Gus Fahmi yang baru saja pulang dari masjid, ia segera kembali ke kamarnya.
Sebenarnya niat pertamanya ingin segera lari pagi, karena ini merupakan hari-hari pertamanya di pesantren setelah sekian lama tinggal di negri orang.
Gus Fahmi pulang juga kerena ada rekomendasi dari kampus tempat Aisyah kuliah
sebagai salah satu dosen tetap.
Gus Fahmi melepas sarung dan baju koko-nya, mengganti celana pendeknya dengan celana
panjang. Sebelum pergi, Gus Fahmi menggantung baju koko-nya di teras kamar agar bisa terkena sinar matahari, nanti saat mentari muncul.
Saat hendak berbalik, mata teduh itu menangkap sosok yang akhir-akhir
ini beberapa kali menghiasi hidupnya. Gadis yang telah membuatnya lupa tidur semalam. Gadis itu sedang mendorong gerobaknya
dengan begitu lincah, senyum gus Fahmi mengembang.
“Kenapa aku baru melihatnya?” senyum mengembang dari bibir tipisnya.
Dengan cepat gus Fahmi menuruni tangga rumahnya, ada hal yang mendorongnya untuk menemui gadis itu.
Gus Fahmi semakin merasa kagum dengan gadis itu, ternyata bukan cuma kuliah dan menimba ilmu di pesantren tapi ia juga
punya pekerjaan lain.
“Fahmi …, mau kemana kok buru-buru sekali?” Kyai Sarah yang sedang menyapu teras
merasa heran dengan putranya itu, pagi ini ia terlihat begitu bersemangat
sekali.
“Fahmi lari pagi dulu, umi ….!"
"Ngejar apa?"
"Ngejar jodoh, ummi! assalamualaikum!”
“Waalaikum salam!” Kyai Sarah cuma bisa tersenyum menatap kepergian putranya.
Gus Fahmi menapaki jalur yang menjadi jalur Aisyah dengan gerobaknya, setelah
berlari beberapa meter akhirnya ia bisa melihat gerobak itu lengkap dengan yang
mendorong.
Gus Fahmi pun mempercepat langkahnya, walaupun putra seorang Kyai
tapi gus Fahmi termasuk pria modern yang tidak tertutup dengan segala perubahan
asalkan tidak melebihi batas norma agama.
“Assalamualaikum!”
sapa gus Fahmi setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dnegan Aisyah. Aisyah yang tidak menyadari kedatangan gus Fahmi segera menghentikan langkahnya,
menoleh ke sumber suara.
“Waalaikum salam!” setelah menyadari siapa yang datang dan menyapanya, Aisyah pun segera tersenyum.
“Gus Fahmi …, kenapa di sini?”
“lari pagi, dan kebetulan melihat sesuatu yang bisa membuatku berlari mengejarnya!”
ucap gus Fahmi dnegan senyum teduhnya itu, “Biar aku bantu ya!?”
Tanpa menunggu persetujuan dari Aisyah, Gus Fahmi pun menggantikan Aisyah untuk
mendorong gerobak itu, hingga terpaksa Aisyah harus memundurkan tubuhnya agar
tidak bersentuhan dengan pria itu.
“memang apa yang membuat gus Fahmi berlari?” tanya aisyah penasaran.
“Seseorang yang memiliki tekat begitu besar yang mampu mengalahkan kerasnya batu!”
“Siapa?”
“kamu!”
Walaupun kata itu terdengar sederhana, tapi berhasil membuat hati Aisyah berbunga-bunga.
Bibirnya melengkung tanpa di minta.
“Jangan tersenyum seperti itu!” ucap gus fahmi setelah melihat senyum Aisyah, walaupun
Cuma sebentar senyum itu mampu membuatnya tersu mengingat hingga dalam mimpi.
“Kenapa?”
“Karena akan banyak yang iri, senyum itu terlalu manis mengalahkan manisnya gula!”
“Gus Fahmi ternyata lucu juga ya!”
Mendengar lelucon dari gus Fahmi siapa yang menyangka jika pria itu adalah seorang
ustad, dosen dan putra dari pemilik pesantren apalagi penampilannya kini
berbeda sekali dnegan penampilannya saat menghadiri ceramah atau mengajar di
kampus.
“Sudah sampai, gus!” ucap Aisyah saat mereka sudah sampai di ujung jalan, di salah
satu sisi perempatan tepatnya di bahu jalan.
“Di sini?”
“Iya…!”
“baiklah…, biar aku bantu mendirikan tendanya!”
Lagi-lagi tanpa persetujuan Aisyah, gus Fahmi segera menurunkan besi yang berada di atas
gerobak sebagai tiang dan juga terpal sebagai atapnya. Dengan cekatan gus Fahmi
mendirikan tenda itu, ia seperti sudah terbiasa melakukannya, Aisyah
benar-benar tercengang melihatnya.
“Sya …, ambilkan talinya!” ucapan gus Fahmi menyadarkan Aisyah dengan
ketersimaannya.
“Iya gus …!” Aisyah segera menyerahkan tali yang berada di sampingnya.
Setelah sepuluh menit akhirnya tenda sudah berdiri, biasanya aisyah akan menunggu jam
enam baru pembeli akan datang.
Gus Fahmi duduk di kursi plastik yang memang sudah di sediakan oleh aisyah, ia
menyeka keringatnya yang mengucur di pelipisnya.
“Munim gus?” Aisyah menyerahkan botol minumnya pada gus Fahmi, ia biasa membawa air putih untuk ia minum sendiri di botol plastik warna biru miliknya.
“Nggak pa pa nih aku minum?”
“Nggak pa pa, gus fahmi pasti sangat haus!”
“ya sudah, aku terima ya?” tanya gus fahmi lagi memastikan, Aisyah pun hanya
tersenyum dan mengangguk.
“Makasih!” gus Fahmi segera mengambilnya dan meminumnya. Aisyah tetap berdiri tak jauh dari gus Fahmi, rasanya tidak enak
jika duduk berdekatan dengan gus Fahmi apalagi jika di lihat orang.
“Belum ada pembeli ya jam segini? Apa karena ada aku di sini?” tanya gus Fahmi setelah
melihat tak ada pembeli satu pun.
“masih belum gus, sepuluh menit lagi!” ini sudah menjadi hal biasa yang di alami oleh Aisyah, ia akan menunggu beberapa menit setelah selesai merapikan semuanya.
Tapi sepertinya kali ini ia punya waktu sedikit lebih banyak karena ada yang
membatunya mendirikan tenda jadi pekerjaannya lebih cepat selsai.
“Gus Fahmi biasa mendirikan tenda ya?’ tanya aisyah begitu penasaran.
“Bisa nggak panggil nama saja, rasanya nggak enak di panggil kayak gitu!”
“tapi Ais nggak enak gus!”
‘ya udah deh …, sekarang aku jawab pertanyaanmu dulu ya, aku punya waktu sepuluh menit jadi sekarang tinggal tujuh menit lagi.”
“Selama belajar di negri orang, aku bukan menjadi seorang anak pak Kyai, di sana aku
hanya anak biasa seperti yang lainnya. Aku punya kewajiban belajar dan yang
kedua kewajiban saya adalah mencari uang untuk kehidupan saya sendiri!”
“tapi bukankah pak Kyai selalu mengirim uang untuk gus Fahmi?”
“Iya …, saya tidak pernah merasa kekurangan dalam hal itu. Tapi yang membuat saya
kurang adalah tanggung jawab saya, saya seorang anak laki-laki, jadi wajib
bangi saya suatu saat menghidupi keluarga saya, jadi kapan lagi saya belajar
bekerja kalau bukan saat ini, jadi di sana saya juga menjual makanan,
membangun tenda seperti ini dan berjualan untuk mengisi waktu-waktu luang ku
setelah belajar!”
Mendengar penjelasan dari gus Fahmi, Aisyah semakin mengagumi pria anak pak Kyai itu.
"Sekarang gantian aku yang bertanya ya?"
"Apa?"
"Bagaimana dengan pertanyaan ku tadi malam?"
Aisyah begitu kebingungan untuk menjawabnya, sebenarnya hatinya mau tapi ia masih harus memikirkan adiknya, bagaimana dengan adiknya jika ia punya kehidupan sendiri, Untung saja pembeli sudah mulai
berdatangan menuju ke tendanya. Aisyah pun bisa bernafas lega.
“waktuku sudah habis ya, kalau begitu sampai jumpa lagi ya, aku tunggu jawabnya, insyaallah aku akan datang bersama abi dan ummi!” gus fahmi berdiri dari duduknya dan meletakkan botol biru milik Aisyah di gerobak. Aisyah tercengang, ia tidak menyangka jika gus Fahmi benar-benar serius dengan kata-kata nya.
“assalamualaikum!”
“waalaikum salam!”
Aisyah hanya bisa memandang punggung gus fahmi yang semakin menghilang, aisyah hanya
bisa tersenyum mengingat pembicaraan mereka selama setengah jam yang lalu itu,
walaupun cuma sebentar tapi begitu membekas di hati.
“Bukankah itu putranya Kyai Abdul Hamid, neng?’ tanya salah satu pembeli yang ternyata
mengenali gus Fahmi. Aisyah pun hanya tersenyum menanggapinya.
Spesial visual gus Fahmi
Bersambung
Jangan lupa untuk kasih dukungan untuk author dengan memberikan like dan komentarnya ya kasih Vote juga yang banyak ya
Happy Reading 🥰😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 384 Episodes
Comments
🍾⃝𝓡ͩ𝓱ᷞ𝔂ͧ𝓷ᷠ𝒾𝓮ͣᴸᴷ㊍㊍
mungkin Alex bisa nikahin Ais karena memberikan donor ginjal pada ninoa adik Ais... ginjal hasil pesikopatnya . ..
2022-11-03
2
Aulia Nia
pembacanya deg deg serrrr
2021-12-06
0
Nur hikmah
mn nih visualy ais ma alex
2021-09-14
0