sekaligus sedih. Axl sendiri kini terdiam dan seolah sadar dengan ucapannya yang keterlaluan.

"Daddy nggak nyangka kalau kamu bisa ngomong seperti itu, Nino. Kamu udah berhasil bikin hati orang tua kamu sakit dua kali. Seandainya daddy bisa kejam sama kamu, daddy udah pukul kamu dari tadi. Kurang ajar kamu."

Andrew berlalu dan masuk ke dalam rumah, ementara kini Axl masih terpaku ditempatnya. Ia mulai menyesali apa yang telah ia katakan. Ia melangkah gontai masuk ke dalam rumah, terus berjalan hingga ke muka tangga. Tempat dimana kini Andrew tengah terduduk lesu, sambil menatap kosong penuh kesedihan.

Axl melihat ke arah Andrew dengan wajah penuh penyesalan, ia terus melangkah menapaki anak tangga. Hingga tiba pada tangga ke tujuh, ia berhenti dan duduk disana sambil merenungi kesalahannya.

"Belasan tahun daddy membesarkan kamu, daddy nggak pernah minta balasan materi apapun. Yang daddy mau cuma satu hal, jangan pernah kecewakan daddy."

Axl menunduk dengan tangan yang saling menggenggam, air matanya sudah jatuh sejak tadi.

"Kamu selalu bertindak tanpa bertanya terlebih dahulu, kamu putuskan apa-apa sendiri. Kamu pikir daddy ini apa, siapa?. Sampe kamu nggak perlu bicara dulu sama daddy. Sakit tau nggak rasanya, nggak dianggap sama anak sendiri."

Axl makin menangis, kali ini ia bahkan tak bisa menahan suaranya yang terisak. Andrew menoleh, ia mendapati anaknya masih tertunduk dan menangis. Ia lalu berdiri, bermaksud mendekati Axl. Namun kemudian ia merasakan handphonenya bergetar.

Ada sebuah panggilan masuk, dan Andrew pun berlalu untuk mengangkat telpon karena itu telpon penting. Sementara kini Axl sudah salah paham. Ia mengira jika Andrew benar-benar sangat marah dan tak mau lagi berbaikan dengannya.

Beberapa saat kemudian Andrew kembali, bertepatan dengan hampir jatuhnya tubuh Axl. Anak itu seperti telah kehilangan kesadaran.

Andrew bergegas, namun Erwin mendahuluinya. Erwin menangkap tubuh Axl yang sudah pingsan, lalu membawanya ke dalam kamar. Ia kemudian mencoba menyadarkan anak itu dengan memanggil namanya.

"Nino, Nino."

"Win, dia kenapa?" tanya Andrew panik.

Erwin menahan Andrew dengan tangannya, ia tak menyuruh Andrew mendekat. Sementara Axl sudah bergerak dan berusaha membuka mata.

"Nino?. Nino kenapa, nak?" tanya Erwin sambil mengusap kepala anak itu, Axl hanya. menggeleng lemah.

"Om Erwin cari in obat, ya?"

"Nggak usah om, Nino nggak apa-apa. Nino mau istirahat aja."

"Badan kamu dingin begini, kamu butuh obat."

"Om please, Nino mau sendirian."

Axl memejamkan mata dan memalingkan wajahnya ke sisi lain. Mau tidak mau, Erwin lalu keluar dan menutup pintu. Ia menatap sekilas ke arah Andrew yang masih berdiri di depan pintu kamar Axl.

Tak lama kemudian, mereka sudah berada di kursi meja makan. Tampak Andrew hanya diam mendengarkan Erwin berbicara.

"Lo kenapa sih, Drew?. Akhir-akhir ini anak lo, lo ajak berantem terus. Lo nggak kasian sama dia?. Bisa gila tau nggak anak lo, kalau kelakuan bapaknya kayak lo. Udahlah Darren begitu, lo juga sama. Mental anak lo perhatiin, jangan ego lo doang."

Andrew tak berkata apa-apa, ia masih terdiam dan menatap ke suatu sudut.

"Drew, lo terlalu takut kehilangan dia. Sampai lo lupa caranya menjadi ayah yang baik. Lo terlalu fokus sama tujuan lo, untuk menjadikan Nino sebagai ahli waris keluarga ini. Sampe lo lupa bahwa anak lo itu masih anak-anak. Dia belum dewasa, Drew. Belum bisa mengerti banyak soal apa yang lo pikirkan."

"Win, cukup Win."

Andrew tampak memegang keningnya.

"Gue pusing."

"Ok, tapi awas kalau lo ajak Nino berantem lagi. Gue akan bawa dia kerumah Darren biar bisa tenang."

Erwin lalu beranjak meninggalkan Andrew, sementara laki-laki itu kini masih terdiam di tempatnya. Beberapa saat kemudian Andrew kembali menuju ke kamar Axl. Namun ketika ia hendak membuka pintu, ternyata pintu kamar tersebut dikunci.

Andrew pun mengurungkan niatnya, mungkin Axl ingin beristirahat pikirnya. Sementara di dalam kamar, Axl tak bisa memejamkan mata. Suhu tubuhnya meningkat dan pikirannya sangat kacau.

Ia lalu membuka laci meja dan mengambil beberapa butir obat tidur. Namun belum sempat ia meminum obat tersebut, tiba-tiba Darren meneleponnya.

"Hallo, Axl?"

Axl tak menjawab.

"Axl?"

"Hm, iya. Kenapa pa?"

Axl berusaha menyembunyikan keadaannya, ia berusaha bersikap normal pada Darren.

"Koq lama jawabnya?"

"Si, sinyal pa. Suara papa tadi nggak kedengaran."

"Oh, papa pikir tadi kamu kenapa."

"Nggak, nggak ada apa-apa koq."

"Kamu udah makan?"

"Udah tadi, papa sendiri?"

"Udah, tapi nggak abis."

"Kenapa?. Papa sakit?"

"Nggak tau, agak nggak enak aja. Mau muntah rasanya."

"Sering telat makan, kali."

"Maybe."

"Minum obat lah."

"Ya, nanti."

"Jangan lupa loh."

"Iya, kamu koq belum tidur?"

"Baru mau tidur, papa nelpon."

"Papa ganggu nih berarti?"

"Iya sih, tapi nggak apa-apa lah. Axl nanti aja tidurnya."

Keduanya sama-sama tertawa, lalu percakapan pun berlanjut. Banyak hal yang mereka bahas malam itu, tanpa Axl sadari jika ayahnya yang satu lagi belum tertidur.

Andrew sengaja terjaga, karena khawatir Axl membutuhkannya. Apalagi saat ini kondisi Axl sedang sakit pikirnya. Axl biasa mengigau dan berteriak memanggil daddynya jika ia sedang sakit.

Namun apa yang Andrew dengar barusan, benar-benar membuatnya makin kecewa. Tampaknya Axl baik-baik saja bahkan tertawa-tawa, dalam percakapannya bersama Darren. Andrew pun kini sudah pasrah, jika pada akhirnya Darren akan mengambil anak itu.

Malam itu, Andrew tidur sambil memasang earphone dan menyetel lagu keras-keras. Ia tak peduli jika nanti Axl mungkin saja memanggil nya.

Terpopuler

Comments

Nurmalia Irma

Nurmalia Irma

langsung otw sequel 2 nya dr marathon seq 1 krn pinisirin sama babang darr 😃

2022-06-26

0

Damayanti Amir

Damayanti Amir

mampirrrr thor

2022-03-31

0

Zamie Assyakur

Zamie Assyakur

hey mom author i'm coming 😍😍😍😍bapak ny 2 anak ny 1...berebut mulu.... surang ganti an atuh ngasuh ny biar adil...biar sana sini jadi ga ada yg merasa dikecwakan.... sebenarnya nih si axl kya ny lebih nyaman sama darren deh... cuma dy ga enak aj sma daddy andrew yg udh merawat dy dr kecil... menurut ku sih..

2021-10-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!