PRIYA 03

Kiya menghela napas panjang setelah keluar dari WC yang bersebelahan dengan XI IPS 4. Lega. Hampir setengah jam dia menahan pipis gara-gara takut dengan Bu Desi yang terkenal dengan sebutan guru tergalak di SMAN 24 Sleman. Guru tambun itu sebenarnya tidak melarang siswa-siswinya untuk izin ke kamar kecil, cuma Kiya terlanjur takut dengan raut wajahnya yang terkesan selalu ingin meradang.

Sudah dua kali Bu Desi masuk ke kelasnya, berarti sudah hampir dua minggu Kiya menjadi siswi SMAN 24 Sleman, dan selama itupula Bu Desi tak pernah tersenyum ketika mengajar. Suara beliau kala menjelaskan juga sangat besar—terkesan marah-marah—khas orang-orang batak. Makanya anak-anak di kelas Kiya kebanyakan mingkem, mendengarkan dengan saksama daripada harus berinteraksi langsung dengan beliau.

“Hey, yang kucir kuda! Ke sini bentar!”

Merasa bukan dirinya yang dipanggil, meskipun seberkas rambutnya diikat ke belakang membentuk ekor kuda menggunakan pita berwarna merah, Kiya terus menggerakan maju kakinya melewati koridor kelas. Tak mengindahkan. Lagian dia juga nggak mengenal satupun anak IPS di SMA ini, apalagi kakak kelas.

“Hey, si kuncir kuda! Aku bisa minta tolong?” teriak suara bass itu lagi.

Kiya yang baru saja melewati pintu XI IPS 3 spontan berhenti. Dia cukup terusik dengan suara lantang tersebut. Kepalanya lantas menoleh ke belakang dan mendapati sosok jangkung yang berdiri di pintu kelas XI IPS 4.

“Aku Kak?” tanya Kiya sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Iya. Kamu.” Laki-laki itu mengangguk dengan mantap.

Sesungguhnya Kiya enggan untuk menuju cowok tak dikenalnya itu. Tapi dia kakak kelas yang sepatutnya disegani dan dihormati. Apalagi bila dilihat dari penampilannya, kakak kelas itu bukan tipikal cowok-cowok badung. Penampilannya sangat rapi dengan dasi yang melekat apik di lehernya. Dia juga memiliki tubuh yang sangat tinggi, seperti seorang model. Mungkin tubuh Kiya hanya sampai bahunya saja.

“Ada apa ya, Kak?” tanya Kiya setelah berdiri di depan cowok tersebut.

“Namamu siapa?”

“Kiya Kak.”

“Kalo nama lengkap?”

Refleks alis Kiya terangkat. Dilirik nametag yang tertempel di atas saku baju putih laki-laki itu. Awan Nugraha Wirawan. Kemudian dia memandang ke wajah Awan sambil membatin, sebenarnya buat apa dia menanyakanmu? Seragam baru Kiya dari sekolah memang masih belum selesai. Dia memakai seragam yang dibeli Rasti, sehingga memang tidak terdapat nametag. Jadi wajar laki-laki itu tidak bisa melihat namanya.

“Jadi nama lengkapmu siapa?” tanya Awan lagi yang terdengar seperti mendesak.

“Zakiya Annatasya, Kak.”

“Namamu bagus,” puji Awan.

“Terima kasih Kak.”

“Aku bisa minta tolong?”

Lama Kiya bungkam. Dia sebenarnya ingin menolak, ingin segera menghampiri Yeyen yang pasti sedang menunggu di kelas. Mereka berencana untuk makan bakso Pak Tarno yang terletak di area kelas bahasa. Tapi akhirnya Kiya terpaksa mengiyakan, mengingat lagi kalau di depannya adalah kakak kelas. Lagipula dia juga bingung harus memberikan alasan apa bila hendak menolak. “Bisa Kak.”

“Oke, kamu tunggu sebentar di sini ya?!” ucap Awan sebelum meninggalkan Kiya untuk masuk ke dalam kelas. Beberapa menit kemudian, Awan sudah kembali dengan sebuah amplop cantik dengan motif bergambar hati. “Bisa kamu kasih ini ke Prisma Dermawan XI IPS 1?” sambung Awan dengan menyodorkan amplop tersebut.

Kiya sempat ragu-ragu, merasa curiga dengan amplop yang sudah berpindah ke tangannya kini. Tapi dia tak mau berpikir yang bukan-bukan. Lebih baik berpikir huznuzon saja. Memang hal buruk apa yang bisa menimpanya dengan selembar surat itu?

“Baik Kak,” setuju Kiya.

“Thanks ya.”

“Sama-sama Kak,” balas Kiya sebelum pergi menuju ke arah utara, menuju XI IPS 1 yang terpisah tiga kelas dari posisinya kini.

Kiya memindai ampolp itu sambil menebak-nebak apa isinya. Bohong kalau dia nggak penasaran. Sebenarnya Kiya menduga kalau amplop ini berisi surat cinta. Tapi masa iya? Untuk apa memangnya Awan mengirim surat cinta ke Prisma—yang berdasarkan namanya pasti nama anak laki-laki? Apa mungkin dia memiliki kelainan seksual? Mungkinkah dia gay?

Kepala Kiya menggeleng-geleng pelan. Nggak mungkin. Tampang Awan tidak terlihat seperti orang yang menyimpang. Dilihat dari postur tubuhnya, bisa dikatakan Awan termasuk tipikal macho, jantan banget.

“Permisi Kak. Kak Prismanya ada?” tanya Kiya pada sosok yang baru saja keluar dari pintu XI IPS 1.

Tanpa menjawab, laki-laki berkacamata itu menoleh ke dalam kelas dan berteriak. “Prisma, ada yang cari nih!” Setelahnya dia memandang ke Kiya. “Tuh, bentar lagi dia ke sini.”

“Makasih Kak.”

“Sama-sama,” ucapnya sebelum beranjak menjauhi pintu kelas.

Selang kemudian, seorang laki-laki yang diperkiraan memiliki tinggi yang hampir sama dengan Awan menghampiri Kiya. Kalau dilihat dari penampilannya, cowok itu juga tidak terlihat urakan seperti ciri khasnya cowok berandalan. Tapi penampilan juga tak serapi Rangga si ketua osis SMAN 24 Sleman. Dan yang menarik perhatian Kiya saat memandang wajah Prisma adalah alis tebal yang sangat hitam. Kiya tak pernah sekalipun melihat secara langsung alis laki-laki setebal itu sebelumnya. Mirip Aliando Syarief. Ah, mungkin lebih mirip dengan Red angry bird dengan wajah bulatnya.

“Ada apa?” tanya Prisma sambil menatap tajam.

Kiya menyodorkan amplop itu dengan kikuk. Entah mengapa dia merasa terintimidasi dengan tatapan Prisma. “Ini ada surat—”

“Wahhh... kamu dapat surat cinta ya, Pris?” ucap sosok laki-laki bertubuh cukup berisi yang memotong ucapan Kiya. “Namaku Asep. Namamu siapa? Kok mau sama Prisma?” cerocosnya.

“Ini bukan punya—”

Tiba-tiba Asep mengambil amplop di tangan Kiya. “Kamu mau baca nggak Pris?” tanyanya tanpa memandang ke orang yang diajak bicara, justru dia tampak menatap minat ke amplop berwarna merah muda itu. “Kalo nggak mau baca, sini aku bacain Pris.” Tangannya dengan cekatan membuka amplop tersebut dan mengambil selembar kertas yang ada di dalamnya, lalu membacanya dengan keras-keras. “Dear My Prisma Dermawan. Sudah lama aku menyukaimu. Mungkin bisa dikatakan sebagai cinta pandangan pertama. Bagiku, kamu adalah pangeran—”

“Cukup Sep!” Prisma mengambil kertas itu dengan sedikit kasar.

“Tapi Pris, aku belum selesai bacanya,” celetuk Asep.

“Suratnya udah aku terima. Sekarang silahkan kamu pergi,” suruh Prisma dengan tatapan yang setengah melotot. Dia semakin terlihat mirip dengan si Red.

“Tapi Kak, surat itu—”

“Kamu nunggu apalagi? Pergi sana!” bentak Prisma.

“Mungkin dia nunggu jawabanmu, Pris,” timpal Asep sambil mengerling menggoda.

“Bukan Kak. Aku—” Kiya terus mencoba membantah dan untuk sekian kalinya, lagi-lagi ucapannya dipotong.

“Setelah pulang sekolah, temui aku di parkiran,” kata Prisma sebelum masuk ke dalam kelas sambil menyeret Asep dengan menarik kerah bajunya.

“Kenapa waktu itu kamu nggak menemuinya, Ki?”

Lamunan panjang Kiya dari kejadian setahun lalu seketika buyar. Matanya kontan mengerjap-ngerjap pelan.

“Memangnya kamu nggak penasaran kenapa Kak Prisma ngajak bertemu waktu itu?”

Cukup lama Kiya terdiam sebelum menjawab, “Karena aku takut.”

“Takut?” Kening Yeyen lantas mengerut.

“Aku takut kalo Kak Prisma memarahiku gara-gara surat cinta itu, makanya aku nggak mau ke parkiran dan aku juga yakin, Kak Prisma pasti tahu kalo surat cinta itu hanya isengan belaka.”

BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

Sept September

Sept September

s semangat

2020-07-30

0

senjaku

senjaku

jadiiii????

2020-03-21

2

Kim La

Kim La

penasaran dengan selanjutnya

2020-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!