BAB 3 MALAM TERAKHIR

Gladis dan Fajar membiarkan Anggita berjalan sendirian menikmati tumpukan buku yang terpampang rapi. Gadis itu tampak tak menyadari akan keberadaan dua temannya yang memilih membiarkannya sendirian, tak menoleh atau bahkan tak berbicara sama sekali. Anggita sibuk membolak-balikkan buku, sekilas membaca tulisan di bagian belakang, kemudian menaruhnya kembali dan berjalan lagi.

"Aku sama Anggita nginep di rumah kamu aja, gimana?" tanya Gladis.

"Enak aja! Mamahku nanti mikir apa kalau aku bawa dua cewek nginep di rumah? Belum lagi Emak-emak tetangga nanti bakal ngeghibah! Heuh! Nggk deh!" Fajar mempercepat langkahnya namun berhasil dihentikan Gladis.

"Kasihan Anggita! Dia pasti stres berat! Udah seminggu dia jarang senyum, Faj. Tiap hari di kelas kerjaannya cuma mingkem, belajar dan belajar kayak orang gila. Belum lagi kalau ada si Rangga, aura dia tuh berubah gelap semua!!!" 

"Harusnya kamu peringatin si Rangga selaku sepupunya! Kalau saudaranya aja gak bisa ngelawan, gimana kita yang cuma remah rengginang?"

"Ih! Udah dibilangin orangnya keras kepala!"

"Terus aku bisa apa? Yang ada aku kena anceman dia lagi, Dis!"

Fajar membekap mulutnya cepat-cepat.

"Siapa yang ngancem?" Gladis meminta jawaban.

"Udah! Lupain aja!"

Fajar melangkah pergi namun Gladis lagi-lagi berhasil menahannya.

"Jangan bilang kalau si Rangga pernah diancem kamu!"

Mata Fajar menoleh ke segala arah.

"Kapan? Bilang, Faj! Ngaku! Kalau enggak, aku bilangin ke Anggita!"

Fajar terdiam sejenak.

"Pas waktu si Gilar nendang dia di kelas, terus istirahatnya kita bertiga ngabisin waktu di kelas…," tutur Fajar.

"Hubungannya sama dia ngancem kamu?"

Fajar menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengehembuskannya perlahan.

"Dia gak suka aku ngobrol sama kalian. Waktu itu kejadiannya pas aku mau ke kantin. Dia tiba-tiba nyegat di tengah jalan terus ngeret aku ke belakang sekolah!"

"Gila tuh anak! Udah gak waras!"

"Dia ngancem kalau aku berani deketin Anggita, ngobrol sekalipun, dia bakalan ngasih perhitungan ke aku!"

"Tapi, kamu kok tetep mau gaul sama kita? Itu kejadiannya kan udah lama banget, Faj!"

"Waktu udah di labrak si Rangga, aku malah gak takut sama anceman dia. Aku malah makin pengen deket sama kalian, terutama Anggita. Kasihan liat dia! gak ada satu orang pun yang mau deketin dia selain kamu."

"Good job, Faj. Kamu emang yang terbaik! Gak usah turutin anceman si pengecut kayak dia mah!"

"Tapi, nyatanya aku gak bisa bantu apa-apa nyampe sekarang. Anggita tetep aja di gangguin si Rangga. Aku gak seberani Gilar buat nendang si Rangga kayak waktu itu. Asli! Gilar keren banget! Tapi aku juga jadi malu sendiri!"

"Kamu kan bukan Gilar, Faj. Gak usah bandingin diri sama orang lain kayak gitu. Cukup jadi diri sendiri aja!"

Gladis menepuk pundak Fajar pelan. Sebelum lelaki itu tiba-tiba beringsut menjauhkan tangan gadis itu dari tubuhnya.

"Kalian lagi ngapain?" tanya Anggita yang tiba-tiba berada di belakang Gladis.

Gladis sejenak terdiam, memandang tangannya yang ditepis oleh Fajar.

"Gak apa-apa, Ta. Ini lagi diskusi soal tugas tadi! Katanya ada yang Gladis gak ngerti. Udah ketemu bukunya?" timpal Fajar sembari menghampiri Anggita.

"Kalau udah, kita balik yuk! Udah sore juga nih! Mamahku pasti marah kalau aku pulang malem!" kilah Fajar.

"Dasar anak mami!" sela Gladis sembari menggamit lengan Anggita yang tengah memegang sebuah buku, "balik yuk! Tapi, jajan dulu, yah!"

Gladis menarik lengan Anggita, di susul Fajar yang terdiam sejenak memandangi keduanya yang sudah berjalan menjauh. 

"Sorry, Ta. Aku belum bisa bikin si Rangga jauh dari kamu." Gerutunya dalam hati.

***

Gladis dan Anggita berjalan beriringan, sementara Fajar mengekor di belakang keduanya. Cuaca saat itu mendung. Ketiganya berhenti di sebuah halte tak jauh dari toko buku, duduk di kursi halte sambil terus mengobrol ringan. Kadang diselingi tawa yang kini tersungging dari bibir Anggita, kadang juga diselingi raut wajah masam Fajar yang selalu di pojokkan.

"Kadang aku ngerasa beruntung bisa deket sama kalian, tapi juga kadang ngerasa sial juga!" gerutu Fajar sembari memasang wajah muram.

"Gak usah lebay jadi cowok, Faj!" sela Gladis

.

"Kalian orang yang paling dihindari anak-anak lain, tapi aku malah jadi tertantang aja deket sama kalian!" sambung Fajar lagi.

Mendadak Anggita terdiam, begitu juga Gladis. Keduanya memilih memandang lalu lalang mobil yang melintas. Sebelum akhirnya bus yang mereka tunggu tiba. Ketiganya naik berurutan. Anggita dan Gladis duduk bersebelahan, sedangkan Fajar ada di belakangnya duduk sendirian.

Gladis menoleh ke arah Fajar, "sorry, Faj! Mudah-mudahan kamu gak rugi yah temenan sama kita! Kalau aku sama Anggita sih udah maklum dijauhin anak-anak kelas. Kalau kamu emang udah gak nyaman sama kita, gak usah dipaksain. Jauhin aja! Kita baik-baik aja kok. Iya gak, Ta?"

Anggita mendongak. Ia juga ikut-ikutan mengubah posisinya menoleh ke arah Fajar.

"Iya, Faj. Kamu bebas mau temenan sama siapa aja. Gak harus sama kita aja! Deket sama kita mah emang banyak masalahnya. Kamu pasti bakal kena imbasnya!"

Fajar sejenak terdiam. Memandang ke arah dua teman wanitanya yang tiba-tiba berceramah panjang lebar, terutama Anggita. Fakta ia pernah kena labrak Rangga telah ia tutup-tutupi, malah ia menganggap hal itu hanya sekedar mimpi belaka. Meski hal itu tak membuat Rangga berhenti mengganggu Anggita yang sudah terang-terangan menolak pernyataan cintanya.

"Aku nyaman deket sama kalian kok. Tenang aja! Aku gak kena imbas apa-apa, Ta. Aku baik-baik aja kok!" ujar Fajar sembari memandang ke arah keduanya dengan sesungging senyuman.

Mobil terus melaju menjauhi pusat kota tempat biasa mereka menghabiskan waktu selepas pulang sekolah. Tentu saja semuanya demi menghibur Anggita yang selalu murung selama berada di sekolah, apalagi jika terus menerus diganggu oleh Rangga. Meski semenjak keberadaan Gilar yang memutuskan duduk di sampingnya, senyuman Anggita perlahan muncul meski hanya sesekali.

***

Anggita berjalan perlahan di bawah gerimis ketika ia turun dari bis. Kedua temannya melambaikan tangan sebelum bis melaju pergi. Ia menghirup napas lamat-lamat, terus berjalan memasuki area perumahan yang sepi. Hari mulai menggelap, beberapa kali ia menoleh ke kanan dan kiri melihat sekitar. Tak ada siapapun. Namun, tepat ketika ia hendak membuka gerbang pintu rumahnya, sebuah bunyi klakson membuatnya menoleh mencari sumber suara. Anggita mematung dengan tangan memegang gagang gerbang erat. Gerimis masih mengucur hingga membuat rambutnya kebasahan. Seseorang turun dari motor bebek dan berjalan perlahan ke arahnya.

"Baru pulang dari mana, Ta?" tanya lelaki bermantel hitam pekat yang rambutnya juga sudah kebasahan.

"Gilar!" sahutnya kemudian, "ngapain kamu disini?" tanyanya kebingungan.

"Aku nungguin kamu. Tadi kata Ibu kamu, kamu belum pulang. Jadi aku nunggu di sini!" ujar Gilar sembari menunjuk motornya yang terparkir di seberang rumah Anggita.

"Kenapa gak masuk aja? Ibu aku ngusir kamu?" tanya Anggita kemudian.

Gilar tertawa.

"Enggaklah, Ta! Aku aja yang nolak buat masuk ke rumah."

"Kenapa?"

"Canggung! Gak biasa ngobrol sama Ibu-ibu."

"Ih, aneh! Ayo masuk!" 

Anggita membuka gerbang rumahnya, berjalan perlahan namun Gilar masih diam di tempatnya.

"Kenapa? Kok malah diem?"

"Aku pulang aja yah, Ta."

"Lah? Katanya nungguin aku?"

"Iya. Emang nungguin kamu. Sekarang udah ketemu. Jadi aku pulang aja, yah?"

"Loh? Cuma gitu aja?"

Gilar melangkahkan kakinya mendekati Anggita. Sebuah elusan kembali mendarat di puncak kepala Anggita.

"Inget baik-baik pesan aku yah, Ta. Jangan keluar rumah malam ini! Apapun yang terjadi!"

"Kenapa?"

"Nurut aja! Gak usah kayak Emak-emak cerewet!"

Sebuah jitakan malah mendarat di keningnya. Anggita meringis sembari mengusap keningnya, sedang Gilar melangkahkan kaki pergi.

"Gilar!" seru Anggita membuat langkah Gilar terhenti seketika.

Lelaki itu menoleh ke arahnya sembari tersenyum, "kenapa lagi, Ta...?"

Anggita terdiam sejenak. Mengatur nafasnya yang tiba-tiba tak teratur.

"Kelas sebelas nanti, kamu mau pilih jurusan apa?" tanya Anggita kemudian yang membuat Gilar tertawa terbahak.

"Kamu maunya apa?"

"Orang nanya malah balik nanya! Udah ah! Aku masuk dulu!"

Anggita menutup pintu gerbang sedang Gilar memilih berjalan dan menaiki motornya. Anggita diam sejenak memperhatikan Gilar pergi dengan motornya, lambaian tangan mengakhiri pertemuan tak disangka itu. Selepas Gilar pergi, setengah berlari Anggita memasuki rumahnya dengan senyum mengembang. Ucapan salam ia haturkan setengah berteriak kencang hingga membuat Ibunya yang tengah melipat pakaian dibuat terkesima.

"Ada apa sih, Ta? Bikin kaget ibu aja! Tadi ada yang nyariin tuh di depan rumah. Disuruh masuk malah nolak!"

Anggita menghampiri Ibunya yang tengah duduk di kursi, masih melipat pakaian yang sudah menumpuk rapi.

"Udah ketemu tadi, Bu. Ganteng gak orangnya?"

Ibunya memandang anak gadisnya lekat.

"Pacar kamu?"

Anggita manyun, "bukan sih. Tapi... Anggita kayaknya suka deh sama dia."

"Kalau anak yang namanya Rangga itu gimana? Yang suka datang ke rumah minta belajar bareng!"

"Oh...," Anggita berpikir keras, "dia cuma temen aja. Temen yang butuh bantuan!"

"Namanya tadi teh siapa?"

"Yang Anggita suka?"

"Iyalah!"

"Gilar Syahputra! Absen 18, teman sebangku Anggita yang rambutnya ikal. Dan anak...," Anggita menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Anak apa?" Ibunya menyelidik.

"Anak baik maksudnya, Bu."

Anggita tersenyum kaku. Hampir saja ia membuat kedok Gilar selaku ketua geng motor XXX. Tak dapat ia bayangkan apa jadinya jika sang Ibu tahu siapakah lelaki yang menunggu anak gadisnya.

***

Suara ketukan membuat Anggita beringaut dari ranjangnya. Saat membuka pintu, Ibunya berdiri sembari memangku baki berisi teh dan biskuit.

"Rangga barusan kesini. Udah ibu suruh pulang!" ujar Ibunya setengah berbisik.

Anggita mencium pipi ibunya, lalu mengambil alih baki dari tangan Ibunya.

"Makasih, Bu. Ibu emang paling ngerti!"

Namun, sebuah suara teriakan tiba-tiba terdengar dari area luar. Keduanya saling berpandang. Suara teriakan lagi menyusul kemudian. Anggita menaruh baki di nakas, kemudian menyusul Ibunya yang sudah berdiri di samping jendela kamarnya sembari membuka gorden sedikit. Mata Anggita terbelalak tatkala mendapati kerumunan lelaki. Ia kenal dua lelaki di antara mereka; Gilar dan Rangga yang tengah berdiri saling berhadapan. Tangan Rangga seolah siap melayangkan tinju di tangannya, namun Gilar hanya bersikap santai.

"Waduh! Itu siapa sih berantem depan rumah kita?" mata Ibunya memicing mencoba mengenali wajah-wajah mereka.

Namun, Anggita buru-buru menutup gorden dan menarik Ibunya duduk di pinggiran ranjang.

"Udahlah, biarin aja! Paling cuma anak-anak preman sini, Bu. Biar Pak Satpam yang urus yah. Kita gak usah keluar!"

Ibunya mengangguk patuh. Beberapa kali mengelus dadanya mencoba menenangkan diri.

"Mending Ibu istirahat aja. Anggita mau belajar lagi buat pelajaran besok. Gimana?"

Ibunya kembali mengangguk dan memilih pergi berlalu. Anggita menutup pintu rapat, menguncinya. Kemudian ia kembali membuka gorden jendelanya dan mendapati Gilar berdiri di sana. Memandang ke arahnya. Sesaat Gilar dan Anggita saling melemparkan pandangan, sebelum akhirnya Gilar pergi berlalu dengan motornya. Buru-buru Anggita meraih ponselnya, mencari nama Gilar di antara semua kontak. Ia menekan tombol icon gagang telepon, mendekatkan ponselnya ke telinga. Terdengar suara klik di akhiri suara yang familiar.

"Assalamu'alaikum, Ta!" sapa Gilar di seberang suara.

"Wa'alaikum salam! Kamu ngapain barusan depan rumah aku?" nada Anggita meninggi.

"Abaikan aja...."

"Kalian ngapain?" Anggita menuntut perjawaban.

"Masalah cowok, Ta. Cewek gak bakalan faham. Udah! Nyantai aja...."

"Nyantai gimana? Kamu sama si Rangga saling pukul! Aku lihat sendiri!"

Gilar tak lagi bersuara meski Anggita menunggu lelaki itu kembali menyanggah perkataannya.

"Gilar! Jawab!" Anggita meradang.

"Ini urusan cowok, Ta. Cewek gak usah ikut campur. Kamu pura-pura gak liat aja."

Anggita menghirup napas panjang kemudian menghembuskannya dengan suara keras.

"Kamu gak takut si Rangga ngelaporin kamu ke Bapaknya?"

"Udahlah, Ta. Kamu pura-pura gak liat aja. Oke?"

"Gak bisa gitu, Gilar!"

Tiba-tiba suara klik membuat suara Gilar menghilang. Anggita menatap kesal ponselnya yang kemudian ia lemparkan ke ranjang. Ia menjatuhkan dirinya, mengusap kepalanya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Namun, wajahnya mendadak menegang mendapati pesan yang ia terima.

Rangga: Kamu jadian sama si Gilar? Jawab jujur! Kalau enggak, si Gilar bakal aku bikin di DO dari sekolah!

Anggita menggigit bibirnya gemas. Matanya terpejam erat. Ponselnya ia genggam erat. Berkali-kali hembusan nafasnya menggema di ruangan. 

Sementara itu, Gilar tengah duduk di atas motornya. Memandang ke jendela rumah Anggita dari bawah pohon lebat. Sesekali memandangi layar ponselnya, percakapan antara ia dan Anggita yang berakhir dengan kata DANGO. Berulang kali ia mencoba mengirimkan pesan, namun berkali-kali juga ia menghapusnya.

Gilar: Selamat tidur, Ta.

Gilar: Sampai ketemu besok, Anggita.

Gilar: Gak usah mikirin kejadian yang tadi, Ta.

Gilar: Jadi kamu mau masuk jurusan apa nanti?

Gilar: Buat aku jurusan apapun gak masalah, Ta.

Gilar: Aku masuk jurusan yang sama kayak kamu aja gimana?

Gilar: dingin banget diluar. Aku boleh masuk gak?

Gilar: Ibu kamu keren bisa ngusir si Rangga secara halus.

Gilar: Salam buat Ibu Lala yah. Bilangin, dia cantik banget.

Gilar: Ibu Lala lagi apa, Ta? Kok tiba-tiba kangen beliau yah?

Gilar: Kamu udah tidur, Ta?

Gilar: Mau jadi pacar aku gak, Ta?

Semua pesan yang ia ketikkan lagi-lagi ia hapus. Memilih memasukkan ponselnya ke dalam saku dan memandangi jendela kamar Anggita yang sudah menggelap. 

"Good night, Anggita. Have a nice dream!" ujarnya kemudian sebelum menyalakan motornya dan pergi berlalu.

Terpopuler

Comments

susy"💜

susy"💜

😁😁

2020-06-05

0

Ara

Ara

sama gilar aja lah ..

2020-04-21

1

Winda Nurjannah

Winda Nurjannah

si Rangga terobsesi gitu sma Anggita gak nyadar apa udah bikin Anggita gak nyaman

2020-04-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!