BAB 2 INISIALISASI

Anggita pura-pura sibuk dengan pensil dan bukunya. Sementara Gilar yang ada di sampingnya terus memandanginya. Gladis yang kini duduk berhadapan dengan keduanya hanya bisa bertukar pandang dengan Fajar yang duduk di sampingnya, kemudian pada Rangga yang duduk di antara ia dan Anggita.

"Nah, semuanya udah dapet kelompok, kan?" tanya Bu Risma yang masih duduk di bangku Guru. Memandang ke sekeliling kelas memastikan para siswanya sudah duduk berkelompok sesuai permintaannya.

"Silakan satu perwakilan kelompoknya maju ke depan! Akan ibu berikan tugas yang harus di kerjakan hari ini!" sambung Bu Risma.

Tanpa di pinta, Fajar menjadi wakil dari kelompok yang terdiri dari 5 orang itu. Meninggalkan kecanggungan yang semakin membuat Gladis mendelik sebal akan keberadaan Rangga yang duduk demgan santai di samping Anggita.

"Ngapain sih pake ke kelompok ini segala, Rang? Bikin gak nyaman tahu!" protes Gladis.

"Gak usah protes! Kelompok kalian orang pinter semua! Rugi kalau gak masuk kelompok ini!" sela Rangga membela diri.

Gladis mencebik. Memandang tajam ke arah Rangga berharap lelaki itu merasa tak nyaman duduk di sana. Anggita yang sedari hanya diam memilih tidak bereaksi apapun

.

Gilar tiba-tiba berdiri dari duduknya, "pindah sini, Ta!" ujarnya sembari menarik tangan Anggita yang dengan patuh duduk di bekas kursi milik Gilar.

Alhasil Gilar dan Rangga duduk berdampingan yang tentu saja membuat Rangga memandang sebal ke arah Gilar.

Fajar yang datang di saat bersamaan langsung di sambut senyuman Anggita, membuat suasana sedikit menghangat.

"Tugasnya banyak, Faj?" tanya Gladis membuka diskusi.

"Cuma satu sih tugasnya. Cuma nanti kalau beres harus dipresentasikan di depan," jelas Fajar.

"Aku aja yang maju ke depan!" ujar Rangga menawarkan diri.

"Kita kerjain dulu aja lah, Faj. Soal nanti siapa ke depan gampang! Yang penting semuanya harus ngerti dulu tugasnya," celoteh Gilar panjang lebar yang membuat Gladis dan Fajar memandangnya aneh.

"Bijak gitu kalimatnya, Gil! Tumben!" sela Gladis mencibir.

"Iya dong! Siapa dulu dong mentornya? Anggita gitu loh!" jawab Gilar sembari menepuk pundak Anggita perlahan.

Anggita mendelik ke arahnya dengan tatapan sebal.

"Cuma ngomongin fakta, Ta! Gak usah marah gitu dong!" protes Gilar merasa terintimidasi, "kan kamu yang ngajarin aku biar banyak memahami isi pelajaran ketimbang rajin ngerjain ke depan kelas tapi gak faham isinya," sambung Gilar.

"Iya deh, iya!" tukas Anggita menanggapi diiringi elusan tangan Gilar di atas puncak kepalanya yang lagi-lagi membuat wajah gadis itu memanas.

Melihat hal itu, Rangga berdehem keras.

"Kapan nih ngerjain tugasnya? Keburu bel nih!" ujar Rangga yang membuat Gilar menyudahi aksi elusannya.

"Dasar sirik!" gerutu Gladis sembari mendelik ke arah Rangga, "ayo, Faj! Aku bagian nyatet aja. Yang pinter-pinter silahkan berpikir!"

Kenyataannya hanya Anghita dan Fajar yang sibuk berdiskusi menyelesaikan soal, dimana Gladis menyibukkan diri dengan menyalinnya. Sementara Gilar dan Rangga hanya duduk terdiam tanpa melakukan apapun, meskipun sesekali Fajar dan Gladis mendapati dua lelaki itu saling berpandang tajam.

Satu persatu perwakilan kelompok maju ke depan kelas. Termasuk kelompok Anggita yang di wakili oleh Gilar.

"Hebat juga si Gilar berani jawab soal tanpa bawa catetan!" puji Gladis setengah berbisik.

"Palingan di hafalin! Aku juga bisa kalau kayak gitu!" sela Rangga menimpali.

Gladis berdecak sebal.

"Siapa dulu dong mentornya! Anggita Putri Wijaya!" seru Fajar ikut menimpali.

Anggita mendelik ke arahnya, "apaan sih, Faj? Kok jadi bawa-bawa aku segala?" protesnya kemudian.

"Yeh! Orang dia yang bilang sendiri tadi. Bener gak, Dis?" sanggah Fajar membela diri.

Gladis mengangguk mantap diamhiri tawa keduanya yang malah membuat Rangga semakin terdiam.

Tiba-tiba Rangga menyentuh lengan Anggita dengan tangannya, membuat gadis itu spontan menoleh cepat. Beringsut menjauhkan diri.

"Apaan sih?" tanyanya sinis.

"Malem aku ke rumah kamu!" ujar Rangga kemudian yang diakhiri perginya lelaki itu ke bangkunya kembali. Membuat Anggita hanya mampu menundukkan kepala di atas ke dua lengannya yang di taruh di atas meja.

"Dasar cowok gak punya malu!" gerutu Gladis sebal sembari menepuk pundak Anggita perlahan.

"Gak usah keluar rumah aja, Ta!" sela Fajar menimpali.

Anggita mendongakkan kepalanya. Wajahnya enggan tersenyum sama sekali.

"Ibu ada di rumah malam ini. Pasti beliau izinin Rangga masuk!" keluh Anggita.

"Gak punya otak emang tuh anak! Kamu nginep di rumah aku aja lah, Ta?" tawar Gladis.

"Sama aja atuh, Neng. Rumah kamu justru lebih rawan! Gimana sih? Rangga bisa maen masuk rumah kamu tanpa harus izin juga!" sela Fajar menimpali.

"Eh, bener juga yah!" Gladis menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "rumah kamu aja kalau gitu, Faj! Gimana?" tambahnya kemudian.

Fajar terbelalak. Sedang Anggita tersenyum kecil. Di saat bersamaan Gilar muncul dan duduk di samping Anggita.

"Ada obrolan apa nih? Kayaknya ada yang lucu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Anggita yang masih tersenyum.

"Ini nih si Gladis! Masa nyuruh Anggita nginep di rumah aku? Ngaco! Gelo maneh mah!" protes Fajar sambil menjitak puncak kepala Gladis keras.

Gadis berkerudung itu meringis.

"Nginep? Buat apa, Ta?" tanya Gilar pada Anggita.

Gladis dan Fajar memilih diam, sedang Anggita beberapa kali menggigit bibirnya enggan berbicara.

"Nginep buat apa, Ta? Rumah kamu kena bencana alam?" tanya Gilar kembali.

Fajar dan Gladis tertawa bersamaan.

"Bukan, Gil. Cuma becandaan mereka aja! Rumah aku baik-baik aja kok!" Anggita enggan berkata jujur.

"Si Rangga katanya mau ke rumah anggita entar malem!" sela Gladis menyerobot.

Anggita melotot kepadanya. Gilar seketika memandangi Anggita dengan tajam.

"Apel malem?" tanya Gilar kemudian.

Anggita menggeleng, "nggak! Bukan! Cuma... apa yah... belajar doang sih!" jawab Anggita ragu.

Gilar mengangguk tanpa mengatakan apapun lagi. Membuat Anggita, Gladis dan Fajar saling berpandangan bingung.

"Kamu gak cemburu, Gil?" tanya Gladis.

"Heh, Dis! Ngapain sih nanyanya aneh terus!" perotes Anggita.

"Cemburu buat apa?" sela Gilar.

"Itu kan si Rangga mau ke rumah si Gita!" balas Gladis.

"Hubungannya sama cemburu?" Gilar menimpali dengan tak acuh.

"Yah, si Gita suka di samperin malem-malem sama si Rangga. Kamu gak cemburu?" Gladis terus memojokkan Gilar.

"Enggak kok. Mungkin si Rangga emang butuh temen belajar! Gita juga kan pinter," jawab Gilar kemudian.

"Jawabannya kok rancu sih!" protes Gladis.

"Lagian buat apa juga aku cemburu. Bukan pacar Gita juga, kan?" timpal Gilar yang sontak membuat Anggita, Gladis dan Fajar langsung terdiam kaku.

Selama waktu istirahat, Anggita memilih menunggu Gladis dan Fajar kembali dari kantin membawa jajanan pesanannya. Ia enggan bertatap muka dengan Rangga yang tadi mengancam hendak ke rumahnya malam ini. Bukan karena takut sebenarnya, Anggita hanya sedang malas berurusan dengan Rangga yang berujung pada kalimat terakhir Gilar pada percakapan tadi selama mata pelajaran Bu Risma. Ada perasaan sakit yang tiba-tiba menggelitik hatinya, namun jelas itu perasaan yang tak berjudul.

Kalimat Gilar terus terngiang dipikirannya. Membuat perasaannya semakin ngilu bercampur bimbang. Ketika Gladis dan Fajar datang, setemgah terpaksa ia sunggingkan senyuman. Ketiganya menyantap jajanan seperti gorengan dan kerupuk yang berhasil di borong Gladis.

"Itu tadi maksud si Gilar apaan yah, Ta?" tiba-tiba mulut Gladis membuka percakapan yang sukses membuat Anggita semakin merasakan bimbang.

"Gak tahu, Dis!" Anggita merengut.

"Eh, gimana sih! Dia udah nembak belum?" Gladis nyerobot.

"Apaan sih? Emang dia atlet tembak menembak apa?" kilah Anggita.

"Ah, gak usah pura-pura **** kayak dia juga dong, Ta. Hubungan kalian udah sejauh apa sebenernya?" Gladis menangkupkan kedua tangannya di atas meja dengan wajah memandang ke arah Anggita lekat. Menunggu gadis itu berbicara lebih banyak.

"Cuma temen sebangku doang kok! Gak lebih!" Anggita mengelak.

"Alah! Gak usah boong, Ta. Seluruh penjuru sekolah udah tahu soal kamu sama si Gilar. Banyak kok yang gosipin kalian jadian!" jelas Gladis yang sontak membuat Anggita terbelalak.

"Jadian? Gosip macam apa itu?" protes Anggita.

"Tapi, ada juga yang bilang kalau kamu selingkuh dari si Rangga," timpal Fajar ikut-ikutan menghibah.

"Nggak! Aku bukan pacar Gilar! Ngapain juga aku selingkuh dari si Rangga, orang dia bukan pacar aku kok!" Anggita ngegas.

"Semua pada berasumsinya kayak gitu, Ta. Apalagi liat kamu sekarang selalu duduk sama si Gilar!" sela Fajar kembali memanas-manasi.

"Dia sendiri yang duduk di kursi ini! Bukan aku yang mau! Lagian si Gladis sih malah betah duduk di samping kamu!" protes Anggita.

Gladis dan Fajar secara bersamaanengangkat bahu.

"Mending si Gilar yang duduk samping kamu atau si Rangga?" tanya Gladis kemudian yang mampu membuat Anggita bungkam.

Anggita tak lagi menimpali, ia memilih menyantap jajanan kantin dengan perasaan berkecamuk. Gosip yang beredar tentang dirinya nyatanya sudah mencemarkan nama baiknya, apalagi jika itu berkaitan dengan Rangga. Ia yakin betul awal mula gosip itu akibat penolakan cintanya terhadap Rangga, padahal ia murni tak ingin berurusan dalam hal percintaan dengan lelaki mana pun. Ia hanya ingin menjadi siswa biasa, hanya belajar dengan baik dan mendapatkan peringkat teratas di sekolahnya. Tapi semenjak insiden penolakan cintanya terhadap Rangga, dirinya semakin terseret dalam permasalahan yang ia tak mengerti.

Ia ingat hari itu, hari yang masih sama seperti biasanya. Gladis saat itu masih menjadi teman sebangkunya, enggan mengangkat pantatnya barang sedikitpun dari kursi. Terus menerus menyelidik akan keberadaan Rangga dan tak membiarkan dirinya kehilangan kesempatan mempertahankan posisi sebagai teman sebangku Anggita. Meski keduanya berstatus saudara sepupu, namun Gladis tak pernah segan melawan sikap bossy Rangga yang selalu semena-mena apalagi terhadap teman sebangkunya, Anggita. Namun tetap saja, Rangga menghampiri kembali bangku Anggita dengan posisi berjongkok memandangi gadis itu yang tengah sibuk mengerjakan tugas selepas Pak Tono, Guru Matematika memberikan tugas latihan dan pergi keluar kelas. Anggita seperti biasa hanya acuh tak acuh seolah tak menyadari keberadaan lelaki itu.

"Pasti udah beres ngerjain, kan? Sini! Mana!" pinta Rangga sembari menyodorkan tangan meminta Anggita menyerahkan tugasnya.

Anggita hanya menoleh sebal sembari memandangnya tajam, berharap Rangga menjauh dari pandangannya. 

"Heh, Rangga! Pergi sana! Kerjain sendiri kek! Kayak gak punya otak buat mikir aja!" timpal Gladis berang.

Rangga tak memedulikan. Ia berdiri dan menarik buku yang berada di hadapan Anggita. Mengambilnya paksa. Namun, Anggita segera mengambil bukunya kembali dan menyembunyikannya di bawah bangku.

"Gak usah sok jual mahal deh! Mana sini!" ancam Rangga.

Anggita tak bergeming. Ia mengatupkan mulutnya rapat, meski hatinya terus memaki kasar pada Rangga.

"Pergi sana! Ganggu orang lagi ngerjain tugas aja!" protes Gladis lagi yang masih tak didengarkan Rangga.

Kali ini Rangga lebih nekat. Ia merogohkan tangannya ke bawah bangku dan mengambil kembali buku Anggita. Dengan bangga mengangkatnya tinggi-tinggi ketika Anggita mencoba untuk mengambilnya kembali.

"Balikin, Rang!" teriak Anggita berang.

Rangga tersenyum picik yang membuat Anggita memandangnya tajam.

Berkali-kali Anggita mencoba meraih bukunya, namun Rangga terus menerus menaikkannya tinggi-tinggi hingga membuat gadis itu sesekali menabrakkan tubuhnya ke tubuh Rangga. Merasa puas, Rangga malah terus-terusan mempermainkan Anggita hingga seluruh teman-teman sekelasnya memperhatikan mereka. Bukannya mereka tak ingin membantu Anggita, tapi tak ada yang berani meladeni sikap bossy Rangga yang merupakan anak Kepala Sekolah SMA Marga kecuali Gladis. Tapi perlawanan Gladis pun hanya seperti isapan jempol belaka yang tak pernah di pedulikan, apalagi mereka. 

Anggita hampir ingin menangis dan berteriak. Kedua pandangan matanya terasa berair, dadanya sesak hingga membuatnya memilih kembali duduk di bangku. Mematut diri dengan kertas yang lain. Berpura-pura abai tatkala Rangga kembali menggodanya dengan bukunya sendiri. Anggita sudah terbiasa menjadi bahan tontonan teman sekelasnya ketika harus berurusan dengan Rangga semenjak pernyataan cinta lelaki itu ia tolak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Rangga hanya menyukai Anggita dan hanya mengejar gadis itu, hingga tak ada seorang lelaki pun yang berani mendekati Anggita.

Saat Rangga masih mencoba menggodanya, duduk di samping bangku Anggita sembari membolak-balikkan bukunya, tiba-tiba seseorang menendang Rangga hingga lelaki itu tersungkur. Sontak semua terkejut termasuk Anggita. Air mata yang hendak menetes mendadak mengering saat seorang lelaki mengambil paksa bukunya dan mengembalikannya ke hadapan Anggita. Ditatapnya lelaki itu dengan mata terbelalak.

"Berhenti ganggu Anggita!" ujar lelaki berambut ikal itu; Gilar.

Rangga yang tak terima, hendak membalas dengan melayangkan tinjunya namun Gilar berhasil menangkis hingga membuat Rangga sendiri terbentur dinding belakang kelas.

"Gak usah ikut campur!" protes Rangga kemudian.

Sebelum Rangga menghampiri Gilar kembali, Erik datang menahan tubuhnya. Menyeret paksa Rangga sekuat tenaga untuk menjauh dari Gilar meski keduanya saling bertatapan tajam.

Gilar memungut buku Anggita yang tergeletak di lantai, menaruhnya tepat di depan gadis itu yang masih terdiam.

"Dis, kamu bisa pindah ke samping si Fajar, gak?" tanya Gilar kemudian yang membuat Gladis kebingungan.

"Maksudnya, Gil?" Gladis jelas tak mengerti.

"Biar aku yang duduk samping si Gita. Kamu sama si Fajar!" Gilar kembali menjelaskan.

Spontan saja Gladis bangkit dari duduknya dan pindah ke kursi belakang, meski Anggita mendelik ke arahnya sebal karena mau-maunya menuruti keinginan Gilar. Namun, Gilar berdiri tepat di samping kursi bekas Gladis duduk sambil menatap Anggita yang tengah menatapnya bingung.

"Aku duduk disini, boleh?" pinta Gilar kemudian.

Anggita mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Semua teman-temannya memandang ke arahnya. Ia sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi, hingga rasa malunya tiba-tiba mencuat. Pandangannya terhenti tatkala mendapati Rangga yang duduk jauh di ujung kelas tengah menatapnya berang.

"Silakan!"

Meski tak yakin apa yang dilakukannya ini benar atau salah, namun Anggita menyadari satu hal bahwa Rangga hanya bisa di lawan Gilar, sang Ketua Geng Motor yang kerjaannya tidur di dalam kelas. Namun, tiba-tiba terbangun dari tidur tenangnya dan menendang Rangga hingga lelaki itu tak berkutik. Melihat raut wajah Rangga yang penuh amarah namun tak melakukan apapun pada Gilar, membuat Anggita semakin yakin bahwa keberadaan Gilar saat ini, meski untuk sementara waktu saja, mampu melindunginya. Apalagi Gilar menawarkan diri duduk di sampingnya, bukan ia yang meminta.

Namun, Anggita tak pernah menyangka bahwa keputusannya hari itu malah membuat Gilar selalu meminta Gladis terang-terangan memberikan kursinya. Hingga membuat Gladis memutuskan tak lagi duduk di samping Anggita. Sejalan dengan itu, Rangga pun tak pernah mau lama-lama mengganggui Anggita ketika Gilar sendiri yang menyuruh lelaki itu tak mengganggu gadis di sampingnya.

Anggita melahap habis gorengan yang tersisa. Meneguk air mineral yang tersisa sedikit lagi. Gladis dan Fajar yang melihatnya hanya termangu.

"Harusnya aku gak izinin dia duduk di sini waktu itu! Mending aku duduk sendirian!" gerutunya kesal di akhiri bel masuk yang berdentang nyaring.

Mata Anggita tak berhenti menatap pintu kelasnya ketika Gilar memasuki ruangan dengan langkah santai.

"Gilar, sebenernya maumu apa sih?" gerutu Anggita dalam hati.

Terpopuler

Comments

Nona Inder

Nona Inder

aku baca lagi masih terngiang² 😌

2020-07-20

0

Winda Nurjannah

Winda Nurjannah

semangat thoor

2020-04-19

1

Fantasy

Fantasy

Semangat trs kak.

2020-04-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!