PRIYA 01

Kiya menatap lesu ke cermin seluruh badan yang ada di depannya. Kedua maniknya terlihat sayu dan sedikit kemerahan. Tubuhnya juga terasa pegal-pegal dan sekarang kepalanya terasa sedikit sakit. Mungkin efek dari bergadang. Tadi malam mata Kiya memang tak mau terpejam. Lebih memilih memandang langit-langit kamar. Banyak spekalusi-spekulasi yang mengusik otaknya sejak melihat video tersebut.

Sebenarnya Kiya tak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Papanya nggak mungkin mengkhianati Mama. Tapi... Tapi kemesraan yang ditunjukkan mereka lantas merontokkan dugaan-dugaan positif yang coba dibangun Kiya. Adegan diantara kedua sosok dewasa tersebut sangat menggelitik dan menyentil hatinya. Jelas kalau interaksi di antara mereka bukanlah interaksi antar teman. Lebih daripada itu.

“Dek, bangun!” teriak Raika di balik pintu setelah mengetuk terlebih dulu.

Kiya menguap sebentar sebelum menjawab. “Iya, Mbak.”

“Cepet turun ya Dek. Ada Papa di bawah. Kita sarapan bareng.”

Kiya tak lagi menyahut, justru berjalan mendekati pintu kamar mandi. Dia butuh membasahi seluruh tubuhnya. Supaya lebih fresh. Supaya dapat menghilangkan jejak-jejak dari efek bergadangnya tadi malam. Juga supaya Rasti dan Raika tidak bertanya-tanya bila melihat raut wajahnya.

Setelah menyelesaikan aktivitas pribadinya, Kiya segera pergi menuju ruang makan. Tidak terlihat Raika di sana. Hanya ada Rasti yang terlihat sibuk menata piring-piring dan Bimo yang fokus membaca koran. Kiya memperhatikan lekat raut wajah papa dan mamanya. Bila dilihat secara kasatmata, Bimo dan Rasti tidak tampak sedang terlibat pertengkaran. Selama ini juga Rasti terlihat sangat melayani Bimo dengan telaten dan penuh kasih sayang. Sifat dan sikap Rasti sudah bisa dikatakan sebagai istri idaman. Jadi nggak ada alasan bila Papanya tergoda wanita idalaman lain.

“Selamat pagi Dek!” sambut Rasti saat menyadari keberadaan Kiya.

Bimo yang mendengar sapaan Rasti spontan menurunkan bacaannya. Dia menyunggingkan senyum lebar. “Pagi Dek!”

“Pagi juga Ma, Pa!” balas Kiya.

“Kamu sakit Dek?” Rasti menghampiri Kiya yang masih berdiri di palang pintu. Kedua matanya menilik keseluruhan wajah Kiya. Meskipun sudah mandi, mimik tak bersemangat dan lesu masih tampak jelas di wajah gadis itu.

Kiya menggeleng. “Nggak kok Ma.”

Rasti menyentuh mata Kiya. “Kok matamu merah gini Dek? Pasti bergadang lagi, kan?!”

Kiya membalas dengan cengiran.

“Ya udah, kamu duduk sana gih,” suruh Rasti sebelum membalikkan badan, berniat melanjutkan rutinitas paginya.

“Ada yang perlu dibantu, Ma?” tanya Kiya seraya mengekori Rasti.

“Nggak ada, Dek. Udah hampir selesai kok,” jawab Rasti tanpa menoleh dan tetap melajukan langkahnya menuju dapur .

“Jangan suka bergadang Dek. Nggak baik untuk kesehatanmu,” nasihat Bimo setelah Rasti menghilang dari balik pintu dan Kiya sudah duduk di tempatnya yang dekat dengan dispenser.

Sekali lagi Kiya menjawab dengan cengiran.

“Besok kamu mulai sekolah, kan?”

“Iya Pa. Besok aku udah kelas sebelas.”

“Wahhh... nggak nyangka ya?! Anak gadis Papa udah kelas sebelas aja. Kayaknya baru kemarin Papa gendong kamu,” tutur Bimo dengan tersenyum kecil dan sedikit menerawang kejadian silam beberapa tahun lalu.

Sekali lagi Kiya kembali cengar-cengir sebelum dia tiba-tiba memasang mimik serius. Video itu kembali menggelitik otak dan hatinya. “Papa kemarin dinas ke mana?”

Bimo sedikit menaikkan alisnya. “Ke Bandung. Kan sebelum pergi, Papa udah bilang. Memang kenapa?” Tiba-tiba Bimo cengengesan. “Ah, Papa tahu. Kamu pasti mau nagih oleh-oleh, kan? Ada tuh di kamar Papa, dekat lemari biasa. Rencananya setelah kita sarapan, baru Papa mau kasih. Eh ternyata, kamu udah nagih duluan,” duganya.

“Kata temanku, dia lihat Papa di Borobudur.”

Raut wajah Bimo seketika menegang. Hanya sepersekian detik saja. Karena setelahnya raut itu kembali terlihat santai, bak kalimat Kiya tak pernah menyentilnya. “Pasti temanmu salah lihat. Papa sudah lama nggak ke sana. Kalo nggak salah, terakhir Papa ke Borobudur tahun lalu sama kalian,” bantah Bimo.

Binar di mata Kiya lantas meredup. Reaksi awal Bimo yang terbilang cukup berlebihan di matanya—karena dia tak pernah sekalipun melihat raut tegang Bimo seperti itu—semakin membuatnya berpikir yang bukan-bukan. Yang mana yang harus dipercaya. Video itu atau perkataan Bimo? Lalu perempuan itu siapa? Kiya belum pernah melihatnya dan perempuan itu juga tidak pernah datang ke rumah ini. Apakah mungkin perempuan itu temannya atau seling....

Pusing! Pusing! Pusing! Kiya juga nggak bisa sembarangan bertanya tentang wanita itu sekarang. Takut Mama atau Mbak Raika tiba-tiba mendengarnya. Takut jadi masalah nanti.

“Udah bangun kamu, Dek? Mbak kira kamu masih lanjut molor,” tukas Raika yang mendadak masuk ke ruang makan diikuti laki-laki berjambang tipis di belakangnya.

“Pagi Pa, Pagi Dek,” sapa Galih dengan senyum merekah hingga menampilkan dua lesung pipi di sudut-sudut bibirnya. Memang sejak dia dan Raika bertunangan, Galih memanggil Bimo dan Rasti dengan panggilan yang sama seperti Raika dan Kiya—Papa Mama.

“Pagi,” balas Kiya dan Bimo berbarengan.

“Kalian jadi cari gedung hari ini?” tanya Rasti yang baru kembali dari dapur dengan semangkuk nasi goreng di tangannya.

“Jadi Ma. Selesai makan, rencananya kami mau langsung ke sana,” jawab Raika.

“Gedung yang dekat bandara Adisutjipto itu, kan?”

Raika mengangguk. “Iya Ma. Gedung Mandala Bakti Wanitatama.”

“Doakan semoga lancar ya, Ma,” timpal Galih.

“Amin. Mama dan Papa akan selalu mendoakan kalian.”

“Kamu kenapa Dek? Kok melamun?” tanya Raika yang refleks membuat mata Kiya mengerjap-ngerjap. Setelah menyapa Galih tadi, dia kembali bergelut dengan dugaan-dugaan yang tak berdasarnya, juga kembali menerka-nerka apa yang harus dilakukan kedepannya mengenai video itu.

Kepala Kiya menggeleng pelan. “Nggak ada papa kok, Mbak,”

“Kita makan sekarang yuk!” ajak Rasti sambil menggeser kursi yang ada di samping Bimo ke belakang sebelum mendudukinya, kemudian dia mengambil piring Bimo dan meletakkan nasi goreng di atasnya.

Kiya memperhatikan saksama setiap gerak-gerik Rasti yang cekatan. Wanita paruh baya itu tampak menikmati tugasnya sebagai seorang istri yang melayani sang suami. Selama ini Rasti juga menjadi sosok ibu yang luar biasa. Beliau selalu mencurahkan kasih sayang untuknya dan Raika. Dan saat mata Kiya menatap wajah Bimo, spekalusi-spekulasi negatif itu kembali menyeruak mengacaukan otaknya.

Kalau seandainya perkataan Bimo bohong dan spekulasi negatif ini benar, apakah yang akan terjadi. Apa Papa dan Mama akan berpisah? Apa pernikahan Mbak Raika dan Mas Galih akan batal, karena keluarga Galih mungkin mengganggap keluarganya tidak beres? Apa yang harus kulakukan Tuhan? Kiya membatin.

^^ P R I Y A ^^

“Woy, jangan melamun! Nanti kesurupan!” tukas Yeyen sambil menepuk kencang bahu Kiya.

Tubuh Kiya kontan terlonjak. Matanya refleks mengerjap. Untung saja dia tidak latah dan tidak mengeluarkan kata-kata absurd. Dia langsung menoleh ke samping kirinya dan menatap garang sang pelaku. “Duh, kamu iseng banget sih! Siapa juga yang lagi melamun?”

“Kalo nggak melamun, tadi namanya apa?”

Kiya nggak berniat untuk menjawab. Dia lebih memilih memandang Agung—si ketua kelas—yang baru masuk ke dalam kelas dan sekarang sedang melangkah menuju meja guru. Pasti ada pengumuman penting nih. Mengingat belum ada guru yang masuk meskipun bel sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

Sept September

Sept September

jempollll lagi buat Kakak

2020-07-30

0

Raini Sidarra aceh

Raini Sidarra aceh

semangat kk

2020-07-21

0

FITRY HNDYN

FITRY HNDYN

lanjut!

2020-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!