💗💗💗
Hari semakin larut, matahari sudah tak menampakan sinarnya lagi. Langit yang semula berwarna biru kini berubah menjadi hitam yang ditaburi beberapa bintang.
Luciana masih asik berbagi canda dan tawa bersama para sahabatnya.
Sedangkan Vano, kini hanya bersama Richard karena Alvin mendapatkan telpon penting yang tak bisa ia tolak dan harus pergi lebih dulu.
"Nampaknya, aku menang dan harus menghubungi Alvin untuk mengambil taruhanku" ucap Richard yang kini meraih ponselnya diatas meja.
"Sial, apa kau ingin aku mematahkan lehermu"
"Santai kawan" Richard sedikit menjauh dari Vano yang Nampak sudah tak sabar ingin memberikan pelajaran padanya.
"Dekati dia jika kau tak mau aku yang akan mendekatinya sekarang" Richard berdiri dari kursi untuk menuju meja di sebrang meja mereka untuk menghampiri Luciana.
Tapi tangan kokoh itu lebih dulu menarik tangan Richard yang membuatnya duduk kembali disebelah Vano.
"Apa maksudmu"
Richard dan Vano kembali berdebat masalah Luciana, Richard yang tak terimana dengan perlakuan Vano kembali membuat perdebatan diantara mereka.
Entah sampai kapan perdebatan mereka akan selesai.
Karna terlalu asik berdebat dengan Richard, Vano kehilangan jejak Luciana yang sudah tak ada lagi diantara teman temannya.
"Sial" upat Vano.
Vano meraih jaket jeans yang digantung dikursi sebelahnya, lalu berjalan dengan lakah lebar untuk mencari keberadaan Luciana.
Hingga langkahnya berhenti di depan Restoran dan melihat kesekeliling,hingga pandanganya tertuju pada seorang gadis yang ia yakini itu Luciana yang berjalan menuju halte bus.
Vano menghampiri Luciana dan menepuk pundak Luciana.
"Hai" Luciana merasa asing dengan sumber suara yang berada dibalik badannya, yang membuat ia membalikan badannya.
"Kau"
"Aldevano" menyodorkan tanganya.
"Luciana"
"Ohh god senyuman itu membuatku tak bisa berkutik, nampaknya itu seperti sihir untukku" guman Vano dalam hati.
SIHIR, kau kira ini dunia HARRY POTTER boy kau bisa memberikan sihir pada siapa pun hanya dengan mengetuk tongkatmu ini dunia nyata kawan.
Melihat Vano yang terdiam Luciana mencoba menyadarknnya.
"Hai apa ada masalah" Luciana melambaikan tanganya tepat di depan wajah Vano yang tak berkedip melihat Luciana.
"Maaf, apa kau mau pulang" kata yang terlontar dari bibir Vano,sedangkan Luciana tersenyum melihat Vano yang salah tingkah.
"Iya, aku sedang menunggu bus" Vano menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Mau pulang bareng"
"Tidak usah, kurasa sebentar lagi bus akan datang"
"Baiklah aku akan menemenimu disini"
Suasana terasa sunyi, hanya deserian angin yang mengisi suasana malam ini.
Hingga Luciana memecahkan kesunyian ini.
"Terimakasih"
"Untuk apa"
"Baju ini"
"Oh aku yang harusnya meminta maaf karena sudah mengotori baju indah yang kau kenakan"
"Hanya noda kecil dicuci saja hilang nodanya"
"Ehmm nampaknya bus tak kunjung datang dan hari semakin larut bagaimana jika ku antar pulang"
"Tapi apa aku tak akan merepotkanmu, rumahku cukup jauh dari sini"
"Apa jauhnya sampai menyebrang lautan?"
"...." Luciana hanya menggelengkan kepala dengan ucapan Vano.
Dasar lelaki cara apa pun pasti akan dilakukan untuk mendapatkan yang mereka mau. Luciana sedikit ragu dengan Vano karena ia baru bertemu dengan Vano.
"Apa kau meragukanku aku bukan orang jahat" ucap Vano yang mengerutkan dahinya.
"Baiklah"
"Tapi aku tak menggunakan mobil"
"Lalu apa hubungannya denganku"
"Tunggu sebentar disini" Vano langsung berjalan menuju tempat motornya terparkir.
"Sial seharusnya aku tak berkata seperti itu " guman Vano mempercepat langkah kakinya.
"Kenakan ini" Vano memberikan jaket dan helmnya.
"Lalu kau"
"Tak usah pikirkan aku"
"Terima kasih"
Luciana mengenakan jaket dan helm yang diberikan Vano.
Luciana sedikit kesusahan untuk naik keatas motor itu karna baju yang ia kenakan cukup ketat dan untungnya ia menggunakan sepatu sport bukan menggunakan sepatu high heel yang akan membuatnya semakin kesulitan untuk naik keatas motor ini.
"Penganggan"
"Untuk apa"
"Baiklah jika kau tak mau"
Vano langsung memutar gas motornya dengan kecepatan tinggi. Membuat Luciana memeluk Vano dan tenggelam dibahu Vano.
Entah kenapa jantung Vano berdetak dengan kencang, saat Luciana memeluknya. Vano mencoba tetap fokus mengendarai motornya yang melaju dengan kencang.
Padahal bisa dibilang perasaan Vano kini tak bisa di ungkapkan dengan kata kata atau bisa dibilang tangannya kini mulai bergetar.
Perjalanan terasa sangat cepat, hingga Vano berhenti di depan rumah minimalis dan ada beberapa unsur klasik.
"Kenapa berhenti" Luciana belum menyadari bahwa mereka telah sampai didepan rumah Luciana.
"Sudah sampai"
"Owh maaf" Luciana turun dari motor itu.
"Bisa kau bantu untuk melepaskan helm ini"
"Sini"
Jantung ini semakin tak menentu yang membuat Vano terdiam menatap wajah Luciana.
"Terimakasih"
"Ehh boleh ku minta nomor telpon mu"
"Ponselmu"
"Sekali lagi terima kasih sudah mengantarku pulang"
"Masuklah sudah larut malam" Luciana hanya membalas dengan senyuman dan berjalan masuk kedalam rumah.
Vano langsung memutar gas motornya meninggalkan Luciana yang sudah masuk kedalam rumah.
Sesampainya di apartement, Vano merebahkan dirinya di kasur king size-nya memandang kelangit lagit kamarnya.
Luciana itu yang muncul dan terlihat jelas dimata Vano saat ini.
Entah kenapa kini bibir Vano tersenyum lebar melihat bayang bayang Luciana di langit langit kamarnya.
Seketika hatinya berdetak kencang mengigat Luciana memeluknya.
Vano meraih ponselnya disaku celana, ingin rasanya mengirim pesan padanya.
Tapi entah kenapa tiba tiba hatinya menciut, rasa ragu menyelimuti hatinya.
Seketika senyuman itu luntur begitu saja, karna suara bel pintu terus saja berbunyi menganggu pendengarannya.
"Sial siapa yang bertamu larut malam begini" umpat Vano saat ada yang mengganggu kesenangannya.
"Mau apa kau"
"Tak perlu sinis begitu" Larry masuk begitu saja tak memperdulikan Vano yang berada didepan pintu.
"Ini aku membawakan makanan kesukaanmu"
"Aku tak lapar"
Larry merebahkan dirinya di sofa empuk yang berada diruang TV, tanpa memperdulikan raut wajah Vano yang ingin sekali menendangnya keluar dari apartement itu.
Come kawan dia wanita bukan bola yang bisa kau tendang begitu saja.
Kini bukannya tak memperhatikan raut wajah Vano, kini Larry sudah berada diatas pangkuan Vano yang tadinya duduk disebelahnya.
"Mau apa kau"
"Kau" Larry mengalungkan tangannya dileher Vano.
"Gila" Vano mendorong tubuh Larry hingga jatuh tepat disebelah Vano.
Baru saja Vano hendak pergi meninggalkan gadis gila ini, tangannya tercekal membuat pergerakan Vano berhenti.
"Apa lagi" Larry memeluk Vano begitu saja yang membuatnya menepis pelukan itu dan menjaga jarak dari gadis gila ini.
"Sebaiknya kau pulang aku lelah"
"Malam ini aku hanya ingin menghabiskan malam denganmu"
"Terserah"
Cukup malas rasanya menghiraukan gadis gila ini, Vano berlalu meninggalkan Larry.
Tapi bukan Larry namanya jika menyerah begitu saja, bukan hal yang aneh lagi bagi seorang Larry apa pun harus menjadi miliknya jika ia suka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Mawar berduri
knp aku merasa part ini agak sedikit terburu buru yah beb... seperti saat ana memberikan nmr tlp seharusnya sedikit lbh detail dgn menyebutka nmr xxx dan mereka tiba didepn dirmh ana padahal kan Vano blm tw pasti rmh ana yg mana krn ada hanya menyebutkn bloknya bgmn bs vano langsung tertuju didepan rmh ana... atw mungkin diblok itu hanya ada rmh ana yah tanpa ada tetangga... maaf yah beb ini cm sekedar masukan spy lbh diperhatikan nantinya... so ku suka karyanya 😍
2020-06-07
0
Ika
aku sukaaa bgt novel-novel kakak🤗
2020-03-20
0