“Hmmm... sepertinya isi dompetku kosong.”
Di jalanan setapak itu, segerombolan orang berlalu lalang dengan keperluannya masing-masing. Mereka begitu fokus dengan telepon genggam tang mereka bawa masing-masing. Begitu hampir padatnya seperti antrean di sebuah kasir Mall pada saat diskon merajalela dan para wanita berubah menjadi monster gila.
Cuaca yang cukup terik di siang hari, seruan angin yang berhembus minim sama sekali tak mengubah fakta terkadang sebuah ilusi tampak di depan mata. Begitu nyata, tetapi itu hanyalah gambaran yang diperlihatkan oleh otak lalu disalurkan melalui saraf mata sehingga membentuk gambaran yang kita inginkan.
Contohnya saja seperti fatamorgana yang selalu berada di padang pasir. Dengan dua buah zebra cross yang di buat menyilang seperti huruf x pada rangkaian rumus integral. Apa hubungannya?... tentu saja ada, karena sekarang adalah zaman yang sudah canggih bahkan rumus-rumus seperti itu hanya perlu kita download melalui sebuah aplikasi pembantu.
Kalian pasti tahu kan E-Book?... pasti tahulah, masa zaman seperti ini gak tahu E-Book. Pffttt... sungguh memalukan sekali jika tidak tahu apa itu E-Book.
Gedung-gedung pencakar langit dengan berpuluh-puluh kaca yang memantulkan radiasi sinar matahari terkadang membuat jengkel. Namun, itu adalah realita yang harus mereka hadapi jika berada di kota mega politan seperti ini.
Di mana pepohonan yang di tanam hanya berbaris di pinggir jalan dengan jarak beberapa belas meter. Seperti sebuah pagar yang menyerupai payung minim, tidak terlalu lebar maupun tidak terlalu sempit.
Bisa dibilang pas dan cukup untuk meneduhkan beberapa bagian, tapi tidak semuanya. Suara kendaraan yang
mendengung sambil menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Sedangkan para pejalan kaki cukup tergesa-gesa dengan caranya berjalan.
Terkadang di suatu kesempatan ada yang sambil melompat-lompat indah seperti penari balet. Ada juga yang seperti siput, lambat sekali namun ketika klakson kendaraan berbunyi mereka pun sadar dan akhirnya lari terkacir-kacir.
Di sinilah kota yang telah terkena dampak globalisasi luar biasa jika di bandingkan dengan ibu kotanya sendiri.
Bandung, julukannya sebagai kota kembang memang bukan isapan jempol belaka. Di setiap sudut pasti akan selalu kita temukan beberapa taman minimalis.
Walaupun minim kota ini adalah satu-satunya kota yang cukup sejuk jika musim panas, maka tidak terlalu
menyengat seperti di kota-kota lain. Pemandangan serta sejarahnya yang cukup unik banyak mendatang kan para pariwisatawan manca negara yang ingin sekali datang ke kota kembang ini sendiri.
Jika menyangkut kota kembang, maka ada satu buah sekolah yang hampir seluruhnya di isi oleh bunga-bunga serta rerumputan hijau yang menyejukan. Kita menyebutnya sebagai sekolah X, meskipun seperti itu, sekolah ini menawarkan fasilitas yang sangat lengkap sekali.
Dan tentunya ada salah satu murid yang sangat terkenal karena kepribadiannya yang di kenal oleh dunia perwibuan. Kita mengenalnya sebagai Hikikomori atau orang yang selalu mengurung dirinya sendiri di kamar.
Tetapi bagaimana jika hanya setengah Hikikomori?... apakah mungkin? A.K.A. Amphibi yang hidup dalam dua kondisi tertentu.
Bisa saja terjadi, pada beberapa hari masuk sekolah dan beberapa hari lagi tidak masuk sekolah. Penelitian dari
berbagai sumber, Web, majalah, tabloid, blog, ataupun para pakar yang menyebutnya sebagai ahli.
Menyebutkan beberapa faktor yang memiliki sangkutpautnya dengan penyebab terjadinya penyakit yang di anggap
Hikikomori. Yang pertama adalah kurangnya bersosialisasi atau ketakutan yang mendalam terhadap beberapa kelompok sosial yang menyebut mereka sendiri teman.
Yang ke dua adalah faktor internal seperti masalah psikologis yang tidak stabil dikarena kan trauma akan kejadian
masa lalu yang menimpanya. Bisa berupa pembulian, pelecehan, di mata-matai alias stalker.
Namun, diantara kedua faktor tersebut ada yang paling parah, yaitu tanggapan bahwa ia di lahirkan di dunia yang
salah. Tanggapan yang membuahkan kesimpulan berupa dunia yang mereka tinggali sekarang tidak lebih hanya sebuah permainan yang telah di atur dan telah direncanakan dengan matang oleh segelintir orang yang benar-benar tidak bertanggung jawab.
Karena itulah mereka—para Hikikomori sangat betah sekali berada di dalam kamarnya sendiri. Walau kumuh, kotor, suram, gelap ataupun berantakan mereka tetap nyaman asalkan ada sebotol Cola besar, satu mangkuk kentang goreng dan juga satu nampan Pizza.
Tidak lupa dengan satu buah personal komputer dengan akses internet yang memadai. Hikikomori tanpa itu semua akan membusuk karena terkuras oleh waktu sia-sia yang mereka buang begitu saja.
Namun, tidak semua juga—ehmmm... diantara orang-orang seperti itu. Laki-laki yang mengaku sebagai semi
Hikikomori tengah terduduk lemas di bangku sambil melihat isi dompetnya yang benar-benar tipis.
Tidak berisi dan hanya mengeluarkan angin sapaan. Namun, di setiap sisinya terdapat kartu-kartu kredit yang tidak
di ketahui berapa jumlah nominal yang tersimpan di dalamnya. Ia beranggapan bahwa sepertinya ia harus mengandalkan mie instan yang tersimpan di tas gantel yang ia bawa.
Kotak dengan garis putih seperti perekat, warnanya seperti langit yang suram. Biru tua. Tali untuk menggantelnya
putih terang seperti cahaya. Begitu bebas tergantung di sisi meja tempatnya untuk menulis pekerjaan sekolah maupun pekerjaan sampingan.
Hingga pada akhirnya ia tersadar karena namanya di sebut oleh sebuah geraman yang tidak bersahabat.
“Ryan? Ryan?... RYAN ANGGA BASKARA!!”
Suaranya seperti gemuruh di dalam gua yang begitu gelap. Keras seperti toa pengeras suara dan berat seperti baja
dengan ukuran yang melebih batas.
Berpewakan tegap, menggunakan setelan kemeja putih berdasi hitam. Sepatu kerjanya cukup mengilat jika terkena pantulan sinar matahari siang. Sedangkan untuk celana panjangnya yang hitam seperti hampir menyentuh lantai. Rambut yang di sisir rapi ke samping kanan klinis dengan poninya yang sejajar namun tidak cepak.
Guratan atau yang lebih di kenal dengan kerutan tampak terlihat di sepanjang bawah kantung matanya. Dua buah bola matanya yang hitam sekarang telah dalam keadaan siaga dan tampak berurat.
Sedangkan mulutnya mulai tak bisa diam, seakan-akan ingin terbebas. Sementara kumis tipisnya yang cukup panjang melambai-lambai tertiup angin. Dalam satu tarikan lagi ia mulai mengeluarkan kemampuan
sebelumnya karena cooldown yang telah selesai.
“RYAN ANGGA BASKARAAA!!!”
“HuAAaaaa!”
Karena namanya terpanggil ia pun hampir terjungkal dari bangku yang kini ia duduki. Barisan pertama dari sebelah
jendela, nomor urut 15 dalam susunan bangku kelas. Saking kagetnya... ia pun mulai bangkit sambil memegang bagian sisi kanan mejanya dengan tangan kiri.
Sedangkan tangan kanannya mulai terangkat cukup tinggi. Wajahnya kini kusut seperti habis baru bangun tidur.
Matanya sedikit sayu dan warna kulitnya berubah menjadi pucat dan ada beberapa aura kesuraman yang nampak dari atas kepalanya.
“S-saya hadir pak.”
Bibirnya sedikit bergoyang seperti bergumam dan tampak begitu kelelahan.
“Lain kali kamu jangan ngelindur di siang hari, bapak telah berkata seperti ini berapa kali. Ryan... walau sekarang
musim panas tetapi kamu jangan ngelindur apa lagi jeli-jeli cairmu itu sekarang menetes.”
Kedua tangannya pria itu kini menyilang sambil mengambil yang cukup panjang. Di tangannya sekarang terdapat sebuah buku absen dan juga bolpoint yang di apit di jari jempol dan telunjuk kanannya.
“Maaf, pak... hehehe”
“Dasar! Mau sampai kapan kamu seperti ini, sekarang kamu udah SMA kelas dua, Ryan!” ujarnya sambil mendesah kecewa.
Tampak seperti ketidaksukaan terhadap sesuatu walaupun ia harus memaksakan dirinya sendiri untuk menyukainya.
“B-baiklah pak, saya tidak akan mengulanginya lagi.”
Sambil kembali merapikan badannya yang terlihat acak-acakan. Tawa mulai menggema di ruangan itu. Di ruangan dengan 27 bangku yang masing-masing di isi oleh satu orang dan tidak lebih.
Meja guru tampak kokoh di depan papan tulis virtual berwarna hitam-putih itu.
“Lain kali kalau bapak lihat kamu kayak gitu lagi, bapak tak sungkan-sungkan untuk menghukummu agar menghormati bendera kebangsaan kita dua jam di malam hari.”
Dan sekali lagi gelak tawa yang tidak tertahankan mulai keluar, membuncah bagai percikan api yang hebat. Ryan pun kembali tenang dan mulai berpikir bahwa hal yang tadi ia lihat hanyalah sebuah mimpi.
Ketika ia diam-diam memeriksa kembali isi dompetnya... ternyata sama sekali tidak merubah apapun. Sama seperti mimpinya tidak apa-apa sama sekali bahkan terkesan hampa. Hanya beberapa kartu kredit yang terpajang di bagian dalam selipnya.
Lalu waktu yang sedikit membosankan itu perlahan mulai habis. Bel pun berbunyi....
Seluruh siswa dan siswi mulai keluar dari bangkunya sambil memberi hormat kepada guru yang telah selesai bertugas. Sementara Ryan kembali mendesah khawatir keuangannya bulan ini tidak akan dapat membantunya sama sekali.
Tetapi ia masih memiliki cadangan berupa mie instan yang tersimpan di tas gantel biru pucatnya. Ia kembali pada
tas gantelnya, lalu mengodok-ngodok tas tersebut dengan gesit. Beberapa detik kemudian ia mengeluarkan sebuah buku catatan.
Pinsil mekanik berputar-putar di jari-jemarinya cukup lancar. Ia buka lembaran demi lembaran seperti mencari
sesuatu. Setelah selesai pada lembaran ke 36 ia mulai menulis sesuatu. Suara setapak kaki mulai mendekatinya perlahan.
“Ryan, kamu memang beda dari yang lain”
“Huh!?... beda dari mana? Aku masih manusia berkepala satu dengan jantung satu di tambah dengan gender laki-laki, jadi jelas-jelas aku sama seperti dirimu... Fajar.”
Sembari menulis, Ryan masih meneruskan percakapannya itu dengan kedua temannya yang telah tiba tepat di pinggir kanan bangkunya.
“Sepertinya sang putri menghampiriku lagi ... huhhh”
“Tetapi kamu hebat deh, masa di pelajaran guru Killer itu kamu masih sanggup tertidur,” ujar Anna sambil
menggeleng-gelengkan kepala ovalnya yang sedikit chubby.
Rambutnya yang dikucir ke samping seperti ponytail benar-benar berbeda. Hitam gelap itulah warna rambutnya yang kini ikut bergoyang karena kepalanya menggeleng-geleng.
Matanya agak sedikit sayu dengan dua buah pupil hitam yang sedikit kecokelatan bercampur merah samar terendam pada bagian bawahnya. Bibirnya putih dan sedikit kemerahan, di tambah dua pipinya yang kini sedikit memerah akibat teriknya sinar matahari.
“Heii... Anna, apa kau yakin tidak kepanasan dengan menggunakan pakaian tertutup seperti itu?”
“Gimana yah? Kalau di bilang iya juga nggak, mau bilang nggak juga iya... sulit untuk kujelaskan, Ryan.”
Entah mengapa gadis kelas yang kini Ryan ajak bicara adalah seorang gadis populer di kalangan anak kelas satu dan juga dua. Ryan juga tidak mengetahui bagaimana ia bisa terlibat dengan dua orang menyebalkan seperti mereka berdua.
Mereka yang mendeklarasikan diri sendiri sebagai sahabat Ryan benar-benar di luar nalar pemikiran Ryan itu
sendiri. Namun, mereka begitu bersahabat dengannya, jadi ia juga berpikir hal yang sama dengan mereka.
“Tetapi aku heran mengapa kamu mau berteman dengan lelaki membosankan seperti diriku ini? Di tambah dengan
penyakit semi hikikomori-ku ini.... “
“Aku juga heran ... dan sampai sekarang masih bertanya-tanya kenapa aku bisa berteman denganmu, Ryan”
“Dasar cewek plin-plan,” gumamnya begitu menyadari akan sebuah kehadiran yang membuatnya harus berganti mode menjadi petarung siap siaga.
“Kenapa mukamu kayak gitu, jar? Kesamber petir ya?”
“Akhirnya dinotis juga sama boss besar”
“Hentikan, itu menjijikkan aku tidak suka mendengarnya. Lalu siapa yang kau sebut boss besar?”
Fajar pun menunjuk Ryan yang melihatnya dengan tatapan menjijikkan. Ia pun membalasnya dengan tatapan seorang petarung sejati seperti di film-film aksi buatan luar negeri.
“Aku? Lah... kayaknya kamu malem tadi habis nonton film Men In Black, ya?”
“Seperti yang di harapkan dari seorang boss besar, bisa mengetahui segalanya.”
Dalam pandangan Ryan kali ini, Fajar seperti seorang lelaki aneh yang benar-benar suka sekali film-film bertema Sci-fi. Bisa di bilang seperti seorang maniak sejati, bahkan raut wajahnya pun kini meniru aktor-aktor film tersebut.
Fajar, laki-laki kutu buku berkaca mata sedikit flamboyan seperti orang-orang yang tinggal di pinggir pantai.
Rambutnya yang seperti baskom itu sesekali bergidik ketika ia mulai berbicara. Lurus dengan poninya yang
menjuntai ke bawah seperti tali balon. Matanya sedikit bulat dengan bentuk wajahnya yang kotak.
Bukan berarti seperti kotak hanya saja dagunya itu tampak seperti orang tua. Bibirnya pun sedikit tebal dan lembab.
“Lalu?” tanyanya.
“Setidaknya aku ingin menghayati isi dompetku ini, jadi bisa tidak kalian berdua tidak terlalu dekat denganku.
Terkadang aku ingin bersemedi sambil membayangkan setidaknya satu martabak keju yang enak tepat di depanku...,” ucapnya sambil mendesah.
Fajar dan Anna kini saling bertukar pandang, tak lama kemudian keduanya saling tertawa cekikikan. Inilah keahlian
Ryan teman mereka yang tidak pandai melawak tapi anehnya lucu.
“Heii... Ryan kalau kamu segitunya mau martabak keju nanti aku traktir deh, tapi imbalannya biarkan kami berada
di sini, bagaimana setuju?”
Mata Ryan mulai bersinar terang penuh harapan. nya mulai mendengus dan dari hidungnya keluar uap angin yang
berhembus, lalu ia pun menepuk pundak Fajar seperti sahabat sejatinya sendiri walaupun sebenarnya hanya deklarasi yang di dasarkan pada keegoisan mereka.
“Hmm... baiklah kawan, aku setuju”
“Hahahaha”
“Anna?”
“Tidak hiraukan saja aku, Ryan. Melihatmu seperti inilah yang membuatku menjadi ingin berteman denganmu di bandingkan dengan yang lainnya.”
Wajah Anna mulai merona seperti kelopak bunga sakura di musim semi. Tawanya juga tampak tulus. Fajar mulai menyilangkan kedua tangannya lalu mengangguk pertanda ia pun setuju dengan perkataan Anna.
“Jadi sepertinya aku benar-benar merepotkan ya?”
“Tidak, tidak, malah kami yang merepotkan kamu, Ryan.”
Fajar pun bangkit sambil mengepalkan tangan kanannya lalu dari kaca matanya yang transparan itu keluar sinar yang bersuara crinngg.
“Mari kita bertahan hingga pelajaran terakhir... yeahh”
“Y-yeahhh”
“Yeayyy.”
Ryan dan Anna pun secara tak sadar mengangkat tangan sambil bersorak seperti pesta kemenangan. Setelah itu bel pertanda masuk kembali terdengar. Fajar dan Anna kembali ke bangku mereka masing-masing sedangkan Ryan mulai kembali mengisi baterai tubuhnya sambil membayangkan martabak keju yang akan Fajar belikan untuknya.
Waktu yang mereka lalui tidak begitu terasa lama, tapi membosankan sehingga secara tidak sadar Ryan kembali tertidur di dalam dekapan kedua tangannya yang di silangkan. Walau bel telah kembali berbunyi tetapi pemuda itu masih tengkurap di atas mejanya.
Suara dengkuran pelannya cukup terdengar. Anehnya guru yang mengajar tadi tidak mengetahui bahwa Ryan sudah terpulas dengan nikmat di bangkunya sendiri. Itulah yang menyebabkannya tidak diketahui sama sekali.
Fajar dan Anna yang telah membereskan kelas karena hari ini adalah jadwal piket mereka hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala ketika tersadar bahwa Ryan masih tertidur begitu pulasnya. Apakah kedua telinganya di tutup atau di sumbat sesuatu ya? Siapa yang tahu, hanya Ryan sendirilah yang mengetahuinya.
Mereka berdua pun kembali ke bangku mereka masing-masing lalu mengambil tasnya masing-masing. Setelah itu mereka menghampiri Ryan yang begitu pulas. Anna pun langsung mengoyang-goyangkan tubuh Ryan.
“Ryan, Ryan... bangun dong, kami tidak bisa pulang kalau harus meninggalkanmu sendirian di sini.”
Samar, tapi nyata kepala Ryan mulai mendongak perlahan seperti di tarik katrol pada sumur-sumur tua. Kini wajahnya mulai terlihat setengahnya dan setengahnya lagi tertutup oleh kedua tangan yang ia silangkan di atas meja.
Matanya sedikit teler dan sipit, tetapi kantung matanya mulai terbuka.
“Ahhh... kamu manis sekali deh, aku jadi ingin memakanmu....”
Anna yang mendengar itu langsung memerah seperti kepiting rebus lalu menutup wajah manisnya. Sementara Fajar yang mendengarnya hanya bisa tertawa kecil ketika melihat itu terjadi, apalagi melihat Ryan yang kembali masuk ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri.
“Biar kupastikan agar kau tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang memalukan, Ryan apa yang kamu lihat sekarang?”
“M-martabak k-k-keju.”
Seketika Fajar yang mendengarnya langsung terbahak-bahak karena mendengar penuturan sahabatnya yang begitu
polos. Sedangkan Anna malu luar biasa karena salah paham dan sesekali menepuk pundak Ryan yang tertidur.
“Anna, kasian Ryannya jangan di tepuk tapi pukul aja wajahnya biar bonyok sekalian”
“Fajar terkadang kamu jadi sedikit sadis ya?”
“Ah... masa sih, perasaan jika kita membicarakan perbincangan antar sesama lelaki hal seperti itu wajar kok”
“Yang benar?”
“Serius! Ehh, maksudnya dua rius.”
Fajar mulai cekikikan sendiri dengan perkataan yang baru saja ia lontarkan. Namun, Anna tahu bahwa itu adalah hanya sebuah kebohongan belaka, walau ia terkadang plin-plan tetapi di dalam waktu tertentu ia juga jadi cepat tanggap.
Karena masih khawatir terhadap Ryan, ahkirnya Anna menggunakan sedikit kejutan untuk membangunkan Ryan yang masih tengkurap di atas mejanya itu.
“Ryan~ ada martabak keju lhoo~”
Dengan sedikit godaan itu, tak di sangka-sangka baterai tubuh Ryan langsung terisi penuh dan sekarang ia
terbangun dengan punggung yang tegap dan kedua mata yang terbuka lebar.
Perlahan dan kedua buah jendela matanya perlahan turun dan menampakkan dua buah bola mata sipit. Sambil mengucek-ngucek kedua matanya, Ryan mulai menelusuri seisi kelas dengan matanya yang menyipit.
“Ahhh... aku ketiduran lagi rupanya.”
Setelah itu ia mendapati Fajar dan Anna yang kini berdiri di samping kanannya.
“Ehh... Anna, Fajar belum pulang toh. Kukira kalian udah lama pulang meninggalkanku di kelas lembab ini.”
Dengan polosnya perkataan itu langsung membuat Anna dan Fajar kembali tertawa kecil. Mereka tidak menyangka bahwa godaan Anna sangat ampuh sekali ketika harus berurusan dengan tukang tidur seperti Ryan ini.
Dan lagi-lagi setetes jeli menetes jatuh ke atas tas gantel miliknya sendiri. Ryan yang begitu sadar langsung
terburu-buru mengelap mulutnya yang kini sedikit terbuka. Lalu ia mulai berdiri dengan gagah seperti tidak terjadi apa-apa.
“Baiklah mari kita segera pulang dan tolong lupakan hal yang baru saja terjadi, Ok.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Tampan_Berani
Anna kayaknya ada rasa sama Ryan 😁
2022-11-18
0