Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Seruan penuh kesenangan bergema di sepanjang lorong. Suara bel itu paling dinantikan bagi mereka yang berharap jam pelajaran terakhir lekas selesai. Lihat saja bagaimana antusiasme para siswa yang segera membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang setelah guru mengakhiri kegiatan belajar-mengajar.
Pemandangan ini juga terjadi di kelas Dinda. Teman-temannya mulai meninggalkan kelas satu per satu. Namun, ada beberapa yang masih bertahan di kelas untuk sekedar mengobrol atau mengerjakan tugas kelompok.
“Dinda!” seseorang menghampiri Dinda dengan teriakan nyaring. “Pulang bareng, yuk!”
Dinda menoleh ke arah Wulan, teman sekelasnya. Wulan merupakan teman pertama Dinda di sekolah. Mereka pertama kali bertemu sewaktu mencari kelas masing-masing untuk persiapan MOS. Tak disangka rupanya mereka satu kelas. Keduanya pun berkenalan satu sama lain. Dalam kurun 1 bulan, mereka sudah akrab. Sampai teman-teman yang lain mengira bila Dinda dan Wulan berasal dari SMP yang sama.
Faktanya, Dinda dan Wulan tidak bersekolah di SMP yang sama.
Bagi Wulan sendiri, mengenal Dinda merupakan pengalaman yang sangat spesial. Awal bertemu Dinda, Wulan mengira Dinda tipe cewek kalem dan lembut. Apalagi melihat senyuman Dinda yang sangat ramah ketika Wulan menyapanya.
Namun setelah mereka mengobrol, penilaian Wulan meleset.
Siapa yang mengira kepribadian Dinda benar-benar unik, lain daripada yang lain.
“Maaf ya, Lan. Kayaknya aku nggak bisa pulang bareng kamu. Bunda barusan kirim pesan kalau aku dijemput sama Pak Bagas,” ada keheningan sejenak. Dinda merasa tidak enak menolak ajakan Wulan.
“Oh, gitu? Ya udah nggak apa-apa,” balas Wulan seraya tersenyum.
Dinda masih merasa bersalah. “Maaf ya, Lan,” ujarnya dengan wajah penuh sesal.
Wulan merangkul Dinda. “Santai aja kali, Din. Kita bisa pulang bareng di lain kesempatan,” balasnya sambil tertawa dan membuat Dinda perlahan ikut tersenyum.
“Oh iya, hampir aja lupa!” Dinda menatap Wulan dengan mata berbinar-binar. “Kamu masih inget sama ceritaku tadi pagi nggak? Soal kakak tiang listrik.”
Wulan berpikir sebentar, “Maksud kamu kakak kelas yang nggak sengaja nabrak kamu tadi pagi?” ia duduk sebentar di kursi samping Dinda yang kosong. Meski satu kelas, posisi meja mereka tidak berdekatan.
“Hu-um.” Dinda terkekeh pelan, kemudian lanjut bercerita dengan antusias. “Sebenarnya aku juga nggak tahu dia kakak kelas atau satu angkatan sama kita. Tapi ... kayaknya sih emang kakak kelas.”
“Kamu tahu namanya nggak?” tanya Wulan penasaran. Sebelum jam pelajaran pertama dimulai, Dinda sempat bercerita perihal kejadian tak menyenangkan yang dialaminya di area loker siswa.
“Aku udah tahu!” seru Dinda gembira. “Tadi aku ketemu lagi sama dia di deket pohon taman sekolah.”
“Kalian ketemu lagi?” Mata Wulan berbinar antusias. “Siapa namanya?”
“Ngg ... sebentar. Kalo nggak salah namanya ...,” dahi Dinda berkerut-kerut saat mencoba mengingat nama Gian. “Ah! Giandra Darmawan.”
“HAH?! SERIUS?!”
Tiba-tiba Wulan berteriak heboh dan membuat Dinda nyaris terjungkal dari kursinya. Beberapa teman yang masih berada di kelas pun menoleh serempak ke arah mereka.
“Ngapain teriak, sih?! Ngagetin aja!” semprot Dinda kesal.
“Maaf ...,” cicit Wulan sembari meringis, “Ya ... kamu juga ngagetin sih.”
“Lho? Kok jadi aku?” Dinda mengernyit bingung.
Wulan menatap wajah Dinda lamat-lamat. “Beneran nama kakak itu seperti yang kamu sebutin tadi?”
Dinda merasa jengkel karena reaksi Wulan terkesan tidak mempercayai ucapannya. “Iya, beneran. Itu memang namanya. Aku nggak mungkin salah baca nametag di seragamnya. Penglihatan mataku bagus karena Bunda selalu nyuruh aku rajin makan wortel buat kesehatan mata.”
Bodo amat rajin makan wortel. Nggak ada yang nanya juga—batin Wulan gemas. Ini salah satu kepribadian unik Dinda yang membuat Wulan speechless di awal pertemuan mereka. Kebiasaan Dinda yang kerap berbicara sesuatu panjang lebar tanpa ada keterkaitan dengan topik utama pembicaraan.
“Kamu tahu nggak dia siapa?” tanya Wulan penuh kesabaran. Melihat sikap Dinda yang begitu santai saat bercerita soal Gian, Wulan curiga cewek ini tidak mengenal Gian dengan baik.
Dinda bergumam pelan sambil memasang pose berpikir. “Tahu. Kakak kelas kita ‘kan?”
“Ya ampuuun,” Wulan tidak tahu lagi harus berkomentar apa atas reaksi Dinda. “Dia itu bukan cuma sekedar kakak kelas, Dinda.”
Dinda menautkan kedua alisnya bingung. Wulan memberi isyarat untuk mendekat, dan Dinda segera mencondongkan tubuhnya ke arah cewek itu.
“Kak Gian itu salah satu anggota OSIS yang kemarin ikut jadi pemandu MOS. Pengalaman dari temen kelas lain yang dipandu sama Kak Gian, orangnya ramah banget. Sopan. Belum lagi perawakannya yang kayak model, tinggi plus ganteng. Yang aku denger, katanya Kak Gian juga berasal dari keluarga berada gitu. Banyak cewek di sini yang naksir dan ngefans sama dia,” jelas Wulan panjang lebar dengan semangat.
“Masa?”
“Ck, kamu ini nggak peka sama situasi dan kondisi di sekitar,” Wulan ingin sekali menjitak kepala Dinda karena saking gemasnya. “Jelas-jelas waktu MOS kemarin semua pada heboh sama Kak Gian. Sampe Kak Gian kepilih jadi pemandu favorit.”
Tak ada yang berubah dari reaksi Dinda. Ekspresi cewek itu tetap terlihat datar.
“Ah, udah deh. Kamu nggak bakalan ngerti sama apa yang aku ceritain,” Wulan menarik napas panjang. “Yang pasti, kamu beruntung banget bisa interaksi sama Gian.”
“Biasa aja menurutku. Orang tadi ngobrol juga gara-gara dia nabrak aku, terus waktu di taman, dia bantuin aku nolongin Vino turun dari pohon,” balas Dinda seraya memakai tasnya. Mereka melanjutkan obrolan sambil berjalan keluar kelas.
Wulan menaikkan sebelah alisnya. “Vino?”
“Itu lho ... kucing yang aku ceritain sama kamu kemarin,” kata Dinda, lalu tertawa geli. “Tahu nggak, ternyata aku salah ngasih nama. Kak Gian bilang kucingnya itu betina, eh aku malah ngasih namanya Vino. Mana namanya sama kayak nama temen Kak Gian yang cowok.”
“Pffft ... kamu ada-ada aja, Din,” sahut Wulan tidak bisa menahan tawa.
“Ya aku ‘kan nggak tahu kalo kucingnya betina,” Dinda tersenyum lagi, “Kak Gian nyuruh aku buat ganti nama kucingnya. Hm? Kira-kira siapa, ya? Ah, nanti aku browsing di internet aja deh buat nyari namanya.”
Wulan melongo. Emang harus banget ya browsing di internet buat nyari nama kucing? Ia tidak tahu lagi harus berkata apa tentang pemikiran ajaib Dinda.
Namun, diam-diam Wulan memikirkan interaksi Dinda dengan Gian. Entah mengapa, Wulan mendapat firasat bila temannya ini, kelak akan memiliki hubungan spesial dengan kakak kelas mereka tersebut.
.
.
.
Gian melongokkan kepalanya ke dalam ruang OSIS, celingak-celinguk untuk mencari seseorang. Senyumnya mengembang setelah berhasil menemukan Reza, kakak kelasnya yang menjabat sebagai sekretaris OSIS.
Reza terlihat duduk di salah satu kursi dengan tatapan mengarah pada netbook di atas meja. Cowok itu sepertinya sedang fokus mengerjakan sesuatu.
“Permisi, Kak.”
Reza mengalihkan perhatiannya sejenak ke arah pintu, “Oh, Gian? Masuk aja!” serunya mempersilakan Gian masuk ke ruangan.
Reza tertawa kecil melihat Gian hanya berdiri di sebelahnya. “Duduk aja, Yan.”
Gian mengikuti saran Reza dan menarik kursi yang di samping Reza. “Maaf ya, Kak, kalo aku ganggu.”
“Enggak kok.” Reza tersenyum, “Tadi emang lagi bantuin Bu Ratna buat rekap data kelas 10. Sekarang udah selesai.”
Mendengar nama kelas 10 disebut, mata Gian seketika berbinar. Wah, timingnya pas banget ini.
“Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Reza penasaran.
“Aku mau minjem data siswa kelas 10, Kak,” jawab Gian agak gugup.
Reza mengernyitkan dahi. “Buat apa?”
“Ngg ...,” Gian segera berpikir demi mencari alasan yang logis. “Kemarin waktu MOS, aku minjem pulpen salah satu adik kelas. Aku mau ngembaliin, tapi cuma keinget namanya aja. Aku nggak tahu dia di kelas mana. Yang pasti dia bukan dari kelas yang aku pandu, Kak.”
Hening.
Belum ada tanggapan dari Reza karena cowok ini sedang mencerna jawaban Gian. Sementara Gian sendiri mulai keringat dingin, was-was jika Reza tidak mempercayai cerita yang dia karang.
“Ngembaliin pulpen?” tanya Reza memastikan lagi.
Gian mengangguk kaku. Ia takut Reza tidak akan percaya, tapi ternyata ...
“Kebangetan kamu, Yan. Pinjem pulpen 1 bulan tapi lupa ngembaliin. Kasihan itu adik kelasnya,” tutur Reza seraya menggelengkan kepala. Ia sudah berdiri dari kursi dan berjalan menuju meja lain yang terdapat tumpukan beberapa map di atasnya.
Fiuh ... untung aja Kak Reza tipe cowok yang selalu berpikir positif—batin Gian merasa lega. Ia tertawa kecil dengan lagak malu pada diri sendiri. “Iya, Kak. Aku kelupaan hehe.”
“Kelupaan kok sampe 1 bulan,” Reza menghampiri Gian seraya menyodorkan sebuah map warna hijau. “Nih. Kamu cari namanya dan kalo udah ketemu langsung kembaliin, ya. Aku nggak mungkin kasih kamu izin buat bawa berkasnya karena ... ya tahu sendiri ‘kan Dimas orangnya gimana?”
“Iya, Kak. Aku paham,” kata Gian mengangguk patuh. Ia segera mencari data kelas Dinda dalam berkas yang diberikan Reza. Sesekali Gian melirik Reza yang sudah kembali duduk dan asyik dengan netbook.
Sedikit info soal Dimas yang disebutkan Reza. Cowok itu satu angkatan dengan Reza dan merupakan ketua OSIS. Dimas populer sejak awal masuk di sekolah itu. Kepopulerannya kian bertambah setelah Dimas menjabat sebagai ketua OSIS. Sama seperti Gian, Dimas memiliki paras tampan dan perawakan jangkung.
Namun, bila dibandingkan dengan Gian, Dimas memiliki kepribadian yang berbeda. Jika Gian terkenal karena keramahannya, maka berbeda dengan Dimas yang terkenal galak dan sulit didekati oleh orang lain. Terutama
kebiasaan Dimas yang kerap berkata jujur. Saking jujurnya sampai membuat lawan bicara Dimas tidak bisa membalas ucapannya.
Dimas termasuk siswa yang cerdas secara akademik dan aktif di kegiatan klub basket. Meski terkenal bermulut pedas saat berbicara dengan sesama siswa, Dimas akan terlihat berbeda saat berbicara dengan para guru. Inilah yang membuat para guru merekomendasikan Dimas untuk menjadi ketua OSIS. Beberapa teman Dimas ditambah penggemarnya pun setuju bila Dimas menjadi ketua OSIS.
Awalnya sempat menolak, tetapi pada akhirnya Dimas mengikuti seleksi calon ketua OSIS. Lantaran lawan-lawannya yang tidak sebanding, perjalanan Dimas untuk menjadi ketua OSIS pun berjalan dengan mulus.
Tak lama lagi tugas Dimas sebagai ketua OSIS akan berakhir, mengingat dia sudah berada di kelas 12. Dimas dan Reza, bersama siswa kelas 12 lainnya akan bersiap untuk mengikuti ujian akhir nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Seleksi untuk kepengurusan OSIS periode yang baru akan segera dilakukan dalam waktu dekat.
Siswa yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Dimas adalah Gian.
Mengingat kinerja Gian selama bergabung di OSIS sangat bagus, dan dalam beberapa hal dia juga memiliki kemiripan dengan Dimas.
Kecuali, kepribadian mereka.
Ibaratnya Dimas versi cold, sementara Gian versi warm yang lama-lama makin hot.
“Udah ketemu, Yan?” tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan dari netbook.
“Bentar, Kak.” Gian membaca deretan daftar nama siswa kelas 10 dengan teliti. Sudah 2 kelas yang dia cari tetapi belum juga menemukan nama Dinda. Gian dengan gigih terus mencari nama cewek itu sampai akhirnya dia memasuki lembar data siswa kelas 10-D.
Mata Gian berbinar ketika telunjuk tangannya berhenti pada urutan presensi nomor 7.
Adinda Maharani Putri
“YES! KETEMU!” saking senengnya, Gian sampai berteriak keras.
“Udah ketemu?” tanya Reza menoleh dan kini mengamati Gian lamat-lamat.
“E-Eh? Udah, Kak. Maaf tadi aku teriak,” jawab Gian tersipu malu. Ampun dah, gue lupa ada Kak Reza di sini.
“Kamu kelihatan seneng banget. Jangan-jangan ...,” Reza memicing curiga, kemudian menaik-turunkan alisnya. “adik kelas itu gebetan kamu, ya?
“Apa?!” Gian kena serangan panik. “Bu-bukan kok, Kak ...”
“Haha, aku bercanda, Yan,” celetuk Reza puas sekali menggoda Gian.
Melihat reaksi Reza, Gian menghela napas panjang. Rasanya campur aduk antara lega dan jengkel dengan sifat jahil Reza. Semoga Reza tidak lagi berpikir aneh-aneh untuk menggodanya lagi.
“Tapi ...,” Reza menoleh ke arah Gian lagi dengan wajah serius. “Tadi wajah kamu merah loh.”
“HAH?! MASA?!” Gian memekik panik dan seketika mengundang gelak tawa Reza. Gian pun baru sadar bila dirinya kembali dikerjai oleh Reza.
Satu hal yang tidak diketahui Gian bahwa Reza sebenarnya berkata jujur tentang wajahnya yang memerah. Diam-diam Reza memperhatikan gerak-gerik Gian dengan teliti.
Kalo bener Gian udah punya gebetan, bakal banyak cewek yang patah hati ...
.
.
.
Selesai dengan urusannya, Gian keluar dari ruang OSIS dan bergegas menuju area parkir. Sebelumnya, dia tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Reza yang sudah memberikan data siswa kelas 10, sehingga akhirnya Gian berhasil menemukan data kelas Dinda.
Gian ingin mendatangi kelas Dinda, tetapi sadar bahwa jam pulang sekolah sudah berakhir sekitar 30 menit yang lalu dan kemungkinan Dinda sudah pulang. Jadi, daripada mendatangi kelas Dinda tapi ternyata cewek itu tidak ada, lebih baik Gian pulang. Paling tidak, sekarang Gian sudah tahu di mana kelas Dinda, dan akan lebih mudah baginya untuk menemui cewek itu. Gian bisa mendatangi kelas Dinda besok.
Sampai di area parkir dan menaiki motornya, Gian menarik zipper jaket yang dia kenakan. Ia hendak memakai helm, tetapi pemandangan di gerbang sekolah menarik perhatiannya.
Tepatnya, sosok cewek yang berdiri di sana sendirian.
“Itu ‘kan Dinda?” gumam Gian setelah mengenali cewek itu. Ia melihat Dinda sedang celingak-celinguk, dan sesekali berkutat dengan ponselnya. Dilihat dari gelagatnya, Gian menebak Dinda sedang menunggu jemputan.
“Dia nunggu siapa, ya?” Gian jadi ikut penasaran. Ia masih berada di atas motornya, dan sedang berpikir apakah sebaiknya menghampiri Dinda atau tidak. Namun, baru saat Gian hendak turun dari motornya, ia melihat cowok tiba-tiba berlari menghampiri Dinda.
Mata Gian membelalak lebar begitu mengenali cowok itu. “Kak Dimas?”
Belum hilang rasa kaget Gian, dia kembali dikejutkan dengan interaksi Dinda dan Dimas. Wajah Dinda langsung sumringah begitu dihampiri oleh Dimas, sementara Dimas sendiri tanpa canggung mengusap-usap kepala cewek itu.
“Apa-apaan nih?” Lidah Gian terasa kelu. “Mereka saling kenal?”
Pandangan Gian masih tertuju pada Dinda dan Dimas. Keduanya mengobrol akrab sekali, hingga sebuah mobil datang dan berhenti di depan gerbang sekolah.
Seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil, lalu membungkuk sopan di hadapan Dinda dan Dimas. Gian menebak orang itu adalah supir pribadi Dinda, dilihat dari wajah Dinda yang merajuk dan bagaimana orang itu membungkuk beberapa kali. Seperti meminta maaf.
Pemandangan selanjutnya membuat mulut Gian menganga lebar. Dimas kembali mengusap kepala Dinda, seolah memberi pengertian pada cewek itu sebelum berbicara dengan supir pribadi Dinda. Ajaibnya, cewek itu benar-benar patuh dengan ucapan Dimas dan tidak lagi merajuk. Ia langsung masuk ke dalam mobil setelah supir membukakan pintu bagian tengah.
Supir itu kembali mengobrol dengan Dimas sebelum masuk ke dalam mobil. Dinda yang duduk di tengah membuka kaca jendela, dan ketika mobil mulai melaju, dia melambaikan tangan ke arah Dimas.
Di luar dugaan, Dimas ikut membalas lambaian tangan Dinda bahkan dengan senyuman yang sangat mempesona.
Ini mataku yang nggak beres atau emang Kak Dimas barusan senyum?—batin Gian sambil mengucek-ucek matanya.
Gian masih fokus dengan pikirannya sendiri, sampai tidak menyadari jika Dimas sudah berbalik badan dan menatap ke arahnya. Ekspresi Dimas berubah sekejap mata, kembali seperti Dimas yang selama ini Gian kenal.
Glek! Gian menelan ludahnya gugup saat Dimas menghadiahi tatapan tajam untuknya. Ia mencoba bersikap biasa, tetapi yang terjadi Gian justru tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi.
Dimas tidak membalas senyuman Gian dan memilih melenggang masuk kembali ke gedung sekolah.
“Buset, tatapannya langsung berubah kayak sinar laser,” komentar Gian melihat sikap Dimas. Namun, benaknya masih dipenuhi tanda tanya besar setelah melihat interaksi Dinda dan Dimas. Gian benar-benar dibuat penasaran akan hubungan keduanya.
Ada hubungan apa antara Kak Dimas sama Dinda?
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
@asfa_hany(T▽T)
adek kakak kali yak
2021-03-15
0
Putriani
Adek kakak mungkin.. Atau sepupu??
2020-12-18
0
꧁ᵏᵗʰ•𝐾𝑎𝑦𝑙𝑎꧂シ︎
semoga aja mereka adik kakak
2020-09-14
6