Meski meminta Faisal untuk berpura-pura tuli dan bersikap tak acuh, nyatanya sekarang Mutia justru dalam perjalanan menuju warung sembako di dekat rumahnya, yang memang sering di jadikan tempat untuk bergosip.
"Sepertinya menyenangkan sekali menjadikan seseorang sebagai bahan pergunjingan."
Serta merta bisik-bisik dari perkumpulan Ibu-Ibu itu terhenti dan serentak menoleh pada Mutia yang baru saja mengeluarkan suaranya.
"Eh, Mutia. Mau beli apa, Mut?" Fadila, wanita empat puluhan yang merupakan pemilik warung sembako, beranjak menghampiri Mutia sembari tersenyum ramah.
Mutia menyeringai. Tahu betul bahwa Fadila tengah berusaha mengalihkan perhatian, karena merasa tidak nyaman setelah ketahuan ikut membicarakannya.
Alih-alih menanggapi pertanyaan Fadila, Mutia justru menatap sekitar warung sembako, seolah ia baru pertama kali datang ke warung tersebut.
"Tempat ini adalah ladang rezeki untuk bu Fadila, dimana penjual dan pembeli bertemu, berinteraksi dan sekaligus bersilaturahmi. Tapi kenapa bu Fadila justru mengubahnya menjadi ladang dosa?"
"A-aku tidak ikut membicarakanmu, Mutia." kepalang ketahuan, Fadila pun berusaha membela diri.
Meski usianya lebih tua dengan tubuh gemuk dan tinggi, tetap saja ia merasa was-was saat Mutia menatapnya dengan tajam, bak sebilah pedang yang siap menusuk jantungnya. Ini pasti cuma karena aku kepergok ngomongin dia, benaknya tak mau mengakui bahwa Mutia berhasil mengintimidasinya.
"Bu Fadila mungkin tidak membicarakanku." itu jelas merupakan kalimat sindiran. "Tapi... bergabung dengan para penggosip, mendengarkan apa yang mereka bicarakan, membungkam dan tidak memberi nasehat pada orang yang bergosip untuk berhenti, itu sama saja. Ibaratnya, kalau si A kambing dan Ibu ada di dekatnya, maka Ibu akan bau kambing."
"Mutia, lancang sekali kamu! Bicara dengan orang tua seperti itu. Jangan karena kamu sudah yatim piatu, kamu jadi bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua."
Ini dia. Mutia menyeringai kian lebar. Sejak tadi ia memang menunggu wanita yang membicarakannya dengan begitu keras, membuka mulutnya dan melemparkan kalimat provokatif.
"Apakah membicarakan orang lain itu adalah tindakan yang sopan, bu Rini?" mengarahkan tatapan pada wanita berpenampilan menor, Mutia tersenyum mengejek. "Ibu tahu kan, ghiba itu berdosa, apalagi membicarakan hal yang belum tahu kebenarannya."
"Aku tahu, tidak perlu kamu ingatkan!" desisnya, tidak terima karena dinasehati oleh orang yang lebih muda darinya.
"Lah, kalau Ibu tahu, lalu kenapa Ibu tetap melakukannya?" Mutia melemparkan bom tepat di atas kepala Rini, membuat wajah wanita dua anak itu merah padam karena malu telah dipukul dengan telak.
"Belum tentu apa yang Ibu bicarakan itu benar. Kalau seperti itu, kan jadinya fitnah. Sama seperti saat aku bilang, kemarin aku bertemu Rosa di apotek dan dia sedang membeli tespack."
"Jangan asal bicara kamu!" Rini berang. Mengebrak meja sebelum beranjak dari duduk, diikuti oleh Ibu-Ibu yang lain dengan raut panik. Takut terjadi pertengkaran fisik diantara Rini dan Mutia.
"Nah, Ibu marah kan, ketika aku membicarakan tentang anak Ibu yang belum di ketahui kebenarannya? Ibu merasa tidak suka saat mendengar anak Ibu di fitnah kan?" maju satu langkah, Mutia memasang raut serius dengan manik hitamnya menyorot dingin. "Sama seperti yang Ibu rasakan, begitu pula yang aku rasakan. Sebelum menyakiti orang lain, seharusnya Ibu merasakan lebih dulu rasa sakit itu."
Membalik tubuhnya, Mutia melangkahkan kaki untuk meninggalkan ladang dosa tempatnya berada saat ini. Namun baru dua langkah Mutia menghentikan gerakan kakinya dan menatap gerombolan Ibu-Ibu yang kini diam mematung.
"Dan satu lagi, aku tidak berbohong saat mengatakan bertemu Rosa di apotek kemarin siang dan dia secara sembunyi-sembunyi membeli tespack. Jadi... daripada bu Rini sibuk membicarakan orang lain, lebih baik Ibu pulang dan tanyakan pada Rosa kebenarannya. Jangan membicarakan kebusukan orang lain, tanpa sadar bahwa diri sendiri menyimpan *borok."
(*luka bernanah)
* * *
"Assalamualaikum."
Meninggalkan kamar, Mutia beranjak keluar. Bibirnya yang di poles lipstick berwarna pink, mengulas senyum saat mendapati sosok adiknya melangkah masuk.
"Wa'alaikumsalam. Hari ini kamu pulang sore banget, Sal."
Biasanya Faisal sudah berada di rumah tepat pukul dua siang, tapi hari ini adiknya itu baru pulang saat adzan ashar telah berkumandang.
"Ayuk lupa ya, ini kan hari kamis. Aku kan langsung les."
Mutia mengangguk pelan. Baru ingat bahwa tadi pagi adiknya sudah ijin pulang terlambat. Saat Faisal masuk ke kamar, Mutia pun meninggalkan ruang tamu, kembali ke dapur untuk memeriksa masakannya.
"Wangi banget, Yuk. Jadi lapar." tiba-tiba saja Faisal sudah berdiri disamping Mutia. Kepalanya melongo ke dalam panci untuk melihat masakan Mutia yang menguarkan aroma harum nan menggoda. "Wahh... bubur kacang hijau. Bagi, Yuk."
"Iya. Kamu duduk aja dulu. Bentar lagi masak."
Diletakkannya satu mangkuk berisi penuh bubur ke hadapan Faisal, sementara satu mangkuk lagi untuknya. Ia pun duduk di seberang sang adik yang mulai melahap bubur miliknya. Sesekali menganga dan mendesis saat bubur yang panas masuk ke dalam mulutnya.
"Pelan-pelan, Sal. Kamu makannya semangat banget."
Faisal nyengir lebar. "Meski aku sedih karena pernikahan Ayuk yang gagal, namun disisi lain aku juga merasa senang. Sebab... oleh perceraian itu, sekarang Ayuk pulang ke rumah ini, jadi aku tidak sendirian lagi dan tidak pusing memikirkan akan makan apa."
Tanpa Faisal sadari, ucapannya sukses menohok Mutia.
Sejak menikah, Mutia memang sangat jarang berinteraksi dengan adiknya. Di awal-awal pernikahan, Mutia akan menemui adiknya maksimal dua kali seminggu dan tidak pernah absen mengirim pesan atau menelpon Faisal setiap harinya. Tapi memasuki usia setengah tahun pernikahannya, tepatnya saat ia mulai mencintai Haikal, Mutia terlalu fokus untuk mendapatkan hati Haikal, hingga ia melupakan adiknya.
Mungkin perceraiannya dengan Haikal adalah teguran dari Tuhan dan juga orang tuanya, karena telah melupakan Faisal.
"Maaf." Faisal berhenti menyuap saat mendengar suara Mutia. Ia pun mendongak guna menatap wanita yang berusia enam tahun lebih tua darinya.
"Seharusnya aku tetap memerhatikanmu apapun yang terjadi. Sebab kamu adalah satu-satunya adikku dan sampai kapanpun, ikatan darah diantara kita tidak akan pernah bisa di putus seperti hubunganku dan Haikal."
Faisal menatap Mutia dengan sorot bersalah. Sadar bahwa ia sudah menyinggung perasaan sang kakak. Dengan memaksakan senyum, Faisal mengibaskan tangannya.
"Itu sudah berlalu, tidak perlu dibahas. Yang penting sekarang Ayuk sudah bersamaku lagi." membujuk bukanlah keahliannya, Faisal harap Mutia memahami apa yang ia katakan.
Namun saat melihat wajah Mutia yang masih tampak murung, Faisal mendesah pelan. Ia pun memikirkan segala hal yang bisa ia gunakan untuk mengalihkan perhatian sang kakak.
"Oh iya, sudah beberapa hari ini aku tidak mendengar orang-orang membicarakan Ayuk. Biasanya tiada hari tanpa bergosib dengan menjadikan Ayuk sebagai objeknya."
Kernyitan halus di dahi Mutia, mengundang desahan lega keluar dari sela bibir Faisal.
"Tahu darimana kamu? Bisa aja mereka membicarakan aku secara sembunyi-sembunyi, kan."
"Ibu-Ibu kampung kita ini, kalau mau bicarain orang nggak kenal tempat. Lagi beli sayur, gosip. Lagi beli sembako, gosip. Bahkan lagi jalan ke masjid aja, masih sempat-sempatnya ngomongin orang. Jadi... aku yakin, mereka tidak lagi membicarakan Ayuk."
Mutia tersenyum kecil. "Ya bagus dong. Alhamdulillah Ibu-Ibu di kampung kita nggak lagi menimbun dosa dengan bergosip."
"Aku kan bilang nggak lagi membicarakan Ayuk, bukannya benar-benar berhenti bergosip." Faisal menyempatkan diri untuk menyuapkan bubur ke dalam mulut, sebelum kembali mengeluarkan suara.
"Sekarang ini, yang jadi objek pergunjingan itu bu Rini. Anaknya hamil dan pacar anaknya nggak mau tanggung jawab. Bu Rini sama suaminya berniat lapor ke polisi, tapi pasti akan sulit mengingat Rosa dan laki-laki itu pacaran. Keluarga bu Rini tentu nggak bisa melemparkan tuduhan pelecehan, apalagi pemerkosaan. Pihak laki-laki pasti akan mengatakan bahwa mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Apalagi Rosa kan udah dua puluh tahun, bukan anak di bawah umur. Dia sudah dianggap dewasa untuk mengambil keputusan dan menerima resiko di kemudian hari."
Mendengar ucapan adiknya membuat Mutia melongo. Ia memang kaget saat tahu bahwa apa yang dikatakannya beberapa hari lalu pada bu Rini, ternyata berbuntut panjang. Namun di samping hal itu, Mutia juga kaget saat menyadari sesuatu.
"Sal, kamu pintar membaca situasi dan menganalisis. Cocoklah kamu jadi jaksa atau pengacara." puji Mutia, membuat Faisal nyengir lebar.
"Aku memang berniat untuk jadi anggota hukum, Yuk. Makanya dari sekarang aku mulai baca-baca buku tentang hukum."
"Bagus." Mutia mengacungkan satu ibu jarinya. "Belajar yang rajin agar keinginan kamu terkabul."
Faisal mengamini dan kembali melanjutkan makannya.
"Sal, aku ke warung dulu. Mau beli gula. Kamu abis ini mandi, terus sholat. Belum sholat, kan?" kemudian Mutia melenggang pergi setelah mendapat anggukan dari adiknya.
Bila diibaratkan, Mutia layaknya air dan api. Disatu kondisi, Mutia bisa menjadi api yang membakar dan membumihanguskan apapun. Namun di kondisi yang lain, Mutia bisa menjadi air yang menyejukan.
...****************...
...TO BE CONTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Siti Mujimah
keren dong karakter yang seperti itu
2023-04-22
0
Diana Cahyani
pilihan kata kata mu menarik thor,aq suka 💪💪💪💪💪
2021-11-22
0
Ar Syaina Syaina
waww keren critamu thoor
2021-11-21
0