Bab 4

“Menurut lo gimana, Vin?”

Gian berbicara dengan Vino. Mereka masih berada di kelas, menunggu jam istirahat tiba. Bu Eni, guru mata pelajaran Ekonomi yang seharusnya mengisi kelas mereka, berhalangan hadir karena sakit. Sebagai gantinya, mereka diberikan tugas dan harus dikumpulkan pada akhir jam pelajaran Ekonomi.

Berhubung selesai pelajaran Ekonomi waktunya istirahat makan siang, Gian memanfaatkan waktu 15 menit yang tersisa sebelum jam istirahat tiba. Ia baru saja bercerita pada Vino soal Dinda dan Dimas. Gian meminta pendapat cowok itu tentang mereka.

“Vin?” Gian memperhatikan ekspresi wajah Vino yang tampak sedang serius berpikir.

“Bentar,” Vino mengusap dagunya, “Lo berasumsi kalo Kak Dimas ada hubungan spesial sama Dinda gitu?”

“Gue sebenarnya juga masih ragu. Cuma, kalo dilihat dari interaksi mereka, kayaknya emang ada sesuatu yang spesial di antara mereka,” Gian menghela napas sejenak, sambil mengusap wajahnya frustasi. “Kok rasanya apes banget, ya? Baru juga mau deketin Dinda, udah ada saingannya aja. Mana orangnya Kak Dimas lagi. Saingan berat ini mah.”

Semula Vino masih fokus memikirkan perihal hubungan Dinda dan Kak Dimas seperti yang diceritakan Gian. Namun, gerutuan terakhir yang dilontarkan sahabatnya barusan membuat Vino menahan tawa.

“Jadi ...,” Vino menyeringai jahil, “Dinda udah resmi jadi calon gebetan lo nih?”

Mendengar pertanyaan itu, wajah Gian sontak memerah. “Cuma pengen jadi temen masa udah dibilang calon gebetan?”

“Yakin cuma mau jadi temen?” Vino memicingkan matanya, “Palingan nanti juga dari temen jadi demen.”

“Sok tahu!”

“Yan, gue bukannya sok tahu. Cuma sebagai sahabat lo, gue tahu banget kehidupan lo selama ini kayak gimana. Meskipun keseharian lo selalu dikerubungi cewek-cewek, tapi belum ada satu pun dari mereka yang menarik perhatian lo. Sampai lo cerita soal Dinda,” ucap Vino memberi pengertian, “Sejak lo cerita soal Dinda, gue udah bisa lihat kalo lo itu tertarik sama dia.”

Tidak ada kata yang keluar dari bibir Gian. Cowok itu memilih memalingkan wajah ke arah lain, tepatnya ke luar jendela. Kebetulan tempat duduk Gian berada di dekat jendela.

Melihat sikap Gian, tawa Vino terdengar. “Lo tahu nggak? Waktu lo cerita soal Dinda dan Kak Dimas tadi, wajah lo kusut. Kelihatan banget lo cemburu sama Kak Dimas.”

“Cemburu?” Gian menggeleng, “Lo mikirnya jauh banget, Vin. Gue bukannya cemburu, tapi lebih penasaran aja sama mereka. Kak Dimas kok bisa berubah 180 derajat waktu ngobrol sama Dinda. Asli, beda banget sama Kak Dimas yang biasa kita kenal.”

Masih aja denial—batin Vino gemas. “Gue jadi penasaran yang namanya Dinda kayak apa. Dia berhasil bikin dua cowok most wanted di sini jadi klepek-klepek sama dia.”

Dahi Gian mengerut. “Dua cowok?”

“Lo sama Kak Dimas,” lanjut Vino.

“Gue udah bilang kalo gue cuma mau kenalan dan temenan aja sama Dinda,” sanggah Gian. Lama-kelamaan mulai kesal karena terus dituding tertarik pada Dinda. “Orang baru ketemu kemarin. Ya kali langsung demen?”

“Cinta itu bisa datang kapan aja tanpa kenal waktu.” Vino memasang wajah serius. Dengan gaya yang sok bijak, ia kembali berujar. “Nih ya, gue kasih tahu. Ada cinta pada pandangan pertama, cinta karena terbiasa, cinta karena—”

“Bentar!” Gian menyela penjelasan Vino. “Lo kenapa ngotot banget sih kalo gue ada something sama Dinda?”

“Nenek-nenek jago salto pun bisa lihat, Yan!” Vino semakin gemas melihat Gian terus menyangkal ucapannya. “Oke, gini aja. Kalo lo masih mau nyangkal, silakan. Itu hak lo. Tapi, gue mau tanya satu hal dulu. Apa alasan lo sebegitu pengennya temenan sama Dinda?”

“Harus ada alasan, ya? Gue bebas temenan sama siapa aja.”

Vino menatap Gian dengan mata memicing tajam, dan membuat Gian menyerah untuk lari dari pertanyaan yang dia lontarkan.

“Oke, gue jawab.” Gian berpikir sejenak, “Gue sama Dinda emang baru interaksi 2 kali. Tapi, ada sesuatu dalam diri Dinda yang bikin gue pengen kenal dia lebih jauh. Gue udah bilang secara fisik, dia itu cantik, imut, tapi ... kepribadian dia unik. Gue pikir kepribadian dia itulah yang bikin gue tertarik.”

Vino mengangguk-angguk, lalu menatap horor ketika ekspresi wajah Gian tiba-tiba berubah.

“Lo tahu nggak, Vin? Kemarin setelah jam istirahat, gue ketemu Dinda di taman. Di situ kita jadi kenalan nama masing-masing, terus dia minta tolong sama gue buat nurunin kucing yang kejebak di atas pohon. Itu kucing betina, tapi sama Dinda dikasih nama Vino. Hahaha ...”

Mata Vino melotot, “Nama gue disamain nama kucing?!”

“Tenang aja, gue udah nyuruh Dinda buat ganti namanya, kok. Lagian gue juga nggak ikhlas dia manggil-manggil nama lo ...”

Vino terdiam. Kali ini wajah Gian terlihat menahan kesal. Diam-diam Vino ingin tertawa melihatnya. Ampun deh, cuma masalah nama aja udah cemburu. Bau-bau tipe cowok posesif, nih.

“Setelah gue bantu nolongin kucing itu,” bibir Gian melengkung sempurna, “dia ngucapin makasih terus senyum sama gue. Waktu dia senyum, nggak tahu kenapa jantung gue detaknya cepet banget, Vin. Apa gue sakit, ya?”

Seketika bahu Vino melemas mendengar pertanyaan Gian. Belum lagi ekspresi wajah Gian yang terkesan polos.

“Yan, gue nggak tahu harus gimana lagi sama lo,” ujar Vino sekenanya. “Gue cuma bisa doain, semoga pengalaman cinta pertama lo ini bisa mulus. Supaya lo nggak kelihatan ngenes banget soal cinta.”

.

.

.

Gian mati-matian menahan kesal karena Vino menyudahi obrolan mereka secara sepihak. Vino langsung keluar dari kelas dan sewaktu ditanyai oleh Gian, cowok itu menjawab sambil teriak kalau ingin pergi ke kantin. Meski dibuat kesal, Gian tetap pergi menyusul Vino.

Sesampainya di kantin, Gian langsung menghampiri Vino yang sedang mengantri di area buffe.

“Main ninggal aja,” celetuk Gian sewaktu berdiri di belakang Vino.

“Sori, cacing di perut gue udah pada demo,” balas Vino seraya terbahak. “Kita bahas lagi masalah lo tadi sambil makan, ya? Gue kalo lagi laper, otak gue nggak bisa bekerja dengan baik, Yan.”

“Alasan aja.” Gian mencibir kesal, lalu mulai mengambil piring. Sewaktu hendak mengikuti Vino untuk mengambil makanan, Gian tak sengaja melihat keberadaan Dinda yang sudah menempati salah satu meja bersama seorang cewek.

Wajah Gian langsung sumringah. Rasa kesalnya pada Vino luntur, berganti menjadi semangat seperti sebelumnya.

“Vin, ambilin punya gue, ya!” seru Gian seraya menyodorkan piringnya pada Vino. Tanpa menunggu jawaban Vino, Gian langsung pergi menuju tempat Dinda.

Semakin dekat dengan meja yang ditempati Dinda, jantung Gian semakin berdebar kencang. Meski begitu, Gian berusaha menjaga sikap agar tetap terlihat tenang. Ia sesekali membalas sapaan beberapa cewek yang melihat kedatangannya.

“Boleh gabung?”

Pertanyaan Gian ini disambut tatapan bingung oleh Dinda. Cewek itu memperhatikan Gian dengan kerutan di dahi. Reaksi berbeda terlihat dari Wulan, yang duduk di samping Dinda. Mulut Wulan menganga lebar. Sepertinya cewek ini terlalu syok melihat kemunculan Gian.

“Jangan buka mulut lebar-lebar. Nanti kalo ada lalat masuk, kamu bisa sakit, lho,” celetuk Dinda.

Buru-buru Wulan menutup mulut, lalu tertunduk malu. Ia melirik kesal ke arah Dinda karena terkesan ceplas-ceplos saat menegurnya.

Gian mengamati interaksi kedua cewek itu sambil tertawa. “Aku boleh gabung, ‘kan?” tanyanya lagi.

Dinda melihat ke sekeliling. “Masih banyak meja yang kosong, Kak.”

“Tapi aku pengen duduk di sini. Nggak boleh?”

“Enggak—auw!”

“Boleh kok, Kak! Boleh banget!” Wulan menyerocos cepat, “Silakan!”

Gian tersenyum mendengar perkataan Wulan dan langsung duduk di depan Dinda. Ia tertegun saat melihat ekspresi kesakitan di wajah Dinda. “Kamu kenapa?”

“Barusan Wulan nginjek kaki aku, Kak.” Dinda menjawab jujur dan membuat Gian melongo. Wulan refleks menutupi wajahnya karena malu. Seharusnya dia ingat kalau Dinda ini tipe cewek yang suka berkata jujur.

Saking jujurnya bisa membuat seseorang kehilangan muka.

“Tadi ada Chika di sini. Aku gemes sama buntutnya, pengen nginjak. Eh, malah kena kaki kamu,” ucap Wulan berusaha menyembunyikan aksi jahilnya pada kaki Dinda.

“Ngaco. Chika ada di deket tong sampah, kok. Barusan tadi aku kasih makan.”

Wulan menatap kesal ke arah Dinda. “Diem!”

“Lho? Kenapa aku disuruh diem? Aku salah apa?” tanya Dinda dengan mata mengerjap polos. “Kak Gian, maklumin kelakuan temen aku, ya. Dia rada aneh.”

Wulan mengepalkan tangannya gemas, sedangkan Gian sudah tertawa terbahak-bahak. Reaksinya ini membuat beberapa cewek di kantin menoleh ke arahnya. Mereka baru pertama kali melihat Gian tertawa begitu lepas.

“Udah, nggak usah dilanjut lagi.” Gian melirik nametag Wulan. “Kamu temennya Dinda?”

“Iya, Kak. Kami sekelas.”

“Yang sabar ya, punya temen kayak Dinda,” lanjut Gian sambil tergelak.

“Makasih, Kak. Seneng rasanya ada yang ngerti sama perasaanku,” jawab Wulan dengan nada mendramatisir.

“Emang aku kenapa, Kak?” tanya Dinda bingung. Ia ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam Wulan langsung membuatnya terdiam. Bibir Dinda mengerucut kesal. Ia pun memilih melanjutkan kegiatan makan siangnya.

“Kakak sendirian aja?” tanya Wulan.

“Enggak, sama temenku juga. Dia lagi ngantri makanan di buffe,” jawab Gian. Ia menatap takjub pada menu makanan yang dipesan Dinda. “Kamu makannya banyak juga.”

“Ini semua makanan kesukaan aku, Kak.” Dinda tersenyum dengan pipi yang menggembung karena penuh makanan. “Lagian kalo nggak diambil semua juga sayang. Kan kita udah bayar.”

Gian tertawa lagi.

“Emang kenapa, Kak? Masalah ya kalo aku makan banyak?” tanya Dinda lagi.

“Enggak, kok. Aku suka cewek yang makan banyak.”

Gian tidak sadar kalau ucapannya barusan didengar oleh cewek-cewek di sekitar mereka. Sedari tadi, cewek-cewek itu mengamati gelagat Gian yang berjalan santai menghampiri meja Dinda. Melihat Gian bersikap berbeda dengan Dinda, mereka dibuat penasaran, sampai akhirnya menguping pembicaraan keduanya.

Cewek-cewek yang mendengar pernyataan Gian tadi langsung berburu ke stand makanan. Wulan yang peka dengan keadaan sekelilingnya hanya bisa melongo, tetapi perhatiannya langsung beralih pada Gian yang ternyata masih memandangi Dinda.

Wulan bisa melihat bagaimana tatapan mata Gian yang begitu hangat untuk cewek itu.

Wah, nggak nyangka tipe cewek kayak Dinda bisa bikin Kak Gian jadi begini—batin Wulan merasa bangga.

TRAK!

Tiba-tiba terdengar suara nampan yang bersentuhan dengan meja. Sepertinya ada seseorang yang datang menghampiri meja mereka.

“Akhirnya lo datang juga, Vin. Gue udah laper ...,” kalimat Gian menggantung sejenak begitu melihat sosok cowok yang berdiri di sampingnya, “... banget.”

Ingin rasanya Gian salah mengenali cowok yang kini sudah menghadiahi tatapan tajam untuknya. Sayang, suara Dinda yang terdengar selanjutnya semakin memperjelas identitas cowok yang berdiri di samping Gian.

“Kak Dimas?”

TO BE CONTINUED

Terpopuler

Comments

@asfa_hany(T▽T)

@asfa_hany(T▽T)

eh nama kocheng nya dinda kayak nama temenku😂

2021-03-15

0

Atmani Ani

Atmani Ani

waduh , gawat

2020-08-10

6

Sayyidah Husri

Sayyidah Husri

Nah lo 😁😁😁😁

2020-06-25

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!