BAB 3

Kelas XII IPS 3

Papan nama kelas di atas pintu terlihat bersih dan mengkilap. Berbentuk persegi panjang dengan dasar hitam dan tiap goresannya ditulis dengan cat keemasan. Pintu coklat itu masih menutup, padahal guru sudah keluar dari sana beberapa menit lalu.

"Freya tunggu!" Napas Kaya terengah-engah menyusul si sahabatnya yang tiba-tiba berubah jadi energik setelah bel sekolah berakhir. Dia celingak-celinguk melihat koridor tempat Freya berhenti. "Lho, ngapain kita ke kelas senior? Mending kamu isi dulu ini kertas peminatan kelas yang bakal kamu ambil di tahun ini!"

Freya cemberut ketika tangan kanan Kaya menyodorkan selembar kertas putih. Dengan terpaksa dia ambil lalu membacanya sekilas. "Nanti aja lah! Ada yang lebih penting sekarang, Kaya." Kaya memutar matanya bosan ketika melihat kertas itu di lipat sembarangan dan dimasukkan dalam saku.

Kaya tidak tahu apa rencana sahabatnya. Tapi yang pasti ada satu alasan : A-R-E-K-A. Pintu kelas tersebut terbuka, tanpa berlama-lama sahabatnya sudah ada di hadapan dua anak laki-laki. Lupakan Areka, pikir Kaya. Matanya berbinar-binar melihat salah satu anak laki-laki tersebut yang ternyata Kak Raymond.

"Permisi, Kak! Saya mau bertemu Kak Areka." Dua anak laki-laki di hadapannya sama-sama mengangkat alis bingung. Bukan, bukan karena tidak paham dengan bahasa yang digunakan Freya. Kak Raymond menutup matanya dan dia menggunakan telapak tangannya untuk menutupi mulut yang tersenyum. Sedangkan laki-laki satunya lagi dengan rambut hitam dan mata coklat khas Indonesia hanya tersenyum, masih pula mengangkat sebelah alisnya.

"Sepertinya kamu salah kelas, Dik! Areka ada di kelas XII IPS 1, bukan di sini," lirih anak laki-laki berambut coklat tersebut.

Kak Raymond menimpali dengan berkata, "Biar aku tebak, Freya pasti tahu dari gosip teman kalau Areka sering keluar dari kelas ini ya? Wajar sih ... Setelah satu jam kegiatan belajar mengajar berakhir kelas dipakai pelajaran peminatan."

"Bukti kamu sama Kak Areka berkurang satu," bisik Kaya sambil menggodanya dan sukses mendapat hadiah berupa cubitan pelan di pinggangnya.

Awas saja nanti, Kaya!

"Eh? Gitu ya ... maaf, Kak! Aku salah kelas." Freya baru saja menarik Kaya tapi Kak Raymond mencegahnya dengan kata-kata.

"Freya, sahabat kamu ... kakak pinjam dulu ya! Hari ini mendadak anggota baru perkenalan diri sama pembimbing. I'm sorry for the late information." Tanpa aba-aba Kaya melambai-lambaikan tangannya lalu mengikuti Raymond pergi.

Oke, sekarang dia harus apa?

Anak laki-laki berambut hitam masih diam di tempatnya, untuk seukuran anak laki-laki SMA dia sangat tinggi dan murah senyum. Idola! Tapi aku lebih tertarik Kak Areka. "Memangnya ada urusan apa? Biasanya di hari Selasa, Areka ada kegiatan OSIS yang tidak bisa diganggu."

"Sebenarnya ... aku mau daftar jadi anggota dewan, Kak."

oOo

Papan nama di samping atas kirinya tampak setelah anak laki-laki itu melepas blazer yang kini  tersimpan rapih di dalam tas biru dongker. Tas itu tersimpan rapih di samping meja.  Ini di dalam ruangan dewan!

Daqta Thufail Danendra. Nama kakak kelas Freya yang satu ini, sangat ramah —lihat saja dari cara senyumnya yang lebar dan mata coklat hangat itu! Tidak disangka, Kak Daqta juga anggota dewan yang merangkap jadi ketua PASSUS Bayanaka. Jadi Freya bisa masuk ke ruangan dewan tanpa perlu izin.

Tidak ada yang menarik di ruangan dewan, selain pintu kaca di ujung tembok yang menghubungkan ke ruangan lain. Sisanya sama saja seperti kelas bedanya mirip privat, ada delapan meja dan kursi dengan barang yang berbeda pula, menunjukkan tiap kepribadian pemiliknya —tapi Freya enggak tahu yang mana meja Kak Areka. Di samping pintu ada rak buku kaca. Ada pula papan tulis tidak terlalu besar di sana. Cat ruangan? Putih, dan hitam di belakang mendominasi. Apa mereka suka dengan warna black and white ya? Freya menggeleng kepalanya sadar bukan waktunya memikirkan hal itu.

"Jadi bisa kita mulai, Freya?" tanya Kak Daqta pelan tapi tidak melewatkan sedikitpun senyumnya.

Freya menganggu dan Daqta mempersilakan dirinya untuk duduk berseberangan setelah mengambil salah satu kursi. "Tentu, Kak. Aku siap kapan saja. Tidak! Tidak! Maksudku sekarang, besok mungkin aku sudah gila karena keinginanku untuk masuk!" canda Freya disambut hangat tawa Kak Daqta.

"Waktu jaman SMP, apa kamu melakukan hal-hal yang ada di buku pelanggaran?" tanya Daqta serius.

"Ya." Freya menggigit bibir bawahnya.

"Pernah berorganisasi? Memiliki ekskul?"

Freya mengembuskan napas sebelum menjawab. Ada yang menusuk dari perkataan Kak Daqta! Perasaannya tidak enak, tapi dia harus menjawab, "Tidak, Kak."

"Fiuh ... oke ... ini yang terakhir. Kenapa kamu mau jadi dewan?" Tatapan Kak Daqta tiba-tiba tajam seperti elang yang mengincar mangsa. Freya menelan ludah, antara malu dan tidak sanggup mengungkapkan alasannya.

Satu tarikan napas, lalu Freya hembuskan, lalu ....

"Daqta! Lihat aku bawa Areka ke sini! Susah banget lho gusur dia, aku jadi curiga kakinya di lem jadi susah buat pergi!" Freya mengenal suara nyaring ini, eh sebenarnya agak nge-bass sih, tapi  ... tuh kan Freya jadi ingat kejadian kemarin.

Lupakan itu! Tadi dia bilang apa? Bawa Kak Areka? Tidak mungkin. Ruam-ruam kemerahan muncul lagi di sekitar wajah, agak gatal dan dia jadi ingin bersin. Oke tahan. Cuma ada dua hal yang membuatnya seperti ini : Kak Areka dan wangi bunga lavender.

"Daqta dia siapa?" tanya Kak Areka menunjuk Freya. Secara singkat Kak Daqta menjelaskan.

Seseorang menggebrak meja, ternyata anak laki-laki yang menegur Freya kemarin. "Nope. Aku enggak setuju! Aku satu SMP dengannya, dia anak paling bandel yang pernah aku kenal. Mana sekarang dia mau jadi dewan? Hah! Areka jangan mau, rusak nama dewan ... kalau si bodoh ini masuk."

Ada nada sinis di akhir kalimat. Benar-benar menusuk. Mata Freya memelot. Pantas saja di hari pertama anak itu langsung bertindak. Ah sudah pupus harapanku, pikir Freya menahan tangis. Hapus dua kata terakhir. Dia sebenarnya tidak terima dipanggil 'si bodoh' dibanding harus menangis seperti perempuan yang baru digantung.

"Oh aku ingat, Kakak ... Kak Leon, 'kan?  Iya, aku suka melanggar. Tolong, ya, Kak. Aku enggak sebodoh yang itu, dari keempat paralel kelas aku—" Freya diam melihat Kak Areka mendorong mundur Leon agak pelan. Tidak tahu, tapi Kak Daqta mencoba menenangkan Leon.

Hanya ada Kak Areka di seberang Freya. Entah harus bahagia atau meluapkan amarahnya. Tidak, jangan keduanya. Lebih baik tenang, daripada enggak jadi dewan.

"Maaf, Freya. Apa yang dikatakan Leon benar, dan lagi belum ada sejarahnya perempuan mampu menangani pekerjaan dewan di Bayanaka. Dengan berat hati, kami belum bisa menerima kamu," ucap Kak Areka tegas tapi dengan nada rendah. Cukup membuat suasana meremang penuh dengan aura gelap yang melelehkan hati.

Freya berdecak kesal —menahan tangisan sebenarnya. Lalu bibirnya berucap, "Aku enggak bakal menyerah! Sampai kakak merekrut aku sebagai dewan!" Areka diam. Leon mengambil langkah dan berhadapan dengan Freya. Tangannya mengepal, kalau saja dia anak laki-laki, Leon sudah memukulnya.

"Tunggu, Leon. Artha bilang kamu juga mencari Freya sejak pagi. Apa kamu ingin menemuinya hanya untuk berkata buruk tentangnya?" Daqta tersenyum kecut melihat Leon membuang mukanya yang merah. Freya malah memunggungi Areka dan menutupi sekitar mulut dan hidungnya dengan kedua tangan agar bersinnya tidak menular.

"Bukan ... sih, tadinya aku mau minta maaf," jelas Leon lirih.

Daqta tetap tersenyum, pandangannya sekarang berganti melihat Kak Areka dan Freya. Gadis itu sudah berusaha menutupi bersin dan ruam-ruam kemerahan di pipinya. Daqta bangun dari tempat duduknya, mengambil blazer dan meletakkannya di atas kepala atas suruhan Kak Areka.

Wajah kebingungan Freya berikan pada kedua anak laki-laki yang lebih tinggi dari Leon. "Kamu alergi wangi lavender ya? Sudah cium saja wangi blazer Daqta!" perintah Kak Areka padanya. Dia mengangguk dan mencium dalam blazer Daqta.

"Freya." Kali ini Daqta yang angkat bicara, "Areka bilang belum, bukan berarti kamu ditolak. Kamu cukup membuktikan diri kalau kamu bisa menjadi disiplin, oke?"

Freya mengangguk lalu berpamitan keluar dari ruangan dewan setelah memberikan blazer ke pemiliknya. Matanya dan Kak Areka sempat bertatapan namun tidak lama dia menunduk malu. Bagaimana tidak? Orang yang disukainya sekarang tahu sifat buruknya gara-gara Leo si keripik kentang!

Blam!

Pintu tertutup, Freya sudah tidak ada di ruangan. Kak Areka dan Daqta memilih duduk di kursi mereka. Leon malah menghampiri keduanya geram.

"Kenapa kalian malah kasih dia kesempatan?" rahang Leon mengeras. Tidak terima.

Kak Areka memilih memilah kertas-kertas berisi keluhan, bukan berarti dia mengabaikan adik kelasnya yang sedang kesal. "Bagaimanapun buruknya seseorang di masa lalu. Setiap orang berhak memiliki kesempatan kedua. Dia hanya perlu berusaha dan meyakinkan semua orang jika dirinya berubah."

"Ini memang menyulitkan." Daqta tersenyum pada Leon. "Kamu juga hanya perlu memberikan dia kesempatan kedua, mempercayainya jika dia mampu. Jangan hanya bisa menilai sisi buruknya! Lihat matanya dalam. Kamu akan menemukan semua jawaban kalau kamu membuka hatimu."

Leon membenarkan kedua argumen kakak kelasnya. Lagipula untuk apa dia menilai buruk Freya terus-menerus? Memangnya dia sudah jauh lebih baik daripada gadis itu. Jawabannya belum—mungkin sedikit.

Tapi kenapa dia benar-benar sulit menerima eksistensi Freya?

Sudahlah ....

------

Terpopuler

Comments

Sri Indah Wijayanti

Sri Indah Wijayanti

Freya masih di kasih kesempatan tuh, ayo berjuang jangan di sia²kan lagi

2020-04-10

0

Miss R⃟ ed qizz 💋

Miss R⃟ ed qizz 💋

lagi lagi

2020-04-03

0

Iyos Rosita

Iyos Rosita


Oh gituuu

2020-03-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!