Ketukan palu terdengar di ruang sidang yang tak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang terlihat hadir disana.
Siang itu langit sedikit mendung, Andrew Hadley duduk diantara hadirin. Raut wajahnya tak begitu senang. Karena majelis hakim baru saja mengabulkan permohonan pergantian nama, dari Axl Maldino Hadley menjadi Axl Hadley-Greyson.
Sementara disisi lain, Darren tampak sedikit lega karena apa yang ia inginkan akhirnya terpenuhi. Sudah dua tahun belakangan ini ia meminta Axl untuk mengubah nama belakangnya.
Namun permintaan tersebut seperti tak digubris oleh anak laki-lakinya itu. Karena Axl masih mempertimbangkan perasaan Andrew, sebagai orang tua yang telah mengasuh dan membesarkannya selama ini.
Namun sepanjang dua tahun belakangan ini, Darren begitu gigih memperjuangkan haknya. Yakni menjadikan Axl sebagai anaknya yang sah dimata hukum, bukan sekedar sebagai anak biologis semata.
Ia ingin memenangkan hak asuh atas Axl dan memberikan anak itu nama keluarga Greyson di belakang namanya. Namun Darren agaknya memang kurang beruntung, pasalnya majelis hakim tidak mengabulkan gugatannya atas hak asuh Axl.
Meskipun sudah boleh memilih karena, telah berusia di atas 12 tahun. Tetap saja pilihan Axl jatuh kepada orang yang telah membesarkannya, yakni Andrew Hadley.
Dua tahun berjuang mendapatkan hak asuh, Darren akhirnya menyerah. Namun entah mengapa Axl tiba-tiba mengatakan padanya, jika ia mau mengganti nama belakangnya.
Tentu saja hal ini membuat Darren senang, setidaknya ia diakui sebagai seorang ayah. Dan Axl mengakui silsilah keluarganya, bahwa ia adalah keturunan keluarga Greyson.
Usai bersalaman dengan Hakim dan yang lainnya, Axl segera menghampiri Darren. Darren pun memeluknya dengan erat.
"Thanks." ucap Darren lalu mencium kening Axl. Perasaan haru kini menjalar di hatinya.
Sementara Andrew Hadley melangkah keluar dari ruangan sidang. Ia masuk ke dalam mobilnya sambil menunggu Axl disana.
"Pa, Axl langsung pulang ya." ujar Axl pada Darren, dan ayahnya itupun hanya mengangguk. Sudah cukup untuk hari ini, ia tidak ingin meminta apa-apa lagi. Axl pergi dari ruang sidang dan menuju ke mobil Andrew.
Suasana di dalam mobil tersebut agak canggung. Axl dan Andrew sama-sama terlihat tidak nyaman dan lebih banyak membuang pandangan ke arah yang berlawanan.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Lidah rasanya kelu, tubuh pun seolah kaku. Keduanya tenggelam dalam diam.
Sampai kemudian, karena kurangnya konsentrasi akibat terlalu memikirkan kejadian hari ini. Hampir saja mobil Andrew bertabrakan dengan mobil yang ada di sebelahnya. Akibatnya ia pun membanting stir kekiri dan mobil mereka menabrak sebuah pohon.
"Braaaak."
Beberapa saat kemudian, mereka berdua tampak sudah berada di tempat reparasi mobil. Mereka duduk pada dua buah kursi sambil memegang air mineral. Axl tampak menjatuhkan pandangannya ke suatu sudut, begitu juga dengan Andrew.
"Dad, Nino mau ganti nama itu bukan karena apa-apa. Cuma supaya papa nggak berisik aja, supaya dia nggak terus-terusan desak Nino. Setelah keinginan dia atas hak asuh Nino, nggak terpenuhi."
Andrew menghela nafas dan kemudian mereguk air mineralnya. Ia lalu berdiri dan menuju ketempat dimana mobilnya tengah diperbaiki, sementara Axl kini makin serba salah.
Setelah semuanya selesai di perbaiki, Andrew masih saja enggan berkata sepatah pun. Di sepanjang perjalanan ke rumah, ia hanya diam.
Seumur hidup, Axl belum pernah melihat Andrew sediam itu. Ia adalah orang yang paling tidak bisa marah dalam waktu yang cukup lama, terlebih pada Axl. Tapi kali ini, entahlah. Agaknya Andrew memang benar-benar kecewa dengan keputusan Axl. Mungkin juga ia akan marah dalam waktu yang tak terkira.
"Dad, daddy ngerti in Nino dong dad. Nino tuh serba salah jadinya."
Andrew tetap bungkam, hingga akhirnya mobil tersebut pun melaju. Perjalanan kali ini terasa lebih berat, seperti tidak sampai-sampai. Hal tersebut karena Axl dan Andrew masih berada dalam suasana yang serba kaku.
"Dad, Nino harus gimana sekarang?. Daddy kalau apa-apa itu ngomooong."
"Braaaaaak." Axl membanting pintu mobil. Andrew telah keluar terlebih dahulu dan kini berada dalam posisi membelakanginya, menuju pintu rumah. Penuh kemarahan pria itu pun lalu berbalik menghadap Axl.
"Jangan pernah berteriak Ninooo." Andrew balas berteriak di muka Axl, membuat anak itu terkejut setengah mati. Ia tak menyangka jika Andrew bisa bersikap seperti itu.
"Daddy nggak pernah mengajarkan kamu berteriak sama orang tua, daddy tau kamu sudah berpihak sama ayah kandung kamu. Harusnya kamu berfikir dulu, siapa yang sudah membesarkan kamu dengan susah payah. Ini balasan kamuuu?"
Andrew makin berteriak, kemarahannya sudah berada di puncak.
"Jadi, daddy pikir Nino ini anak yang nggak tau terima kasih?. Daddy kira Nino nggak berfikir panjang dalam memutuskan sesuatu?. Daddy pikir Nino mau dengan semua kenyataan ini?. Bukan salah Nino, kalau Nino bukan anak kandung daddy. Nino nggak minta jadi anak papa Darren, Nino nggak mintaaa."
"Teriak aja terus, Ninooo. Biar semua tau daddy gagal mendidik kamu. Teriak aja terus sama orang tua sampai kamu puas, emang cuma itu kan yang bisa kamu kasih ke daddy. Teriakan, kemarahan."
"Jadi daddy mau dibalas atas semua kebaikan daddy dengan apa?. Dengan uang?. Daddy hitung aja semuanya, berapa biaya daddy selama membesarkan Nino. Nino gantiii."
"Apa kamu bilang?" Andrew menatap Axl dengan penuh kekecewaan, suaranya berada di antara marah sekaligus sedih. Axl sendiri kini terdiam dan seolah sadar dengan ucapannya yang keterlaluan.
"Daddy nggak nyangka kalau kamu bisa ngomong seperti itu, Nino. Kamu udah berhasil bikin hati orang tua kamu sakit dua kali. Seandainya daddy bisa kejam sama kamu, daddy udah pukul kamu dari tadi. Kurang ajar kamu."
Andrew berlalu dan masuk ke dalam rumah, ementara kini Axl masih terpaku ditempatnya. Ia mulai menyesali apa yang telah ia katakan. Ia melangkah gontai masuk ke dalam rumah, terus berjalan hingga ke muka tangga. Tempat dimana kini Andrew tengah terduduk lesu, sambil menatap kosong penuh kesedihan.
Axl melihat ke arah Andrew dengan wajah penuh penyesalan, ia terus melangkah menapaki anak tangga. Hingga tiba pada tangga ke tujuh, ia berhenti dan duduk disana sambil merenungi kesalahannya.
"Belasan tahun daddy membesarkan kamu, daddy nggak pernah minta balasan materi apapun. Yang daddy mau cuma satu hal, jangan pernah kecewakan daddy."
Axl menunduk dengan tangan yang saling menggenggam, air matanya sudah jatuh sejak tadi.
"Kamu selalu bertindak tanpa bertanya terlebih dahulu, kamu putuskan apa-apa sendiri. Kamu pikir daddy ini apa, siapa?. Sampe kamu nggak perlu bicara dulu sama daddy. Sakit tau nggak rasanya, nggak dianggap sama anak sendiri."
Axl makin menangis, kali ini ia bahkan tak bisa menahan suaranya yang terisak. Andrew menoleh, ia mendapati anaknya masih tertunduk dan menangis. Ia lalu berdiri, bermaksud mendekati Axl. Namun kemudian ia merasakan handphonenya bergetar.
Ada sebuah panggilan masuk, dan Andrew pun berlalu untuk mengangkat telpon karena itu telpon penting. Sementara kini Axl sudah salah paham. Ia mengira jika Andrew benar-benar sangat marah dan tak mau lagi berbaikan dengannya.
Beberapa saat kemudian Andrew kembali, bertepatan dengan hampir jatuhnya tubuh Axl. Anak itu seperti telah kehilangan kesadaran.
Andrew bergegas, namun Erwin mendahuluinya. Erwin menangkap tubuh Axl yang sudah pingsan, lalu membawanya ke dalam kamar. Ia kemudian mencoba menyadarkan anak itu dengan memanggil namanya.
"Nino, Nino."
"Win, dia kenapa?" tanya Andrew panik.
Erwin menahan Andrew dengan tangannya, ia tak menyuruh Andrew mendekat. Sementara Axl sudah bergerak dan berusaha membuka mata.
"Nino?. Nino kenapa, nak?" tanya Erwin sambil mengusap kepala anak itu, Axl hanya. menggeleng lemah.
"Om Erwin cari in obat, ya?"
"Nggak usah om, Nino nggak apa-apa. Nino mau istirahat aja."
"Badan kamu dingin begini, kamu butuh obat."
"Om please, Nino mau sendirian."
Axl memejamkan mata dan memalingkan wajahnya ke sisi lain. Mau tidak mau, Erwin lalu keluar dan menutup pintu. Ia menatap sekilas ke arah Andrew yang masih berdiri di depan pintu kamar Axl.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di kursi meja makan. Tampak Andrew hanya diam mendengarkan Erwin berbicara.
"Lo kenapa sih, Drew?. Akhir-akhir ini anak lo, lo ajak berantem terus. Lo nggak kasian sama dia?. Bisa gila tau nggak anak lo, kalau kelakuan bapaknya kayak lo. Udahlah Darren begitu, lo juga sama. Mental anak lo perhatiin, jangan ego lo doang."
Andrew tak berkata apa-apa, ia masih terdiam dan menatap ke suatu sudut.
"Drew, lo terlalu takut kehilangan dia. Sampai lo lupa caranya menjadi ayah yang baik. Lo terlalu fokus sama tujuan lo, untuk menjadikan Nino sebagai ahli waris keluarga ini. Sampe lo lupa bahwa anak lo itu masih anak-anak. Dia belum dewasa, Drew. Belum bisa mengerti banyak soal apa yang lo pikirkan."
"Win, cukup Win."
Andrew tampak memegang keningnya.
"Gue pusing."
"Ok, tapi awas kalau lo ajak Nino berantem lagi. Gue akan bawa dia kerumah Darren biar bisa tenang."
Erwin lalu beranjak meninggalkan Andrew, sementara laki-laki itu kini masih terdiam di tempatnya. Beberapa saat kemudian Andrew kembali menuju ke kamar Axl. Namun ketika ia hendak membuka pintu, ternyata pintu kamar tersebut dikunci.
Andrew pun mengurungkan niatnya, mungkin Axl ingin beristirahat pikirnya. Sementara di dalam kamar, Axl tak bisa memejamkan mata. Suhu tubuhnya meningkat dan pikirannya sangat kacau.
Ia lalu membuka laci meja dan mengambil beberapa butir obat tidur. Namun belum sempat ia meminum obat tersebut, tiba-tiba Darren meneleponnya.
"Hallo, Axl?"
Axl tak menjawab.
"Axl?"
"Hm, iya. Kenapa pa?"
Axl berusaha menyembunyikan keadaannya, ia berusaha bersikap normal pada Darren.
"Koq lama jawabnya?"
"Si, sinyal pa. Suara papa tadi nggak kedengaran."
"Oh, papa pikir tadi kamu kenapa."
"Nggak, nggak ada apa-apa koq."
"Kamu udah makan?"
"Udah tadi, papa sendiri?"
"Udah, tapi nggak abis."
"Kenapa?. Papa sakit?"
"Nggak tau, agak nggak enak aja. Mau muntah rasanya."
"Sering telat makan, kali."
"Maybe."
"Minum obat lah."
"Ya, nanti."
"Jangan lupa loh."
"Iya, kamu koq belum tidur?"
"Baru mau tidur, papa nelpon."
"Papa ganggu nih berarti?"
"Iya sih, tapi nggak apa-apa lah. Axl nanti aja tidurnya."
Keduanya sama-sama tertawa, lalu percakapan pun berlanjut. Banyak hal yang mereka bahas malam itu, tanpa Axl sadari jika ayahnya yang satu lagi belum tertidur.
Andrew sengaja terjaga, karena khawatir Axl membutuhkannya. Apalagi saat ini kondisi Axl sedang sakit pikirnya. Axl biasa mengigau dan berteriak memanggil daddynya jika ia sedang sakit.
Namun apa yang Andrew dengar barusan, benar-benar membuatnya makin kecewa. Tampaknya Axl baik-baik saja bahkan tertawa-tawa, dalam percakapannya bersama Darren. Andrew pun kini sudah pasrah, jika pada akhirnya Darren akan mengambil anak itu.
Malam itu, Andrew tidur sambil memasang earphone dan menyetel lagu keras-keras. Ia tak peduli jika nanti Axl mungkin saja memanggil nya.
Esok harinya ketika hendak berangkat ke sekolah, Axl tak menemukan Andrew. Tak ada apapun di meja makan. Biasanya kalaupun harus pergi, Andrew tidak pernah lupa membuatkan sarapan untuk anaknya. Namun tidak kali ini.
Axl mengerti jika saat ini Andrew benar-benar telah menunjukkan sisi lainnya. Bahwa dibalik sikapnya yang penuh kasih sayang selama ini, Andrew juga hanyalah manusia biasa yang bisa saja marah.
"Nino."
Tiba-tiba Erwin muncul dan mendekati Axl.
"Mau makan apa?. Nanti om Erwin bikinin."
Axl menghela nafas.
"Daddy masih marah ya om, sama Nino?"
Kali ini Erwin yang mengambil nafas, ia agak sulit untuk bicara jujur pada Axl.
"Daddy cuma harus buru-buru berangkat aja, karena ada kerjaan yang harus diselesaikan pagi ini."
Axl agak ragu dengan penjelasan Erwin.
"Ta, tapi Daddy minta om Erwin buat bikinin Nino sarapan, sama nganter Nino ke sekolah. Sekalian mau jemput Rio juga dari rumah mamanya, biar sekalian nganter dia juga."
Erwin berdusta, sekedar untuk menyenangkan hati anak itu. Namun Axl sudah paham akan hal tersebut, bahwa Andrew tidaklah meninggalkan pesan apa-apa pada Erwin.
"Nggak usah, om. Nino harus dateng pagi, mau ngerjain PR bareng anak-anak."
"Loh, bukannya kamu kalau ngerjain PR selalu dirumah?"
"Mm, semalem ketiduran om. Nino berangkat dulu ya."
Axl segera berlalu meninggalkan Erwin, ia menuju ke garasi dan mengambil mobilnya. Ia pun lalu pergi menuju sekolah.
Sesampainya disekolah, suasana masih sepi. Karena ini memang masih pagi sekali, Axl sendiri biasanya tak pernah berangkat sepagi ini. Namun karena kondisi dirumah sedang tidak baik-baik saja, Axl memilih untuk menyendiri disini. Setidaknya, beberapa saat lagi teman-temannya akan datang dan mencairkan suasana.
Pasti akan ada saja hal yang bisa mereka tertawakan. Axl akan jauh lebih bahagia dan bisa melupakan masalahnya bersama Andrew. Ia lalu memilih duduk di kursi taman bagian depan sekolah, sambil sesekali melihat handphone.
"Tumben udah dateng pagi-pagi."
Tiba-tiba seseorang menyodorkan semangkuk bubur ayam padanya, Axl mengenali suara orang itu. Segera saja ia mendongak dan,
"Papa."
"Nggak usah kaget gitu juga, ntar masuk laler loh."
Darren menyerahkan bubur ayam tersebut, lalu Axl pun menerimanya dengan masih tak percaya jika Darren ada disana.
"Papa koq bisa ada disini?" tanya nya kemudian.
"Tadi papa liat kamu di jalan."
"Emang keliatan."
"Kan kamu buka kaca, Bambang. Mana ngerokok lagi. Ya udah papa ikutin aja."
Axl baru ingat jika ia tadi merokok sambil mengemudi. Padahal selama ini ia sudah berjanji tak akan melakukan hal itu lagi.
"Kamu ada masalah kan dirumah?"
Axl mengalihkan pandangannya kepada bubur ayam yang ada di tangannya.
"Nggak, nggak ada apa-apa koq."
"Kalau nggak ada masalah, kamu nggak mungkin berangkat sepagi ini sambil ngerokok pula di jalan. Papa tuh merhatiin raut muka kamu dari awal tadi ketemu."
"Axl tu cuma ngantuk, pa. Makanya kayak nggak bersemangat."
Axl berusaha meyakinkan Darren. Ia berkata seraya menatap ayahnya itu, dengan wajah yang serius.
"Ya udah deh terserah kamu, makan dulu yang penting."
Axl lalu mengaduk bubur ayamnya.
"Eh, koq diaduk begitu?" tanya Darren seraya mengerutkan kening.
"Emang enakan di aduk."
"Apa enaknya sih?"
Darren menatap bubur itu lalu menatap putera semata wayangnya, dengan masih mengerutkan kening. Sementara Axl tertawa lalu memakan buburnya.
"Ih, dasar aneh."
"Aneh gimana?" tanya Axl masih dengan tawanya yang sesekali.
"Itu tuh kayak...." ucapan Darren tertahan.
"Muntah kucing?" tanya Axl sambil terus makan dan menahan tawa. Ia suka melihat ekspresi ayahnya yang seolah jijik, membayangkan apa yang baru saja ia sebutkan.
"Kamu mendingan ngadep kesana deh. Sana-sana...!" Darren membelokkan tubuh Axl, sementara anak itu makin tertawa.
"Papa nggak kerja emangnya?"
"Ini papa baru pulang syuting, kamu nggak liat baju aja udah kusut begini."
"Papa belum mandi juga?"
"Ya belum lah."
"Pantes dari tadi ada bau nggak enak."
"Enak aja, papa wangi ya. Parfum papa lebih mahal dari parfum kamu."
Lagi-lagi Axl tertawa kecil. Usai makan Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, dan begitu pula dengan Darren. Detik berikutnya mereka sama-sama tertawa, ketika menyadari ternyata mereka mengeluarkan sikat gigi lipat berikut pasta giginya. Ternyata kebiasaan mereka sama.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di wastafel toilet sekolah dan menggosok gigi bersama.
"Kamu semalem tidur jam berapa?" tanya Darren seraya mengeringkan tangannya dengan tissue. Sesaat setelah mereka selesai membersihkan gigi dan mencuci tangan.
"Ya, abis papa nelpon semalem. Axl langsung tidur."
"Udah ngerjain PR?"
"Nggak ada PR hari ini."
Keduanya lalu berjalan keluar, Darren pun melirik arloji.
"Papa langsung pulang ya, soalnya sore mesti ke lokasi syuting lagi. Mau tidur bentar."
"Ok."
Darren lalu mendekat, ia memeluk dan mencium anaknya itu.
"Sana masuk kelas, bentar lagi temen-temen kamu pasti dateng."
Axl mengangguk, lalu melangkah menuju ke kelasnya.
"Axl."
Tiba-tiba Darren menghentikan langkah Axl.
"Papa nggak akan tanya, apa masalah kamu sama daddy kamu. Tapi kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu bisa nginep di apartment papa."
Axl kemudian menoleh lalu mengangguk. Tak lama ia pun kembali berbalik arah dan melangkah meninggalkan Darren.
Axl menjalani proses belajar mengajar dengan cukup menyenangkan hari itu, pasalnya teman-temannya pandai membangun suasana. Di tiap saat pasti ada saja kelakuan teman-temannya, yang membuat ia tak bisa menahan tawa.
Hari ini saja, Axl hampir tak bisa mengenali Choki. Pasalnya ia mengira Choki adalah Chico, padahal mereka hanya sedang bertukar tempat. Chico berada di sekolah Choki sedangkan Choki ada disini.
Ada saja kelakuan Choki yang membuat mereka tertawa, karena ia sedang berpura-pura menjadi Chico. Ternyata hari ini Chico menghindari satu siswi yang sedang marah padanya karena suatu sebab. Siswi tersebut agaknya memiliki dendam dan ternyata ia menampar Choki, yang ia kira adalah Chico.
"Bangsat nih, si Chico. Pantes aja dia mau gue ajak tukeran sekolah. Selama ini nggak pernah mau tuh anak, sial gue." gerutu Choki sambil memegang pipinya yang sakit akibat tamparan.
Sementara Axl, Jodi dan Adrian yang tak punya akhlak malah terpingkal-pingkal. Axl melupakan sejenak masalahnya dengan Andrew. Hingga saat pulang sekolah, ia merasa benar-benar gembira. Ia telah siap menghadapi Andrew kembali, bahkan mungkin ia akan mengajak Andrew bicara lalu meminta maaf.
Namun tak lama kemudian, ia berpapasan dengan Andrew di jalan. Ayah angkatnya itu tengah terjebak di dalam kemacetan, namun pada arah yang berlawanan.
Ketika Axl hendak menyapa ayahnya, Andrew yang sudah bertemu muka dengan Axl hanya melengos saja. Seolah tak melihat Axl sama sekali. Setelah lampu kembali hijau ia pun berlalu.
Axl yang tadinya bersemangat untuk segera berbaikan dengan ayahnya itu, kini menjadi down tiba-tiba. Dalam kekalutannya itu, ia lalu parkir di pinggir jalan dan menelepon kekasihnya, Selena.
Axl bermaksud ingin mampir ketempat gadis itu, karena ia sendiri malas pulang kerumah. Andrew tak menunjukkan tanda jika amarahnya sudah mereda.
"Nomor yang anda tuju tidak menjawab."
Axl menyudahi panggilan telponnya ketika Selena tak jua mengangkat, setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi. Tak lama kemudian Selena mengirim pesan suara pada Axl.
"Aku lagi di jalan, ada kerjaan. Nanti aku telpon balik."
Begitu bunyi pesannya. Axl lalu meletakkan kembali handphone, namun tak lama kemudian.
"Tadi siapa yang nelpon?"
"Oh, bukan siapa-siapa koq. Temen kerja yang nanyain soal bajunya yang aku pinjem."
Axl terkejut mendengar pernyataan tersebut. Pasalnya orang itu adalah Selena, yang kini tengah melintas di depan mobil Axl bersama seorang laki-laki.
Axl tak tau siapa laki-laki itu. Ia juga tak ingin memastikan atau berbuat keributan, meski amarahnya saat ini sudah sangat ingin meledak. Axl berusaha keras menahan emosinya, ia lalu menginjak pedal gas lebih dalam hingga mobilnya melaju sangat kencang.
Darren ketiduran hingga jam 8 malam, ia panik karena harusnya sudah berada di lokasi syuting. Baru saja ia hendak menelepon sutradara, Namun ia membaca sebuah pesan jika syuting ditiadakan hingga minggu depan. Karena sutradaranya mendadak sakit.
Darren pun merasa sedikit lega, ia lalu keluar kamar dan hendak mengambil air minum. Namun ia dikejutkan dengan sebuah pemandangan.
Ya, Axl yang kini tertidur di sofa depan televisi. Darren bahkan tak menyangka jika anak itu akan datang. Darren kemudian mendekat lalu duduk disisi putera semata wayangnya itu, sambil mengelus kepala dan rambutnya.
Ia tau jika Axl pasti sedang mengalami masalah yang berat, meski ia tak tau masalahnya apa.
Darren lalu mengangkat dan membawa tubuh anak itu ke kamar yang biasa ia tempati. Anak itu bahkan tak bergeming sama sekali, tidurnya sangat nyenyak. Darren membuka genggaman tangannya, karena ia curiga Axl meminum obat tidur.
Dan biasanya jika ia melakukan perihal tersebut, ia akan meninggalkan beberapa butir dalam genggamannya. Agar kelak jika ia terbangun, ia akan meminumnya lagi.
Namun kali ini tak ada sama sekali, mungkin memang tidak dalam pengaruh obat tidur apapun. Kalaupun iya, Darren sudah siap untuk memarahi anak itu ketika ia bangun nanti.
Sebelum pergi meninggalkan kamar tersebut, ia mencium kening Axl lalu menyelimutinya.
"Dad, maafin Nino. Maaf kalau Nino suka membuat keputusan sendiri. Nino minta maaf dad, daaaad."
Axl terbangun dari tidurnya yang gelisah, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Baru saja ia mengalami mimpi buruk.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak pertengkarannya dengan Andrew waktu itu. Namun masih menyisakan trauma tersendiri baginya hingga saat ini. Meski mereka sudah berbaikan sejak lama.
Pasalnya saat itu Andrew menjadi benar-benar marah, ketika Axl malah pergi ke kediaman Darren dan tak pulang kerumah. Namun Andrew bukan tipikal orang yang langsung bisa melontarkan kemarahannya begitu saja, jika tidak terpaksa.
Ia malah memendam kemarahan itu, hingga dirinya jatuh sakit. Keadaan Andrew cukup parah saat itu, bahkan ia sempat berada dalam fase kritis.
Dalam kondisi itulah Axl terus menyesali perbuatannya. Ia bahkan menangis sepanjang malam, karena melihat kondisi Andrew yang tak jua menunjukkan kemajuan.
Sampai akhirnya Andrew sembuh lalu mereka pun berbaikan, namun ketakutan Axl masih terus tersisa hingga hari ini. Acap kali ia memimpikan suasana yang pernah dilaluinya tersebut. Dimana ia merasa begitu menyesal sudah membuat Andrew marah dan akhirnya jatuh sakit.
"Nino."
Tiba-tiba Andrew membuka pintu kamar Axl dan masuk kedalam.
"Dad?" Axl menatap ayahnya dengan mata yang masih mengantuk.
"Kamu belum mandi?" tanya Andrew kemudian.
"Kan masih pagi, dad."
Andrew berjalan ke arah kaca dan menyibak gorden.
"Pagi apaan, matahari udah diatas gitu."
"Lah?. Nino telat dong ke sekolahnya?"
Axl buru-buru mengambil handuk. Masuk ke kamar mandi, lalu keluar lagi mengambil sabun yang baru ia beli kemarin. Kebetulan sabun itu ia simpan di laci meja samping tempat tidur.
"Duh mana lagi handuknya tadi."
"Itu di bahu kamu?"
Axl menghela nafas.
"Daddy koq santai gitu sih?. Bukannya tadi Nino dibangunin, udah tau anaknya sekolah."
"Andrew menghela nafas dan sedikit melebarkan bibirnya yang tertutup.
"Nino, ini hari minggu."
"Anjir." Axl menepuk jidatnya, ia benar-benar lupa jika hari ini adalah hari minggu.
Ia lalu meletakkan kembali handuknya, ke atas jemuran kecil di depan kamar mandi.
"Koq diletakin lagi?. Bukannya mandi?"
"Mau mandi juga mau kemana, dad?. Hemat air lah."
"Dibawah temen-temen kamu udah pada dateng loh?"
"Temen-temen?. Ngapain mereka kesini?" tanya Axl seraya menatap Andrew. Andrew mengeluarkan korek api dari dalam saku, lalu menghidupkannya.
"Happy Birthday."
Axl baru ingat jika hari itu adalah ulang tahun nya, ia pun tersenyum penuh haru dan memeluk Andrew. Andrew mematikan korek apinya dan memeluk anak itu erat-erat. Air mata mengalir di kedua sudut matanya.
16 tahun sudah anak itu mengisi hidupnya, anak yang telah menjadikannya seorang ayah. Andrew masih ingat ketika Axl baru saja tiba dirumah, betapa rapuh dan lemahnya ia saat itu.
Saat Andrew sedang bekerja, ia akan menangis sepanjang malam dan tak mau tidur jika belum mendengar suara Andrew. Biasanya Andrew akan meninggalkan pesan suara, yang ia letakkan di dalam boneka beruang. Sebelum ia berangkat untuk bekerja diluar kota. Pada saat itu ia dititipkan pada pengasuh dan diawasi oleh Erwin. Kini dihadapannya, anak itu bertumbuh dengan cepat, 16 tahun seolah terlewatkan begitu saja.
"Dengerin daddy, ya. Udah nambah umur, bandelnya di kurang-kurangin. Tawurannya di udahin, udah mau masuk universitas loh. Rokoknya di stop, masa calon dokter ngerokok."
Axl nyengir lalu mengangguk dan melepaskan pelukan Andrew. Andrew lalu mencium anaknya itu dan menyuruhnya segera mandi.
"Mandi sana, temen kamu udah pada nunggu."
Axl bergegas, ia mengambil kembali handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian Axl turun tangga.
"Happy birthday to you."
"Happy Birthday to you."
"Happy birthday to you, Bambang."
"Happy Birthday, kuyaaang."
"Anj....."
Axl tertawa lalu berlarian ke arah Adrian, Chico-Choki dan juga Jodi. Mereka memeluk Axl bergantian, sementara teman sekolahnya yang lain terus menyanyikan lagu.
"Happy birthday, bro." ujar Adrian dan yang lainnya. Tak lama kemudian Axl pun dianiaya, Adrian mengeplak kepalanya begitu pula dengan Jodi dan si kembar. Mereka lalu tertawa-tawa.
"Sakit bangsat."
Axl membalas perlakuan temannya dan begitulah mereka. Meskipun bercanda kasar, mereka adalah sahabat yang saling menyayangi satu sama lain.
Axl lalu bersalaman dengan teman-temannya yang lain. Beberapa orang siswi memberikan kue padanya, mereka meminta Axl meniup lilin nya. Namun kemudian ia menatap pintu depan.
"Bro, lo nggak lupa kan kalau lo udah nggak lagi sama Selena?" Jodi menggoda Axl dengan pertanyaan bangsatnya, Axl meniup lilin pada masing-masing kue tersebut.
"Gue inget kalau gue sekarang jomblo, bangsat." selorohnya kemudian.
Jodi terkekeh.
Teman perempuannya kini berlalu untuk meletakkan kembali kue ke atas meja, sementara yang lain mulai memberikan selamat pada Axl. Ada pula yang langsung makan tanpa aba-aba.
"Terus tadi ngapain lo ngeliat ke pintu, nungguin siapa coba?"
Adrian mencecar Axl dengan pertanyaan. Bukan apa-apa, ia dan yang lain masih takut jika Axl belum juga move on dari Selena. Mereka menyayangi Axl bukan hanya sebagai teman, tetapi sudah seperti adik mereka sendiri.
"Kagak Bambang, ngapain gue nungguin dia."
Axl beralih pada teman-temannya yang lain dan berinteraksi bersama mereka. Sejujurnya, ia memang tak menantikan Selena sedikitpun. Karena gadis itu kini sudah kuliah di Singapore dan hubungan mereka pun sudah berakhir. Sebab Selena selingkuh dengan temannya sendiri, Axl pernah melihat waktu itu. Yang Axl kini tunggu adalah Darren dan juga Mikha.
Ya, ibu dan ayahnya yang satu lagi, yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. Entah dimana Darren dan Mikha sekarang. Axl sendiri sengaja tak menghubungi, karena ingin tau apakah mereka ingat atau tidak tentang hari ini.
"Kenapa, Drew?"
Erwin memperhatikan Andrew yang sejak tadi mengawasi gerak gerik Axl. Axl sendiri masih tampak memandang ke arah pintu sesekali.
"Biarin aja dia nungguin bapaknya, toh lo sendiri adalah bapak yang selalu ada buat dia. Lo nggak kayak Darren yang suka lupa hari penting anaknya."
"Mungkin juga dia nunggu ibunya." ujar Andrew.
"Ibunya juga sama aja, kan."
Kali ini Andrew tersenyum meski tipis, ia lalu mereguk minumannya.
"Papa."
Rio mendekati ayahnya dengan, didampingi oleh seorang gadis yang seumuran dengan nya.
"Kenapa?" tanya Andrew. Ia dan Erwin lalu menatap gadis yang ada di sisi Rio.
"Ini Nadia, temen Rio."
"Bohong, pacarnya tau dad."
Axl muncul dari belakang, menyembulkan kepala diantara daddynya dan juga Erwin.
"Apaan sih kakak, orang ini temen Rio."
"Halah, pacar juga nggak apa-apa. Iya kan, dad?"
Rio melempar remote AC ke arah Axl, kakak nya itu pun berlari.
"Hai, om." Nadia mengulurkan tangannya, Erwin dan Andrew bergantian menyapa anak itu.
"Nadia, teman sekelasnya Rio?" tanya Erwin kepada gadis itu, sementara Andrew turut menunggu jawaban.
"Kakak kelas, om."
"Oooooo" Erwin dan Andrew saling bertatapan Lau tersenyum.
"Anak lo dua-duanya sama, pada demen sama yang lebih tua."
Andrew tertawa kecil.
"Udah lama pacaran sama Rio?" Kali ini Andrew yang bertanya, membuat Rio terkejut dan gelagapan.
"Nggak gitu, paaa."
"Ah masa?" Axl muncul kembali untuk membuat adiknya sewot.
"Kakaaak."
Nadia tertawa melihat mereka semua.
"Nad, kamu ambil makan aja dulu sana."
Rio mendorong Nadia, lalu secara serta merta Axl meminta tangan Nadia. Nadia bersiap menyambutnya, namun ditepis oleh Rio.
"Aw, sakit tau nggak." ujar Axl.
"Awas ya kak, ntar Nadia malah suka sama kakak."
"Cie, cemburuuu." lagi-lagi Axl menggoda adiknya itu.
"Ih."
Rio kemudian membawa Nadia dengan wajah yang sewot. Axl, Andrew dan Erwin pun tertawa melihat tingkah anak itu.
"Axl, ini kuenya jangan di diemin."
Salah satu teman perempuannya meminta Axl untuk mendekat ke arah meja, dimana semua makanan diletakkan.
"Udah terserah mau diapain, makan aja pada. Abisin juga nggak apa-apa."
"Tapi kita belum bikin Insta story, Axl."
"Iya sama gue jugaaa."
"Gue jugaaa."
"Gue juga."
Axl memperhatikan gadis-gadis teman sekelasnya itu, sambil melebarkan bibir hingga kuping. Sementara Adrian, si kembar, Jodi, serta teman laki-lakinya yang lain kompak menertawakannya.
"Baek-baek di keroyok, bro." celetuk salah seorang temannya yang laki-laki.
"Iya-iya, ayo kalau mau insta story."
Axl menuruti keinginan teman perempuannya, sebelum ia dilempar high heels. Mereka membuat insta story bersama Axl secara bergantian. Menyuapi Axl dengan kue, bahkan ada yang melumuri wajah remaja itu dengan cream dan coklat.
"Sabar ya, bro." celetuk Jodi. Ingin rasanya Axl melempar temannya itu dengan gas tiga kg.
"Axl, lo masa nggak potong kue sih." ujar salah seorang teman perempuannya.
"Kue nya aja udah acak-acakan gini lo buat."
"Kan masih ada kue yang lain, Bambang." ujar gadis lainnya.
"Oh iya, hehe."
"Kan kita beli nya lima." celetuk gadis itu lagi.
Axl lalu diberi tissue untuk membersihkan wajahnya, teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan kini mendekat. Mereka membentuk lingkaran dan kembali menyanyikan lagu Happy birthday. Beberapa diantara mereka pun kompak mengeluarkan handphone dan merekam momen tersebut.
"Bantai kuenya."
"Bantai kuenya."
"Bantai kuenya sekarang juga, sekarang juga."
"Psikopat lo pada." ujar Axl sambil tertawa.
Ia lalu memotong kue dan meletakkannya di piring.
"Lo mau kasih buat siapa, bro?" tanya Adrian.
"Ya buat bapak gue lah."
"Daaad."
Si kembar Chico-Choki memanggil Andrew, Andrew yang tampak sedang berbincang dengan beberapa rekannya itu pun menoleh.
Ada beberapa anak dari rekan kerjanya yang berteman dengan Axl, mereka datang menemani anak mereka.
"Ya." jawab Andrew.
Lalu ia pun mendekat, begitu pula dengan rekan nya yang lain.
"Ini buat daddy." Axl menyerahkan potongan kue tersebut. Andrew pun menerimanya, lalu memeluk dan mencium anak itu.
"Bro, yang kedua buat siapa?" tanya Adrian.
Axl yang kini kembali memotong kuenya tersebut pun agak terdiam. Sebenarnya ia ingin memberikan nya pada Darren, namun Darren belum juga terlihat. Andrew mengerti apa yang dipikirkan anaknya.
"Buat lo lah." Axl menyerahkannya pada Andrian sambil berusaha tertawa.
"Dikit banget."
"Ya lo ambil sendiri, bangsat."
Mereka semua tertawa, Adrian memeluk sahabatnya itu.
"Selamat panjang ya, bro "
"Bangsat, hahaha."
"Ya udah, ini berarti buat gue sama Chico dan Choki."
Jodi mengambil sisa kue yang masih banyak.
"Gaes, makaaan...!"
Jodi menginstruksikan pada seluruh yang hadir, untuk makan kembali. Pihak katering pun menambah makanan lagi. Mereka kini melahap yang ada sambil berbincang, bercanda, membicarakan hal-hal menyenangkan.
Axl tampak menikmati hari tersebut. Meskipun acap kali Andrew mendapati anaknya itu, tampak menatap ke arah pintu masuk. Andrew mengerti jika Axl menunggu kedatangan Darren.
"Darren nggak dateng?" tanya Erwin lagi.
Andrew menggeleng sambil terus menelepon.
"Ini lagi coba gue hubungin, tapi nggak diangkat-angkat dari tadi."
Erwin hanya menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir mengapa Darren bisa melupakan hari terpenting dari anaknya sendiri.
Sementara itu, Darren yang baru pulang dari syuting langsung meletakkan barang-barangnya di kamar. Ia lalu membuka tas dan mengambil handphone. Sepanjang perjalanan tadi ia sengaja tak melihat handphone karena buru-buru ingin sampai dirumah.
Ia merasa begitu lelah dan ingin tidur. Namun ia menemukan banyak sekali panggilan tak terjawab dari Andrew.
"Pak Andrew kenapa?" tanya nya kemudian.
Ia berniat menelepon balik. Namun tiba-tiba ada panggilan masuk dari Reno, sahabatnya.
"Hallo Ren, kenapa?"
"Darr, ambil paket dari gue. Di security bawah."
"Paket apaan?"
"Buat anak lo?"
"Buat Axl?"
"Iya, emang anak lo ada berapa Bambang?"
Darren tertawa.
"Kenapa nggak langsung ke orangnya aja sih?"
"Ya biar sekalian, kan lo pasti kesana. Sekalian bilang maaf kalau gue nggak bisa dateng di hari ulang tahunnya."
"Oh iya, astagaaa."
Darren baru ingat jika anaknya berulang tahun hari ini.
"Darr?. Jangan bilang lo lupa."
"Aduh."
Darren menepuk keningnya dengan wajah yang mulai panik.
"Ren, sumpah gue lupa. Mana udah jam segini lagi. Pantes tadi banyak banget panggilan dari pak Andrew."
"Gimana sih lo, kecoa Baghdad. Lo tau anak lo modelnya kang ghosting gitu. Ngambek dikit, ghosting. Lo bukannya di ingetin hari penting begitu."
"Gue syuting udah empat hari, Ren. Itu full, istirahat dikit banget. Mana sempet gue inget. Ya udah deh, gue mau telpon dia dulu."
"Ya udah telpon sono, sebelum ilang tuh anak. Di ghosting sebulan, mampus lu."
"Iya, ini gue telpon."
"Jangan lupa paket gue."
"Iya."
Darren menyudahi sambungan telpon dan kini ia mencoba menghubungi Axl.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area."
"Duh, kemana sih nak. Kenapa di matiin coba HP nya."
Darren mencoba menghubungi anaknya beberapa kali, namun hasilnya tetap sama. Ia pun beralih menelepon Andrew, tetapi Andrew sendiri tengah berbincang dengan rekan-rekan nya yang belum pulang.
Sementara anak-anak sudah tidak ada lagi dirumah, mereka lanjut party di beer house. Salah satu tempat nongkrong milik keluarga si kembar, selain Castle Crown.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!