" Lalu, kamu kerja apa?"
"Bikin kue kering. Untuk sementara penjualannya melalui on line dan tetangga-tetangga sekitar. Jadi nggak sampai ninggalin Lika."
"Bagus itu." kata mama antusias
"Lalu, apakah harus ijin mas Herman, Ma."
Mama menarik nafas panjang dengan berat.
"Memang sebaiknya ijin. Tapi bilang saja itu pekerjaan mama, kamu mau bantu mama."
"Iya, Ma."
Tak terkira bahagia hati Zulfa, dia langsung memeluk mertuanya.
Mama Halimah, mamanya mas Herman. Dia sangat menyayangi menantunya itu seperti putrinya sendiri. Demikian juga dengan Zulfa, seolah-olah menemukan ibu kembali. Dia merasa sangat beruntung. Meski Herman sering menyakitinya, tapi melihat mama Halimah, hatinya terobati.
Mama Halimah berkata demikian bukan tanpa alasan. Dia paham betul tentang sifat putra satu-satunya itu. Yang egois dengan harga diri tinggi. Sehingga sulit sekali menerima kalau dia bekerja untuk sekedar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu sama saja dengan merendahkan dirinya.
"Sekarang istirahatlah."
"Mama juga."
Setelah mama kembali ke kamarnya, diapun ke kamar Herman. Sekedar melihat apakah dia sudah tertidur atau belum. Bila sudah tidur, akan merasa lebih tenang.
Khawatir kalau belum tidur, lalu membuat keributan karena Zulfa tak ada di sampingnya. Alhamdulillah, dia sudah tidur nyenyak.
Zulfa menuju kamar putranya. Menuju ranjang Irwan. Membelainya sejenak. Lalu menuju ranjang yang satunya lagi. Dimana Lika juga sedang menikmati mimpi indahnya. Terlihat senyum menghias bibirnya.
Kembali rumah ini sunyi. Zulfa menikmati malam dengan ketenangan di kedua sisi anak-anak manis, yang sudah tertidur pulas. Mengantarnya tidur, matanya terpejam sempurna.
🔷
Seperti biasa, sebelum subuh Zulfa bangun. Membantu suami menyiapkan barang dagangan. Yaitu menata tempe-tempe dalam keranjang. Yang nanti akan dibawa ke pasar, dengan memakai mobil pick up yang dia punya.
Demikian juga di hari ini, setelah melakukan sholat tahajud, bergegas menuju kamar suaminya yang masih tertidur nyenyak. Dia sentuh bahunya agar terjaga.
"Ada apa sich. Masih ngantuk. Ganggu saja." racaunya dengan mata masih terpejam.
"Mas, nanti kesiangan." ganti dia sentuh pipinya. Tapi Herman mengibaskan tangannya dengan kasar. Lalu berbalik membelakanginya. Rupanya dia masih ingin melanjutkan tidur.
"Ya sudah," kata Zulfa sambil berlalu dengan hati kecewa.
Kalau sudah begini, mau tak mau dia yang akan melakukan semuanya. Dari memotong-motong tempe yang masih terhampar di atas 'widik' besar, sampai siap untuk dibawa ke pasar.
Meski demikian, dia menjalaninya tanpa banyak cakap. Segera dia buka penutup tempe dari daun pisang, yang masih terhampar. Dan tersusun di atas rak. Dengan berpijak di atas kursi panjang, dia memotongnya dengan hati-hati. Untunglah, sudah ada ukurannya. Yaitu penggaris kayu.
Sudah hampir selesai memotong, baru Herman berjalan mendekatinya.
"Mas sudah bangun. Maaf, Zulfa potong-potong."
Dipikirnya akan mendapatkan ucapan terima kasih. Tapi ternyata tidak.
"Kamu ini apa-apaan. Kalau gini bikin rugi tahu!" ujarnya dengan mata tajam. Memakinya dengan suara keras.
Hingga dia tersentak, membuat pisau yang ada di tangannya terlepas. Dan jatuh, hampir-hampir melukai kakinya.
"Mas."teriaknya.
Tapi malah membuat Herman makin kesal. Sehingga telapak tangannya melayang menuju wajah Zulfa. Beruntung dia berhasil menghindar. Meski dilakukannya tanpa sengaja. Karena ingin memungut pisau yang jatuh tadi.
Terdengar suara Lika yang sedang menangis. Dia terbangun karena mimpi. Tidak mendapati bundanya di dekatnya.
Zulfa segera berlari, menyerahkan pisau dan penggaris kayu pada Herman. Meninggalkan Herman yang masih marah dan kesal.
Setelah dirasa tenang dan tertidur, dia kembali membantu Herman yang sedang menyelesaikan pekerjaannya tadi.
"Masukkan semua ke keranjang. Aku mandi dulu."katanya berang.
"Mas, jangan lupa sholat subuh."
"Jangan sok alim. Lagian nggak tahu apa, kalau ini sudah siang. Keburu pergi pelangganku nanti."bentaknya. Lalu berlalu pergi meninggalkan Zulfa.
Zulfa hanya menunduk. Lalu dia memasukkan semua tempe ke dalam keranjang. Dengan sekuat tenaga dia mengangkat keranjang itu ke atas pick up. Akhirnya selesai sudah pekerjaannya.
Dulu dia mempekerjakan tetangganya untuk membantu. Tapi karena tak mampu lagi memberi upah, dia berhentikan. Dan kini,dia lakukan sendiri pekerjaan itu.
Herman seperti nggak perduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya. Yang dia tahu segera ke pasar dan mendapatkan uang.
Setelah selesai diapun membersihkan diri, untuk menyambut azan subuh yang sebentar lagi . Karena tarhim sudah berakhir.
Bertepatan azan subuh dikumandangkan, Herman pun menghidupkan mobilnya hendak berangkat. Zulfa berlari menghampirinya dengan rukuh yang telah dipakainya.
"Mas, beras di rumah sudah habis."
"Ya belilah."
"Uangnya?"
"Boros banget kamu jadi istri. Masak kemarin yang aku kasih, sudah habis."
"Ya Mas, Sudah. Untuk beli kedelai, Mas."
"Kamu tahu, uangku juga habis, tahu!" bentaknya.
" Sudah, nanti aku kesiangan."
Meski kecewa, Zulfa mencoba bersabar.
"Mas, mama mau bikin kue untuk dijual. Aku bantu mama ya?"
Sepertinya dia berfikir.
"Terserah."
Zulfa menarik tangan Herman dan menciumnya.
"Assalamu'alaikum ...." Zulfa berucap dahulu.
Bukan tanpa alasan dia yang mendahului. Karena selama ini tak pernah Herman yang mengucapkannya. Maka dia yang berinisiatif untuk memulainya.
"Wa'alaikum salam ...."jawab Herman tanpa menoleh sedikitpun. Dia langsung menginjak pedal. Segera pergi dari hadapan Zulfa, seiring nada merdu pujian putra pak Zainal di musholla.
Terlihat mertuanya keluar rumah dengan memakai rukuh, menuju arah tersebut.
"Kamu sholat di rumah saja. Nanti Lika bangun."nasehatnya, karena melihat Zulfa yang memakai rukuh. Disangka akan jamaah di musholla.
"Ya, Ma. "jawab Zulfa. Ia kembali ke dalam rumah, khawatir kalau-kalau Lika atau Irwan terbangun.
Alhamdulillah, selesai melaksanakan sholat subuh, mereka masih pulas tertidur. Sehingga Zulfa bisa tenang menyiapkan minuman kopi susu untuk mertuanya. Yang juga telah kembali dari musholla.
Setelah itu, dia duduk sejenak. Menimang-nimang uang yang ada di genggamannya.
Ini adalah uang pemberian mama tadi malam untuk Irwan dan juga Malika. Dia benar-benar merasa tak berhak atas uang itu. Tapi bagaimana lagi.
Maafkan bunda, ya nak. Hanya itu, yang mampu dia bisikan dalam hati.
" Ma, aku mau ke warung dulu."
"Sekalian beli bahan untuk membuat kue."
"Ya," jawab mama singkat.
"Titip Irwan dan Lika, Ma."
"Cepatlah."
Dengan langkah lebar Zulfa menembus gelapnya subuh yang mulai tersibak oleh sinar surya yang malu-malu menampakkan diri. Menuju toko kelontong yang berada 500 meter dari rumahnya.
Sampai di sana toko masih sepi, baru pintu pertama di buka. Suci, pemilik toko itu pun tersenyum menatap Zulfa.
"Alhamdulillah, sudah buka."kata Zulfa.
"Tapi sebentar, aku buka semua pintunya dulu."
Sambil duduk di kursi panjang, Zulfa menunggu mbak suci menyelesaikan membuka pintu. Setelah itu dia mendekati mbak Suci.
"Mbak, boleh aku ngomong."
"Ngomonglah, mumpung masih sepi."kata mbak Suci.
"Mbak aku mau bikin kue-kue kering, untuk aku jual. Tapi nggak punya modal. Bolehkah aku ngambil bahan-bahan dari mbak Suci. Dan pembayarannya nanti."
"Wah, aku senang sekali Zulfa. Aku lebih suka meminjami dengan cara itu dari pada meminjami uang."
"Benarkah, Mbak."
...
...
.....
SELAMAT MEMBACA
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Rudi Rudi
sesuai judulnya
2021-09-02
0
ANAA K
Lanjut thorr aku mampir nih
2021-06-21
0
ଓεHiatus 🦅💰⋆⃟𝖋ᶻD³⋆ғ⃝ẓѧ☂
Zulfa kamu sabar ya
2021-06-20
0