Kamar kosku begitu gelap saat aku pulang. Kunyalakan lampu sembari melempar tas ke atas tempat tidur. Kemudian kubaringkan tubuh lelahku di atas ranjang yang terbalut sprei motif bunga kamboja.
"Ah, capeknya!" lirihku kelelahan.
Efek berlari mengejar dua pencopet tadi baru kurasakan sekarang, setelah tubuhku terbaring seperti ini. Mataku yang letih mulai mendapatkan rasa kantuk. Beberapa saat setelanya rasa kantuk yang awalnya sekadar berubah menjadi luar biasa
Kupandangi terus baling-baling kipas angin yang sedang berputar-putar di langit-langit kamar. Perlahan-lahan mataku terkatup hingga akhirnya benar-benar terpejam. Aku tertidur pulas malam itu.
**
Di tempat yang berbeda.
Seorang pria duduk menyandar di kabin belakang mobil. Matanya terpejam dengan kepala bersandar ke belakang. Tangan kanannya sebentar mencolek ujung bibirnya yang berdarah, terluka oleh pukulan. Lalu jatuh lunglai ke paha. Tampak pakaian pria itu lusuh, kotor terkena tanah.
"Untung saja Tuan cepat menghubungi saya."
Seseorang yang menyetir mobil berbicara pada orang yang duduk di kabin belakang.
"Ya," jawabnya singkat dengan suara yang sedikit berat.
"Tuan, mau saya antarkan ke rumah sakit atau..."
Belum selesai orang yang menyetir bicara, pria yang duduk di kabin belakang sudah menyela.
"Ke tempat biasa saja."
"Tapi luka anda?"
"Tidak apa-apa, ini hanya luka ringan."
"Baiklah Tuan."
Mobil sedan mewah itu memutar arah. Melaju dengan kecepatan sedang menembus gelapnya malam.
**
Pagi hari.
Selesai berpakaian rapi, aku duduk di tepian kasur. Sebentar lagi waktunya berangkat ke tempatku bekerja magang. Lantas kuperiksa isi tasku, hendak memastikan apakah ada barangku yang tertinggal. Namun, saat tanganku merogoh ke dalam, selain dompet kepunyaanku sendiri, aku juga menemukan dompet yang lain.
Dompet itu berbahan kulit dengan tekstur yang lembut, warnanya coklat tua. Beberapa detik lamanya aku sibuk membolak-balik, melihat sisi depan dan belakang.
"Mungkin ini dompet orang kaya. Terbuat dari kulit buaya atau ular, ya?" candaku seraya tersenyum konyol.
'Boleh tidak kubuka dompet ini? Tapi dompet ini kan punya orang, bukan punyaku,' sergahku dalam hati.
Cukup lama aku diam memikirkan perlakuan yang tepat pada dompet itu dan akhirnya kuputuskan untuk membuka dompet. Mungkin saja ada kartu nama si empunya di dalam. Jadi aku bisa mengembalikan pada pemiliknya
Sesudah kubuka dompet tersebut, lantas kudapati beberapa kartu yang terselip di dalam slotnya. Malahan tidak kutemukan kartu tanda pengenal di sana. Iseng, kulirik kumpulan tebal uang kertas yang semuanya berwarna merah. Kumpulan uang itu disusun rapi secara horizontal. Meski tahu hal itu, tidak ada niatan sedikit pun untuk mengetahui berapa jumlahnya.
Selain kartu dan lembaran uang, ada juga sebuah foto terpajang di dalam slot foto. Mataku fokus mengamatinya cukup lama. Ketika melihat foto itu, di situlah rasa penasaranku muncul ingin melihatnya lebih jelas.
"Maaf ya Tuan. Maaf ya, aku lihat fotonya," ucapku meminta izin walaupun tidak ada orangnya.
Setelah itu kuberanikan diri untuk mengeluarkan foto tadi dari slot.
"Benar bukan sih ini orang yang kulihat kemarin malam?"
Aku menggerutu lantaran kurang yakin sebab kondisi gelap di sekitaran jalan membuatku sulit melihat jelas wajah pria itu. Dari foto yang kulihat, tampak pria itu berambut warna coklat tua. Klimis dan disisir rapi ke belakang. Sepasang manik matanya biru terang. Hidungnya pun mancung menjulang. Sedangkan garis wajahnya tegas dengan rahang yang lancip. Dilengkapi dengan bibir tipis berwarna merah muda serta kulit putih khas pria Eropa.
"Wah, bule nih! Hhmm ... Tampan juga!" pujiku dengan pipi merah merona. Entah kenapa aku jadi malu-malu walau hanya melihat fotonya saja.
Jika dinilai dari penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa. Pria itu memakai setelan jas eksekutif yang pas membalut tubuhnya. Umurnya mungkin sekitaran 30 tahun. Beda jauh denganku yang masih beranjak ke 21.
Tak sengaja kubalikkan sisi belakang foto tersebut. Eh! Ternyata ada nama si pemilik foto. Kutemukan tulisan tangan bergaya sambung yang indah dengan barisan yang rapi.
"Mr. Asland Garland. M."
Namanya adalah Tuan Asland Garland. Dia juga memakai huruf M di belakang namanya. Sama sepertiku yang memiliki awalan huruf M pada nama belakangku.
"Mungkin memang sudah jodoh, kali ya? Hahaha!"
Aku terkekeh menertawakan diri sendiri. Mungkin karena efek tidak pernah punya pacar. Terlalu lama menjomblo sampai aku jadi karatan.
"Blue Tower Building, Jalan boulevard raya No. 310...," lanjutku membaca.
Untung saja ada alamatnya. Nanti malam akan kudatangi alamat yang tertera di foto itu. Lalu kukembalikan dompet ini kepada pemiliknya. Sekonyong-konyong kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jam itu menunjukan waktu sudah pukul 8.15 pagi.
"Ah, nyaris aku terlambat!"
Segera kumasukan foto tadi ke dalam dompet dengan posisi seperti awalnya. Terburu-buru kupakai flat shoes warna hitam yang berada di rak sepatu dekat pintu. Sembari menyampirkan tali tas selempang ke bahu kiri, aku pun berangkat bekerja.
**
"Oh, Blue Tower Building itu rupanya gedung apartemen," kataku pelan dengan kepala mendongak ke atas. Melihati sebuah gedung tinggi yang berada di hadapanku sekarang.
Gedung tinggi itu bergaya modern. Jika melihat dari bawah seperti gedung pencakar langit. Banyak mobil masuk dan berhenti sebentar di depan lobi utama yang kelihatan mewah. Lampu di dalamnya pun begitu terang menyala.
Dan benar saja, begitu aku melangkah masuk ke dalam, pandanganku disuguhi pemandangan gedung apartemen yang memiliki desain interior bergaya vintage nan mewah. Penghuninya mungkin orang-orang elite dan kaya.
Aku beranjak mendatangi bagian resepsionis apartemen. Terlihat lima orang wanita berada di belakang meja. Mereka semua tampak sedang sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Ada yang menerima telepon, adapula yang sedang melayani tamu lain.
"Permisi, apartemen Nomor 310 ada di lantai berapa ya?" tanyaku pada salah satu dari mereka.
"Maaf Nona, apa anda sudah membuat janji sebelumnya?"
Sontak aku bingung saat ditanya demikian, tetapi untuk melancarkan niat baikku, terpaksa aku berbohong.
"Sudah," jawabku tegas agar nampak meyakinkan.
"Ada di lantai 35. Nona bisa naik lift ke sana."
Resepsionis tadi berkata ramah seraya menunjuk pintu masuk lift yang ada di depan dari posisi kami. Aku pun ikut menoleh sesuai arahan petunjuk tangannya.
"Tapi sebelumnya Nona harus mengisi data tamu dulu."
Suara resepsionis itu juga terdengar lembut sembari menyodorkan sebuah buku tamu padaku. Selesai mengisi data diri di buku tamu. Segera aku masuk ke dalam lift.
Beberapa saat kemudian, aku pun sampai di lantai gedung yang aku tuju. Kutekan bel beberapa kali setibanya di pintu apartemen No. 310. Tak lama setelahnya pintu pun dibuka. Orang yang membuka pintu adalah seorang pria. Wajahnya menunduk, tetapi perlahan dia mengangkat kepalanya.
Deg... Serr...
Tiba-tiba hatiku berdesir gugup. Mulutku menganga, tubuhku mematung tak berdaya. Pandanganku seolah terpatri hanya padanya.
'Ta-ta-tampan sekali dia!' ungkapku dalam hati sampai terbata-bata. Sesaat kujelajahi sosok pria yang berdiri di hadapanku dari atas kepala hingga ujung kaki.
Sosok pria itu memiliki tatanan rambut coklat tua yang rapi. Panjang rambutnya sedikit melewati batas bawah telinga. Sepasang manik matanya benar-benar biru seperti langit cerah. Hidungnya pun mancung sempurna. Bibir tipisnya merah muda seolah kuncup sakura yang baru saja mekar. Apalagi kulitnya, halus nan bening meskipun dia seorang pria. Bentuk tubuhnya atletis dengan tinggi semampai, mungkin mencapai 183 cm. Ia bak dewa Yunani yang hidup.
Glek!
Kutelan ludah saking tergiurnya. Aku masih terdiam. Tenggelam dalam pesonanya yang memabukan. Dalam hitungan detik berikutnya, hidungku mencium aroma harum. Aroma harum itu segera menjalar ke rongga dada, memenuhi isi kepala. Aroma harum yang asalnya dari pria yang berdiri di depanku.
Bunga-bunga bermandikan air hujan.
'Wangi orang kaya.' Aku membatin.
Berbanding terbalik denganku, orang yang kusebutkan ciri-cirinya tadi malah merasa keheranan, melihatku hanya berdiri bengong dan melongo. Manik birunya bergerak ke atas lalu ke bawah. Mengamatiku yang seperti orang linglung.
"Kamu siapa? Cari siapa? Kenapa ke apartemenku?"
Suaranya terdengar sedikit berat. Ciri khas suara maskulin pria. Setelah mendengarnya aku jadi tambah terpesona. Ah! Penuh decak kagum. Jiwa wanitaku langsung meresponnya. Bagiku pria tampan adalah salah satu keajaiban dunia kedelapan.
"A-aku Andy, Tuan," jawabku masih gugup. "Aku datang ke sini mau balikin ini."
Kusodorkan sebuah dompet kulit yang menjadi alasanku mendatangi gedung apartemen itu. Sorot mata pria itu tampak mengenali benda yang kusodorkan.
"Ya, ini memang dompetku. Dari mana kamu mendapatkannya?" Ia bertanya seraya mengambil dompetnya.
"Kemarin malam aku lihat Tuan dicopet dua orang preman. Jadi aku kejar. Pas mau kukembalikan, Tuan sudah tidak ada di jalan itu."
Kujelaskan tentang kejadian kemarin malam sambil masih berdiri di depan apartemennya. Pria itu tidak mempersilakanku masuk. Dia hanya mengamatiku bicara. Mendengarkanku dengan seksama. Dari raut wajahnya, terlihat sepertinya pria itu mempercayai ucapanku.
"Kemarin malam aku memang mengalami kejadian itu."
"Ya Tuan. Aku sudah balikin dompet Tuan. Sekarang aku pamit pergi, ya."
Kulemparkan seulas senyum padanya lalu beranjak berbalik badan.
"Tunggu!"
Pria itu memanggilku. Langkahku jadi terhenti sontak berbalik ke arahnya lagi.
"Ada apa, Tuan? Apa barang Tuan ada yang hilang?"
Tidak seperti dugaanku, pria itu ternyata membuka dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah yang terlihat cukup tebal.
"Ini, ambillah!"
Refleks aku terkesiap.
"Maaf Tuan. Aku tidak bisa menerima ini. Aku ikhlas membantu Tuan."
Pria itu seketika meraih tanganku. Tanpa basa-basi ia meletakan uang yang dikeluarkannya dalam genggamanku.
"Ambillah!"
"Maaf Tuan, aku tidak bisa."
"Anggap saja ini imbalan karena kamu sudah menolongku dan mengembalikan dompet ini."
"Tapi Tuan...."
"Ambillah! Kalau kamu ikhlas, aku juga ikhlas."
Kulihat uang yang berada di tanganku sekarang. Sepertinya cukup banyak. Mungkin bisa jadi uang tambahan untuk membeli buku kuliahku. Dengan malu-malu, akhirnya kuterima uang itu.
"Terima kasih, Tuan."
"Hhmm!"
Dia tidak menjawab. Hanya berdeham dan mengangguk singkat.
Sebenarnya tidak terpikirkan olehku kalau pria itu mau memberiku uang sebagai imbalan. Aku juga tidak berharap diberi uang, tetapi karena orang tadi memaksa. Ya sudah, tidak baik kalau menolak pemberian tulus dari seseorang, kan? Hehehe.
***
BERSAMBUNG...
Dear Reades Tercinta, Makasih banget kalian masih setia nungguin update cerita ini dan membacanya. Makasih juga sudah mampir di laman ini. Jika sudah membaca, tolong beri komen ya.
Sehat selalu ♡
Mayu Assanna
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Bunda Azzahra
mampir thor😊😊😊
2022-05-15
0
Win_dha88
"Bunga-bunga bermandikan air hujan"...
mantra Andi yang akan terus muncul di novel ini....
heheheheh
2022-02-10
1
3C
sampe part ini masih setia baca... bagus Thor
2020-11-02
0