Bab 1

Gian terlihat duduk di salah satu kursi kantin. Ia sedang menunggu teman sekelas, sekaligus sahabatnya, Vino. Vino sendiri tengah mengantri untuk mengambil makan siang mereka di counter menu makanan Bakso Malang. Sementara Gian, sebelumnya dia sudah mengambil dua gelas minuman jus jeruk.

Kantin di sekolah Gian menjadi tempat favorit siswa sewaktu jam istirahat. Selain lokasinya yang nyaman dan menghadap langsung ke taman sekolah, menu makan siang yang disajikan membuat siapapun tergiur untuk segera menyantapnya.

Ada buffe yang menyajikan paket makan siang lengkap dengan model prasmanan, beserta counter makanan lainnya seperti bakso, sate, soto dan masih banyak lagi. Tiap hari menu makan siang yang disajikan akan berbeda-beda supaya lebih variasi. Semua siswa bebas mengambil makanan dan minuman yang mereka mau, tanpa harus membayar lagi. Biaya untuk makan siang sudah dibayarkan saat awal memasuki tahun ajaran baru.

Ada beberapa cewek di kantin yang mencuri pandang ke arah Gian, tapi dia tidak peduli. Gian lebih memilih asyik bermain game di ponselnya, selagi menunggu kedatangan Vino.

“Nih!” Vino datang sambil menyodorkan mangkuk bakso untuk Gian. Begitu duduk, ia mengambil gelas minumannya. Vino sedikit rakus meminum jus jeruk. “Haaaah, lega.”

“Makasih udah diambilin,” ucap Gian tulus.

“Sama-sama. Makasih juga udah ngambilin minuman buat gue hehe,” Vino dengan semangat mulai menyantap bakso. “Ayo, Yan. Dimakan baksonya.”

Gian mengangguk kecil. Bukannya mengikuti ajakan Vina, Gian justru melamun. Ia hanya diam memperhatikan mangkuk baksonya dengan tatapan kosong.

“Kok nggak dimakan?” tanya Vino heran. Dahinya berkerut-kerut karena Gian tidak merespon sama sekali. “Oi, Yan!”

Baru setelah Vino sedikit berteriak. Gian menoleh dengan wajah kaget. “Apa?”

“Lo kenapa, sih? Dari pagi gue amatin lo ngelamun terus selama pelajaran,” tanya Vino penasaran. Ia berhenti makan sejenak untuk minum lagi karena merasa kepedasan. “Duh, kebanyakan masukin sambel nih.”

Reaksi Vino itu membuat Gian tersenyum kecil. “Gue lagi mikirin sesuatu," jawabnya merespon pertanyaan Vino.

“Soal apa?”

“Cewek.”

“Oh, cewek—HAH?! APA?!” Vino tiba-tiba berteriak keras. Membuat seisi kantin kompak menoleh ke arah mereka.

Gian melotot kesal. “Lo apa-apaan, sih? Nggak perlu teriak juga kali,” gerutunya.

“Sori,” Vino menyengir polos. “Jawaban lo sesuatu banget. Tumben mikirin cewek.”

Gian merotasikan bola matanya malas, dan memilih untuk lekas menyantap baksonya.

“Siapa cewek itu, Yan? Salah satu dari penggemar lo?” tanya Vino penuh antusias. Gelagatnya seperti wartawan pemburu berita gosip selebriti terpanas.

“Bukan, tapi kayaknya dia adik kelas kita,” kata Gian.

“Adik kelas?” Vino terdiam sebentar. “Kalian ketemu di mana?”

“Di area loker siswa. Gue baru selesai naruh jaket, terus waktu mau lanjut jalan ke kelas, malah nggak sengaja nabrak dia.” Gian kembali mengingat-ingat kejadian pagi tadi. “Kalo dibandingin gue, dia termasuk mungil. Tingginya cuma sebatas lengan gue, jadi gue nggak lihat kalau ada dia di sebelah gue.”

“Cantik nggak?”

“Cantik, tapi ...” Gian tanpa sadar tersenyum tipis, “kelakuannya rada absurd.”

“Hah?” Vino mengernyit bingung. “Maksud lo absurd gimana? Konyol gitu?”

“Ya semacam itulah,” Gian tersenyum lagi. “Tadi gue dimarahin dia.”

“Lo dimarahin?!” Vino memekik tak percaya. “Wuih, berani juga tuh cewek.”

“Iya, dia ngomel-ngomel karena gue nabrak dia. Hampir bikin dia jatuh.” Gian diam sejenak, kemudian tertawa lagi. “Jujur ya, omelannya tuh sama sekali nggak bikin gue tersinggung ataupun marah. Kalo dipikir lagi, gue malah pengen ketawa setiap kali inget omelannya dia. Apalagi ekspresinya waktu marah. Bukannya nyeremin, malah bikin gemes. Sumpah, imut banget!”

Vino melongo. Selesai bicara, Gian malah terkekeh-kekeh. Mirip orang kerasukan sesuatu sampai asyik dengan dunianya sendiri. Vino merinding melihat kelakuan sahabatnya ini.

“Y-Yan ... lo baik-baik aja ‘kan?”tanya Vino mulai takut.

“Hm?” Gian menoleh. “Gue baik-baik aja. Kenapa?”

“Barusan lo senyum-senyum sama ketawa-ketiwi sendiri. Sumpah! Lo nyeremin tahu! Gue kira lo kerasukan roh,” kata Vino dengan nada penuh kepanikan.

Perkataan Vino itu membuat Gian tertawa terbahak-bahak. “Ada-ada aja lo, Vin.”

“Ya, habis ... ini pertama kalinya gue ngelihat lo kayak gini. Lo kelihatan semangat banget waktu nyeritain tuh cewek,” Vino memperhatikan Gian lamat-lamat, lalu tersenyum jahil. Kedua alisnya naik-turun. “Lo naksir, ya?”

“Hah? Apaan?” Gian mengambil gelas minumannya. “Gue nggak naksir, orang nggak kenal juga.”

Nggak naksir? Jelas-jelas tadi bilang gemes. Wah, bau-bau denial nih—batin Vino.

“Ya tinggal diajak kenalan doang,” Vino kembali memakan baksonya. “Gue belum tahu dan belum lihat cewek yang lo ceritain. Tapi, denger cerita lo gue jadi penasaran sama tuh cewek. Lo tahu di mana kelas dia?”

“Enggak, tapi gue tahu namanya,” Gian tersenyum, “Adinda Maharani Putri.”

“Woah, namanya bagus!” pekik Vino antusias. “Berarti, sekarang kita tinggal cari data kelas dia. Lo ‘kan anggota OSIS dan sebelumnya juga ikut jadi pemandu peserta MOS. Pasti di ruang OSIS nyimpen data-data adik kelas kita.”

“Bener juga,” Gian tercenung. “Tapi, kayaknya dia bukan dari kelas yang gue pandu deh.”

“Berarti kelas yang waktu itu lo pandu pengecualian. Lo cukup nyari nama dia di data kelas lain. Beres ‘kan?” usul Vino lagi.

“Setuju!” Gian mengacungkan jempol, “Lo kalo urusan pelajaran rada lemot, tapi kalo urusan ginian aja cepet.”

“Oiya, jelas dong! Urusan pelajaran sama cewek ‘kan beda. Kalo pelajaran ya, semisal ketinggalan ngikutin, masih bisa dikejar di pertemuan selanjutnya. Nah, kalo urusan cewek, ketinggalan sebentar aja, bisa-bisa dia

digebet sama cowok lain. Jadinya harus gercep, Yan.”

Gian kembali tertawa keras karena jawaban Vino.

.

.

.

Selesai makan siang, Gian memutuskan untuk jalan-jalan ke taman. Masih ada waktu sekitar 10 menit sebelum pelajaran berikutnya dimulai. Vino tidak ikut menemani lantaran harus menemui salah satu guru.

Gian berjalan menuju salah satu pohon yang ada di pinggir taman. Area itu merupakan lokasi favorit Gian untuk menenangkan diri jika sedang suntuk. Gian paling suka duduk bersantai di bawah rindangnya pohon, menikmati angin sepoi-sepoi. Rasanya sejuk sekali.

“Eh?” Gian terkejut saat melihat sosok adik kelas yang bertemu dengannya pagi tadi. Cewek itu berdiri di dekat pohon favorit Gian. Mendongak ke atas seperti sedang mengamati sesuatu.

“Oi!” Gian sedikit kesal karena tempat favoritnya dipakai orang lain. “Lo ngapain berdiri di situ?”

Cewek itu menoleh kaget. Telunjuk tangannya langsung mengarah ke wajah Gian. “Eh?! Kakak tiang listrik yang tadi pagi nabrak aku!”

*****, tiang listrik katanya. Gian semakin kesal mendengar ucapan cewek itu. “Gue punya nama, ya.”

Cewek itu melihat arah telunjuk Gian, tepat pada nametag yang tersemat di seragam Gian.

“Giandra Darmawan,” cewek itu bergumam pelan.

Waktu cewek itu menyebutkan nama Gian, entah kenapa Gian merasa senang. Namun, sebisa mungkin dia menutupi kegembiraannya dengan memasang wajah datar. “Panggil aja Gian. Kalo lo panggilannya siapa?”

“Kak Gian,” cewek itu memanggil dengan patuh sesuai permintaan Gian. Ia lalu membalas, “Kakak bisa panggil aku Dinda.”

“Oke, Dinda.” Gian mengangguk-angguk sambil mengusap dagu, “Lo tadi ngelihatin apaan?”

“Ah! Itu ...”

“Meeoong ...”

Hah? Gian buru-buru mendongak dan baru mengetahui ada kucing di salah satu dahan pohon.

“Itu kucingnya nggak bisa turun, Kak.” Wajah Dinda terlihat sedih, “Kakak bisa nggak nolongin kucing itu turun?”

Gian mendelik, “Maksudnya ... lo pengen gue naik ke atas sana buat ngambil tuh kucing?”

Dinda mengangguk sambil memasang sorot mata memohon.

“Ogah! Nanti juga turun sendiri!” tolak Gian mentah-mentah.

“Aku udah setengah jam nungguin dia turun tapi tetep nggak turun-turun, Kak. Kayaknya dia nggak bisa turun, Kak. Kejebak di atas sana,” Dinda menunduk dengan bibir melengkung ke bawah. “Kalo nggak dibantuin turun, nanti bisa jatuh terus malah luka. Kasihan kucingnya, Kak ...”

Gian hendak protes kembali, tetapi ekspresi Dinda selanjutnya membuat Gian tak berkutik. Cewek itu memandangi Gian dengan mata-mata berkaca-kaca, tanda siap menangis.

“Uuuh ...”

“Waaah, jangan nangis!” Gian mulai panik mendengar Dinda terisak kecil. “Oke, gue tolongin kucing itu tapi lo berhenti nangis. Nanti orang lain bisa salah paham.”

“I-Iya, Kak ...” Dinda menuruti perkataan Gian sembari mengusap kedua matanya yang mulai basah. Setelah memastikan Dinda tenang dan tidak menangis lagi, Gian mulai memanjat pohon itu. Untung saja sewaktu Gian kecil, dia hobi memanjat pohon di rumah kakek dan neneknya yang ada di desa. Keterampilan semacam ini bisa berguna juga.

Sampai di dahan pohon tempat kucing itu berada, Gian terdiam sebentar. Dengan penuh kelembutan, dia mulai mengelus kucing itu, seraya berpikir bagaimana caranya membawa kucing itu turun tanpa membuat kucingnya panik.

Gian lantas membuka beberapa kancing seragamnya, kemudian memasukkan kucing itu ke sana. Seperti model kantung induk kangguru untuk anaknya. Setelah memastikan kucingnya tenang, baru Gian turun ke bawah dengan hati-hati.

Sampai di bawah, Gian langsung mengeluarkan kucing itu dan memberikannya pada Dinda. “Nih kucingnya.”

“Wah!” Dinda memekik gembira. “Vino akhirnya kamu selamat!”

Dahi Gian mengerut. “Vino?”

“Kucing ini namanya Vino, Kak.”

“Itu kucing jantan atau betina?”

Dinda berpikir sejenak. “Eh? Nggak tahu, Kak. Aku belum ngecek.”

“Coba sini.” Gian mengambil alih kucing itu untuk mengetahui jenis kelamin. Jantan atau betina.

Dan ternyata itu kucing betina.

“Hahahahaha ..." Gian tertawa terbahak-bahak. Bisa-bisanya nama kucing itu sama seperti nama Vino, sahabatnya. Terlebih kucing betina.

“Kakak kenapa ketawa?” tanya Dinda bingung.

“Nama kucing itu sama kayak nama temenku,” Gian mengubah aksen berbicaranya dengan diksi ‘aku-kamu’.

“Asal kamu tahu, temenku itu cowok. Coba kamu bayangin kalau dia tahu namanya dipake buat kucing betina,” lanjut Gian lalu tertawa lagi.

Dinda menunduk malu. “Pasti temen Kakak nanti marah, ya?”

“Bisa jadi.” Gian merapikan seragamnya. “Mending kamu ganti nama kucingnya.”

Lagian, gue juga nggak mau Dinda manggil-manggil nama Vino, walaupun itu buat kucing.

“Ya udah, nanti aku ganti namanya.”

“Ngomong-ngomong ... itu kucing kamu?” tanya Gian penasaran.

“Bukan, aku juga nggak tahu ini kucingnya siapa. Seminggu yang lalu aku nemuin kucing ini lagi ngorek-ngorek tempat sampah deket kantin, Kak. Karena nggak tega, aku kasihin aja ayam goreng jatah makan siangku. Habis itu dia nempelin aku terus tiap kali ketemu. Ya udah aku main sama dia kalo jam istirahat atau pulang sekolah hehe,” jelas Dinda panjang lebar. Ia masih memeluk kucing itu sambil mengelusnya dengan penuh kasih sayang.

Gian mengamati interaksi Dinda tanpa berkomentar, tetapi pikirannya mulai membahas berbagai macam hal. Ternyata, penilaian Gian tentang Dinda sejak awal pertemuan mereka tidak salah.

Cewek ini memang lain daripada yang lain.

“Kak Gian?”

“Hm?”

Dinda menatap Gian sebentar, “Makasih ya, Kak. Udah nolongin kucing ini.”

“Sama-sama,” balas Gian sedikit tersipu. Ia melirik Dinda, dan ternyata cewek itu juga melihat ke arah Gian.

Hal yang terjadi selanjutnya di luar dugaan Gian.

Dinda tiba-tiba tersenyum manis.

DEG! DEG! DEG!

Seketika Gian merasakan ada yang aneh dengan jantungnya.

Jantung gue kenapa, ya? Kok detaknya cepet banget? Apa gue sakit?

TO BE CONTINUED

Terpopuler

Comments

oppa seo joon

oppa seo joon

kucingnya ganti vina aj

2020-09-09

2

Atmani Ani

Atmani Ani

masih penasaran

2020-08-10

0

Sindi Paulia

Sindi Paulia

owohoh... meelting aku

2020-07-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!