"Yolandaa!"
Aku berteriak saat masuk ke dalam kamar kos teman gontok-gontokanku.
"Ada apa, sih? Happy sekali!" sahut yolanda tanpa menoleh lantaran sedang sibuk memakai bedak di depan meja riasnya. Lagipula bayanganku sudah terpantul di cermin itu.
"Beli bakso, yuk!" ajakku bersemangat. Aku pun duduk di tepi tempat tidur Yolanda lalu mengambil sebuah bantal. Kuletakan bantal itu di atas pangkuanku dan mendaratkan kedua tanganku di sana dengan posisi nyaman.
"Bakso?" Yolanda mengerutkan alis tak percaya.
"Iya. Aku yang traktir, deh!" Raut wajahku masih percaya diri.
"Wah! Kayaknya lagi banyak duit, nih. Habis ngepet di mana?" canda Yolanda seenak jidat.
"Dasar cebong! Enak saja habis ngepet!" Kujulurkan lidah mengejek.
"Memangnya kamu dapat duit dari mana? Sekarang kan masih tanggal tua. Biasanya juga makan nasi sama telur dadar atau ikan asin doang."
"Nih, dengar ya! Kemarin malam aku nolongin orang yang dompetnya dicopet. Pas aku balikin dompet itu sama pemiliknya, orang itu kasih aku uang."
Yolanda langsung memutar posisi badannya jadi menghadapku. "Nolongin orang yang kecopetan?"
Aku mengangguk beberapa kali dengan polosnya.
"Kamu lihat isi dompetnya, tidak?"
"Aku lihat karena mau cari kartu nama pemiliknya."
"Isinya banyak, tidak?" Binar mata Yolanda berapi-api menginterogasiku.
"Idih, dengar duit langsung semangat kayak karyawan mau gajian!"
Kuledek Yolanda dan serta-merta ia pun tertawa.
"Hahaha! Kenapa kamu balikin semuanya?" tanyanya lagi.
"Kok kamu tahu, aku balikin semua uangnya?" timpalku penasaran.
"Iyalah!" sergah Yolanda sangar. "Tampang polos otak dodol!"
"Jelas dong aku balikin semuanya, Yol! Itukan uangnya orang. Bukan uangku."
"Harusnya kamu ambil selembar, dua lembar, gitu."
"Lah, orangnya malah kasih aku lebih. Bukan cuma selembar, dua lembar."
"Benar kamu?" Yolanda mendekatiku. Hidungnya yang lumayan mancung mencium aroma uang di sekitarku. "Memangnya kamu dikasih berapa, Ndy?"
"Lumayanlah. Bisa buat beli buku kuliah sama traktir kamu makan lima mangkuk bakso."
"Cih! Itu sih kurang banyak!" cibirnya jutek.
"Yang penting kan lebih dari selembar, dua lembar kayak yang kamu bilang, Wek!" Kujulurkan lidah lagi mencandainya.
"Tapi sebentar lagi aku mau berangkat kerja, nih!"
"Ya sudah, kita cari warung bakso yang dekat saja!"
"Oke! Pas sekali aku memang belum makan. Tahu saja kamu, ini jam cacing ngamen. Main gitar dalam perut."
"Pssh ... Hahaha! Aku kan cacingnya. Yuk gerak! Kita makan bakso."
"Ayo!"
Yolanda dan aku pun beranjak pergi dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami tiba di warung bakso favorit kami. Nama warung bakso tersebut adalah "Janda Beranak Lima".
Alasan warung bakso itu bisa menjadi warung favoritku dan Yolanda karena rasa baksonya yang memang enak. Ditambah harga semangkuk baksonya juga bersahabat. Pas di kantong anak kos yang suka mengirit pengeluaran seperti kami berdua.
Lokasinya juga tidak jauh dari indekos. Istilah kekiniannya yaitu "Terpeleset sampai", Hihihi. Jadi rate bintang dariku dan Yolanda untuk warung bakso ini adalah lima, sempurna.
Meski namanya sangar, tetapi tempat itu cukup menyenangkan. Lantaran si pemilik warung memang seorang janda yang mempunyai lima orang anak, Mpok Julaeha. Kata Mpok Julaeha banyak anak banyak rezeki. Sebab itu dia menamai warungnya Janda Beranak Lima. Supaya rezekinya banyak seperti anaknya.
Aku memesan semangkuk bakso pedas ditambah mie dan pangsit goreng. Serta teh manis dingin, sebab sedang ingin yang sederhana saja. Sedangkan Yolanda memesan seporsi nasi goreng spesial pakai telur bebek, semangkuk bakso beranak lengkap dengan anak-anaknya. Juga seporsi sate rendang jengkol dan segelas soda gembira.
Tidak menunggu lama, dua orang pelayan wanita datang ke meja kami. Mereka meletakan makanan yang telah kami pesan dengan hati-hati. Saking banyaknya pesanan Yolanda, mataku sampai terbelalak melihat ke atas meja sekarang.
"Benar-benar aji mumpung nih, Anak Kelelawar!"
"Hahaha!"
Bukannya malu, Yolanda malah terbahak-bahak.
"Ya iya lah! Sekali-kali dapat berkah dari langit."
"Yakin kamu sanggup ngabisin semua makanan ini, Yol?"
"Sadis sekali sih! Cacing di perutku yang ngamen cuma satu tapi mangkuk uang sumbangannya ada lima. Ditambah dua porsi sate jengkol lagi pun, aku masih sanggup."
Yolanda menarik kedua ujung kerah kemejanya, berlagak percaya diri.
"Ya sudah. Nanti kalau kamu masih lapar, pesan saja lagi," balasku seraya mengambil satu tusuk sate rendang jengkol milik yolanda.
Kulahap sate tersebut penuh nikmat. Melihatku makan jengkol membuat yolanda tergoda. Ia langsung mengambil satu tusuk sate juga, lantas segera memakannya.
"Ah, kenikmatan surga tiada tara!" ungkapnya puas. Yolanda benar-benar menikmati setiap gigitannya.
"Memangnya di surga ada jengkol?" tanyaku lugu.
"Tidak tahu. Aku belum pernah ke sana." Gadis berambut lurus berwarna hitam itu mengedikan kedua bahu.
"Lah, jadi yang kamu bilang surga yang mana?"
Satu sudut bibir Yolanda terangkat. "Surga dunia dong, Sayang!"
Aku mencebik manja. Kemudian kutusukan garpu ke dalam bakso pedasku. Menggigitnya sedikit lalu mengunyahnya. Seketika kelezatan langsung lumer di atas lidahku.
"Wah, benar-benar enak baksonya, Yol!"
"Coba! Coba! Aku mau coba!" pinta yolanda antusias.
Aku pun memberikan garpu berisi bakso padanya. Ia menggigit dan pada hitungan detik berikutnya merasakan hal yang sama.
"Iya, enak!" ungkap Yolanda, jujur.
"Pintar ya Mpok Julaeha buat baksonya," kataku memuji si empunya warung.
"Dia kan janda, sudah pengalaman kali."
Lagi-lagi Yolanda bercanda sembari cengar-cengir tidak jelas.
"Hush! Gosip saja. Nanti kalau Mpok Julaeha dengar, bisa dijambak kita berdua. Dia lagi berdiri di belakang meja kasir, tuh!" omelku dengan gerakan kepala menunjuk ke belakang.
"Hehe ... Ya sudah. Yuk, makan yuk!"
"Hhmm...."
Aku berdeham lalu melahap bakso pedasku lagi.
**
Tiga hari setelahnya.
Rinai hujan yang turun di pagi hari, akhir bulan November begitu syahdu. Kupeluk diriku sendiri guna menghangatkan tubuh yang kedinginan. Lantas kukenakan sandal jepit dari indekos menuju kantor tempatku bekerja magang. Rencananya akan kuganti sandal jepit itu dengan flat shoes di dalam toilet khusus pekerja wanita setibanya aku nanti.
Gedung perusahaan G. F Company.
"Hhmmm ... Basah! Basah! Basah!" celotehku selagi mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Usai turun dari angkutan umum, aku memang terkena tetesan air hujan saat berlari dari pinggir jalan menuju lobi utama gedung perusahaan G.F Company.
Aku seorang pekerja magang di perusahaan multinasional tersebut. Karena aku kuliah di jurusan manajemen pemasaran, jadi perusahaan tempatku bekerja magang menempatkan aku di bagian pemasaran pula.
Beberapa waktu berlalu, hujan akhirnya reda. Matahari pun mulai menghangatkan udara dan cuaca. Selesai makan siang di kantin perusahaan, aku melanjutkan tugasku, mengetik laporan perencanaan pemasaran produk terbaru untuk tiga bulan ke depan.
Mbak Sheryn, sekretaris direktur pemasaran yang memberikan tugas itu padaku. Selain cantik dan masih muda, Mbak Sheryn juga seorang yang baik hati. Dari sejak pertama kali aku masuk bekerja, wanita itu sudah bersikap ramah. Tak sungkan membantuku mengatasi pekerjaan yang sulit kulakukan.
Perut yang kenyang membuatku jadi lebih berkonsentrasi. Mataku fokus menatap layar komputer. Jari-jariku sedang lincah mengetik papan keyboard ketika tiba-tiba Mbak Sheryn memanggil.
"Andy!"
Ia berjalan gemulai di atas high heels seraya menghampiri meja kerjaku.
"Iya, Mbak. Ada apa?" sahutku pelan.
"Tolong bawa dokumen ini ke ruang rapat di lantai 11 ya. Kasih sama Pak Rudy. Tadi Pak Rudy lupa bawa ke ruang rapat."
Mbak Sheryn menyerahkan sebuah dokumen yang cukup tebal padaku untuk diberikan pada Pak Rudy. Pak Rudy sendiri adalah direktur pemasaran di perusahaan ini.
"Iya Mbak."
Aku mengangguk singkat. Kuambil dokumen yang disodorkan Mbak Sheryn tadi.
"Sekarang ya, Ndy. Rapatnya sebentar lagi dimulai."
"Baik Mbak."
Segera aku bangkit dari kursi. Bergegas pergi menuju ruang rapat di lantai 11.
Pintu lift merapat setelah aku masuk ke dalam. Jari telunjukku menekan tombol angka 11 yang terletak di dekat pintu. Ketika lift sudah naik dua lantai, tiba-tiba lift itu berdenting dan kembali terbuka. Ada seseorang yang menekan tombol dari luar.
"Eh...."
Sekonyong-konyong aku menggerutu pelan.
Dag! Dig! Dug! Serrrr!
Seperti mengetahui sinyal yang diberikan oleh mataku. Refleks hatiku jadi berdebar. Kenapa bisa berdebar?
***
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Frau Zasky
smangatt aku nya😁😁
2020-04-25
1