New Chapter Of My Life
"Jadi bagaimana, Pak Tyo ? Apakah Anda benar-benar yakin untuk bercerai dengan istri Bapak?" tanya salah satu hakim dalam sidang perceraian Tyo dengan Dona.
Tyo melihat ke arah Dona dan dengan ekspresi yang sepertinya ragu-ragu, tetapi kemudian ia menjawab, "Yakin, Yang Mulia."
Dona sekalipun tidak terkejut atau pun heran mendengar jawaban Tyo karena ia tahu pasti memang itu yang Tyo inginkan dari setahun yang lalu.
"Tapi sepertinya Anda ragu-ragu. Pak Tyo, Anda kan yang membuat gugatan cerai ini, tapi mengapa sepertinya Anda tidak yakin akan keputusan Anda sendiri ?" tanya hakim ketua lagi.
Tanpa menunggu jawaban dari Tyo, hakim ketua kini beralih kepada si tergugat, yaitu Dona.
"Bagaimana Bu Dona, apa Anda menerima gugatan cerai Pak Tyo?"
Dona dengan tegas dan yakin menjawab, "Ya, saya yakin Yang Mulia."
Mendengar jawaban Dona yang penuh ketegasan, Tyo kembali memandang Dona dengan wajah memelas. Dona yang sudah sangat hafal dengan karakter suaminya itu, yaitu seorang pemain watak dan manipulator ulung, telah menyakinkan dirinya untuk tidak akan terjerumus dalam permainan Tyo kembali.
Sebenarnya Dona sama sekali tidak ingin menghadiri sidang perceraiannya. Ia sudah lelah dengan segala tipu daya suaminya itu. Tetapi, begitu ia membaca surat gugatan cerai yang isinya penuh dengan kebohongan yang menyudutkan dirinya, akhirnya ia memutuskan untuk menghadiri sidang perceraiannya.
Di saat ini, sepertinya Tyo sedang bermain 'playing victim', dengan membuat ekspresi wajah tanpa dosa, seolah-olah meminta belas kasihan dari para hakim.
Sidang demi sidang harus Dona lewati, ingin rasanya ia berbicara langsung kepada para hakim tentang kejadian sebenarnya, tetapi karena Tyo yang menggugat, maka Tyo lah yang dimintai pertanggungjawaban atas gugatannya.
Dona pun telah mempersiapkan berkas keterangan bukti-bukti kegagalan Tyo sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya. Bahkan Dona telah mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan suaminya, yang telah dilakukannya setahun belakangan.
Perjalanan Dona untuk membongkar perselingkuhan suaminya itupun tidak hanya menguras energi pikiran dan hatinya, tetapi juga biaya yang cukup besar.
Semua ini berawal dari enam bulan yang lalu, ketika Tyo mulai beralasan akan masalah yang dihadapinya di kantor.
"Yang, Mas hari ini kembali ke Jakarta ya. Ada masalah gawat di kantor, jadi Mas harus kembali secepatnya," ucap Tyo sedikit panik.
"Ada apa Mas, bukannya izin cuti sampai Idul Adha?" tanya Dona mengingat perayaan hari besar umat Islam itu akan dilaksanakan kurang dari dua pekan yang akan datang.
"Ya maunya mas gitu, tapi tadi ditelfon kantor, katanya ada urusan yang penting yang tidak bisa diwakilkan," jawab Tyo.
"Jadi balik ke Jakarta sekarang?" tanya Dona.
"Iya, pesawat jam satu," jawab Tyo.
"Kalau gitu sekalian jemput Zalfa, trus langsung ke bandara ya ?"
"Iya. Ya sudah, mas mau siapin berkas-berkas kantor dulu," ucap Tyo.
"Aku siapin kopernya yaa," ucap Dona sambil menyiapkan pakaian yang akan dibawa suaminya kembali ke Jakarta.
Sudah dua bulan ini, Dona dan ketiga putrinya tinggal di Jogjakarta, di rumah orang tua Dona. Kepindahan Dona ke Jogja didasari atas permintaan Tyo, dengan alasan orang tua Dona sudah sepuh dan tidak ada putra atau putrinya yang menemani karena keempat saudara Dona tinggal di Bandung dan Jakarta. Dona sebagai istri pun menurutinya, walaupun orang tua Dona berulang kali menolak dengan mengatakan tidak perlu ditemani, selain itu kewajiban seorang istri adalah mendampingi suaminya. Tetapi Tyo tetap memutuskan Dona dan ketiga putrinya pindah ke Jogja.
Setelah Tyo kembali ke Jakarta, Dona disibukkan dengan kegiatan rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Tetapi selang beberapa pekan setelah itu, Dona dihubungi oleh Ita, istri dari Farhan, senior Tyo di kantor yang berasal dari almamater yang sama. Dimana selama ia tinggal di Jakarta, Dona dan Ita tinggal berdampingan, bahkan anak-anak mereka pun bersekolah di tempat yang sama. Hingga setahun yang lalu, Farhan dipindahkan ke cabang Surabaya.
"Apa kabar, Don?" tanya Ita
"Baik Mbak, tumben nelpon?"
"Iya nih, tumben. Eh gimana Tyo, masih di rumah?" tanya Ita lagi.
"Nggak, mas Tyo sudah kembali ke Jakarta."
"Oo sudah balik, memangnya di rumah berapa lama?" tanya Ita lagi.
"Hmm kayaknya empat hari deh, padahal katanya cuti dua pekan, tapi tiba-tiba katanya ada masalah penting di kantor, trus langsung balik ke Jakarta lagi."
"Hoo, masalah penting apa emangnya?" tanya Ita lagi.
"Nggak tahu, nggak nanya juga. Mukanya sedikit panik gitu, trus langsung buru-buru beli tiket ke Jakarta," jelas Dona.
"Hmmm gitu ya. Ya udah, eh kamu sama anak-anak baik-baik aja kan?" tanya Ita yang terdengar tidak biasanya.
"Alhamdulillah, baik Mbak. Eh Mbak, memangnya kenapa ?" tanya Dona.
"Nggak papa, cuma nanya aja, kok. Okelah, nanti aku berkabar lagi yaa," ucap Ita.
"Oke Mbak, sangkyu for calling."
"Iya, sama-sama. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dona sedikit bingung dengan pertanyaan Ita, karena tidak biasanya Ita menanyakan Tyo. Pembicaraan dengan Ita lebih sering tentang berbagi resep, drakor atau kemageran yang melanda.
Dua pekan pun berlalu semenjak Tyo kembali ke Jakarta, tetapi ada yang berbeda dengan kepergiannya kali ini. Dimana biasanya ia akan menelfon anak-anaknya di sore hari dan di malam harinya ia akan berbagi cerita dengan Dona, tetapi kali ini Tyo hampir tidak dapat dihubungi, Dona pun menganggap Tyo sibuk dengan urusan pekerjaannya, tanpa terbersit sedikit pun akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Hingga putri bungsunya yang masih berusia lima tahun merengek, minta untuk segera menghubungi ayahnya.
"Bu, telpon ayah, ayo Ibu, telpon ayah sekarang !" pinta Zalfa.
"Iya Bu, telpon ayah dong Bu. Kan sudah dua pekan, kok ayah nggak nelpon-nelpon?" tanya Aisha si sulung yang merasa heran.
"Mungkin ayah sibuk, kita tunggu aja," ucap Dona berusaha terlihat tenang, tetapi ia pun mulai merasa ada yang aneh.
Sebenarnya ini bukanlah kali pertama Dona harus menjalani LDR dengan Tyo. Beberapa tahun sebelumnya, sebelum Zalfa lahir, Tyo pernah ditugaskan di Medan, sementara Dona tetap berada di Jakarta karena di setiap akhir pekan, Tyo akan kembali ke Jakarta, untuk mengikuti kuliah S2-nya. Pada saat itu, Dona yang sampai kesal, karena Tyo menelfon berulang kali, bahkan lebih dari jadwal minum obat yang sehari tiga kali. Akan tetapi kali ini, sudah hampir dua pekan Tyo ke Jakarta tanpa sekali pun menghubungi Dona atau pun ketiga putrinya.
Sampai akhirnya Dona berhasil menghubungi Tyo, setelah entah berapa kali ia mencoba.
"Assalamu'alaikum, Mas."
"Wa'alaikumsalam."
"Mas sehat ? kok tumben nggak nelpon-nelpon ? anak-anak sampai ribut nanyain. Waktu aku telpon Mas, kok nggak diangkat atau nadanya nggak nyambung, semuanya baik-baik aja kan Mas ?" tanya Dona penuh kekhawatiran.
Tetapi bukannya menjawab dengan permintaan maaf ataupun menjelaskan penyebab ia tidak menghubungi Dona dan anak-anaknya, Tyo malah menyerang Dona.
"Emang enak dicuekin ?!"
Dona pun terkejut dengan jawaban Tyo.
"Maksud Mas?"
"Iya, nggak enak kan dicuekin?"
Dona yang tidak mengerti dan tidak siap dengan reaksi Tyo pun bertanya, "Lho memangnya aku nyuekin Mas?"
"Yaa kayak gini nih, nggak ngerasa kalau sudah nyuekin suami, eee malah bilang suaminya yang ngediemin!" ketus Tyo.
"Mas, ada apa sih, aku nggak ngerti maksudnya?" tanya Dona dengan suara bergetar karena baru kali ini Tyo berbicara dengan nada ketus kepadanya.
"Makanya cerdas dikit kalau jadi istri ! masak gitu aja nggak ngerti !" bentak Tyo.
Bulir-bulir air mata Dona mulai jatuh, ia betul-betul tidak mengerti maksud suaminya, tetapi Tyo seakan-akan tidak memperdulikan jika kata-katanya telah menyakiti istrinya yang telah ia nikahi dua belas tahun yang lalu.
"Makanya kalau suaminya ada di rumah tuh jangan dicuekin, kalau keluar kota juga yaa harus di telpon dong !" protes Tyo dengan bentakan.
Dengan berlinang air mata, Dona pun bertanya akan maksud dari Tyo, "Mas, aku nggak ngerti maksud Mas, aku nyuekin apa ? kapan aku nyuekin Mas?"
"Terserah kamu kalau nggak ngerti!" hardik Tyo sebelum ia mematikan sambungan teleponnya. Tangis Dona pun tak terbendung lagi, dadanya terasa sesak dan kepalanya pun dipenuhi dengan ribuan pertanyaan akan sikap Tyo yang sangat tidak biasa.
Tak lama WA dari Tyo pun masuk, Dalam hubungan pernikahan itu harus ada kehangatan dan kepedulian. Bukan suami kerja, pulang-pulang, istrinya sibuk sendiri!
Dona yang tidak merasa dirinya seperti apa yang Tyo maksudkan pun membalas WA Tyo.
Mas, ada apa, kok ngomongnya tiba-tiba kasar? kalau aku salah aku minta maaf, tapi tolong kasih tau aku, salahnya dimana?
Nggak usah sok suci, sok baik, saya sudah cukup kenal kamu!
Kali ini, Dona benar-benar tidak mengerti apa maksud suaminya itu, karena selama ini setiap Tyo datang, ia akan memprioritaskan Tyo setelah itu baru anak-anaknya.
Tak lama kemudian Tyo kembali mengirim pesan.
Hati saya mulai beralih, jangan buat saya bingung! saya sudah memberi kamu clue dari tiga bulan yang lalu, kalau ada seseorang yang mulai memasuki hati saya, tapi kamu hanya diam, kamu tidak merespon apa pun! saya anggap kamu tidak peduli akan saya dan hubungan kita lagi!
Dunia Dona bagaikan runtuh membaca pesan Tyo, ia mencoba mengingat kapan Tyo mengatakan hal itu padanya. Akhirnya Dona pun teringat, di malam sebelum Tyo kembali ke Jakarta, Tyo memeluk erat Dona di tempat tidur, sambil berucap, "Yang, tolong jaga hati Mas! Tolong jaga hati ini !"
"Mas bingung, tapi Mas minta Sayang untuk menjaga hati, Mas."
Dona hanya diam, ia mencoba mencerna kata-kata Tyo saat itu. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada suaminya, maka dari itu, Dona hanya terdiam dan berfikir ada apa sebenarnya.
Setelah mengingat kalimat Tyo, akan adanya wanita lain, akhirnya ia memutuskan untuk segera ke Jakarta, mencari tahu ada apa dengan suaminya itu. Dona pun siap dengan kemungkinan untuk kembali tinggal di Jakarta jika suaminya meminta.
Dona pun segera membeli tiket pesawat secara online untuk penerbangan sekali jalan bersama putri bungsunya yang saat itu masih berusia lima tahun. Itu adalah kali pertama ia memesan tiket pesawat secara online sendiri, karena selama ini, Tyo yang selalu melakukannya jika mereka akan bepergian keluar kota dan itu pun kali pertama ia bepergian keluar kota sendiri, apa lagi dengan menggunakan pesawat karena selama ini Dona selalu terima beres untuk masalah tiket atau transportasi apa yang akan mereka gunakan.
Dengan jantung yang berdegup kencang, ia memasukkan pakaian ke dalam kopernya, tanpa mengetahui berapa banyak pakaian yang ia masukkan. Pikirannya sudah tidak fokus lagi, yang ada disini dalam benaknya hanyalah pertanyaan akan Tyo, apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah mengemasi pakaiannya, siang itu ia segera berangkat menuju Jakarta dengan pesawat.
Tetapi, sesaat sebelum berangkat, sang bunda pun menanyakan akan kepergiannya ke Jakarta.
"Kamu mau kemana kok bawa koper?" tanya ibu Dona.
"Maaf Bu, tapi aku mau ke Jakarta sama Zalfa."
"Lho, memangnya ada apa? Tyo kenapa?" tanya ibu Dona lagi.
"Aku juga nggak tahu ada apa, tapi Mas Tyo tiba-tiba marah ke aku dengan alasan yang tidak jelas. Makanya aku mau cari tahu sebetulnya ada apa. Aku pergi sama Zalfa ya Bu, titip Aisha sama Ara, ya Bu," jawab Dona.
"Kenapa Tyo marah ? Ada apa, sepertinya nggak biasa dia marah sama kamu ?"
"Makanya Bu, aku juga bingung, kok dia marah-marah seperti itu, makanya mendingan aku duduk bareng trus bicara empat mata sama mas Tyo," jawab Dona.
"Jadi, rencananya mau berapa lama di Jakarta?" tanya ibu Dona.
"Belum tahu Bu, selama dibutuhkan, kalau memang aku harus kembali ke Jakarta, ya nunsewu (maaf), aku akan kembali ke Jakarta. Untuk urusan sekolah anak-anak, aku pikirkan nanti. Sekarang, yang penting aku ke Jakarta dulu," jawab Dona.
"Ya sudah, hati-hati. Kalau sudah check-in kabarin, sudah di ruang tunggu juga kabarin. Nanti sudah boarding juga WA ibu, jangan lupa!"
"Inggih Bu, assalamu'alaikum!"
Dona bersama Zalfa segera menuju bandara dengan menggunakan taxi online yang telah ia pesan sebelumnya dan dua jam kemudian, Dona telah sampai di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Ia pun segera mengaktifkan handphone-nya, terdapat satu pesan dari ibunya, ibu sudah telpon Tyo, ibu bilang kamu ke Jakarta sama Zalfa. Ibu suruh Tyo jemput kamu. Segera telpon Tyo kalau sudah sampai Jakarta.
Alhamdulillah, aku sudah sampai Halim. Aku akan telpon mas Tyo setelah ambil bagasi, balas Dona.
Setelah mengambil bagasinya, Dona pun menghubungi Tyo dan setelah lama menunggu beberapa saat akhirnya telpon Dona diangkat juga.
"Tunggu saya di teras terminal kedatangan, saya jemput sebentar lagi," ucap Tyo tanpa salam dan tanpa kata-kata sambutan apapun untuk istrinya.
Setelah lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya mobil Tyo terlihat. Ia pun menghentikan kendaraannya di depan Dona.
Tanpa menyapa Dona ataupun melihatnya, Tyo mengambil koper Dona dan menghampiri putri bungsunya.
"Eh Zalfa ikut yaa, yuk kita ke rumah Ayah."
Dona memilih duduk di belakang dan ia membiarkan Zalfa untuk duduk di depan.
Dona hanya diam selama perjalanan menuju rumah kontrakan Tyo, dia tidak tahu harus berbicara apa. Sementara Tyo asyik bercerita kepada Zalfa. Dona masih bersyukur, paling tidak, walaupun Tyo bersikap dingin padanya, tetapi ia tetap lembut kepada putrinya.
Sesampainya di rumah kontrakan Tyo, Dona segera menurunkan kopernya, tetap tanpa bicara dan memandang Dona, Tyo mengambil koper dari tangan Dona kemudian meletakkannya di kamar utama.
Lalu, Tyo memberikan mainan kepada Zalfa dan menyuruhnya bermain di ruang tengah.
"Zalfa main sendiri dulu, ya. Ayah mau ngobrol sebentar sama ibu."
Zalfa pun menganggukkan kepalanya dan matanya pun berbinar melihat mainan yang Tyo berikan untuknya.
Lalu, Tyo kembali ke kamarnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Ia pun mulai berbicara kepada Dona.
"Maaf tadi saya terlambat jemput, saya ketiduran."
"Oo nggak pa-pa," jawab Dona, tetapi ia tidak mempercayai alasan yang diberikan Tyo.
"Mas, maaf aku kesini tanpa izin, tapi aku mau tahu sebenarnya ada apa? kalau ada masalah, tolong Mas, bicarakan baik-baik. Aku kesini untuk memperbaiki hubungan kita, yang aku nggak pernah tahu kapan dan kenapa rusaknya dan jika ada orang ketiga, tolong jangan hubungi atau temui dia selama aku disini. Aku mau kita fokus sama hubungan kita ini," ucap Dona tanpa basa-basi.
Memang telah menjadi kebiasaan Dona, yang sering berbicara to the point, tanpa prolog atau kata pengantar apapun. Tyo pun telah mengetahui benar kebiasaan Dona ini, untuk itu ia lebih memilih untuk membiarkannya.
"Iya, kamu istirahat aja dulu. Nanti kita pergi cari makan," ucap Tyo tanpa menggubris kata-kata Dona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Chiisan kasih
mampir kak,mas tyonya kok mencurigakan,ya
2022-12-05
1
Ita Am
aku mampir 🤗🤗
2022-11-23
1
ZaeV92
hadir kak 🤗
2022-10-19
1