"Ehh... Mutia. Mau kemana, Mut?"
Terpaksa Mutia menghentikan langkahnya karena pemilik suara yang baru saja menyapanya, memarkirkan motor tepat di depannya, menutup aksesnya untuk berjalan.
Mengatur emosinya dan sebisa mungkin mengulas senyum, Mutia menoleh pada pria akhir empat puluhan yang masih dengan congkak duduk di motornya.
"Ke warung, pak. Mau beli gula. Permisi, pak Salim." memundurkan tubuh, Mutia bergeser sedikit, mencari cela untuk lewat.
"Bapak antar saja. Ayo naik, Mutia." paksanya, membuat Mutia terpaksa kembali berhenti.
"Nggak perlu, pak. Warungnya deket. Aku bisa jalan kaki."
"Ayolah, daripada kamu capek-capek jalan kaki, terus kepanasan lama, mending kamu aku antar. Naik motor lebih cepet, dua menit sampai." kali ini pak Salim bertindak lebih berani. Pria yang memiliki wajah bulat dan berkumis itu dengan tidak sopan meraih tangan Mutia, mencengkram erat.
"Pak, Jangan kurang ajar ya. Lepas." sekuat tenaga Mutia berusaha melepaskan pegangan pria tidak tahu diri itu darinya, namun pak Salim justru menarik tangan Mutia, hingga membuat tubuh wanita itu terhuyung ke depan.
Mata Mutia membelalak saat sedetik kemudian pak Salim melingkarkan tangan ditubuhnya, memeluknya. Spontan saja Mutia mendorong pak Salim, membuat pria tua itu terjungkal bersama dengan motor kebanggaannya.
"Dasar wanita sialan!" berang, pak Salim beranjak sembari melemparkan tatapan tajam pada Mutia, tak lupa untuk mengulas senyum mengejek. "Jangan sok suci kamu. Janda saja bertingkah. Masih bagus ada yang mau sama kamu. Lagipula... kamu nggak usah khawatir, aku akan kasih apapun yang kamu mau. Uang, perhiasan, rumah, tanah? Sebutkan saja, aku akan berikan. Asalkan kamu mau menjadi simpananku."
Mutia mendengus sambil menggeleng pelan. "Terima kasih tawarannya, tapi aku tidak sudi. Menjadi istri keduamu saja aku enggan, apalagi hanya sekedar menjadi simpanan untuk memuaskan nafsumu. Aku janda, bukan pelacur. Jika bapak mencari wanita yang bisa di bayar untuk memberikan kepuasan, sebaiknya bapak cari wanita bayaran. Ada banyak wanita yang memiliki profesi itu, jadi aku yakin bapak tidak akan sulit mendapatkannya."
"Brengs*k!" mengangkat tangannya, Salim berniat untuk menampar Mutia yang hanya diam mematung dengan mata terpejam rapat.
Namun setelah sekian detik berlalu, tak jua Mutia rasakan sakit dibagian manapun pada wajahnya. Ketika membuka mata, ia menemukan Faisal tengah memegang kuat lengan Salim dengan mata menyorot tajam penuh kemarahan.
"Sekali saja tangan keriput ini menyakiti Ayukku," kasar, Faisal menyentak tangan Salim, kemudian ditunjuknya wajah tua pria itu. "Aku tidak akan segan mematahkan tanganmu, atau... kita akan mempekarakannya di pengadilan!"
"Heh, bocah! Tidak usah ikut campur. Apa kamu tahu bahwa Ayukmu ini baru saja menggodaku?" Salim tersenyum sinis. "Belum satu bulan dia bercerai, sudah mencari pria lagi untuk memberinya belaian."
Sejenak Mutia memejamkan mata, berusaha mengendalikan emosinya. Menjadi janda itu selalu diidentikan dengan wanita nakal. Dianggap jalang, haus belaian dan bahkan sering dituduh merayu suami orang. Tidakkah mereka berpikiran terlalu sempit? Memangnya siapa yang mau menjadi janda? Dimata khalayak umum, nyatanya menjadi janda tidak lebih baik dari seorang pelacur.
Sadis memang, tapi begitulah penilaian kebanyakan orang pada status janda.
"Kau pikir, aku tidak melihat apa yang kau lakukan dan mendengar apa yang kau katakan pada Ayukku, hah?" tanpa peduli Salim yang berusia lebih tua darinya, Faisal meraih kerah kemeja yang pria itu kenakan dan mencengkramnya dengan kuat, membuat Salim merasa tercekik. "Bukankah kau memiliki anak perempuan? Bagaimana kalau seandainya anakmu diceraikan suaminya, menjadi janda dan di bujuk oleh pria hidung belang untuk dijadikan simpanan? Apa kau akan dengan senang hati menerimanya?"
Tak mendapat jawaban dari Salim, Faisal menyentak tubuh pria itu dengan geram, membuat Salim nyaris kembali menghantam tanah, jika saja tidak ada yang menahan punggungnya dari belakang.
"Ada apa ini?" seorang wanita bertubuh gempal keluar dari balik tubuh Salim. Menatap sekilas pada Mutia dan Faisal, sebelum menoleh pada suaminya. "Bapak lama banget sih! Disuruh isi galon kok malah godain janda gatel. Pantes nggak balik-balik. Terus itu kenapa motornya bisa jatoh?"
Faisal hendak mendebat wanita bertubuh gempal yang baru saja bicara buruk tentang kakaknya, namun Mutia dengan cepat menahan lengan Faisal, lalu maju dua langkah. Menatap sepasang suami istri dihadapannya dengan sorot berani.
"Sekalipun aku memang janda gatel, aku juga pilih-pilih kali, bu. Pria yang akan aku terima dengan tangan terbuka adalah pria muda yang berstamina tinggi, tampan, mapan, punya pekerjaan tetap dan yang pasti bisa memuaskan aku lahir batin. Kalau modelan suami Ibu yang pengangguran, takut istri, sok gaya, mata keranjang, dikasih gratis juga aku nggak mau. Jadi... kalau Ibu mau marah, marahin aja suami Ibu, kalo perlu pasung dia di rumah, biar matanya nggak jelalatan."
Tak memberi kesempatan pada istri Salim untuk membalas ucapannya yang sudah sepanjang jalan kenangan, Mutia menarik tangan Faisal untuk meninggalkan tempat kejadian perkara.
"Yuk," Faisal bersuara, membuat Mutia menoleh tanpa menghentikan langkah kakinya. "Ayuk keren." sembari mengacungkan ibu jari, Faisal nyengir lebar.
Dengan dramatis Mutia mengibaskan rambut. "Iya dong. Mutia gitu loh. Omong-omong, kamu kok bisa disana?"
"Sengaja ngikutin Ayuk. Perasaan aku nggak enak tadi. Dan ternyata apa yang kukhawatirkan benar terjadi."
...* * *...
"Pokoknya aku nggak setuju."
Suasana hangat usai makan malam, berubah menjadi tegang saat Faisal yang tengah menonton televisi mendengar ucapan Mutia. Wanita dua puluh tiga tahun itu berkata ingin pergi dari kota kelahiran dan meninggalkannya. Apa-apaan ini, baru satu bulan lebih tinggal bersama, masa udah mau pisah lagi. Batin Faisal jengkel.
"Kalau memang Ayuk mau pergi dari kota ini, oke, tapi aku harus ikut."
"Sal,"
"Aku udah janji sama Ibu dan bapak untuk jagain Ayuk. Kalau sama kota aja aku udah teledor, sehingga membuat Haikal berhasil sakitin Ayuk, apalagi kalau kita beda kota."
"Kamu baru aja naik kelas tiga. Nggak akan ada sekolah yang mau nerima kamu."
"Ya udah, aku nggak sekolah aja dulu. Tahun depan baru masuk lagi."
"Mana bisa begitu. Menunda sekolah, sama artinya dengan kamu nunda kelulusan, kuliah dan juga akan menunda cita-cita kamu jadi pengacara. Aku nggak setuju."
"Kalau gitu nggak usah pergi. Setidaknya sampe aku lulus sekolah."
Mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Faisal, Mutia menggenggam tangan adiknya sembari menatap tegas.
"Sal, walaupun kamu laki-laki, tapi aku tetap Ayuk kamu. Jadi... sudah kewajibanku untuk memastikan keberhasilan kamu. Apapun akan kulakukan agar cita-citamu tercapai. Aku tidak ingin kamu bernasib sama denganku. Tidak bisa melanjutkan kuliah karena kurang biaya dan justru terjebak dalam pernikahan yang berakhir dengan perceraian. Aku ingin kamu sukses, agar tak lagi dipandang sebelah mata oleh orang-orang." setetes cairan bening mengalir keluar.
"Aku ingin semua orang melihat, bahwa anak yatim piatu dan adik dari seorang janda, bisa bersinar dengan terang. Tolong, biarkan aku menjadi Ayuk terhebat, menjadi pijakanmu untuk mencapai puncak tertinggi." kali ini Mutia benar-benar menangis. Ia sesegukan dengan tubuh bergetar hebat.
Tak tega melihat Mutia yang tampak begitu tertekan, Faisal menarik wanita bertubuh mungil itu ke dalam rengkuhan tangannya, memeluk dengan erat dan memberikan usapan di punggung.
"Oke. Aku setuju." dengan berat hati Faisal mengabulkan keinginan Mutia. "Tapi dengan syarat Ayuk harus selalu kasih kabar. Kalau terjadi apa-apa, segera hubungi aku. Pokoknya ponsel Ayuk harus aktif 7x24 jam. Jangan sampai kehabisan daya. Powerbank juga harus selalu dibawa."
"Iya." tangisnya mereda, lalu menciptakan jarak. Dengan gemas Mutia mencubit hidung Faisal yang selalu membuatnya iri, karena memiliki hidung mancung seperti Ibu mereka. Tidak sepertinya yang berhidung mungil dan bangir, mirip Ayah. "Bawel kamu. Sebenarnya yang kakak itu, aku atau kamu."
"Nggak penting siapa yang kakak, karena yang terpenting adalah kita saling peduli dan menyayangi."
"Ughh... manisnya." dengan manja Mutia bersandar di pundak Faisal. "Oh iya... aku akan menyewakan rumah kita."
"Hah?" Faisal menoleh kaget. "Terus aku gimana?"
"Untuk sementara kamu tinggal di rumah wak Agus ya."
Wak Agus adalah kakak dari Ayah mereka. Sementara Sonya adalah anak angkat dari Ibu Mutia.
"Lah, kita kan punya rumah. Ngapain tinggal dirumah orang? Lagian aku udah tujuh belas, Yuk, malu lah pakek acara dititipin segala."
"Kan udah dibilang, rumah mau aku sewain." menegakkan duduk, Mutia menatap gemas pada Faisal. "Aku mau cari yang mau bayar sewa dimuka selama satu tahun. Kan lumayan uangnya buat kamu sekolah sama biaya makan. Sisanya mau aku pakek buat ongkos, bayar kontrakan dan beli kebutuhan sehari-hari sampe nanti aku dapet kerja."
"Ya Allah, ribetnya. Ada rumah mau dikontrakin, pergi keluar kota malah mau ngontrak. Apa jalan pikiran wanita memang selalu serumit ini ya?"
"Bawel kamu." tanpa perasaan Mutia menepuk dahi Faisal, membuat sang empunya meringis. "Kalau aku sudah punya tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap, kamu juga udah lulus sekolah, aku akan mengajakmu ikut denganku. Untuk sekarang ini, jadilah adik yang penurut. Oke, boy?"
Dengan malas Faisal mengangguk. "Terserah Yang Mulia Ratu saja. Abdi mah nurut wae."
...****************...
...TO BE CONTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Asa Benita
Jd inget waktu di SMA debat sama sekelas masalah status "janda" krn aku bawa buki karya penulis Indonesia yg mengusung tema "janda". Emang statement negatif ttg janda itu dr dulu ga berubah kok, entah apa alasan logisnya krn pas debatpun ga ada alasan logis yg diutarakan siswa lain ttg negatifnya janda.. Miris emang
2021-11-13
1
Diah Fiana
ssmangaaatt
2021-11-10
0
Lintang Maharani
aq suka ceritanya gak berbelit-belit,& yang pasti nya menguras emosi, sukses selalu buat penulis nya 👍😍
2021-06-19
1