TEOREMA GRAF
Mentari masih malu-malu menerpa atap SMA Marga. Anggita sudah berdiri di depan kelas X B sambil terus memandang layar ponselnya dengan kaki dientak-entakkan. Gadis dengan rambut panjang terurai sepinggang itu sesekali menggigit jarinya gemas dengan helaan nafas panjang. Sebuah teriakan memanggil namanya terdengar dari arah lapangan basket. Gadis berkerudung blouse putih setengah berlari menghampirinya sambil melambaikan tangan. Anggita menyunggingkan senyuman dan memilih ikut berlari menghampirinya. Ditariknya lengan gadis itu ketika keduanya sudah berdekatan. Ringisan gadis itu, Gladis, diabaikan Anggita yang lebih memilih memboyongnya cepat-cepat masuk kelas.
Anggita memonyongkan bibir saat melihat Gladis lebih memilih duduk di bangku belakangnya, "kok duduk di sana sih?" protesnya sambil mengambil tas Gladis yang sudah ada di atas meja.
Gladis yang tak terima buru-buru menahan tasnya, "aku gak mau dipermalukan si Gilar lagi!" selanya sambil menarik paksa tas miliknya yang kemudian ia dekap erat. Duduk manis di kursi pilihannya sambil menyeringai.
"Apaan sih? Pindah sini!" paksa Anggita sambil menunjuk ke arah kursi di sampingnya.
Gladis menggeleng.
Anggita menghela nafas panjang sambil memutuskan duduk di kursi yang sejajar dengan Gladis, mengarahkan kepalanya berhadapan dengan gadis itu.
"Aku dapet pesan aneh semalem!" Anggita membuka lagi suaranya.
Kali ini Gladis menyudahi aksi memeluk tasnya dan menaruhnya di atas bangku, mencondongkan tubuhnya seolah ingin mendengar lanjutan cerita Anggita.
"Dari si Rangga lagi?" terka Gladis.
Anggita menggeleng dengan mantap, "bukan! Dia ngakunya Dango. Kamu tahu siapa Dango?"
Gladis mengernyitkan dahi. Bola matanya berputar ke sana-kemari yang diakhiri dengan menggelengkan kepala. Mendapatkan jawaban yang tak sesuai, Anggita hanya menghela nafas panjang.
"Kok perasaan aku gak enak yah, Dis?" aku Anggita.
"Gak enak kenapa? Orang iseng kali, Ta."
"Kayaknya bukan orang iseng deh. Aku sempet bales dan nanya dia siapa sebelum awalnya dia ngirim pesan kosong. Ya itu, di jawabnya Dango! Tapi, Dango siapa? Dasar Dongo?"
Sontak Gladis tertawa, "kepikiran yah singkatan itu. Tega kamu, Ta. Kok Dongo sih! Hahaha…."
Anggita ikut-ikutan tertawa, "habisnya di tanyain nama kok jawabnya Dango. Di kelas kita gak ada yang namanya Dango, kan?"
Lagi-lagi keduanya tertawa terbahak. Namun, tawa itu tak berlangsung lama ketika seorang lelaki bertubuh gembul mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Keduanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Lelaki gembul itu berjalan ke arah keduanya dan duduk di samping Gladis. Menaruh tas landaknya yang membuat meja bergetar sebentar.
"Pagi-lagi dah ketawa aja. Ada lawak apa lagi nih hari ini?" tanya lelaki itu; Fajar.
"Ini loh, Faj. Si Anggita katanya dapet pesan aneh semalem," cerita Gladis.
"Aneh gimana? Si Rangga lagi, Ta?" terka Fajar.
"Bukan, Faj. Dia ngakunya Dango. Aku kan gak tahu Dango siapa. Di kelas kita gak ada yang namanya Dango. Kalau emang itu si Rangga, aku tahu tipe kalimat sama kata-katanya kalau ngirim pesan tuh kayak apa. Udah mendarah daging dan kesimpen di alam bawah sadar! Jadi pasti tahulah kalau emang itu si Rangga," celoteh Anggita panjang lebar.
"Danbo? Beneran Dango?" Fajar meminta kejelasan.
Melihat raut wajah Fajar yang berubah serius, Anggita dan Gladis memandang ke arahnya intens sambil menganggukkan kepala secara bersamaan.
"Coba mana lihat pesannya!" pinta Fajar.
Anggita mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan isi pesan yang mereka bahas sejak tadi. Fajar memandang Anggita lekat membuat gadis itu merasa tak nyaman.
"Kenapa sih kok jadi ngeliatin gitu? Aku tahu itu bukan si Rangga, Faj. Yakin! 100%!" ujar Anggita meyakinkan diri bahwa terkaannya tak mungkin salah.
"Emang bukan si Rangga, Ta. Tapi…," kedua gadis itu semakin memandangnya lekat, "Dango itu panggilan buat si Gilar selaku Ketua Geng Motor XXX."
Mulut Anggita menganga lebar, sedang Gladis menggelengkan kepala berulang kali. Anggita meraih ponselnya dengan enggan. Memandangi percakapan singkatnya dengan orang yang bernama Danho, membuat malam harinya kehilangan waktu tidur nyenyak akibat meyakinkan diri bahwa Dango bukanlah Rangga. Meski pagi harinya keyakinan itu sudah bernilai mutlak, namun ada secuil perasaan tak nyaman seiring nama Dango terus terngiang di pikirannya. Mendapatkan jawaban tak terduga saat itu membuat Anggita kehilangan kata-kata. Ia berharap Fajar hanya sedang beromong kosong. Namun, ketika Fajar menunjukkan nomor Gilar yang sudah dinamai dengan jelas. Anggita menyamakan dengan teliti nomor yang mengaku bernama Dango yang ada di ponselnya dengan nomor bernama Gilar yang ada di ponsel Fajar. Hasilnya sama!
Anggita tertunduk lesu.
"Yang sabar yah, Tuan Putri. Insya Allah badai pasti berlalu," canda Gladis sembari menepuk pundak Anggita lembut.
Gladis dan Fajar saling membalas senyum.
"Apa aku pindah sekolah aja yah, guys?" keluh Anggita.
Ia menopangkan dagunya di satu tangan. Membiarkan matanya menerawang ke arah jendela yang sudah disinari mentari yang tak lagi malu-malu menyapa bumi.
"Gak usah repot-repot, Ta. Rangga bisa nyusul kemanapun kamu pergi! Hadapi aja, yah. Namanya juga nasib sial!" sela Fajar diakhiri tawanya bersama Gladis.
Anggita mendelik sebal ke arah keduanya.
"Temen macam apa kalian yang ketawa pas temennya kesusahan? Huh!" protes Anggita kesal.
"Udahlah, Ta. Abaikan aja mereka. Masih ada kita kok di kelas ini! Anggap aja mereka berdua itu batu!" sela Gladis.
"Yang satu batu posesif dan bossy. Yang satu batu…," mendadak kalimatnya terhenti.
"Batu apa hayo? Batu malaikat gitu. Ngaku aja!" sela Gladis lagi menggoda.
"Kok malaikat sih? Dia ketua geng motor tahu!" protes Fajar.
"Ih. Kudet! Buat Anggita, Gilar itu Batu malaikat tanpa sayap."
"Kok bisa?"
"Tanya sama orangnya yang lagi bengong tuh!"
Di dapati Fajar dan Gladis, Anggita tengah berdiri di antara jendela yang terbuka sejengkal. Ia hirup lamat-lamat udara pagi itu. Meski ada sisa debu yang menyesakkan hidungnya, namun masih kalah banyak dengan udara segar yang masuk ke dalam paru-parunya. Meski keberadaan Rangga tak ubahnya bagai batu besar yang menindihnya hingga kesulitan bernafas, namun keberadaan Gilar membuatnya bisa hidup kembali setelah mengalami sakratulmaut berulang kali.
Ia hanya ingin sekolah dengan nyaman. Masuk kelas tepat waktu, mengerjakan tugas sekolah dengan nilai sempurna, mendapatkan nilai ujian yang terbaik, dan mempertahankan beasiswanya dengan selalu menduduki peringkat tiga teratas. Namun, semua itu hanya menjadi khayalannya semata semenjak ia menginjakkan kaki di SMA Marga.
Ia masih ingat betul pernyataan cinta Rangga 1 bulan setelah ia resmi menyandang siswa SMA Marga.
Saat itu sedang jam istirahat. Anggita dan Gladis tengah duduk di salah satu kursi kantin sambil menyantap bakso pesanannya. Tiba-tiba Rangga muncul dan langsung duduk di samping Anggita, disusul satu temannya, Erik, duduk di samping Gladis yang berada di depannya. Kedua gadis itu sejenak saling melempar pandang.
"Ada apa, Rang?" tanya Anggita membuka percakapan.
"Beresin aja dulu makanannya, Ta. Nyantai aja!"
Anggita mengangguk ragu. Ia menyendok baksonya dengan canggung, melirik ke sana kemari menyaksikan tatapan semua orang yang berada di kantin tengah tertuju padanya. Bibir bawahnya ia gigit perlahan. Memilih menyudahi menyantap bakso ketimbang membuat Rangga menunggu dan dipelototi orang sekantin.
"Bilang dulu aja deh, Rang. Ada perlu apa yah?" sambung Anggita kembali.
Gladis yang ada di hadapannya tampak acuh tak acuh akan keberadaan Rangga dan Erik. Santai menikmati bakso tanpa melirik ke arahnya sedikit pun. Sengaja Anggita menendang kaki Gladis agar membantu kecanggungannya.
Gladis memandang Anggita dengan senyuman dipaksakan, beralih memandang Rangga yang ternyata tengah memandangi Anggita dengan lekat.
"Udah de, Rang. Gak usah basa-basi! Cepetan mau bilang apa? Anggita butuh makan! Gak enak kalau diliatin kayak gitu!" protes Gladis.
Rangga mendelik ke arah Gladis sebal yang dibalas gadis itu dengan menjulurkan lidahnya keluar.
"Sama kakak sepupu tuh yang sopan dong, Dis!" protes Rangga.
"Masa bodo!" lagi-lagi Gladis menjulurkan lidahnya mengejek Rangga, "buruan dong ngomongnya! Kasihan Anggita kelaperan! Dia pingsan, kamu yang tanggung jawab, yah?" ancam Gladis.
Tiba-tiba Rangga mengeluarkan sebuah kotak kecil merah dengan ikat pita pink melingkarinya ke hadapan Anggita setelah menggeser mangkok bakso miliknya yang masih tersisa setengahnya. Anggita memandang kotak dan Rangga bergantian dengan bingung. Enggan menyentuhnya sama sekali. Sementara Gladis malah menggelengkan kepala dan kembali menyantap bakso yang tinggal kuahnya.
"Gita, kamu jadi pacarku, yah?"
Anggita diam sejenak. Erik ikut-ikutan memandangi Anggita seperti Rangga, namun dahinya mengkerut saat menoleh ke arah Gladis dan mendapati gadis yang malah memandang ke arah Rangga dengan pipi mengembung.
"Sorry, Rang. Aku gak bisa!" jawab Anggita yang langsung membuat Rangga tiba-tiba menggenggam erat tangan gadis itu.
Anggita yang terkejut mencoba melepaskan diri, namun Rangga terlalu kuat menggenggam tangannya yang membuatnya tak punya pilihan selain patuh.
"Lepasin, Rang!" Anggita memandangi sekeliling yang tengah mengarahkan ponsel mereka ke arahnya, "semua orang liatin kita!" sambung Anggita sembari terus mencoba melepaskan diri.
"Kamu harus jadi pacarku, Ta! Harus!"
Beberapa siswa mulai berkerumun, saling berbisik, dan memandangnya dengan tatapan menohok. Anggita yang merasa tak nyaman sekuat tenaga melepaskan tangannya, namun Rangga tak membiarkannya. Sebuah pukulan mendarat di pundak lelaki itu berulang kali. Rangga meringis namun masih enggan melepaskan tangan Anggita. Ditolehnya orang yang masih memukuli bahunya ternyata Gladis, gadis itu sudah berdiri di samping Rangga dengan muka masam.
"Lepasin, ****! Gak usah bikin ulah deh!" protes Gladis yang hanya di tanggapi tak acuh oleh lelaki itu.
"Dia udah bilang gak mau, Rangga!" protes Gladis lagi, "lepasin! Kasihan! Malu diliatin banyak orang!" sentaknya kemudian.
Saat Rangga memandang sekeliling dan mendapati orang-orang tengah melihat ke arahnya, Anggita tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Segera ia buru-buru lari dari kantin di susul Gladis yang sebelumnya memandang sebal Rangga. Sementara Rangga hanya memandang tajam langkah kepergian Anggita yang semakin menghilang dari pandangannya. Ketika mendapati kotak pemberiannya masih ada di atas meja, ia mengambilnya dan melemparkannya ke sebarang arah.
"Sial!" teriaknya kesal.
Erik menghampirinya dan hanya menepuk pundak lelaki itu, kemudian meminta siswa lain untuk bubar.
Namun, setelah pernyataan cinta itu Rangga malah selalu mengekori keberadaan Anggita. Mengusir paksa keberadaan Gladis yang menjadi teman sebangkunya untuk berpindah hingga ia bisa duduk di samping Anggita. Awalnya Anggita tak terlalu terganggu, namun ketika Rangga selalu memaksa menyontek hasil tugasnya, mengambil paksa kertas jawaban setiap ujiannya, bahkan dengan sengaja duduk di samping Anggita ketika berada di kantin yang berhasil membuat gadis itu memilih melewatkan santapan istirahatnya hampir setiap hari, membuat Anggita memilih untuk menghindari lelaki itu.
"Lihat dong tugas yang Bu Risma kasih kemarin!" pinta Rangga suatu hari yang tiba-tiba duduk di sampingnya ketika Gladis tengah berdiri di depan kelas mengerjakan soal di papan tulis.
Anggita memilih diam mematung. Menjatuhkan pandangannya hanya ke arah Gladis yang masih mengerjakan tugasnya. Rangga mengambil paksa buku yang ada di hadapan Anggita, namun gadis itu memilih hanya diam sembari meremas erat tangannya sendiri di bawah bangku. Ketika Gladis selesai mengerjakan tugas di depan, ia menarik paksa Rangga agar menjauh dari bangku miliknya. Namun Rangga enggan pergi. Pandangan teman-teman sekelas sudah tertuju pada mereka yang membuat Gladis mengalah dan duduk di bangku belakang, di samping Fajar yang selalu duduk sendirian bersama tas landaknya.
Pernah juga suatu ketika Rangga datang bertamu malam hari ke rumah Anggita dengan dalih hendak mengerjakan tugas bersama. Lala yang merupakan ibu Anggita tanpa menaruh curiga mempersilakan Rangga masuk ke dalam rumah dan memanggil Anggita. Mendapati keberadaan lelaki itu, Anggita dibuat geram sekaligus bingung karena tak mungkin mengusir lelaki itu hingga membuat Ibunya curiga bahwa ia tengah diusik di sekolah. Akhirnya malam itu Anggita membiarkan Rangga menyalin semua tugas sekolahnya dan menunggunya dengan enggan.
"Kamu harusnya jadi pacar aku, Ta! Gak usah kayak gini jadinya, kan?" tukas Rangga sembari masih menyalin tugasnya.
"Kamu ngancem aku, Rang?"
"Bukan ngancem, tapi nawarin biar kamu jadi pacar aku aja."
"Sorry, Rang. Aku gak ada waktu buat pacaran sama siapapun, termasuk kamu!"
"Serius?"
"Iya!"
"Oke! Aku pegang kata-kata kamu, Ta. Tapi, kalau kamu ketahuan pacaran, kamu bakal tahu akibatnya nanti."
"Kamu ngancem aku lagi?"
"Bukan ngancem, cuma ngasih peringatan aja biar kamu mau jadi pacar aku aja daripada pacaran sama yang lain."
Mentari semakin menanjak naik. Satu persatu teman sekelasnya berdatangan. Anggita duduk sendirian di bangkunya, sesekali menoleh sebal ke arah Gladis yang betah duduk di samping Fajar.
"Nanti Aa Gilar dateng, Ta. Tenang aja!" tukas Fajar menggoda diiringi tawanya dan Gladis yang tengah cekikikan.
"Kalau bolos gimana?" tantang Anggita.
"Ntar aku duduk disana kalau pas Guru udah masuk, si Aa Gilar belum dateng."
Lagi-lagi Fajar dan Gladis hanya tertawa.
"Aa apaan sih? Aa ea maksud kalian?" sela Anggita masih kesal.
Tepat ketika bel berbunyi, sosok Rangga menerobos pintu kelas. Anggita yang kebetulan tengah memandang pintu yang masih terbuka dengan perasaan tak karuan, sejenak saling berpandang dengan Rangga. Buru-buru Anggita berpaling, memilih memandang ke arah jendela meski perasaannya semakin tak menentu. Ia menoleh ke arah Gladis, dengan wajah memelas meminta gadis itu segera duduk di sampingnya.
Namun, ketika Gladis tengah bersiap pindah tempat duduk, ia kembali duduk di kursi samping Fajar sembari menyembulkan senyuman semringah. Anggita mengernyitkan dahi sebal.
"Aa Gilar udah dateng tuh!" bisik Gladis.
Anggita mengalihkan pandangannya, memandang ke arah Gilar yang datang bersamaan dengan Bu Risma selaku pengajar pertama di kelasnya hari itu. Dengan santai Gilar mempersilakan Bu Risma masuk terlebih dahulu, kemudian menutup pintu rapat yang membuat Guru berkerudung lebar itu tersenyum malu.
"Makasih, Gilar," ucap Bu Risma
.
"Sama-sama, Bu!" balas Gilar setengah membungkuk.
Anggita memerhatikan betul tingkah Gilar yang membuatnya tersenyum kecil. Tanpa basa-basi Gilar duduk di sampingnya.
"Pagi, Anggita!" bisik Gilar ramah, "Dango itu aku! Save nomornya baik-baik, yah. Jangan kasih ke sembarang orang. Oke?" Sambungnya kemudian yang membuat pelipis Anggita mengkerut.
"Emang kenapa?" timpal Anggita.
"Nomor aku itu sakral!"
"Tapi si Fajar punya nomor kamu kok!"
"Anak-anak cowok emang pada punya nomor aku semua. Kalau ceweknya cuma kamu!"
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menggelitik hati Anggita. Pipinya mendadak terasa panas padahal mentari di luar sana masih ada di ufuk timur.
"Kenapa cuma aku?"
Gilar menoleh ke arah Anggita sembari memandangnya lekat. Dipandangi demikian malah semakin membuat wajah Anggita terasa kepanasan, namun ia memilih membalas tatapan Gilar meski hatinya semakin terasa digelitik. Tiba-tiba tangan kanan Gilar menyentuh puncak kepalanya, mengelusnya perlahan yang berhasil membuat hati Anggita berjingkrak riang.
"Cewek emang cerewet, yah. Udah! Nurut aja yah, Ta. Sekarang kita belajar! Kalau Bu Risma ngambek nanti aku yang repot. Ok?"
Tangan Gilar terlepas bersamaan dengan suara Bu Risma yang memulai pelajaran. Dari kejauhan, Rangga memandang tajam ke arah keduanya. Tangannya terkepal erat sembari meremas kertas yang ada di hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
ZalikaAngel 🤧🥀❣️
hai aku Uda kasih rate 5 bintang terus like jangan lupa mampir di novel ku“tersakiti kerja CEO tampan"
tinggal jejak ya 🌚✨😍
2020-05-29
0
manusiabernyawa
Wiiih seru Thor,Authornya Pinter ngerangkai kata2 nyaa sukakkk~
Btw mampir yak thor~
2020-05-22
1
La la elLa
aku mampir💕
2020-04-28
1