Anggita mematung di depan gerbang rumahnya, membiarkan hembusan udara pagi berkali-kali membelainya. Sorot matanya tajam. Kedua tangannya terkepal erat. Ditatapnya Rangga yang berada di depannya sembari menendang-nendang kerikil kecil, memasukkan kedua tangan ke saku celana abu-abunya. Senyuman sinis yang terurai di bibirnya membuat Anggita berkali-kali memejamkan mata dalam.
"Mau kamu sebenernya apa, Rang?" tanyanya setengah menahan suara, meski amarah memburu hatinya.
Rangga kembali tersenyum, "aku mau kamu jadi pacarku! Itu aja!"
Anggita menghembuskan nafasnya keras, "aku gak bisa!"
"Karena kamu sama si Gilar pacaran?"
"Aku sama dia gak pacaran!"
"Oh, yah? Terus ngapain malem tadi dia nongkrong sama temen-temen premannya disini? Huh!"
"Mana aku tahu! Itu urusan dia, bukan urusan aku!"
Rangga melangkahkan kakinya mendekati Anggita yang tak berkutik sedikit pun. Lekat memandang tajam ke arah Rangga dengan geram.
"Aku bukan orang bodoh, Ta! Pasti kamu tahu alasan dia tiba-tiba nongkrong di sini. Apalagi kalau bukan karena kamu!"
"Kalau emang karena aku, terus kamu mau apa? Huh!"
"Kamu lupa? Kamu yang bilang sendiri gak akan pernah pacaran sama siapa pun. Tapi nyatanya, apa? Kamu sama Gilar pacaran!"
"Aku gak pacaran sama dia!"
Anggita mendorong tubuh Rangga menjauh darinya. Ia melangkahkan kaki secepat mungkin, namun Rangga berhasil mengimbanginya. Lelaki itu berdiri tepat di depannya kembali, menyentuh kedua bahu Anggita hingga gadis itu tertahan.
"Jangan deket sama Gilar lagi! Atau dia aku bikin DO dari sekolah!"
Anggita mencoba melepaskan diri, namun Rangga memegang bahunya erat. Keduanya saling bertatapan.
"Kamu gak waras, Rangga!"
"Itu karena kamu nolak aku! Harusnya kamu mau jadi pacar aku, Ta!" teriak Rangga berang hingga bahu Anggita ia maju mundurkan tanpa ampun.
Anggita mengernyit menahan sakit. Matanya mulai berair namun sekuat tenaga ia tahan, hanya memasang wajah semakin berang.
"Tolong, Rangga...," ujar Anggita dengan suara lirih, "lepasin aku! Berhenti minta aku jadi pacar kamu dengan cara kayak gini. Kamu malah bikin aku makin benci sama kamu! Tahu?" suara Anggita bergetar membuat Rangga perlahan melepaskan kedua tangannya.
Lelaki itu beringsut mundur mendapati wajah Anggita berlinang air mata.
"Jangan nangis!" teriak Rangga kemudian.
Anggita semakin tak mampu menahan air matanya. Ia terisak keras.
"Sampai kapan pun, aku gak akan pernah suka sama cowok posesif kayak kamu! Sok berkuasa!" Anggita kembali membuka suara meski air matanya terus mengalir deras.
"Buat aku, kamu gak lebih dari cowok pengecut! Bisanya ngancem orang cuma karena kamu anak Kepala Sekolah SMA Marga!"
Anggita melangkahkan kaki melewati Rangga yang mematung, mulutnya sedikit menganga, dan sorot matanya kosong. Gadis itu berlari sekencang mungkin sembari menghapus air matanya yang terus menerus keluar. Sampai tiba di dalam bus, Anggita memeluk tasnya. Menangis di baliknya. Menggenggam tangannya sendiri erat.
***
Seorang lelaki berambut tipis, dengan baju kotak warna hitam putih, berdiri di tengah kelas di antara keheningan para siswa yang memandang ke arahnya. Matanya mengedar ke sekeliling, menyelidik dengan teliti, diakhiri dengan anggukkan dan senyuman yang mengembang sempurna.
"Oke! Hari ini semua murid Bapak hadir! Termasuk Gilar!" ujarnya membuka suara di akhiri tatapannya yang tertuju pada Gilar.
Lelaki yang tadinya tengah memandangnya tanpa ekspresi tiba-tiba tersenyum. Tatapan para siswa lain pun mendadak tertuju padanya.
"Eh. Iya, Pak," ujar Gilar malu-malu.
"Minggu depan kita mulai masuk ujian akhir semester. Tak terasa yah, sudah satu tahun Bapak menjadi Wali Kelas kalian. Kebanyakan bermasalah!"
Suara tawa menggema ketika kalimat terakhirnya ditekankan begitu jelas, sembari memandang ke arah Gilar.
"Alhamdulillaah, makin sini makin banyak perubahan terjadi. Tentunya ke arah yang lebih baik. Terutama Gilar yang biasanya selalu rajin bolos sekolah, selama setengah semester ini kamu banyak berubah! Bapak bangga sama kamu! Terus pertahankan sampai lulus! Ingat itu!"
Tepukan ia haturkan kemudian, membuat seisi ruangan ikut menggemakan tepukan, kecuali Rangga yang memilih diam membisu.
"Untuk ujian minggu depan, terkhusus mata pelajaran yang Bapak ajar, Kimia. Bapak hanya menitip pesan agar kalian lebih banyak berlatih soal dari buku. Bapak gak akan ngasih soal susah, semuanya ada di buku kalau kalian mau berusaha bekerja keras lebih banyak. Untuk mata pelajaran lainnya, Bapak harap kalian ikuti saran dari para guru. Jangan leha-leha! Jangan malas!
Boleh saja kalian nongkrong, main game Mobile Legend, nonton bioskop, tapi jangan lupa juga. Masa remaja kalian harus diisi dengan hal yang bermanfaat. Mengikuti ekstrakulikuler misalnya, masuk organisasi OSIS jika mampu, mengikuti ajang Olimpiade jika berminat, coba semua! Jangan minder! Jangan malas!
Dalam 5 tahun ke depan, di antara kalian mungkin akan ada yang kuliah, kerja, studi ke luar negeri, atau jadi youtuber misalnya. Tapi, kami para Guru, akan tetap berada di sekolah ini tetap sebagai pengajar. Kami sudah tidak bisa berkembang seperti kalian yang masih muda. Profesi kami sebagai Guru seperti sudah menjadi perjalanan akhir kami selama masa muda. Dan tugas kalian mulai dari sekarang adalah terus berkembang, terus maju, terus belajar, terus bekerja keras untuk mencapai cita-cita kalian. Kalian tidak boleh malas!
Terakhir, Bapak ingin meminta maaf kepada kalian. Jika selama Bapak menjadi Wali Kelas kalian, Bapak banyak berteriak dan marah. Terutama pada kamu, Gilar."
Para siswa tiba-tiba tertunduk, namun ada juga yang masih bertahan memperhatikan Wali Kelasnya berbicara. Termasuk Gilar yang kembali tersenyum malu tatkala namanya di sebut lagi.
"Untuk yang lain juga, Bapak minta maaf jika selama ini Bapak banyak kekurangan, baik dalam membimbing kalian selaku Wali Kelas atau sebagai pengajar Kimia."
Mata-mata yang masih memandangnya penuh sorot pilu.
"Nah! Sekarang kita ulangan harian!"
"Aaahhhh!!!" seru para siswa serempak.
***
Anggita dan Gladis saling menggamit lengan, keduanya jalan beriringan di ekori Fajar di belakangnya.
"Kalian kayak lesbi!" seru Fajar sambil bergidik ngeri.
Kedua gadis itu hanya tersenyum. Tetap melangkahkan kaki hingga kantin. Selepas memesan bakso, ketiganya duduk bersamaan. Anggita dan Gladis duduk berdampingan, sedangkan Fajar duduk berhadapan dengan mereka.
"Cerita dong buruan!" Gladis menarik-narik lengan Anggita hingga membuat tubuh gadis yang mengikat tunggal rambutnya itu bergoyang.
"Iya nih! Aku juga penasaran. Beneran si Gilar dateng ke rumah kamu?" sela Fajar ikut menimpali.
Anggukan Anggita serta senyuman menjadi jawabannya.
"Terus? Terus? Dia nembak?" Gladis tak sabar.
Anggita menggeleng namun tetap tersenyum.
"Terus dia ngapain ke rumah kamu?" Fajar penasaran.
"Ngobrol depan gerbang rumah aja!" Jawab Anggita santai.
Kedatangan Bi Minah yang mengantarkan bakso pesanan mereka menjeda obrolan sejenak. Di seruputnya teh manis di depan Anggita dengan lahap. Namun, Gladis dan Rangga masih menunggu ceritanya berlanjut.
"Masa sih cuma ngobrol doang!" Sela Gladis tak percaya.
"Ogah ah nyeritain yang lain. Bikin bad mood hati tahu!" Anggita mengeluh.
"Ya, udah deh. Cerita yang baik-baiknya aja lah, Ta. Kita penasaran! Masa cuma ngobrol sih?" Fajar memaksa.
"Emang cuma ngobrol sih. Dia minta aku gak keluar rumah semalem." Sambung Anggita.
"Wah! Ada bau-bau soal si Rangga nih. Lewat aja deh lewat. Langsung ke hal baik lagi aja!" Gladis ngegas.
"Baiknya cuma nyampe sana aja. Tapi, obrolan kita emang garing sih. Tapi, bikin perasaan aku gimana gitu," ungkap Anggita kemudian.
"Cieehh.... Jadian aja gih jadian!" olok Fajar.
"Kayaknya gak bisa deh."
"Kenapa gak bisa? Bisa-bisa aja kali, Ta!"
Anggita hanya tersenyum. Memilih mengakhiri obrolan dengan melahap baksonya. Ia ingat betul ancaman Rangga jika ia berpacaran dengan lelaki lain. Sudah ia bayangkan akibat apa yang akan ditanggung lelaki yang berani menjadi pacarnya sejak kejadian semalam. Pertengkaran antara Gilar dan Rangga yang hanya bisa ia saksikan melalui celah jendela kamarnya. Meski tak menemukan bekas luka apapun di wajah Rangga dan Gilar, ia malah semakin tidak tenang. Rangga benar-benar tidak main-main dengan ancamannya. Ia benar-benar tidak ingin Anggita berpacaran dengan lelaki manapun selain dirinya. Bahkan Gilar yang jelas-jelas bukan pacarnya harus mendapatkan akibat dari kedekatan keduanya. Ancaman Rangga akan membuat Gilar di DO dari sekolah terus terngiang sepanjang malam. Meski pagi tadi ia sempat melampiaskan amarahnya di saat Rangga secara sukarela mendatanginya, itu tak cukup memberikan ketenangan pada Anggita.
***
Anggita termangu memperhatikan seorang lelaki dengan baju batik biru tengah menulis di alas whiteboard. Gadis itu mencoba mencerna setiap kata yang ditulis dalam huruf Hiragana. Meski di samping kata tersebut ada terjemahan dalam bahasa Indonesia, namun Anggita mencoba menantang diri membacanya dalam bahasa Jepang. Meski hanya dalam hati.
"Merhatiin gurunya nyampe mengo gitu, Ta!" bisik Gilar sembari menyiku lengannya yang bertumpu di atas meja.
Anggita menoleh ke arahnya, "apaan sih! Ngaco!" balasnya dengan suara yang sama pelan.
"Pak Reza emang ganteng, yah! Aku aja nyampe iri sama kegantengan dia. Cuma sayang, ada satu hal yang kurang dari dia." Ujar Gilar sembari memandang Pak Reza yang kini memilih duduk di bangku Guru sembari memandang laptopnya.
"Kurangnya apa emang?" tanya Anggita penasaran.
"Jomblo, Ta!"
"Sok tahu kamu! Mungkin aja dia udah punya pacar."
"Tapi kok belum nikah-nikah? Berarti dia jomblo!"
"Emang nikah teh gampang ai kamu!"
"Kan dia udah jadi Guru. Punya banyak duit dong, Ta."
"Baru Guru honorer, Rangga...."
"Terus kalau dia Guru honorer kenapa gitu? Masalah buat nikah secepatnya?"
"Tau, ah! Itu urusan dia! Kok jadi bahas dia sih."
Gladis dan Fajar yang sedari tadi memperhatikan betul kasak-kusuk antara keduanya hanya saling berbalas senyum.
"Alhamdulillaah, Anggita banyak senyum hari ini." Ungkap Gladis setengah berbisik pada Fajar.
"Iya, Dis. Alhamdulillaah. Meskipun aku ngerasa ada yang ngeganjel sih. Kayak gak enak hati gitu!"
"Sok peramal kamu, Faj. Udah! Ikut bahagia aja ngeliat mereka. Mungkin emang mereka gak mau bagi-bagi kabar kalau mereka itu sebenernya udah jadian."
Fajar memandang Anggita yang tersenyum dengan lekat. Beralih ke arah Gilar yang masih mengajaknya berbicara. Kepalanya menoleh ke arah Rangga yang duduk jauh di pojok kelas, tengah memandang ke arah Anggita dan Gilar tajam. Fajar menghela nafas panjang. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi antara mereka malam tadi yang tak diceritakan Anggita. Namun, ia tak yakin hal itu baik ataukah buruk. Melihat senyuman Anggita yang terus menerus mengembang, membuatnya merasakan perasaan senang bercampur sakit yang tak berjudul. Bibirnya ia paksa untuk tersenyum, meski lagi-lagi hatinya bergejolak sakit.
Saat bel pulang berbunyi, Anggita menolak pulang bersama Gladis dan Fajar. Ia duduk di perpustakaan bersama beberapa siswa lain yang memilih menghabiskan waktu di sana. Beberapa kali ia melihat jam di ponselnya, melirik ke arah pintu masuk seolah menunggu seseorang. Sampai akhirnya Rangga masuk ke ruangan tersebut. Anggita berpaling. Sekuat tenaga menyamankan dirinya ketika lelaki itu duduk di sampingnya.
"Ada apa? Langsung aja, Rang. Aku mau cepet pulang!"
Selama mata pelajaran Pak Reza tadi, Anggita mendapatkan pesan dari Rangga yang mengajaknya untuk bertemu dengan dalih membuat perjanjian bahwa ia tak akan mengganggunya dan Gilar lagi.
"Putusin Gilar!"
Anggita mendelik ke arahnya, "udah aku bilang dia bukan pacar aku, Rangga!"
Terdengar suara gemerisik dari dalam ruangan. Anggita memilih mengabaikan meski tahu bahwa tak semestinya ia ada di sana. Tapi hanya tempat ini yang membuatnya nyaman untuk bertemu dengan Rangga hanya berdua saja.
"Kalau gitu jauhin dia!"
Anggita memandangnya tajam.
"Kalau kamu jauhin dia, gak duduk sama dia lagi, atau dia gak berani-berani lagi ke rumah kamu, aku janji gak bakalan ganggu kamu!"
"Apa yang salah sih aku temenan sama si Gilar, Ta? Aku cuma manusia biasa yang butuh banyak teman. Bukan mengisolasi diri cuma gara-gara perintah kamu yang gak masuk akal itu! Temen aku di sekolah ini cuma Gladis sama Fajar. Apa salah kalau aku juga mau jadi temennya Gilar? Huh!"
"Okelah kamu temenan sama si Fajar. Dia udah buktiin diri gak ada hubungan apa-apa sama kamu selain temenan. Tapi---,"
"Maksud kamu apa? Kamu larang Fajar temenan sama aku?"
"Aku belum selesai ngomong, Anggita!"
Anggita bangkit dari duduknya. Meraih tasnya dan menggendongnya.
"Kamu keterlaluan, Rangga! Sekarang aku tahu alesan semua orang jauhin aku! Semua ini karena kamu!" Anggita berang.
"Itu karena kamu nolak aku, Ta!"
"Gak ada hubungannya! Gak masuk akal! Kamu gila, Rangga! Udah bikin orang lain gak bisa punya temen. Kamu pikir manusia macam apa yang bisa hidup tanpa kehadiran temen? Huh! Cuma manusia gak waras! Dan aku manusia normal, Rangga!"
"Ini demi kebaikan kamu, Ta. Lelaki di luar sana yang mau temenan sama kamu bisa aja mereka berbahaya, kan? Aku berusaha melakukan yang terbaik buat ngelindungin orang yang aku sayang!"
"Salah, Rangga! Yang bisa nilai seseorang baik atau nggak jadi temen aku itu bukan kamu, tapi diri aku sendiri! Aku punya hak berteman dengan siapa pun. Dan kamu gak punya hak ngelarang siapa pun berteman sama aku! Ngerti?"
"Aku berhak ngelarang siapapun yang mau berteman sama kamu jika orang itu berbahaya. Kayak si Gilar! Dia itu anak geng motor! Preman, Ta!"
"Terserah! Itu urusan aku sama dia! Kamu gak berhak ikut campur urusan pertemanan aku. Karena aku gak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari kamu kalau si Gilar emang gak baik jadi temen aku. Dan satu hal yang pasti, lelaki yang berbahaya buat jadi temen aku itu cuma kamu, Rangga! Jangan harap aku mau jadi pacar kamu. Berteman sama kamu aja aku gak sudi! Camkan itu!"
Rangga mematung. Anggita memilih melangkah pergi keluar ruangan. Berjalan cepat seiring rasa puas karena telah mengungkapkan semua buah pikirannya selama ini. Berharap Rangga mengerti dan berhenti mengusik kehidupannya. Namun, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menggelayut yang berujung pada Fajar. Ia tak pernah tahu bahwa teman gembulnya itu ikut kena imbas harus berurusan dengan Rangga. Rasa khawatir menyeruak ketika bayangan ketika tadi malam menghampiri kepalanya kembali. Anggita meraih ponselnya, mencari kontak bernama Rangga dan menelepon lelaki itu.
"Assalamu'alaikum, Ta. Ada apa?" sapa suara Fajar dari seberang sana.
"Wa'alaikum salam. Kamu di mana sekarang?" tanya Anggita masih terus melangkahkan kakinya.
"Di ruang Guru, Ta. Lagi ngobrol sama Bapak Wali Kelas kita. Kenapa emang?"
"Aku baru dari perpustakaan. Pulang bareng yuk! Aku tunggu di kelas. Gimana?"
"Oke, Ta. Tapi aku beresin urusan di sini dulu. Gak apa-apa?"
"Gak apa-apa. Nyantai aja, Faj. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Winda Nurjannah
semangat terus yaa
2020-04-19
1
Winda Nurjannah
namanya ko kadang musingin yaa hhee
2020-04-19
1
Nurwahidah Bi
Sedikit tentang elipsis ya (...)
Elipsis pada tengah kalimat diberi spasi (Aku ... cinta kamu)
Elipsis pada akhir dialog, berdialog tag diberi spasi dan koma ( "Aku cinta kamu ...," ujar Rangga)
Jika tidak ada dialog tag, diakhiri tanda titik.
Intinya sih, cuma mau bilang jangan lupa spasi eheheheh
2020-03-11
7