BAB 4

Membaca buku pelanggaran itu menyebalkan. Freya memilih untuk mengesampingkannya. Matahari belum naik, Kaya juga belum datang. Ibu dan ayahnya sudah berpamitan tengah malam tadi untuk pergi ke luar kota.

Freya memilih duduk di depan meja rias. Ada banyak macam barang kecantikan yang dibeli ibu. Percuma saja, Freya tidak memakai semua itu. Hanya berbekal pelembab dan bedak tipis di kulitnya saat pergi ke sekolah. Lagipula tidak banyak yang mempermasalahkannya —pengecualian untuk Kaya.

Brak!

pintu kamar Freya setengah dibanting, tapi si pemilik malah asyik sendiri di depan meja rias sambil menyisir. Baginya orang yang bisa masuk dan punya cadangan kunci rumahnya cuma keluarga Kaya. Jadi siapa lagi? Mana ada maling di siang bolong.

"Freya! Waktunya ... oh udah bangun," ucap Kaya tenang lalu berjalan ke sisi samping mendekati meja rias. Jari-jarinya menyentuh bahu Freya, agak sedikit mencengkeramnya. "Tumben banget. Ada angin apa?"

Bahu Freya sama sekali tidak pegal, dia menggoyangkan sedikit bahunya meminta sahabatnya berhenti. Setelahnya dia baru mau menjawab, "Miss. Sheela biasanya ada di ruang seni, aku mau kasih kertas ini. Kemarin kamu yang suruh kan?"

Kaya langsung mengambil kertas Freya dan membacanya. "Wah, Senin kamu ambil matematika? Biasa aja sih, emang kamu suka pake banget sama hitung-hitungan. Selasa kamu ambil seni musik klasik? Tumben. Rabu ... sejarah. What! Freya kelas kamu membosankan semuai. Ditambah enggak ada yang sekelas sama aku lho."

"Itu hasil hitung kancing kemarin, Kaya. Lagian kelas peminatan paling lama dua jam. Aku bakal tahan kok tanpa kamu," ucap Freya santai. Sahabatnya malah menggeleng-gelengkan kepala. Tidak habis pikir! Bagaimana bisa dia menentukan kelas dengan hitung kancing?

"Terserah kamu aja deh, yuk berangkat. Aku mau piket ruang ekskul juga." Freya mengangguk. Mengambil sepasang kaos kaki dominan merah muda dibandingkan putih, lalu memakai tas dan mengikuti Kaya yang keluar lebih dulu.

oOo

"Freya Elvina!" teriak seorang anak laki-laki di ujung koridor kelas dua. Freya memilih mengabaikan, terutama dia tahu Leon yang memanggilnya. Sabar Frey! Sabar!

Tapi Leon juga tidak menyerah, di malah menarik lengan Freya. Terpaksa pula gadis itu berbalik dan melihat si kakak kelasnya.

"Maaf, Kak, aku lagi buru-buru." Freya menunjukkan selembar kertas peminatan kelas pada Leon. Sayangnya, anak laki-laki itu belum ada keinginan untuk melepas adik kelasnya.

Leon merogoh sepasang kaos kaki putih dari saku blazer miliknya. "Ada bagusnya si Areka suruh aku bawa kaos kaki ini dari ruang dewan. Nih pakai!"

"Kak Areka?" Sepasang kaos kaki berpindah dari tangan orang yang mengangguk menjawab pertanyaan Freya. "Tunggu, Kak! Kaos kaki aku emang enggak keliatan warna putihnya tapi harus banget ganti di sini?"

Pertanyaan Freya membuat Leon menutup muka lalu menghadiahinya sebuah jitakan di kepala. "Enggak di sini juga lah! Udah bahas kaos kakinya. Pusing aku, kamu mau ke mana sekarang?"

"Ke ruang seni, katanya ada sekitar koridor kelas dua. Mau ketemu Miss. Sheela," jawab Freya santai.

"Miss. Sheela jam segini belum datang, yang ada kamu bakal ketemu dua anak aneh tukang ribut. Enggak penting. Ada tujuan lain?" tanya Leon lagi.

"Enggak," balas Freya singkat, "emang kenapa, Kak?"

"Temenin eh enggak, maksudnya bantuin aku piket ruangan dewan yuk. Anggota dewan lagi sibuk semua."

Freya menatap aneh pada Leon. Apa kakak kelas satu ini baru terbentur ya? Ada angin apa coba. Dipikir-pikir lagi, dia juga bakal ngapain ke kelas pagi-pagi tanpa sahabatnya. Mungkin aja nanti bisa ketemu Kak Areka.

"Oke, Kak! Aku ikut," ucap Freya semangat.

Leon menyuruh adik kelasnya mengikutinya. Sayangnya mereka hanya diam-diam saja, tidak ada yang memulai pembicaraan. Freya tidak mungkin bertanya tentang Kak Areka pada sembarang orang, apalagi ke Leo di keripik kentang.

Sampai di depan ruangan, Freya diminta masuk lebih dulu sambil duduk di salah satu kursi sementara Leon mencari alat-alat kebersihan. Tidak lama masuk, hidung Freya mulai gatal, ruam merah kembali bermunculan.

"Hatchii!" Freya bersin-bersin, penyebabnya cuma satu. Jelas-jelas ada wangi-wangi bunga lavender di ruangan ini.

Leon muncul sambil membawa sapu. Dia menghidu bau yang tidak asing, bunga lavender. Segera mungkin dia menyuruh Freya keluar ruang dulu agar dia bisa menghapus wangi tersebut dengan pengharum ruangan rasa lemon. Setelah semua terkendali, Leon memintanya masuk lagi.

"Bener-bener alergi ya? Aku kira yang kemarin cuma cari perhatian sama anggota dewan," ucap Leon sambil menyapu ruangan dari ujung kiri, dibantu Freya di ujung lainnya.

"Tega banget sih, Kak. Aku emang alergi sama wangi lavender dari kecil," balas Freya seakan-akan curhat.

"Biasanya ketua dewan suka iseng semprot sana sini sama wangi-wangian bunga, beberapakali blazer Areka kena. Sebelumnya baju olahragaku. Daqta malah lebih parah, tas sekolahnya. Pokonya semua anak dewan pernah kena deh." Freya mengangguk paham. Jadi selama ini wangi itu berasal dari ketua dewan. Tapi siapa? Ah, sudahlah! Ada yang lebih penting dari itu.

"Terus kenapa kakak ngasih tahu aku? Bukannya kakak paling enggak setuju aku masuk dewan ya?" tanya Freya serius tanpa melupakan tugasnya.

Leon berhenti menyapu lantai. Tatapannya mengarah pada adik kelas di seberangnya. "Memang, aku paling enggak setuju diantara anggota dewan lainnya."

"Terus kenapa Kak Leon ngasih tahu aku?" ulang Freya sekali lagi.

"Karena cara terbaik memberikan pelajaran adalah dengan mendekatinya secara perlahan-lahan." Leon melanjutkan kerjaannya. Membiarkan si adik kelas kebingungan di ujung sana.

"Kakak enggak nyambung deh," ucap Freya lalu tertawa ringan. Menimbulkan afeksi tersendiri untuk Leon dan ruangan dewan yang sepi. "Kayak lagi proses PDKT aja."

"Biar aja." Leon ikut tertawa. Tiba-tiba pula dia melanjutkan ucapannya, "Freya sendiri kan lagi coba deket-deket Areka. Eh, sebelumnya ... panggil aku Leon aja, enggak biasa dipanggil kakak."

"Terserah Kakak eh Leon eh, ah nyerah aku. Miss.  Shella kayaknya udah datang, jadi aku bakal ke ruang seni. Duluan ... Leon." Tampak ragu tapi Freya mencoba. Leon menggangguk —malah langsung mengusirnya dari ruangan dewan.

oOo

"Freya!" panggil Kaya yang langsung memeluknya di kelas. Enggak tahu ada apa dengan sahabatnya yang satu ini. "Aku dipilih jadi perwakilan calon OSIS dari klub! Gimana dong, temenin ya?"

"Enggak deh, aku mau fokus ke dewan."

Kaya menggembungkan pipi, meniru kebiasaan sahabatnya. Lalu dia melepaskan pelukan. "Mana nih yang dulu bilang sedia Kaya sebelum terkena masalah. Udah bisa mandiri ya?"

"Jadi OSIS cape, mending dewan. Sama sih. Kalau aku ikut dua-duanya yang ada ketahuan kalau aku ngejar Kak Areka," balas Freya tenang sambil sedikit melirik buku tugasnya.

"Eh, seriusan kamu mau jadi dewan? Kapan mau daftar ke sana?" tanya Kaya sambil bertopang dagu.

"Udah kok, kemarin."

"What?" Mulut Kaya terbuka lebar, matanya membulat. Sahabatnya benar-benar berubah ya? Baguslah. Tidak lama dari terkejut, ujung-ujung bibirnya membentuk kurva ke atas.

"Cinta mengubah duniaku lebih baik. Dia hadir untuk melengkapi hidupku."

Kaya semakin yakin, Kak Areka memang membawa pengaruh baik untuk sahabat terbaiknya.

Terpopuler

Comments

Sri Indah Wijayanti

Sri Indah Wijayanti

Cieee yg udah bisa mandiri😆 nggak ada kata sedia Kaya sebelum kena masalah lagi nih ya

Eh btw kok tiba² Leon berubah jadi lebih lembut ya, apa jangan-jangan ....

2020-04-10

0

Miss R⃟ ed qizz 💋

Miss R⃟ ed qizz 💋

up up kan

2020-04-03

0

Iyos Rosita

Iyos Rosita

semnagat!

2020-03-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!