BAB 5 WONDER GIRL

Hari itu panas terik. Fajar mencoba menghidupkan motor RX-king hitam yang berkali-kali gagal bersuara. Keringat sudah membasahi wajahnya hingga membuat baju seragamnya ikut basah. Kemunculan Rangga dan Erik awalnya ia abaikan begitu saja. Fajar tak ingin berurusan dengan anak Kepala Sekolah satu ini baik disengaja maupun tidak.

"Motornya mogok, Dut?" tanya Rangga sembari mencoba melingkarkan tangannya di bahu Fajar. Namun hal itu gagal ia lakukan saat menyadari keringat yang mengucur deras di tubuh lelaki gempal itu. Ia beringsut menjauh.

"Bisa nyalain gak? Kalau gak bisa mending pulang jalan kaki aja atau naik angkot! Mungkin motornya ngambek terus dinaikin sama orang gendut."

Ada tawa terbahak yang keluar dari mulut Rangga dan Erik. Fajar tak menghiraukan. Ia terus berusaha menyalakan mesin motornya meski lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena motornya memilih tak menuruti perintah tuannya.

"Badan segede gajah gini harusnya nyadar diri dong! Kasihan tuh motornya. Tersiksa!" 

Lagi-lagi keduanya terbahak.

"Makan apa kamu nyampe bisa tumbuh subur gini sih? Huh!"

"Makan gajah kali!"

Tawa mereka kembali membahana. Namun mesin motor Fajar akhirnya mau menyala. Lelaki itu buru-buru menaikinya. Mengucapkan salam dan berlalu pergi. 

Fajar ingat betul kali pertama ia akhirnya berurusan langsung dengan Rangga. Gosip bahwa lelaki itu selalu berani meracau bahkan mengejek kini ia sendiri yang mengalaminya. Namun, Fajar tak menyangka jika setelah hari itu dirinya malah selalu di ekori oleh Rangga. Tak jarang teman sekelasnya ikut tertawa tatkala Rangga memojokkannya dengan dalih bobot tubuhnya yang lebih besar dari yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, Fajar selalu memilih diam meski hatinya diliputi rasa kesal dan malu. Namun, ia terlalu takut berurusan dengan anak seperti Rangga. Ia lebih memilih menjadi patung dan menulikan telinga, membutakan hati dan mata di saat bersamaan.

Suatu hari, di tengah kelas gaduh karena kekosongan Guru yang izin menghadiri rapat. Hanya memberikan mereka tugas individua di dalam kelas. Rangga kembali merisak dirinya dengan menyuruh Fajar mengerjakan tugas bagiannya. Tentu saja Fajar memilih menolak. Namun, Rangga yang berang dan berteriak seperti orang gila membuat Fajar menjadi pusat perhatian. Tak ada seorang pun yang melerai. Ia ingat betul hari itu. Sempat ia menyanggah setiap teriakan itu, namun Rangga malah menampar pipinya hingga membuat lelaki gempal itu semakin diliputi malu dan kesal di saat bersamaan.

Saat itu tiba-tiba seseorang mendorong tubuh Rangga hingga lelaki itu tersungkur. Fajar menoleh ke arah gadis yang tengah mengepang rambut panjangnya, memasang wajah segarang mungkin tatkala Rangga bangkit dari jatuhnya.

"Bisa diem gak sih! Ganggu orang lagi belajar aja!" teriak gadis itu pada Rangga.

Rangga yang tak terima mendekat ke arah gadis itu, "gak usah ikut campur!"

Lagi-lagi gadis itu mendorong tubuh Rangga hingga lelaki itu beringsut mundur, "dasar banci! Berani juga yah ngelawan cewek! Jangan mentang-mentang kamu anak Kepala Sekolah, kamu bisa seenaknya! Pengecut!"

Rangga mematung tak menyangka mendapatkan kalimat penghinaan dari seorang gadis. Bukannya balik melawan, Rangga malah tersenyum dan memilih kembali ke bangkunya. Terus memandang ke arah gadis itu yang kembali duduk di kursinya. Fajar memerhatikan betul perubahan sikap Rangga hari itu yang ia yakini sebagai alasan kenapa Anggita selalu ia usik hingga hari ini.

Fajar mendapati Anggita tengah memandang ke arah jendela, membiarkan semburat sinar mentari yang sudah ada di puncak menerpa wajahnya. Sesaat Fajar menyaksikan kilau wajah ayu Anggita yang sudah pasti membuat lelaki manapun jatuh cinta. Termasuk Rangga, Gilar, dan mungkin dirinya. 

Fajar duduk di seberang Anggita. Gadis itu sadar akan keberadaannya dan menyapanya dengan senyuman. Ada perasaan bersalah bercampur senang yang saling berpilin di hati Fajar. Ia tak menyangka aksi heroik Anggita untuk menolongnya hari itu malah membuat gadis itu jatuh dalam kubangan lumpur yang di buat Rangga. Melekat dan bertahan lama hingga Rangga nampak enggan melepaskan gadis itu barang sedetik pun.

"Mau pulang sekarang, Ta?" ajak Fajar membuka percakapan.

Anggita menggeleng pelan.

"Barusan aku ketemuan sama si Rangga di perpustakaan, Faj."

Fajar terbelalak, "kamu gak diapa-apain sama dia, kan?" rasa khawatir menyeruak di hatinya.

Anggita menggeleng mantap.

"Sorry yah, Faj."

"Sorry buat apa, Ta?"

"Kalau Rangga gangguin kamu selama kamu temenan sama aku. Sorry, yah!"

Fajar memalingkan wajahnya. Ada rasa malu yang ikut-ikutan menelisik hatinya. Bukan Anggita yang harus meminta maaf, tapi ialah yang harus meminta maaf pada Anggita. Namun, ia terlalu malu mengakuinya. Harga dirinya sebagai lelaki sudah terinjak semenjak Rangga merundungnya. Apalagi jika mengingat bahwa Anggita-lah yang membuat Rangga berhenti mengganggunya, namun malah balik mengganggu Anggita membuat harga diri lelaki gempal itu semakin jatuh. Harusnya ialah yang menjadi tameng untuk melindungi seorang wanita, bukannya wanita yang menjadi tameng untuk melindunginya.

"Gak usah minta maaf, Ta. Aku gak ngerasa di ganggu kok!"

"Dia gak nyampe nampar kamu kayak waktu itu, kan?"

Fajar menggeleng mantap. Meski sebenarnya itu bukanlah jawaban yang benar. 

Ia ingat betul! Hari itu ia tengah berjalan menuju kantin, sambil menghafal pesanan Anggita dan Gladis yang memilih menunggu di kelas. Tiba-tiba Rangga mencegatnya dan menyeretnya ke belakang sekolah. Tak ada siapapun di sama kecuali mereka berdua. Rangga mendorong tubuh Fajar hingga ke dinding, menarik kerah bajunya hingga terangkat. Membuat kepala Fajar mendongak.

"Jangan coba-coba deketin Anggita! Atau kamu bakal tahu akibatnya!" 

Saat itu Fajar amat ketakutan. Tubuhnya gemetaran hingga kedua tangannya basah. Namun, ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia tak ingin harga dirinya yang sudah terinjak semakin terinjak lagi.

"Aku cuma temenan doang sama dia! Emang gak boleh?"

Rangga melepaskan tangannya. Menyelidik Fajar yang masih ketakutan.

"Awas kalau macem-macem! Berani kamu ngajak Anggita jadi pacar dia, kamu bakal tahu akibatnya! Dan ingat, jangan berani-berani menyentuh gadis itu!"

Saat itu bukanlah tamparan yang ia terima, tetapi rasa takut melebihi sakitnya tamparan yang ia alami ketika di kelas. Tak pernah ia sangka betapa menakutkannya seseorang yang dilanda jatuh cinta hingga rela menjauhkan kekasihnya dari lelaki manapun. Termasuk dirinya yang dengan sukarela ingin berteman dengan Anggita. Meski seiring berlalunya waktu, Fajar malah semakin nyaman berteman dengan gadis itu. Melihatnya begitu tak berdaya karena muak di usik oleh Rangga, membuat Fajar semakin menaruh penyesalan yang menjelma membentuk keberanian untuk terus berada di samping Anggita. Ia kikis habis rasa takut itu, demi Anggita yang kadang terlihat tak berdaya menjalani kehidupan sekolahnya. Namun di lain waktu bisa berubah drastis menjadi lebih semangat, hingga terkadang melawan tindak merisak dari Rangga.

"Aku gak nyangka masalahnya bisa jadi kayak gini, Faj. Aku gak pernah punya mimpi apa pun punya keadaan di sekolah kayak gini. Kayak mimpi buruk, tahu!" keluh Anggita kemudian yang membuat ingatan Fajar terhenti.

"Kamu gadis kuat, Ta. Kamu bisa lewatin semuanya! Kan ada Aa Gilar!"

Harusnya ia yang menjadi Gilar. Harusnya ia seberani Gilar. Harusnya ia yang membuat Anggita nyaman bukannya Gilar.

"Entahlah, Faj. Berurusan sama Gilar juga sama kayak mimpi buruk. Jujur sih, malem tadi bener-bener bikin takut."

"Emang sebenernya apa yang terjadi?"

"Gilar bawa temen-temennya dan diem depan rumah. Aku liat mereka kayak mau berantem gitu sama Rangga. Cuma denger suara teriakan aja sih! Perang mulut kayaknya. Tapi tangan si Rangga udah siap nonjok gitu!"

Fajar memilih diam mendengarkan gadis itu bercerita.

"Dan Rangga ngancem aku bakal DO si Gilar kalau aku gak putus dari dia! Orang gila dasar! Gimana mau putus, orang jadian juga nggak. Aneh!"

Ada senyuman yang tersungging di wajah Fajar. Lega bercampur cemburu. 

"Terus barusan kalian ngobrol apa di perpustakaan?"

"Entahlah. Aku terlalu marah sama dia. Bisa-bisanya ngancem kamu biar gak mau temenan sama aku. Pasti ini alesan anak-anak di kelas gak mau deket-deket sama aku. Iya, kan?"

Fajar memilih diam. Meski perkataan Anggita ada benarnya. 

"Kayaknya aku sama Rangga bakal abadi jadi musuh deh. Bodo amat dia mau bilang demi orang yang di sayang atau apa. Karena semua yang dia lakuin itu buat aku salah! Cara dia nunjukkin cintanya itu salah besar!"

"Rencana kamu sekarang apa?"

"Gak ada, Faj. Mungkin masih kayak gini aja. Duduk samping Gilar udah lumayan bikin dia jarang ngegangguin. Dan aku nyaman."

Percakapan keduanya segera berakhir ketika Fajar lagi-lagi mengajak Anggita untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Anggita yang duduk tersekat tas landak Fajar memilih memainkan duri landak tas lelaki itu sembari bersenandung. Sedangkan Fajar terus tersenyum semringah, sembari sesekali memandang wajah ceria Anggita dari balik kaca spion.

"Anggita!" seru Fajar yang membuat Anggita sedikit mendekatkan diri ke tas landak milik lelaki itu.

"Apa?"

"Mau jalan-jalan dulu gak sebelum pulang?"

Anggita sejenak terdiam. Dapat Fajar lihat gadis itu seolah tengah berpikir. Mulutnya beberapa kali kembang kempis di sertai gerakan mata yang berputar tak tentu arah.

"Boleh sih! Tapi ke mana?"

"Kamu maunya ke mana?"

"Gak kepikiran! Gimana kamu aja deh!"

Senyuman Fajar kembali mengembang. Laju motor ia percepat meski tak membuat gadis di belakangnya protes.

Di bawah remang cahaya sinar mentari yang berhasil menerobos melalui celah-celah dedaunan, Anggita menyambutnya dengan sukarela. Matanya sengaja ia pejamkan. Ia hirup lamat-lamat udara sekitar. Angin kecil menerpa wajahnya, anak-anak rambut yang tak berhasil terikat berkelebat ke sana kemari. Fajar yang duduk di sampingnya terus memandang gadis itu lekat; enggan berpaling. Baru ketika Anggita tiba-tiba menoleh ke arahnya, Fajar pura-pura tak melihat. Ia sibuk bersiul tatkala burung-burung kecil hinggap tak jauh dari keduanya. Menunduk ke tanah membuat paruhnya beberapa kali mematuk seolah mendapatkan mangsa untuk dimakan. 

"Kepikiran juga kamu ngajak aku ke kebun binatang!" seru Anggita diakhiri sebuah senyuman yang membuat Fajar lagi-lagi terkesima.

"Kali-kali kita jalan ke tempat yang penuh edukasi, Ta."

"Gramedia juga tempat yang mengedukasi kali, Faj."

"Tapi langsung dengan berinteraksi dengan alam kan lebih mengedukasi ketimbang cuma melototin buku di dalem ruangan ber-AC!"

"Orang pinter emang beda yah pemikirannya!"

"Kayak kamu gak pinter aja. Gak usah merendah gitu!"

"Eits! Sorry! Ngelawan juara satu sih aku angkat tangan, Faj!"

Tawa keduanya pecah.

"Ini nih senengnya di sekolah. Bisa temenan sama anak pinter yang selalu dapet ranking satu. Di satu sisi rival, tapi di sisi lain malah temenan," ungkap Anggita yang hanya di tanggapi anggukan oleh Fajar.

"Sebelnya yah itu, ada si Rangga. Coba kalau dia ngilang dari SMA Marga. Lengkap sudah kebahagiaan masa SMA-ku! Mungkin sekarang aku udah jadian sama si Gilar. Bener, gak?" sambung Anggita kembali.

 "Bersyukur sama apa yang ada aja, Ta. Di luar sana banyak anak seusia kita yang terpaksa putus sekolah."

"Iya, sih. Ketimbang pusing mikirin keberadaan si Rangga, mending aku banyak-banyak bersyukur masih bisa ngecap dunia sekolah. Uh, sebel! Ngobrol sama kamu suka jadi serius gini! Bikin nangis tahu!"

Fajar tersenyum, "biar temenan itu ada faedahnya, Ta. Bukan ngeghibah terus kayak si Gladis. Giliran bahas yang bermutu, malah menghindar. Kita emang masih muda sih, pemikiran kita gak sematang orang dewasa. Tapi, gak ada salahnya kita berbagi pemikiran terhadap sesama. Bisa jadi obrolan kita hari ini tuh bermanfaat buat besok!"

"Selalu, Ta. Banyak banget manfaatnya. Daripada banyak ngobrolin hal sepele kayak film, game, kadang aku juga butuh ngobrolin hal serius kayak gini. Minimal bisa saling memotivasi sesama temen. Ngasih tahu hal baik dan hal buruk. Bukan asal nuduh atau dikit-dikit curhat di media sosial."

Anggita bangkit dari duduknya. Menggeliat sekuat tenaga membuat tubuhnya tampak lebih tinggi. 

"Keliling, yuk! Kenalan sama makhluk bumi yang lain!" ajak Anggita yang tentu saja di angguki Fajar. 

Keduanya jalan beriringan. Menjumpai makhluk lain yang menempati bumi selain manusia. Burung-burung yang terpaksa terkurung dalam sangkar meskipun berukuran besar, membuat Anggita dan Fajar senang dapat melihatnya secara langsung, namun juga sedih di saat yang bersamaan. 

"Burung yang harusnya terbang tinggi malah terpaksa harus terkurung di sini. Alibi makhluk langka malah membuat mereka harus dilindungi namun haknya untuk terbang bebas juga di rampas," Fajar kembali berceloteh dan Anggita memilih menyimak.

"Bukan cuma burung sih, hampir semua hewan di sini yah, Ta. Kasihan ada. Tapi seneng juga ada. Bisa lihat langsung! Tapi iba lihat mereka ada di tempat sempit kayak gini. Padahal alam kan luas banget!" Lagi-lagi hanya Fajar yang berceloteh.

"Pemikiran orang dewasa mungkin ini yang terbaik kali, Faj. Buat kita yang belum tahu banyak tentang mereka paling cuma bisa jaga alam mulai dari diri sendiri. Misal, jangan buang sampah sembarangan, kurangi memakai bahan plastik. Terus, apa lagi, yah?"

"Pikir sendiri aja sana!"

Fajar melangkah pergi diekori Anggita yang memilih mengikutinya. Saat itu sore menjelang. Anggita dan Fajar duduk di sebuah lapangan bersama pengunjung lain. Menyaksikan atraksi seekor orang utan yang tengah berinteraksi dengan tuannya. Suara tepuk tangan penonton bergemuruh tatkala orang utan tersebut berhasil mematuhi perintah tuannya. Meski wajah hewan itu hanya berekspresi datar, penonton yang menyaksikan malah di buat tertawa karena ulahnya.

"Dia punya temen gak yah, Faj?" tanya Anggita di sela tangannya yang masih bertepuk.

"Punya mungkin!"

"Tahu dari mana?"

"Nih!" telunjuknya mengarah ke Anggita, "temennya duduk di samping aku! Lagi tepuk tangan!"

Anggita memukul keras bahu Fajar membuat lelaki itu meringis dan tertawa bersamaan. 

"Kurang aja kamu!"

Keduanya tertawa terbahak dalam riuh tepuk tangan penonton. Senyum Fajar terus mengembang, leluasa matanya memerhatikan Anggita yang duduk di sampingnya. Melihat gadis itu bisa tertawa adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuknya.

Terpopuler

Comments

Winda Nurjannah

Winda Nurjannah

semangat thoor yang gereget ok hhee

2020-04-19

1

Rini IR

Rini IR

tata bahasa nya bagus ka, semangat, bisa jadi inspirasi

2020-03-09

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!