Diandra_Adelia_Putri_2

Adel menatap tajam ke arah tiga pria yang berdiri di depannya, Adel akui, tubuh mereka jauh lebih besar darinya.

Selain besar, juga tinggi dan juga kekar, belum lagi tato yang menghiasi lengan dan lehernya.

Entah kenapa Adel berani menatap ketiga pria itu, ia tidak peduli dengan tubuh mereka yang besar itu. Dalam keadaan marah Adel berubah menjadi lebih berani.

"Apa yang kalian lakukan pada ibu saya," seru Adel. Matanya menatap tajam ke arah tiga pria itu.

"Heh anak kecil, mulai sekarang ibumu tidak bisa berjualan di sini lagi, karena ada yang mampu menyewa tempat ini dengan harga lebih mahal, jadi kalian cepat pergi dari sini," jelas orang itu.

Adel terperangah mendengar penjelasan itu, ia tidak percaya jika orang itu tega mengusir ibunya.

Mata Adel beralih pada dagangan ibunya yang sudah berserakan di tanah. Gadis itu merasa miris dengan keadaan yang sekarang.

Semenjak ayahnya pergi entah kemana, ibunya yang telah menjadi tulang punggung keluarga, ibunya bekerja keras, demi menghidupi ketiga anaknya.

Adel yang sudah dewasa, ia selalu membantu ibunya berjualan setiap pulang sekolah.

"Bang, ibu saya kan selalu tepat waktu membayar uang sewanya," seru Adel. Ia tidak terima dengan perlakuan ketiga orang itu.

"Ah sudah, sekarang kalian pergi dari sini, dan bawa barang-barang butut ini, cepat!" Bentaknya. Mereka pun kembali melempar dan membanting perabot yang terletak di atas meja.

Adel ingin melawan, tapi dengan cepat ibunya menghalanginya, karena percuma melawan, mereka lebih kuat.

Sementara teman pedagang lainnya hanya bisa melihat, mereka tidak berani membantu, karena nantinya barang dagangan mereka yang akan menjadi korban.

"Sudah Nak, kamu tidak perlu melawannya lagi, ibu ikhlas," tuturnya dengan lembut. Tangannya memegangi kedua bahu Adel, untuk menenangkan putrinya itu.

"Sekarang bantu ibu beresin ini ya," sambungnya. Adel pun mengangguk, setelah itu Adel membantu ibunya untuk membereskan itu semua.

Setelah semua beres, Adel dan ibunya bergegas pulang ke rumah, untung saja jarak rumahnya tidak terlalu jauh.

Hanya butuh waktu 30 menit mereka sudah tiba di rumah, belum sempat masuk ke rumah, Adel dan ibunya melihat Irma dan Indra pulang dari sekolah.

"Irma, Indra, kok kalian baru pulang, kalian dari mana saja?" tanya Adel. Ia berjalan menghampiri kedua adiknya itu.

"Iya Kak, kami tadi habis dipanggil oleh pak kepala sekolah, besok kami harus membayar biaya ujian, kalau tidak ... kami tidak bisa ikut ujian," jelas Indra. Hal itu membuat Adel dan ibunya terdiam.

"Ya sudah, ayo kalian semua masuk dulu, pasti kalian capek," sela Mira, ibunda Adel dan kedua adiknya.

Mereka pun masuk ke dalam rumah, Adel dan kedua adiknya segera berganti pakaian, sementara Mira duduk di kursi, ia tengah meratapi nasibnya, dan juga nasib ketiga anaknya. Air matanya pun menetes tanpa meminta izin.

***

Hari telah berganti, seperti kemarin,

hari ini Farel berangkat ke kantor lebih awal. Selain ada meeting, Farel juga mencoba untuk menghindari masalah pernikahan, yang selalu Lidia desakan.

Setelah berpamitan, Farel bergegas keluar dan masuk ke mobil.

Dalam perjalanan, Farel terus memikirkan perkataan ibunya, ia terus memutar otak untuk mencari alasan yang tepat, tapi sayang, hampir semua alasan yang pernah Farel pake, tidak ada yang berhasil.

Ibunya juga bukan tipe orang yang mudah menyerah.

Mata Farel beralih pada benda pipih yang ia pegang, sedari tadi terus saja berbunyi, dan setelah ia mengeceknya, mata Farel tiba-tiba membulat sempurna.

Rentetan pesan dari ibunya sudah memenuhi layar handphonenya, dan isinya tak lain adalah, permintaan Lidia agar nanti malam Farel harus mengenalkan calon istrinya.

"Arrght, mama apa-apaan sih, maksa banget," Farel mengerang frustasi. Ia pun melempar handphonenya ke jok sebelahnya.

Farel benar-benar dibuat pusing oleh ibunya sendiri. Ia pun menyenderkan kepalanya di punggung jok, tangannya terangkat dan memijit pelipisnya yang terasa begitu pusing. Bukan pusing karena sakit, melainkan pusing dengan keinginan ibunya itu.

Tidak butuh waktu lama, Farel sudah tiba di kantor, ia pun bergegas turun dari mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Semua karyawan memberikan salam hormat kepada Farel, tapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.

Farel kini sudah berada di ruangannya, ia segera duduk di kursi kebesarannya, banyak berkas-berkas yang harus Farel periksa, dan di tanda tangani.

Farel membuang nafas berat, lalu ia mulai mengerjakan pekerjaannya.

***

Kedua adik Adel sudah siap dengan seragam sekolahnya, begitu juga dengan Adel, ia pun sudah siap.

Namun Irma dan Indra nampak tidak bersemangat untuk berangkat ke sekolah, Adel yang tau akan kecemasan kedua adiknya, ia pun menghampirinya.

"Irma, Indra, pake uang ini untuk bayar ujian kalian," kata Adel. Ia menyodorkan amplop yang berisikan uang.

"Tapi Kak, itu kan buat bayar ujian Kakak," jawab Indra. Ia tau jika Kakaknya telah menabung sendiri untuk membayar biaya ujiannya.

Adel tersenyum. "Jangan pikirkan Kakak, sekarang cepat berangkat, dan sekolah yang bener."

Saat itu juga, kedua adiknya menghambur ke pelukan Adel.

Keduanya bangga memiliki Kakak seperti Adel. Meski dirinya butuh, tapi Adel selalu mendahulukan orang lain, tanpa memperpedulikan dirinya sendiri.

"Ya sudah, kami berangkat dulu ya Kak," ucap Irma. Keduanya pun segera berpamitan dan beranjak pergi.

Mira tersenyum melihat Adel yang begitu perhatian kepada kedua adiknya. Mira sangat bangga memiliki anak seperti Adel.

Selang beberapa menit Adel masuk ke dalam menghampiri ibunya yang tengah bersiap-siap untuk berjualan.

"Adel bantu ya Bu," ujar Adel. Ia berjalan menghampiri ibunya.

"Enggak usah Del, sekarang kamu berangkat sekolah saja, nanti kesiangan kamu bisa terlambat," sahut Mira. Ia tidak tega jika Adel mengorbankan sekolah hanya demi membantu dirinya.

"Lalu ibu mau berjualan di mana, kan tempat ibu berjualan sudah disewa orang," balas Adel. Adel merasa sedih saat mengingat kejadian kemarin.

"Ibu masih punya kaki Adel. Jadi kamu tidak perlu khawatir, sekarang kamu berangkat sekolah saja ya," tutur Mira dengan tersenyum.

"Ya sudah Bu, ibu hati-hati ya jualannya, Adel berangkat dulu," ujar Adel. Setelah berpamitan Adel bergegas pergi.

Adel segera berjalan menuju ke sekolahnya, meski jarak tempuh cukup jauh, Adel tetap semangat.

Ia juga berniat setelah sekolah, Adel akan mencari pekerjaan, agar bisa membantu keuangan keluarga.

***

Waktu berjalan begitu cepat, matahari sudah di atas kepala, dan perlahan mulai condong ke barat.

Farel masih terus menyibukkan diri di kantor.

Namun aktivitasnya terhenti saat handphonenya berdering, dengan terpaksa Farel meraih benda pipih tersebut.

Setelah dicek, ternyata ibunya yang telah mengirimkan pesan, dan lagi-lagi pesan yang Farel dapat, sama seperti tadi pagi.

Farel mendengus kesal, pikirannya kembali gusar, Farel pikir jika ibunya sudah lupa akan hal itu.

Namun ternyata Farel telah salah menyangka, ibunya tidak akan menyerah begitu saja.

Setelah membaca pesan dari ibunya, ia meletakkan kembali handphonenya, lalu mengacak-acak rambutnya karena frustasi memikirkan hal itu.

"Arrght, aku pikir mama sudah lupa," Farel mengerang frustasi. Ia kembali memutar otaknya, untuk mencari ide. Setelah cukup lama berfikir, ide pun muncul di otaknya.

"Raka ... iya, aku harus minta bantuan Raka," ucapnya. Tanpa menunggu lama, Farel langsung berteriak memanggil Raka.

Tidak butuh waktu lama, Raka sudah ada di hadapan Farel, dan tanpa basa-basi lagi, Farel langsung menceritakan apa maksud dan tujuannya. Farel menyuruh Raka untuk mencari gadis yang bersedia berpura-pura menjadi calon istrinya.

"Bagaimana, kamu paham," ucap Farel. Matanya menatap tajam ke arah Raka.

Raka mengangguk. "Paham."

"Baik, aku tunggu kamu di apartemen," ujarnya kemudian.

"Ok." Sahut Raka. Setelah itu Raka bergegas keluar dari ruangan Farel.

Farel tersenyum, ia sangat yakin jika usahanya akan berhasil. Setelah itu Farel segera menyelesaikan pekerjaannya, dan ia bergegas pergi ke apartemen untuk menunggu Raka.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, semua siswa-siswi berhamburan pulang ke rumah masing-masing, begitu juga dengan Adel, tapi kali ini ia tidak langsung pulang, Adel akan mencari pekerjaan terlebih dahulu.

Kini Adel tengah berjalan menyusuri jalan raya, tekadnya sangat kuat untuk mencari kerja, demi bisa membantu ibunya, dan kedua adiknya.

Ia tidak peduli, meski dirinya masih bersekolah, tapi kedua adiknya lebih penting.

"Aku harus dapat pekerjaan, Irma sama Indra harus menyelesaikan sekolahnya," ucap Adel. Ia yakin dan sangat berharap, jika niatnya akan terlaksana.

Hampir satu jam Adel keluar masuk toko dan restoran, bahkan perusahaan, demi bisa mencari pekerjaan.

Namun hasilnya nihil, tidak ada seorangpun yang mau menerimanya, terlebih Adel masih mengenyam pendidikan, mereka tidak berani memperkerjakan seorang siswi.

"Pak please dong, saya butuh pekerjaan ini, berapapun bayarannya, saya akan terima Pak," Adel terus memohon pada bos pemilik toko kue yang ia datangi.

"Maaf Dek, kami tidak bisa menerima pekerja yang masih bersekolah, lebih baik Adek pulang saja," tolaknya. Hal itu membuat Adel merasa putus asa.

Dari kejauhan sepasang mata tengah memperhatikan Adel. Orang itu tidak sengaja melihat Adel yang tengah berdebat dengan pemilik toko kue tersebut.

Dengan sangat kecewa, Adel melangkahkan kakinya pergi dari toko tersebut, dan saat ia tengah berjalan, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

Terpopuler

Comments

Aqiela Comell

Aqiela Comell

sngat bagus thor

2020-03-26

0

Mr. Han

Mr. Han

jangan lupa juga baca novel baru ku "cinta terlarang dan Ksatria bermata elang"

2020-03-24

0

Milah Kamilah

Milah Kamilah

semangat y say... suka ceritanya

2020-03-10

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!