Bersamaan dengan hakim yang mengetukkan palunya, sejenak Mutia memejamkan mata dan membuang nafas panjang. Inilah akhir dari perjuangannya sebagai istri selama dua tahun terakhir. Duduk di persidangan untuk mendengarkan putusan hakim bahwa mulai detik ini ia dan Haikal resmi berpisah.
"Mutia,"
Bibir Mutia memaksakan senyum saat manik kelamnya menangkap sosok pria lima puluhan tengah berjalan menghampirinya dan menatapnya dengan sorot teduh penuh kasih sayang.
Beranjak dari duduknya, Mutia menyambut kedatangan pria itu dengan pelukan hangat. "Aku pikir Ayah nggak akan datang."
Mengingat bagaimana marahnya pria tua itu seminggu lalu, saat Mutia mengatakan keinginannya untuk bercerai dengan Haikal dan memberikan alasan bahwa mereka tidak bisa memaksakan diri untuk terus bersama. Mutia berdalih, mereka sudah mencoba untuk menghadirkan cinta, namun perasaan yang tumbuh justru hanya sebatas kasih sayang antar saudara. Haikal menganggapnya tak lebih dari seorang adik, pun sebaliknya.
Jujur saja, Mutia merasa tak tega untuk membohongi pria yang sudah ia anggap sebagai Ayah kandungnya sendiri, tapi Mutia harus tetap melakukannya. Ia tak ingin menghadirkan kekacauan dalam keluarga Haikal. Dan juga, Mutia tidak ingin membuat pria tua itu merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya karena ulah brengsek Haikal.
Meski kini pria tua itu telah berstatus sebagai mantan mertuanya, namun kasih sayang Mutia padanya masih tetap utuh.
"Mana mungkin Ayah membiarkan putri Ayah menghadapi hari berat ini sendirian." dengan lembut pria tua yang Mutia panggil Ayah, mendaratkan kecupan hangat di puncak kepalanya, sebelum menciptakan jarak.
"Nak, walaupun kamu sudah bukan lagi menantu Ayah, tapi kamu akan tetap menjadi putri kesayangan Ayah. Jadi... kalau kamu butuh apapun, jangan sungkan meminta pada Ayah. Selagi bisa, Ayah akan memberikan apa yang kamu inginkan."
"Terima kasih, Yah." Mutia tersenyum tulus. Lalu pandangannya teralihkan pada sosok wanita bersanggul ketat yang berada di bagian belakang ruang sidang. Wanita lima puluhan itu berdiri disana bersama Haikal dan Sonya. Menatapnya dengan sorot sinis dan bibir menyungging senyum mengejek.
Mengabaikan ketidaksukaan wanita itu, Mutia menghampirinya. Dengan sopan diraihnya tangan wanita yang tak lain adalah Ibu Haikal, untuk ia kecup punggung tangannya.
"Ibu datang."
"Aku datang untuk Haikal." dengan kasar Karlina menarik tangannya dari genggaman Mutia. "Akhirnya kalian bercerai juga. Dua tahun yang begitu lama dan memuakkan."
Mutia tak menanggapi, hanya mengulas senyum kecil. Ia takkan tersinggung, karena tahu sejak awal Karlina memang tidak pernah menyukainya. Bahkan wanita itu menentang keras perjodohan yang dilakukan oleh suaminya, Hartono.
"Bu, jaga bicaramu!" Hartono menegur sembari melemparkan tatapan tajam pada istrinya.
"Loh, kenapa? Aku hanya berkata jujur." kemudian dengan tak acuh Karlina melenggang pergi. Diikuti oleh Haikal dan Sonya, yang sama sekali tidak berniat mengajaknya bicara, walau hanya sekedar basa basi.
"Setelah ini kamu mau kemana, Nak?"
Mutia menoleh pada mantan Ayah mertuanya. "Pulang ke rumah orang tuaku, Yah."
"Ayah sudah mengatakan pada Haikal, bahwa rumah yang pernah kalian tempati akan Ayah berikan padamu dan Haikal setuju. Jadi kamu nggak usah pindah, tetap disana, karena rumah itu sekarang milikmu."
"Terima kasih, Yah." Mutia tersenyum lebar, berusaha tampak ceria. "Tapi aku tetap ingin pulang. Aku merindukan kenangan di rumah orang tuaku."
"Baiklah, Ayah mengerti." tangan keriput Hartono mengusap surai hitam Mutia dengan lembut. "Keberatan jika Ayah mengantarmu?"
"Tentu saja tidak."
* * *
Dahi Mutia mengernyit saat tak menemukan sosok pelaku yang baru saja membuat kegaduhan, hanya tampak pintu yang masih dalam keadaan terbuka dan sofa tunggal dekat pintu yang telah berpindah posisi, seperti baru saja di tabrak dengan kuat.
"Faisal, kamu udah pulang?"
Bukannya jawaban yang Mutia dengar, melainkan suara benda-benda yang dilempar sebelum kemudian jatuh menghantam lantai, serta bunyi pecahan kaca yang membuat Mutia serta merta menghampiri kamar adik semata wayangnya.
"Astagfirullah, Sal."
Mutia berseru kaget kala menemukan kamar adiknya yang sudah seperti kapal pecah, sementara sosok sang adik justru terduduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidur, kedua tangannya menutupi wajah, masih dengan memakai seragam putih abu-abu.
"Ada apa, Sal?" melangkah dengan hati-hati agar tak tertusuk pecahan kaca, Mutia mendekati adiknya. "Kenapa sampe berantakin kamar kayak gini?"
Tepat ketika Mutia tiba di ujung ranjang, Faisal beranjak dari duduknya dan menatap Mutia dengan mata merah. Dari rahang Faisal yang mengetat dan gigi yang menggeletuk, Mutia yakin adiknya sedang diselimuti kemarahan. Namun mata merah itu pun tampak berkaca-kaca, seolah menahan tangis, menahan kesedihannya. Tapi karena apa?
"Orang-orang membicarakanmu, Yuk! Telingaku pengang mendengarnya."
Mutia berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi oleh nada tinggi yang Faisal keluarkan. "Membicarakan apa?"
"Tentang perceraianmu dan Haikal."
"Lalu? Kenapa kamu harus marah? Mereka membicarakan aku, bukan kamu. Oh... atau kamu malu memiliki Ayuk seorang janda di usianya yang bahkan belum mencapai seperempat abad. Begitu, Faisal?"
"Aku sama sekali tidak malu memilikimu sebagai saudara, sekalipun sekarang kamu berstatus janda. Aku hanya tidak suka mendengar mereka bicara buruk tentangmu, memojokkanmu sebagai pihak yang bersalah, seolah mereka tahu segalanya. Padahal kenyataannya, si bajingan Haikal lah yang patut di salahkan!"
Sejenak Mutia memejamkan matanya, saat Faisal membanting jam weker yang secepat kilat ia ambil dari atas nakas.
"Aku peduli denganmu. Aku menyayangimu. Karena itu aku tidak ingin orang-orang bicara buruk tentangmu. Harusnya Ayuk mengatakan kebenarannya, tak perlu menutupi kebusukan Haikal, sehingga Ayuk tidak akan menjadi bahan pergunjingan manusia-manusia sok suci itu."
"Aku memikirkan perasaan Ayah, Sal. Ayah pasti akan sangat terpukul dan merasa bersalah bila tahu kebenarannya."
"Kenapa kamu repot-repot memikirkan perasaan Ayahnya, sementara Haikal sendiri tidak peduli? Sebelum membahagiakan orang lain, kamu harus membuat dirimu bahagia terlebih dulu, Yuk. Berhentilah memikirkan perasaan orang lain."
"Tidak bisa, Sal. Ayah sudah begitu baik pada kita. Kalau bukan karena Ayah, kamu tidak akan bisa melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Aku tidak tahu kapan bisa membalas semua kebaikan Ayah, jadi setidaknya... yang bisa kulakukan adalah menjaga perasaannya."
"Ya Tuhan..." Faisal mengerang dan mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum menjatuhkan tubuh di tepi ranjang. "Kenapa kamu harus mengalami ini semua, Yuk? Kamu orang yang baik, tapi kenapa semua orang justru berbuat jahat padamu."
Menghampiri Faisal, lalu Mutia memeluknya. Membuat wajah laki-laki tujuh belas tahun itu menempel di perutnya.
"Saat mendengar mereka bicara buruk tentangmu, aku ingin sekali melabrak dan meremas mulut mereka. Tapi aku ingat pesanmu dan Ibu, yang memintaku untuk memuliakan wanita, sebab wanita memiliki hati yang lembut dan begitu rapuh, sehingga harus diperlakukan dengan istimewa. Jadi... aku berusaha keras menahan emosi dan melampiaskan kemarahanku dengan membanting barang. Maaf, Yuk. Aku janji akan segera membereskannya."
Mutia yang kini menangis dalam diam, menganggukkan kepalanya berulang kali. Setelah menyeka air mata, Mutia tersenyum tulus sembari mendaratkan kecupan di puncak kepala adiknya yang sudah beranjak dewasa.
"Berpura-pura tuli saja, nanti mereka akan lelah sendiri."
...****************...
Info: Yuk/Ayuk adalah panggilan orang Prabumulih/Palembang untuk kakak perempuan. Ayuk memiliki arti yang sama dengan Mbak dan kakak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Siti Tamzis
" wong kito galo hadir " saya dari pakembang thor
2022-11-15
0
Sri Lestari E
bersyukur punya mertua laki laki yg baik
2021-11-22
0
Riyati Pml
suka...suka....
lanjut thor
2021-11-15
0