Pagi ini, Gian berangkat ke sekolah dengan rasa kantuk. Nyaris semalaman Gian tidak bisa tidur lantaran terus memikirkan apa yang dilihatnya sepulang sekolah kemarin.
Bagai rekaman kaset yang rusak, bayang-bayang interaksi Dinda dan Dimas terus berputar dalam kepala Gian. Ada apa gerangan dengan kedua orang itu? Mengapa Dinda dan Dimas terlihat akrab sekali?
Apakah mereka menjalin hubungan spesial?
Seperti ... pasangan kekasih?
“Hhhh ... ngapain juga gue mikirin mereka?” gerutu Gian kesal. Ia seperti menyadari kebodohannya sendiri karena memikirkan hal yang tidak penting.
Yakin nggak penting?
“ARGH!” Gian tiba-tiba berseru keras dan sontak membuat beberapa siswa yang ada di sekitarnya menoleh heran. Sadar menjadi pusat perhatian, Gian berdeham pelan lalu kembali berjalan menuju kelasnya dengan gaya cool. Ia memutuskan untuk mengabaikan rasa penasarannya terhadap Dinda dan Dimas.
Namun, entah karena Gian terlanjur penasaran dengan kedua orang itu atau memang dia tertarik dengan Dinda, kinerja otak dan hatinya tidak sinkron. Otaknya terus memberikan perintah untuk langsung ke kelas, tetapi hati Gian justru mendorongnya untuk pergi ke kelas Dinda.
Langkah kaki Gian menelusuri lorong kelas 10. Kemunculannya di area kelas 10 itu mengundang perhatian adik kelasnya. Terlebih para cewek yang menyukai Gian. Berbagai komentar mulai bermuara di telinga Gian, seperti pujian atau ungkapan rasa suka yang ditujukan padanya.
Semua komentar itu diabaikan oleh Gian. Ia terlanjur fokus untuk melangkahkan kakinya menuju kelas Dinda.
Semakin dekat dengan kelas Dinda, wajah kusut Gian seketika memudar. Kini tergantikan dengan senyuman mengembang yang menghiasi wajahnya. Langkah kaki Gian pun semakin cepat, seolah tidak sabar ingin segera sampai di kelas cewek itu.
Sayang, raut ceria Gian hanya bertahan sebentar. Ketika dia hampir sampai di kelas Dinda, pemandangan serupa kemarin kembali terulang hari ini.
Gian mendapati Dimas sedang berbicara dengan Dinda di depan pintu kelas. Sama seperti sebelumnya, Gian bisa melihat bagaimana sikap Dimas yang berubah 180 derajat saat bersama Dinda. Lihat saja cara Dimas tersenyum maupun ketika dia memandangi Dinda dengan tatapan hangat. Belum lagi gesture tangan Dimas yang sangat luwes mengusap kepala Dinda dengan penuh kasih sayang.
Kok rasanya ada yang sakit, ya?—batin Gian merana. “Sebenarnya mereka ada hubungan apa sih?”
Frustasi dengan pikirannya sendiri, Gian tidak menyadari Dimas yang sudah pergi meninggalkan kelas Dinda. Keberadaan Gian yang dinilai mencolok—berdiri mematung di lorong dengan tatapan kosong, ternyata berhasil menarik perhatian cewek itu.
“Kak Gian!”
Seruan Dinda membuat Gian tersentak kaget. Ia refleks menegapkan badan setelah melihat Dinda berjalan menghampirinya. Rasa gugup tiba-tiba menguasai diri Gian. Otaknya berpikir dengan cepat untuk mencari topik pembicaraan dengan Dinda.
“Kakak ngapain di sini? Bukannya gedung kelas 11 ada di sisi timur?” tanya Dinda bingung.
“Ngg ... itu ...,” Gian terdiam sebentar.
“Tunggu!” Dinda memajukan wajahnya ke arah Gian dan memandangi cowok itu lamat-lamat. “Kakak nggak mungkin nyasar ‘kan?”
Rasa gugup Gian seketika hilang. “Hah?”
“Ya ampun, Kakak masa bisa lupa arah kelas Kakak sendiri sih?” Dinda tertawa, “Padahal Kakak udah kelas 11 lho. Masih aja nyasar. Kebangetan deh.”
“Aku nggak nyasar!” sentak Gian kesal. “Aku ke sini karena ada perlu sama kamu.”
“Perlu sama aku?” Dinda mengerjapkan matanya. “Soal apa, ya?”
Gian bungkam. Mendadak otaknya blank.
“Jangan-jangan ...,” Dinda memicingkan matanya curiga, “Kakak mau nagih bayaran karena kemarin udah nolongin Chika, ya?”
“Bayaran apaan?” Gian bingung. “Tunggu! Chika siapa?”
“Kucing yang kemarin Kakak tolongin turun dari pohon. Katanya disuruh ganti nama karena kucingnya betina. Ya udah aku ganti jadi Chika.” Dinda berujar dengan polosnya. “Semaleman aku browsing nyari nama yang cocok, sampai akhirnya dapet nama Chika. Imut ‘kan Kak?”
Gian mengusap wajahnya frustasi. Tidak tahu lagi harus berkomentar apa tentang penjelasan Dinda.
“Kakak kok diem aja? Namanya nggak imut, ya?”tanya Dinda dengan wajah murung.
“I-imut kok!”jawab Gian cepat. Tapi menurut gue, lo lebih imut daripada kucing. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
“Lho? Gian?”
Mendengar namanya dipanggil, Gian menoleh ke sumber suara. Matanya membelalak lebar saat melihat sosok cowok yang berjalan ke arahnya. “Kak Reza?”
“Ngapain kamu di sini? Bentar lagi jam pelajaran pertama dimulai lho,” kata Reza mengingatkan. Namun, matanya segera beralih pada Dinda yang berdiri di depan Gian. Reza jadi teringat kembali dengan kejadian kemarin. “Oh, ini adik kelas yang kamu cari datanya kemarin?”
Glek! Gian menelan ludahnya gugup. Ia mencoba bersikap tenang, meskipun Reza sudah melemparkan seringaian jahil padanya.
“Iya, Kak!” Gian menjawab lantang kemudian mengeluarkan sebuah pulpen dari tasnya secara asal. Ia sodorkan pulpen itu kepada Dinda. “Ini pulpennya. Makasih ya, udah dipinjemin. Maaf aku telat ngembaliin 1 bulan.”
Dinda menerima pulpen itu dengan tatapan bingung. “Pulpen siapa ini, Kak?”
“Pulpen kamu. Masa lupa?” Gian tertawa garing, “Dulu waktu MOS aku pernah minjem pulpen kamu, tapi aku lupa ngembaliin karena nggak tahu kamu di kelas mana. Jadinya sekarang aku kembaliin pulpen itu.”
Dahi Dinda semakin berkerut. “Kayaknya aku nggak pernah minjemin pulpen ke siapa-siapa deh. Soalnya kata Bunda, kalo minjemin barang sama orang yang nggak kita kenal, nanti nggak dikembaliin.”
Gian sekuat tenaga untuk mengontrol emosinya. “Kamunya aja yang pelupa. Untung aku inget dan baik hati, jadi aku kembaliin pulpen kamu,”ia mengedipkan matanya berulang kali. Berharap Dinda bisa membaca kode darinya. Gian berharap Dinda bisa diajak kerjasama.
Tapi, Gian sepertinya lupa dengan kepribadian cewek itu.
“Mata Kakak kenapa? Kelilipan?”
Nih anak gue tampol boleh nggak sih?—Gian mengepalkan tangannya gemas.
Reza yang menyaksikan obrolan itu tidak mampu lagi menahan tawanya. Tanpa menunggu obrolan lebih lanjut pun, dia sudah tahu bila sejak awal Gian berbohong perihal pulpen itu. Semua hanya alasan Gian yang sebenarnya memang ingin mendekati Dinda.
Nggak nyangka Gian ada sesuatu sama Dinda. Reza tertawa membayangkan masa depan dua orang ini.
“Kakak kenapa ketawa?”tanya Dinda bingung.
“Nggak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu yang lucu,” jawab Reza. “Kamu balik ke kelas, gih. Bentar lagi pelajaran dimulai lho. Nanti kalo kamu telat masuk, aku laporin ke Dimas lho? Telat masuk kelas karena keasyikan ngobrol sama cowok.”
“Eh?! Iya, Kak! Aku masuk sekarang!” Dinda segera berbalik menuju kelasnya, “Jangan laporin Kak Dimas, ya! Nanti siang aku traktir makan!”
“Siaaaap!” Reza mengacungkan jempol mendengar sogokan Dinda. Ia lalu melirik Gian yang sedari tadi melihat ke arah Dinda. “Orangnya udah masuk ke kelas, Yan. Kamu juga balik ke kelasmu sana! Nanti kena marah guru loh.”
“Kakak sendiri masih keluyuran di sini,” balas Gian ketus.
“Aku punya alasan, ya. Aku mau nemuin Bu Ratna dulu. Nah, kalo kamu?” Reza menaik-turunkan alisnya, “Masa iya, nanti jawab alasan telat masuk karena nemuin gebetan dulu.”
Wajah Gian memerah karena ucapan Reza. “Kakak ngomong apa, sih?! Gebetan apaan?!”
“Halah! Nggak usah ngeles,” Reza melirik kelas Dinda. “Soal pulpen itu bohong ‘kan? Kelihatan dari jawabannya Dinda. Dari awal kamu nanya soal data kelas 10 kemarin, aku udah curiga kalo kamu punya gebetan adik kelas. Ternyata tebakanku bener.”
“Sok tahu!” Gian hendak kabur dari Reza karena enggan ditanyai lebih lanjut. Namun, dia baru menyadari
sesuatu yang janggal. “Tadi Kakak ngobrol sama Dinda kayak udah kenal aja.”
“Emang udah kenal,”jawab Reza jujur.
Gian terdiam lagi, lalu teringat saat Reza menyebut nama Dimas. “Berarti Kakak tahu hubungan antara Dinda sama Kak Dimas?”
Reza mengangguk. “Tahu dong!”
“Mereka pacaran ya, Kak?”tanya Gian was-was.
Reza belum menjawab, tetapi hanya mengeluarkan senyuman penuh arti. “Kasih tahu nggak, ya?”
Gian berusaha untuk tidak memukul Reza. Dari awal dia bergabung menjadi anggota OSIS, kakak kelasnya yang satu ini memang senang sekali menggodanya. Walau begitu, Gian sangat menghormati Reza karena kepribadiannya yang menyenangkan. Mengingatkan Gian pada sosok sahabatnya, Vino.
“Aku nggak bisa bilang apa-apa soal Dinda sama Dimas, tapi ... aku cuma bisa kasih kamu saran,” Reza meletakkan tangannya di pundak Gian. “Kalo kamu beneran tertarik sama Dinda, kamu harus berjuang keras. Bakal ada tantangan terbesar yang menanti kamu di depan mata.”
Gian mengernyitkan dahi. “Maksudnya?”
“Nanti kamu juga tahu,” Reza tersenyum misterius, lalu menepuk-nepuk pundak Gian. “Semangat, ya! Semoga berhasil!”
Setelah memberikan petuah singkat, Reza pergi dari hadapan Gian. Meninggalkan cowok itu di lorong sekolah sendirian dengan ekspresi sulit diartikan. Namun satu hal yang pasti, Gian semakin penasaran akan hubungan Dinda dan Dimas. Ia yakin, Reza mengetahui sesuatu tentang mereka.
“Kayaknya ...,” Gian mengerang frustasi, “Kak Dimas emang saingan gue.”
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Atmani Ani
visualnya thor
2020-08-10
1
irna salut
dinda polis bnget yach
2020-07-28
1
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
wowww..
keren judul nya, aku mulai baca ya thor
salam manis dr
Kama&Sutra
2020-07-07
0