NovelToon NovelToon

New Chapter Of My Life

Episode 1 Ada Apa dengan Tyo ?

"Jadi bagaimana, Pak Tyo ? Apakah Anda benar-benar yakin untuk bercerai dengan istri Bapak?" tanya salah satu hakim dalam sidang perceraian Tyo dengan Dona.

Tyo melihat ke arah Dona dan dengan ekspresi yang sepertinya ragu-ragu, tetapi kemudian ia menjawab, "Yakin, Yang Mulia."

Dona sekalipun tidak terkejut atau pun heran mendengar jawaban Tyo karena ia tahu pasti memang itu yang Tyo inginkan dari setahun yang lalu.

"Tapi sepertinya Anda ragu-ragu. Pak Tyo, Anda kan yang membuat gugatan cerai ini, tapi mengapa sepertinya Anda tidak yakin akan keputusan Anda sendiri ?" tanya hakim ketua lagi.

Tanpa menunggu jawaban dari Tyo, hakim ketua kini beralih kepada si tergugat, yaitu Dona.

"Bagaimana Bu Dona, apa Anda menerima gugatan cerai Pak Tyo?"

Dona dengan tegas dan yakin menjawab, "Ya, saya yakin Yang Mulia."

Mendengar jawaban Dona yang penuh ketegasan, Tyo kembali memandang Dona dengan wajah memelas. Dona yang sudah sangat hafal dengan karakter suaminya itu, yaitu seorang pemain watak dan manipulator ulung, telah menyakinkan dirinya untuk tidak akan terjerumus dalam permainan Tyo kembali.

Sebenarnya Dona sama sekali tidak ingin menghadiri sidang perceraiannya. Ia sudah lelah dengan segala tipu daya suaminya itu. Tetapi, begitu ia membaca surat gugatan cerai yang isinya penuh dengan kebohongan yang menyudutkan dirinya, akhirnya ia memutuskan untuk menghadiri sidang perceraiannya.

Di saat ini, sepertinya Tyo sedang bermain 'playing victim', dengan membuat ekspresi wajah tanpa dosa, seolah-olah meminta belas kasihan dari para hakim.

Sidang demi sidang harus Dona lewati, ingin rasanya ia berbicara langsung kepada para hakim tentang kejadian sebenarnya, tetapi karena Tyo yang menggugat, maka Tyo lah yang dimintai pertanggungjawaban atas gugatannya.

Dona pun telah mempersiapkan berkas keterangan bukti-bukti kegagalan Tyo sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya. Bahkan Dona telah mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan suaminya, yang telah dilakukannya setahun belakangan.

Perjalanan Dona untuk membongkar perselingkuhan suaminya itupun tidak hanya menguras energi pikiran dan hatinya, tetapi juga biaya yang cukup besar.

Semua ini berawal dari enam bulan yang lalu, ketika Tyo mulai beralasan akan masalah yang dihadapinya di kantor.

"Yang, Mas hari ini kembali ke Jakarta ya. Ada masalah gawat di kantor, jadi Mas harus kembali secepatnya," ucap Tyo sedikit panik.

"Ada apa Mas, bukannya izin cuti sampai Idul Adha?" tanya Dona mengingat perayaan hari besar umat Islam itu akan dilaksanakan kurang dari dua pekan yang akan datang.

"Ya maunya mas gitu, tapi tadi ditelfon kantor, katanya ada urusan yang penting yang tidak bisa diwakilkan," jawab Tyo.

"Jadi balik ke Jakarta sekarang?" tanya Dona.

"Iya, pesawat jam satu," jawab Tyo.

"Kalau gitu sekalian jemput Zalfa, trus langsung ke bandara ya ?"

"Iya. Ya sudah, mas mau siapin berkas-berkas kantor dulu," ucap Tyo.

"Aku siapin kopernya yaa," ucap Dona sambil menyiapkan pakaian yang akan dibawa suaminya kembali ke Jakarta.

Sudah dua bulan ini, Dona dan ketiga putrinya tinggal di Jogjakarta, di rumah orang tua Dona. Kepindahan Dona ke Jogja didasari atas permintaan Tyo, dengan alasan orang tua Dona sudah sepuh dan tidak ada putra atau putrinya yang menemani karena keempat saudara Dona tinggal di Bandung dan Jakarta. Dona sebagai istri pun menurutinya, walaupun orang tua Dona berulang kali menolak dengan mengatakan tidak perlu ditemani, selain itu kewajiban seorang istri adalah mendampingi suaminya. Tetapi Tyo tetap memutuskan Dona dan ketiga putrinya pindah ke Jogja.

Setelah Tyo kembali ke Jakarta, Dona disibukkan dengan kegiatan rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Tetapi selang beberapa pekan setelah itu, Dona dihubungi oleh Ita, istri dari Farhan, senior Tyo di kantor yang berasal dari almamater yang sama. Dimana selama ia tinggal di Jakarta, Dona dan Ita tinggal berdampingan, bahkan anak-anak mereka pun bersekolah di tempat yang sama. Hingga setahun yang lalu, Farhan dipindahkan ke cabang Surabaya.

"Apa kabar, Don?" tanya Ita

"Baik Mbak, tumben nelpon?"

"Iya nih, tumben. Eh gimana Tyo, masih di rumah?" tanya Ita lagi.

"Nggak, mas Tyo sudah kembali ke Jakarta."

"Oo sudah balik, memangnya di rumah berapa lama?" tanya Ita lagi.

"Hmm kayaknya empat hari deh, padahal katanya cuti dua pekan, tapi tiba-tiba katanya ada masalah penting di kantor, trus langsung balik ke Jakarta lagi."

"Hoo, masalah penting apa emangnya?" tanya Ita lagi.

"Nggak tahu, nggak nanya juga. Mukanya sedikit panik gitu, trus langsung buru-buru beli tiket ke Jakarta," jelas Dona.

"Hmmm gitu ya. Ya udah, eh kamu sama anak-anak baik-baik aja kan?" tanya Ita yang terdengar tidak biasanya.

"Alhamdulillah, baik Mbak. Eh Mbak, memangnya kenapa ?" tanya Dona.

"Nggak papa, cuma nanya aja, kok. Okelah, nanti aku berkabar lagi yaa," ucap Ita.

"Oke Mbak, sangkyu for calling."

"Iya, sama-sama. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dona sedikit bingung dengan pertanyaan Ita, karena tidak biasanya Ita menanyakan Tyo. Pembicaraan dengan Ita lebih sering tentang berbagi resep, drakor atau kemageran yang melanda.

Dua pekan pun berlalu semenjak Tyo kembali ke Jakarta, tetapi ada yang berbeda dengan kepergiannya kali ini. Dimana biasanya ia akan menelfon anak-anaknya di sore hari dan di malam harinya ia akan berbagi cerita dengan Dona, tetapi kali ini Tyo hampir tidak dapat dihubungi, Dona pun menganggap Tyo sibuk dengan urusan pekerjaannya, tanpa terbersit sedikit pun akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Hingga putri bungsunya yang masih berusia lima tahun merengek, minta untuk segera menghubungi ayahnya.

"Bu, telpon ayah, ayo Ibu, telpon ayah sekarang !" pinta Zalfa.

"Iya Bu, telpon ayah dong Bu. Kan sudah dua pekan, kok ayah nggak nelpon-nelpon?" tanya Aisha si sulung yang merasa heran.

"Mungkin ayah sibuk, kita tunggu aja," ucap Dona berusaha terlihat tenang, tetapi ia pun mulai merasa ada yang aneh.

Sebenarnya ini bukanlah kali pertama Dona harus menjalani LDR dengan Tyo. Beberapa tahun sebelumnya, sebelum Zalfa lahir, Tyo pernah ditugaskan di Medan, sementara Dona tetap berada di Jakarta karena di setiap akhir pekan, Tyo akan kembali ke Jakarta, untuk mengikuti kuliah S2-nya. Pada saat itu, Dona yang sampai kesal, karena Tyo menelfon berulang kali, bahkan lebih dari jadwal minum obat yang sehari tiga kali. Akan tetapi kali ini, sudah hampir dua pekan Tyo ke Jakarta tanpa sekali pun menghubungi Dona atau pun ketiga putrinya.

Sampai akhirnya Dona berhasil menghubungi Tyo, setelah entah berapa kali ia mencoba.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumsalam."

"Mas sehat ? kok tumben nggak nelpon-nelpon ? anak-anak sampai ribut nanyain. Waktu aku telpon Mas, kok nggak diangkat atau nadanya nggak nyambung, semuanya baik-baik aja kan Mas ?" tanya Dona penuh kekhawatiran.

Tetapi bukannya menjawab dengan permintaan maaf ataupun menjelaskan penyebab ia tidak menghubungi Dona dan anak-anaknya, Tyo malah menyerang Dona.

"Emang enak dicuekin ?!"

Dona pun terkejut dengan jawaban Tyo.

"Maksud Mas?"

"Iya, nggak enak kan dicuekin?"

Dona yang tidak mengerti dan tidak siap dengan reaksi Tyo pun bertanya, "Lho memangnya aku nyuekin Mas?"

"Yaa kayak gini nih, nggak ngerasa kalau sudah nyuekin suami, eee malah bilang suaminya yang ngediemin!" ketus Tyo.

"Mas, ada apa sih, aku nggak ngerti maksudnya?" tanya Dona dengan suara bergetar karena baru kali ini Tyo berbicara dengan nada ketus kepadanya.

"Makanya cerdas dikit kalau jadi istri ! masak gitu aja nggak ngerti !" bentak Tyo.

Bulir-bulir air mata Dona mulai jatuh, ia betul-betul tidak mengerti maksud suaminya, tetapi Tyo seakan-akan tidak memperdulikan jika kata-katanya telah menyakiti istrinya yang telah ia nikahi dua belas tahun yang lalu.

"Makanya kalau suaminya ada di rumah tuh jangan dicuekin, kalau keluar kota juga yaa harus di telpon dong !" protes Tyo dengan bentakan.

Dengan berlinang air mata, Dona pun bertanya akan maksud dari Tyo, "Mas, aku nggak ngerti maksud Mas, aku nyuekin apa ? kapan aku nyuekin Mas?"

"Terserah kamu kalau nggak ngerti!" hardik Tyo sebelum ia mematikan sambungan teleponnya. Tangis Dona pun tak terbendung lagi, dadanya terasa sesak dan kepalanya pun dipenuhi dengan ribuan pertanyaan akan sikap Tyo yang sangat tidak biasa.

Tak lama WA dari Tyo pun masuk, Dalam hubungan pernikahan itu harus ada kehangatan dan kepedulian. Bukan suami kerja, pulang-pulang, istrinya sibuk sendiri!

Dona yang tidak merasa dirinya seperti apa yang Tyo maksudkan pun membalas WA Tyo.

Mas, ada apa, kok ngomongnya tiba-tiba kasar? kalau aku salah aku minta maaf, tapi tolong kasih tau aku, salahnya dimana?

Nggak usah sok suci, sok baik, saya sudah cukup kenal kamu!

Kali ini, Dona benar-benar tidak mengerti apa maksud suaminya itu, karena selama ini setiap Tyo datang, ia akan memprioritaskan Tyo setelah itu baru anak-anaknya.

Tak lama kemudian Tyo kembali mengirim pesan.

Hati saya mulai beralih, jangan buat saya bingung! saya sudah memberi kamu clue dari tiga bulan yang lalu, kalau ada seseorang yang mulai memasuki hati saya, tapi kamu hanya diam, kamu tidak merespon apa pun! saya anggap kamu tidak peduli akan saya dan hubungan kita lagi!

Dunia Dona bagaikan runtuh membaca pesan Tyo, ia mencoba mengingat kapan Tyo mengatakan hal itu padanya. Akhirnya Dona pun teringat, di malam sebelum Tyo kembali ke Jakarta, Tyo memeluk erat Dona di tempat tidur, sambil berucap, "Yang, tolong jaga hati Mas! Tolong jaga hati ini !"

"Mas bingung, tapi Mas minta Sayang untuk menjaga hati, Mas."

Dona hanya diam, ia mencoba mencerna kata-kata Tyo saat itu. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada suaminya, maka dari itu, Dona hanya terdiam dan berfikir ada apa sebenarnya.

Setelah mengingat kalimat Tyo, akan adanya wanita lain, akhirnya ia memutuskan untuk segera ke Jakarta, mencari tahu ada apa dengan suaminya itu. Dona pun siap dengan kemungkinan untuk kembali tinggal di Jakarta jika suaminya meminta.

Dona pun segera membeli tiket pesawat secara online untuk penerbangan sekali jalan bersama putri bungsunya yang saat itu masih berusia lima tahun. Itu adalah kali pertama ia memesan tiket pesawat secara online sendiri, karena selama ini, Tyo yang selalu melakukannya jika mereka akan bepergian keluar kota dan itu pun kali pertama ia bepergian keluar kota sendiri, apa lagi dengan menggunakan pesawat karena selama ini Dona selalu terima beres untuk masalah tiket atau transportasi apa yang akan mereka gunakan.

Dengan jantung yang berdegup kencang, ia memasukkan pakaian ke dalam kopernya, tanpa mengetahui berapa banyak pakaian yang ia masukkan. Pikirannya sudah tidak fokus lagi, yang ada disini dalam benaknya hanyalah pertanyaan akan Tyo, apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah mengemasi pakaiannya, siang itu ia segera berangkat menuju Jakarta dengan pesawat.

Tetapi, sesaat sebelum berangkat, sang bunda pun menanyakan akan kepergiannya ke Jakarta.

"Kamu mau kemana kok bawa koper?" tanya ibu Dona.

"Maaf Bu, tapi aku mau ke Jakarta sama Zalfa."

"Lho, memangnya ada apa? Tyo kenapa?" tanya ibu Dona lagi.

"Aku juga nggak tahu ada apa, tapi Mas Tyo tiba-tiba marah ke aku dengan alasan yang tidak jelas. Makanya aku mau cari tahu sebetulnya ada apa. Aku pergi sama Zalfa ya Bu, titip Aisha sama Ara, ya Bu," jawab Dona.

"Kenapa Tyo marah ? Ada apa, sepertinya nggak biasa dia marah sama kamu ?"

"Makanya Bu, aku juga bingung, kok dia marah-marah seperti itu, makanya mendingan aku duduk bareng trus bicara empat mata sama mas Tyo," jawab Dona.

"Jadi, rencananya mau berapa lama di Jakarta?" tanya ibu Dona.

"Belum tahu Bu, selama dibutuhkan, kalau memang aku harus kembali ke Jakarta, ya nunsewu (maaf), aku akan kembali ke Jakarta. Untuk urusan sekolah anak-anak, aku pikirkan nanti. Sekarang, yang penting aku ke Jakarta dulu," jawab Dona.

"Ya sudah, hati-hati. Kalau sudah check-in kabarin, sudah di ruang tunggu juga kabarin. Nanti sudah boarding juga WA ibu, jangan lupa!"

"Inggih Bu, assalamu'alaikum!"

Dona bersama Zalfa segera menuju bandara dengan menggunakan taxi online yang telah ia pesan sebelumnya dan dua jam kemudian, Dona telah sampai di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Ia pun segera mengaktifkan handphone-nya, terdapat satu pesan dari ibunya, ibu sudah telpon Tyo, ibu bilang kamu ke Jakarta sama Zalfa. Ibu suruh Tyo jemput kamu. Segera telpon Tyo kalau sudah sampai Jakarta.

Alhamdulillah, aku sudah sampai Halim. Aku akan telpon mas Tyo setelah ambil bagasi, balas Dona.

Setelah mengambil bagasinya, Dona pun menghubungi Tyo dan setelah lama menunggu beberapa saat akhirnya telpon Dona diangkat juga.

"Tunggu saya di teras terminal kedatangan, saya jemput sebentar lagi," ucap Tyo tanpa salam dan tanpa kata-kata sambutan apapun untuk istrinya.

Setelah lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya mobil Tyo terlihat. Ia pun menghentikan kendaraannya di depan Dona.

Tanpa menyapa Dona ataupun melihatnya, Tyo mengambil koper Dona dan menghampiri putri bungsunya.

"Eh Zalfa ikut yaa, yuk kita ke rumah Ayah."

Dona memilih duduk di belakang dan ia membiarkan Zalfa untuk duduk di depan.

Dona hanya diam selama perjalanan menuju rumah kontrakan Tyo, dia tidak tahu harus berbicara apa. Sementara Tyo asyik bercerita kepada Zalfa. Dona masih bersyukur, paling tidak, walaupun Tyo bersikap dingin padanya, tetapi ia tetap lembut kepada putrinya.

Sesampainya di rumah kontrakan Tyo, Dona segera menurunkan kopernya, tetap tanpa bicara dan memandang Dona, Tyo mengambil koper dari tangan Dona kemudian meletakkannya di kamar utama.

Lalu, Tyo memberikan mainan kepada Zalfa dan menyuruhnya bermain di ruang tengah.

"Zalfa main sendiri dulu, ya. Ayah mau ngobrol sebentar sama ibu."

Zalfa pun menganggukkan kepalanya dan matanya pun berbinar melihat mainan yang Tyo berikan untuknya.

Lalu, Tyo kembali ke kamarnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Ia pun mulai berbicara kepada Dona.

"Maaf tadi saya terlambat jemput, saya ketiduran."

"Oo nggak pa-pa," jawab Dona, tetapi ia tidak mempercayai alasan yang diberikan Tyo.

"Mas, maaf aku kesini tanpa izin, tapi aku mau tahu sebenarnya ada apa? kalau ada masalah, tolong Mas, bicarakan baik-baik. Aku kesini untuk memperbaiki hubungan kita, yang aku nggak pernah tahu kapan dan kenapa rusaknya dan jika ada orang ketiga, tolong jangan hubungi atau temui dia selama aku disini. Aku mau kita fokus sama hubungan kita ini," ucap Dona tanpa basa-basi.

Memang telah menjadi kebiasaan Dona, yang sering berbicara to the point, tanpa prolog atau kata pengantar apapun. Tyo pun telah mengetahui benar kebiasaan Dona ini, untuk itu ia lebih memilih untuk membiarkannya.

"Iya, kamu istirahat aja dulu. Nanti kita pergi cari makan," ucap Tyo tanpa menggubris kata-kata Dona.

Episode 2 Selingkuh

Malam harinya, Tyo dan Dona tidur seperti biasanya dalam satu tempat tidur yang sama, tetapi sebelum itu, Dona berbicara empat mata dengan Tyo akan maksud kedatangannya.

"Mas, aku minta tolong, selama aku disini, tolong Mas jangan hubungi atau temui dia. Walaupun aku tidak tahu dia itu siapa, tapi aku minta untuk kita fokus ke masalah yang ada. Kalau aku sangat bersalah dan aku tidak tahu kesalahanku apa, aku minta maaf, tapi tolong berikan penjelasan kepadaku. Kalau memang aku harus kembali kesini lagi, aku akan kembali, anak-anak biarkan di Jogja, sampai akhir semester ini."

"Sebaiknya kita tidur, ini sudah malam, kamu pasti capek, saya juga capek. Kita bicarakan lagi besok," ucap Tyo tanpa sedikitpun merespon perkataan Dona.

Hingga beberapa jam kemudian, Dona terbangun dan ia mendapati Tyo tidak ada disampingnya. Dilihatnya jam di dinding kamarnya, menunjukkan pukul empat pagi. Tak lama kemudian, Tyo terlihat keluar dari kamar mandi dan telah berpakaian rapi.

"Mau kemana, Mas?" tanya Dona.

"Ada urusan sebentar, nanti saya kembali sekitar jam tujuh-an," jawab Tyo.

"Shalat Subuh dimasjid?"

"Iya nanti saya Subuh di Masjid, saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," ucap Tyo yang segera keluar

" Wa'alaikumsalam. "

Ada yang berbeda dari Tyo, yang sudah Dona rasakan semenjak telepon itu, yaitu sebutan mas yang biasa ia gunakan untuk menyebut dirinya sendiri ketika berbicara pada Dona dan kata sayang untuk panggilannya kepada Dona sudah tidak lagi terdengar. Dona hanya dapat menarik nafasnya dan kemudian shalat Tahajud sambil menunggu adzan Subuh.

Sesudah shalat Subuh, seperti biasa Dona akan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tetapi saat ia memperhatikan rumah kontrakan yang dulu ia tempati bersama Tyo, sungguh diluar kebiasaan Tyo. Tyo yang mempunyai alergi terhadap debu akan mengeluarkan protesnya jika ia mendapati rumah kotor, berdebu dan berantakan. Ia pun menyadari, bahkan seprei yang digunakan adalah seprei yang Tyo tidak pernah sukai.

Walaupun Dona merasakan kejanggalan itu, tetapi ia tetaplah Dona sang ibu rumah tangga, yang akan menyiapkan semua kebutuhan di dalam rumahnya. Ia pun merapikan seperlunya, lalu ia menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Sekitar pukul 6.30 pagi, Dona telah selesai memasak sarapan dan sedikit merapikan kamarnya. Tak lama Tyo pun kembali, tetapi ia tidak sendiri, melainkan bersama seorang wanita yang Dona sama sekali tidak mengenalnya. Jantung Dona berdegup dengan kencang, ia pun segera masuk ke dalam kamar.

Ia segera menyadari penampilannya yang belum mandi dan beraroma dapur, tetapi bukan itu yang membuatnya masuk ke dalam kamar, semalam ia telah jelas-jelas mengatakan kepada Tyo untuk jangan menghubungi atau menemui selingkuhannya selama ia di Jakarta, tetapi pagi ini dengan teganya ia membawa masuk wanita itu kedalam rumahnya.

Tyo pun mendekati Dona, Dona mengambil tangan Tyo dan meletakkan di atas dadanya, agar Tyo dapat merasakan detakan jantungnya yang berdegup sangat kencang.

"Kamu ga pa-pa, kamu ga pa-pa," hanya itu yang diucapkan Tyo, lalu dengan ringannya ia mengajak Dona menemui selingkuhannya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Dona saat itu.

Dona pun dengan kekuatan yang datangnya dari mana, begitu mendengar Tyo mengatakan dirinya tidak apa-apa, alarm tubuhnya pun mengikuti.

Ia pun menjadi tenang, bahkan tampak sangat tenang. Ia kemudian menemui selingkuhan Tyo di ruang keluarga yang terletak di depan kamarnya.

Ia melihat wanita itu duduk berdampingan dengan Tyo. Tyo kemudian mempersilahkan Dona duduk dan Tyo mengambil kursi untuk duduk di depan mereka berdua.

"Kenalkan saya, Uma," ucap wanita itu memperkenalkan dirinya.

"Mbak, mbak itu gimana sih? punya suami baiknya kayak gini tapi kok nggak diurusin!" hardik selingkuhan Tyo yang membuat Dona terkejut, tapi ia memilih diam. Ia ingin mendengar apa yang akan diucapkan Uma selanjutnya.

"Suami Mbak tuh ganteng, baik tapi Mbak kok nggak ngerawat suami malah ditinggalin sendirian. Mbak, kalau jadi istri itu, harusnya nurut suami, tinggal sama suami, bukannya milih tinggal sama orang tua!"

Masih banyak lagi kata-kata Uma yang menyudutkan Dona, tetapi Dona tetap diam tidak menjawab, ia beristighfar dalam hati, agar ia tidak terpancing emosi.

Setelah Uma selesai berbicara, Dona pun memulai gilirannya.

"Maaf tetapi saya nggak kenal kamu siapa, lagipula Tyo itu suami saya, apa urusan kamu ikut campur masalah saya dengan suami saya?"

Sebelum Dona sempat melanjutkan kalimatnya, Uma kembali menyerang Dona.

"Mbak, Mbak tuh kok nggak bersyukur banget punya suami seperti suami Mbak, ... "

Dona pun tak sanggup lagi mendengar kata-kata yang terucap dari mulut Uma.

"Maaf, saya tidak kenal kamu siapa dan saya tidak ada urusan dengan kamu. Saya kesini adalah urusan saya dengan suami saya, bukan kamu," ucap Dona memotong kalimat Uma.

Kemudian Tyo menggenggam tangan Uma, Dona yang otomatis melihatnya pun menghardiknya, "Dan kamu, ngapain pegang-pegang tangan dia ?! bukan mahramnya !"

"Dan lagi, dulu saya nggak pernah bersentuhan dengan Tyo sebelum ijab kabul !"

Mendengar ucapan Dona, Tyo pun melepaskan genggamannya, sementara Dona melanjutkan pembelaannya.

"Apa pun yang terjadi antara saya dan suami saya, itu bukan urusan kamu, kamu nggak kenal saya, kamu tahu saya juga dari mulut suami saya dan saya tidak tahu apa yang dia katakan tentang saya benar atau tidak!"

Tyo pun meraih tangan Dona untuk menenangkannya tetapi Dona menarik tangannya.

"Dulu saya nggak pakai pacaran, kami langsung lamaran dan kemudian menikah. Sekarang apa kalian sudah nikah?" tanya Dona.

"Belum," jawab Tyo.

"Oo berarti pacaran dong, zina? waaa hebat banget Mas!"

"Eee mbak jangan sembarangan nuduh ya!" protes Uma.

"Lho trus apa dong? nikah belum, tapi sudah pegangan tangan. Mbak, zina kan macam-macam tingkatannya, zina mata, hati atau yang...," Dona pun tidak melanjutkan kata-katanya karena ia tahu efek yang akan ditimbulkannya.

Tetapi Tyo dan Uma diam membeku mendengar serangan Dona. Keheningan sesaat pun terjadi, hingga Dona menarik nafasnya, sebelum melanjutkan serangannya.

"Gini deh, Mas, kamu kan laki, tanggungjawab dong, pilih saya, dia atau dua-duanya !"

"Wah nggak bisa gitu dong, Mbak!" protes Uma.

"Lho, nggak bisa gimana? saya kan kasih pilihan, saya masih istrinya yang sah, lho. Saya masih punya hak atas suami saya," jawab Dona.

"Tapi kami tidak bisa putus, hubungan kami sudah terlalu dalam," jawab Uma dan disetujui oleh Tyo.

Dalam hati Dona, ingin rasanya ia berkata kasar, terlalu dalam ndasmu! terlalu dalam! sumur tuh dalam nyebur aja kalian berdua kesana, trus nggak usah muncul lagi !

Tetapi istighfar telah membuatnya tidak mengucapkannya.

"Okelah kalau begitu. Saya tidak akan ikut campur urusan kalian berdua.. " ucap Dona.

"Ibu !" teriak Zalfa yang tiba-tiba terbangun.

Mendengar suara Zalfa, Tyo segera masuk ke dalam kamar dan kemudian menggendong Zalfa keluar untuk dipertemukan dengan Uma.

Zalfa yang masih mengantuk berlari kembali masuk ke dalam kamar, sebelum sempat Uma memegangnya.

Dona bersyukur Zalfa cepat menghindar dari 'nenek sihir' itu.

Kemudian Tyo melihat ke arah jam di dinding yang telah menunjukkan pukul setengah delapan.

"Eh, sudah mau jam delapan, saya siap-siap ke kantor dulu!" ucap Tyo yang terburu-buru.

Tyo segera masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap.

Dona pun mengikuti Tyo masuk ke dalam kamarnya, tetapi hal yang tidak ia duga terjadi, Uma pun mengikutinya masuk ke dalam kamar, sebelum ia sempat menutup pintunya dan dengan santainya ia menghampiri Zalfa.

Dona membiarkan Uma, karena ia ingin mendengar apa yang akan diucapkannya.

"Hai, namanya siapa ? kenalan dong?" tanya Uma.

Zalfa mematung tidak menjawab dan bereaksi apapun.

"Kok diam, eh tante juga punya anak seumuran Zalfa lho, namanya Nara, kapan-kapan main bareng yaa."

Zalfa tetap mematung, diam tidak bereaksi. Melihat hal itu, Dona kemudian memeluk Zalfa.

"Sayang, tante ini mau kenalan... " ucap Dona.

Zalfa menggelengkan kepalanya dengan kuat dan disaat itupun Dona merasakan kemarahan yang sangat hebat dari dalam diri putri bungsunya. Ia merasakan denyut jantungnya yang sangat cepat ditambah dengan kedua tangannya yang mengepal dibalik badannya.

"Maaf Tante, Zalfa baru bangun, bisa permisi dulu Tante ya," ucap Dona sambil menutup dan mengunci pintu kamarnya yang membuat Uma keluar dengan sendirinya.

Entah kekuatan dari mana yang Dona dapatkan, hingga ia dapat mengontrol emosinya dengan begitu baik, mungkinkah karena istighfar yang tak putus ia ucapkan selama perjalanan kemarin?

Lalu, Dona memeluk erat Zalfa, untuk meredakan emosi yang dirasakan putrinya itu. Ia merasakan debaran jantungnya dan nafasnya yang cepat, menandakan emosi kemarahannya. Dona pun mengelus-elus punggung Zalfa dan membisikkan kalimat istighfar di telinganya. Perlahan-lahan Dona dapat merasakan, debaran jantung Zalfa mulai kembali normal dan kepalan tangannya telah dibukanya

Saat itu, Dona berharap Zalfa tidak mendengarkan apapun yang terjadi di ruang keluarga. Ia sangat berharap Zalfa tidak mengetahui apa yang terjadi.

Sementara itu, Tyo telah bersiap untuk ke kantor. Lalu, tanpa sarapan ia segera pergi bersama selingkuhannya.

Seaaat setelah Tyo pergi, dinding pertahanan Dona pun runtuh, tubuhnya bergetar hebat. Tangis pun pecah tak terbendung lagi, ia hanya duduk terdiam masih dalam keadaan berusaha mencerna kejadian barusan. Sedangkan Zalfa hanya terdiam melihat ibunya menangis.

Setelah ia dapat mengontrol emosinya, Dona segera menghubungi ibunya di Jogja.

"Bu, mas Tyo selingkuh, pagi ini dia bawa selingkuhannya ke rumah, aku di serang, Zalfa juga lihat, Bu," ucap Dona dengan terisak.

"Astaghfirullahalazim, Tyo ngapain, selingkuh?"

"Iya Bu, dia bawa selingkuhannya nemuin aku pagi ini, padahal aku sudah minta jangan temui atau hubungi selingkuhannya, malah pagi ini dia bawa ke rumah," isak tangis Dona terus mengalir tak berhenti.

"Sudah kamu tenang dulu, istighfar. Kamu telpon ibunya Tyo, ceritakan, ibunya harus tahu!"

"Baik, Bu."

Setelah menelpon ibunya, Dona segera menghubungi mertuanya yang tinggal di Bekasi. Dona menceritakan semuanya dari awal ia berangkat ke Jakarta sampai pertemuannya dengan Uma.

Reaksi tak kalah menyayat hati dari sang mertua yang menangis, "Ya Allah, Tyo ! kenapa ? kenapa kamuuuu!?"

Air mata Dona kembali tak terbendung mendengar tangisan mertuanya. Kemudian ia segera tersadar, ada Zalfa yang sedari tadi memperhatikannya. Ia pun segera menyudahi telpon ke mertuanya itu.

Lalu setelah dapat mengendalikan emosi dan mengatur nafasnya, Dona kembali menjadi ibu yang tegar seperti tidak terjadi apa-apa.

"Eh Zalfa, mandi yuk, trus kita sarapan. Tadi pagi, ibu sudah masak nasi goreng kesukaan Zalfa," ucap Zalfa sambil menuntunnya ke kamar mandi.

Hari itu, Dona dengan segala kekuatan yang tersisa, ia merapikan kamar dan membersihkan rumah semampunya. Di siang harinya, ayah Dona menelpon.

"Tadi Bapak sudah telpon Tyo, Bapak suruh ia pulang ke Jogja secepatnya, dia bilang mau cek tiket sore ini, semoga sore nanti kalian bisa pulang."

"Baik, Pak," ucap Dona lega.

"Kamu jangan mikir macam-macam, ingat ada Zalfa disitu, apa yang ia lihat dan dengar akan terekam, mungkin ia tidak paham, tetapi ia dapat merasakan, jadi kamu tenang ya. Bapak dan ibu do'a kan yang terbaik untuk kalian berdua."

"Baik, Pak, syukron," jawab Dona.

Sekitar pukul dua belas siang, Tyo menelpon Dona, "Kita kembali ke Jogja malam nanti, saya sudah dapat tiket jam setengah tujuh."

"Baik, Mas."

Dona pun merapikan barang-barangnya kembali dan bersiap untuk kembali ke Jogja dan di siang itu juga, Tyo kembali ke rumah membawakan makanan untuk Dona dan Zalfa.

"Makan dulu, saya mau istirahat," ucap Tyo sebelum masuk ke dalam kamar untuk beristirahat dan tak lama ia pun tertidur.

Dua jam kemudian, Tyo sudah kembali rapi dan bersiap untuk kembali ke kantor.

"Nanti kita berangkat paling lambat jam lima, saya usahakan jam empat sudah di rumah, kamu siap-siap aja. Saya berangkat sekarang."

"Mas, mau pisah? Mas sudah nggak cinta lagi?" tanya Dona sambil menarik tangan Tyo.

"Kita bicarakan nanti, sekarang kamu istirahat aja dulu, saya ke kantor," ucap Tyo sambil melepaskan genggaman tangan Dona dari lengannya. Lalu, Tyo pun pergi mengendarai mobilnya menuju kantor.

Sesuai janjinya, Tyo telah sampai di rumah sesudah Ashar. Kemudian ia membantu Dona merapikan barang-barangnya.

Episode 3 Kembali

Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Dona dan Tyo beserta putri bungsunya kembali ke Jogja dengan penerbangan malam. Di saat itulah kesempatan Dona untuk mengajak Tyo bicara empat mata dari hati ke hati dengan suasana yang tenang.

"Mas, maafin aku yang nggak peka atau pun tidak paham akan kebutuhan Mas, tapi tolong jangan begini caranya."

"Maafin mas juga, maaf WA yang kemarin," ucap Tyo dengan nada penyesalan.

Tyo pun menarik nafasnya, kemudian menggenggam erat tangan Dona dan berucap, "Mas akan mulai lagi di Jogja, nanti mas akan coba cari-cari lowongan pekerjaan di Jogja. Tadi sempat lihat ada perusahaan baru di Jogja yang sedang membutuhkan karyawan. Nanti mas coba apply kesana, semoga segera diterima, jadi bisa langsung pindah."

"Aamiin, semoga kita bisa kumpul bersama lagi, ya Mas," ucap Dona penuh harap.

"In syaaAllah."

Dona pun tersenyum bahagia, mendengar rencana Tyo. Keduanya pun saling berpegangan tangan selama perjalanan.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di Bandara Internasional Adisucipto Jogja. Kedatangan mereka disambut dengan rintik-rintik hujan yang mengguyur kota pelajar itu. Mereka pun segera pulang menuju rumah orang tua Dona dan sesampainya disana, Tyo segera meminta maaf kepada ibu Dona.

"Maaf Bu, maafin Tyo, maafin Tyo ya Bu."

"Iya, iya ibu maafin. Alhamdulillah kamu pulang, ibu bahagia kamu bisa pulang," ucap ibu Dona penuh haru dan berlinang air mata.

Keduanya berpelukan dan menangis, membuat ayah Dona yang menyaksikan hal itu pun mengurungkan niatnya untuk memarahi menantunya itu.

Setelah itu, Tyo dan Dona menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri, lalu keduanya pun berbicara dengan orang tua Dona.

"Pak, Bu maafin saya, saya khilaf," ucap Tyo sambil meneteskan air matanya.

"Bapak dan ibu sudah maafkan kamu. Kamu mau pulang ke Jogja, sudah bapak hitung niat baikmu untuk kembali bersama Dona," ucap ayah Dona.

"Yang penting kamu sudah pulang, bapak minta kamu segera pindah ke Jogja saja. Anak-anak juga sudah sekolah disini semua. Kerjaan kan banyak, kamu mempunyai ijazah S2 dengan pengalaman kerja lebih dari sepuluh tahun, seharusnya tidak sulit untuk mencari pekerjaan," tambah ayah Dona.

"In syaa Allah Pak. Saya akan urus pengunduran diri dari kantor secepatnya, setelah kembali ke Jakarta. In syaaAllah saya cuti dua pekan, sampai Idul Adha," ucap Tyo penuh keyakinan.

"Alhamdulillah, anak-anak bisa puas ketemu ayahnya lagi. Ya sudah kalian segera istirahat saja, pasti kalian berdua cukup lelah. Jangan lupa makan dulu," ucap ibu Dona.

"Baik, Bu," jawab Dona dan Tyo.

Malam itu Tyo dan Dona tidak banyak bicara, setelah makan malam, mereka memilih untuk segera beristirahat karena kelelahan yang mereka rasakan baik fisik maupun non-fisik.

Keesokan harinya, Dona kembali disibukkan dengan rutinitasnya sehari-hari, yaitu dengan membangunkan ketiga anaknya untuk shalat shubuh dan kemudian menyiapkan ketiganya untuk ke sekolah.

Di tengah persiapan itu, anak-anak Dona mulai menanyakan tentang ayah mereka.

"Bu, Ayah pulang?" tanya Ara, anak kedua Dona.

"Iya," jawab Dona singkat.

"Sampai kapan?" tanyanya lagi.

"Insyaallah sampai Idul Adha."

"Asyiik, sampai idul Adha, Bu ? Beneran ?"

"Insyaallah, kata ayah sih begitu. Ayo, segera sarapan biar tidak terlambat," ucap Dona.

Sementara itu, Aisha, anak pertama Dona terlihat diam saja. Aisha memang lebih pendiam ketimbang kedua adiknya. Tetapi diamnya Aisha kali ini sedikit berbeda dan Dona pun merasakan perbedaannya.

"Cha, ayo cepat sarapannya," Dona mengingatkan dengan lembut.

"Iya, Bu. Bu, yang antar sekolah, ibu atau ayah ?" tanya Aisha

"Tadi malam ayah bilang mau antar jemput kalian selama di sini," jawab Dona.

"Ibu panggil ayah dulu, kalian cepat selesaikan sarapannya," ucap Dona sambil menuju kamarnya di lantai atas. Dilihatnya Tyo sedang tiduran sambil beraktivitas dengan gawainya.

"Mas, sudah ditunggu anak-anak, katanya mau nganter ke sekolah ?"

"Oiya, sebentar," jawab Tyo dan bersiap untuk mengantarkan putrinya ke sekolah.

Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan kedua putrinya dari lantai bawah, sementara Dona sedang membangunkan Zalfa yang masih tertidur nyenyak.

"Bu, aku berangkat !"

Dona segera turun, kedua putrinya pun menghampiri untuk berpamitan.

"Yang pinter yaa, Shalihah," ucap Dona kepada keduanya sambil bersalaman dan tak lupa ia mencium kedua pipi Aisha dan Ara.

"Iya Bu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Yang, mas nganter sekolah dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamit Tyo dari dalam mobil.

"Iya, wa'alaikumsalam."

Dona tersenyum bahagia karena pemandangan seperti ini, ia temui beberapa bulan yang lalu, sebelum mereka pindah ke Jogja. Tetapi ia berharap, sesaat lagi setelah Tyo mengundurkan diri dari pekerjaannya, keluarganya akan menjadi keluarga yang utuh dan normal seperti pada umumnya.

Sepekan pun berlalu, di tengah malam Dona terbangun dan tidak mendapati Tyo disampingnya. Dona pun merasakan keanehan. Lalu ia mulai membuka pintu kamar-kamar yang kosong, tetapi Tyo tidak ada, hingga ada satu kamar yang terkunci dari dalam.

"Mas, Mas di dalam ?" tanya Dona sambil mengetuk-ngetuk pintu.

Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Dona pun mencobanya kembali dan kali ini, dengan wajah panik, Tyo membuka pintunya.

"Gawat, gawat ! Mas harus segera kembali ke Jakarta !"

"Ada apa, Mas ? Apa yang gawat ?"

"Pokoknya mas harus segera kembali ke Jakarta, tadi Ratna nelpon," ucap Tyo tanpa penjelasan lebih lanjut.

Dona merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Tyo, tetapi Dona memilih untuk tidak menanyakannya. Di pagi harinya, Tyo telah bersiap untuk kembali ke Jakarta guna mengurus kegawatdaruratan yang terjadi di tempat kerjanya, sekaligus untuk mengurus surat pengunduran dirinya.

"Mas ke Jakarta dulu ya, sekalian untuk ngurus proses resign, in syaa Allah nggak lama, setelah itu langsung kembali lagi kesini."

"Sekalian bawa barang yang ada di kontrakan, kemarin aku lupa, ada buku-buku sama mainan anak-anak," Dona mengingatkan.

"Iya, in syaa Allah nanti dibawain," ucap Tyo penuh senyum.

"Aku anter ke Bandara, sekalian jemput Zalfa, ya," ucap Dona.

"Iya, makasih Sayang."

"Sama-sama, Mas."

Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Dona, mereka pun segera menjemput Zalfa di TK yang tak jauh dari tempat tinggal mereka sebelum menuju Bandara Adisutjipto.

Sesampainya di bandara, tibalah saat untuk berpisah kembali. Tyo pun memeluk Zalfa dan mencium kedua pipinya.

"Ayah ke Jakarta dulu ya, Zalfa baik-baik di rumah sama ibu dan mbak ya," pamit Tyo.

"Ayah kapan pulangnya?" tanya Zalfa penuh harap.

"Insyaallah secepatnya, ayah belum tahu kapan bisa pulangnya, tergantung kerjaan ayah di Jakarta. Zalfa do'ain ayah ya, biar urusan ayah di Jakarta bisa cepat selesai."

"Iya, Yah. Nanti aku do'ain biar ayah cepat pulang ke sini lagi."

"Makasih ya, Sayang."

Setelah selesai berpamitan dengan putrinya, Tyo beralih ke Dona. Ia menggenggam erat kedua tangan Dona dengan wajah yang menunjukkan keengganan hatinya untuk berpisah.

"Yang maafin, Mas harus kembali ke Jakarta. Do'ain Mas yaa. Makasih sudah mau nunggu, Mas," ucap Tyo sambil memeluk erat dan mencium pipi Dona.

"Iya Mas, fii amanillah," ucap Dona yang juga merasa berat untuk melepas kepergian Tyo.

Setelah beberapa saat berpelukan, Tyo dan Dona sama-sama melepaskan pelukannya.

Dona kemudian mencium tangan Tyo, kemudian keduanya pun berpisah.Dona pun kembali melajukan kendaraan milik ayahnya itu untuk kembali ke rumah.

"Bu, ayah kapan pulang lagi ?" tanya Zalfa yang masih berharap untuk bersama dengan Tyo lebih lama.

"Hmm baru berangkat sudah ditanya kapan pulang. Ibu juga nggak tahu, tapi tadi ayah kan bilang nggak lama, kok. Do'ain aja urusan ayah di Jakarta cepat selesai, jadi bisa segera pulang ke Jogja, trus kumpul sama kita lagi," jawab Dona.

Tanpa terasa, dua pekan pun berlalu, tetapi Tyo belum juga kembali ke Jogja dengan alasan proses resign-nya yang membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Maaf Yang, urusan resign butuh waktu sekitar tiga bulan, karena Mas harus mencari pengganti untuk proyek Mas," itulah alasan yang diutarakan Tyo, walaupun Dona meragukan ucapannya.

Hingga Dona mendapat telepon dari Ita, istri dari Farhan, atasan Tyo di kantor dan juga senior sewaktu kuliah dulu.

Mereka berdua sempat bertetangga selama lima tahun di Jakarta, sampai akhirnya Farhan, dipindahtugaskan ke cabang Surabaya, setahun sebelum Dona pindah ke Jogja.

"Don, Tyo belum balik dari Jakarta?" tanya Ita.

"Belum Mbak, katanya masih cari penggantinya."

"Hoo gitu, hmm kira-kira kapan baliknya?" tanya Ita lagi.

"Belum tahu, dia nggak bilang. Terakhir, katanya sekitar tiga bulan," jawab Dona.

"Hmmm gitu yaa, eh ntar ku telpon lagi yaa!" Ita pun menutup sambungannya dengan Dona.

Tetapi sekitar setengah jam kemudian, Ita kembali menghubungi Dona.

"Don, jujur nih, aku mau nanya serius."

"Ada apa, Mbak?" tanya Dona.

"Kemarin waktu Tyo ke Jogja, dia bilang cuti berapa lama?"

"Bilangnya sih dua pekan, Mbak, tapi sekarang sudah balik ke Jakarta lagi, katanya ada yang gawat di kantor sekalian buat urus resign sama beberes kontrakan," jawab Dona.

"Oo gitu, trus dia bilang nggak, kira-kira berapa lama?" tanya Ita lagi.

"Hmmm katanya sekitar tiga bulan untuk urus surat-surat sama pelimpahan proyek," jawab Dona.

"Oh gitu, eh Don, ada yang mau kamu ceritain ke aku tentang Tyo, nggak ? kenapa tiba-tiba pulang, trus kenapa kamu tiba-tiba ke Jakarta?" selidik Ita.

Dona pun membeku, ia belum siap membahas masalah ini dengan siapapun selain keluarganya.

"Don ! Dona, masih melek atau ketiduran nih?" canda Ita.

"Melek, Mbak !"

"Iya deh, back to pembahasan ya, tolong jujur, kenapa kemarin kamu ke Jakarta ?" tanya Ita lagi.

Kali ini Dona pun menjawabnya datar, "Tyo selingkuh."

Ita pun telah menduga jawabannya dan tanpa basa-basi mengajak Dona untuk ke Jakarta.

"Don, aku barusan ngobrol sama Ratna, dia minta kamu datang ke Jakarta, Pak Reynold juga mau ketemu kamu."

Ratna adalah manajer dan Pak Reynold adalah direktur utama di kantor tempat Tyo bekerja. Mendengar dua nama penting itu, Dona pun bertanya, apa gerangan yang membuatnya dipanggil untuk menemui mereka berdua.

"Ada apa, Mbak? Kok Ratna sama Pak Reynold mau ketemu aku ?"

Ita pun menarik nafasnya, kemudian membuangnya dengan kasar, "Masalah Tyo selingkuh itu sudah rahasia umum, semuanya sudah tahu."

Dona pun terkejut dengan jawaban Ita yang sama sekali tak ia sangka. "Kok bisa, Mbak ? Kok bisa semua orang tahu ?" tanya Dona tidak mengerti.

"Yang aku dengar dari Ratna, Tyo suka bawa selingkuhannya ke kantor, makanya aku nelpon dirimu."

"Astaghfirullah, jadi aku yang terakhir tahu ?!"

"Nah, kalau nggak salah sekarang dia sudah pindah kontrakan, kan dia ngontrak rumah lamanya Ratna, pekan lalu dia sudah nyerahin kuncinya. Nah, barang-barang yang kamu minta kayaknya masih di rumah itu deh, soalnya Ratna bilang ada kardus-kardus yang tulisannya buku-buku dan alat tulis," jawab Ita.

"Astaghfirullah, itu kebutuhan anak-anak buat sekolah, mereka nungguin kapan dikirim, sampai akhirnya aku beliin lagi disini, ternyata tetap nggak dikirim sampai sekarang ! Padahal janjinya mau kirim setelah sampai di Jakarta," kesal Dona.

"Makanya Don, aku mau ngajak kamu ke Jakarta lagi. Kita berdua ke Jakarta, gimana ?"

"Kita ?" tanya Dona.

"Iya, aku juga ke Jakarta, aku gemes nih !" jelas Ita.

"Hmmm sepertinya jiwa detektifnya bergejolak minta keluar nih !" canda Dona.

"Alhamdulillah, dirimu masih bisa bercanda," ucap Ita lega.

"Biar nggak stress, Mbak," jawab Dona sambil terkekeh.

"Iya, eh jadinya kapan bisa ke Jakarta? aku sih pekan depan tanggal 18-20 kosong, anak-anak biar sama ayahnya aja, Bang Farhan juga sudah ngizinin kok," ucap Ita.

Dona pun terdiam beberapa saat, sebelum memberikan jawabannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!