Mendadak Bapak

Mendadak Bapak

Darren-Mikhaela dan prestasi mereka

"Juara umum pertama dari kelas 10 diraih oleh...."

Pemilik suara itu diam sejenak seraya menatap ke arah seluruh siswa SMA Yayasan Bina Mulia 12, yang saat ini tengah berkumpul di lapangan.

Mata seluruh siswa itu menatap fokus ke depan, ke arah si pemilik suara yang tak lain adalah wakil kepala sekolah.

Dihadapan sang wakil kepala sekolah tersebut, terdapat sebuah pengeras suara. Sedang ditangannya tergenggam secarik kertas, berisi pengumuman hasil evaluasi belajar semester ini.

"Darren Greyson."

Seluruh siswa tampak terkejut. Beberapa orang seolah menatap tidak senang, ke arah nama yang disebutkan tadi dan ada beberapa juga yang terlihat saling berbisik. Entah apa yang tengah mereka bicarakan mengenai anak itu. Ada yang tersenyum, ada pula yang tak sabar menunggunya maju ke depan.

Tak lama kemudian, nama yang disebutkan tadi itu pun maju ke arah podium. Ia lalu berdiri di sisi kedua orang yang telah terlebih dahulu dipanggil, sebagai juara umum ketiga dan kedua. Berdampingan pula dengan para juara umum dari kelas 11 dan 12.

"Nah inilah dia para juara umum 1, 2 dan 3 dari kelas 10, 11, dan 12 SMA BINA MULIA 12.”

Tepuk tangan dan sorak sorai mewarnai lapangan sekolah tersebut, beberapa diantaranya tampak senang dan antusias. Sebagian lain memasang wajah datar, ada pula yang menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Saya harap mereka ini bisa menjadi inspirasi untuk kalian semua, siapa pun bisa berdiri disini jika kalian giat belajar. Dan untuk kalian yang berdiri di depan sini, kalian patut bangga dengan hasil kerja keras kalian. Tetapi ingat jangan sombong, jangan pelit dengan ilmu, serta jangan lengah untuk selalu belajar. Karena posisi kalian tidaklah tetap, siapapun berpeluang menggeser posisi kalian dan menggantikan kalian untuk berdiri disini. Demikian pesan dari saya selaku wakil dari kepala sekolah. Kepada bapak kepala sekolah, kami minta untuk menyerahkan piala dan piagam kepada para juara umum SMA Bina Mulia 12."

Sang kepala sekolah pun maju ke depan, untuk memberikan piala dan piagam penghargaan kepada para juara tersebut. Tampak Darren Greyson tersenyum, setelah menerima piala dan piagam. Remaja itu lalu menoleh ke arah seorang gadis dari kelas 12, yang juga menjadi juara umum di angkatannya hari itu. Mereka bertemu pandang dan saling tersenyum satu sama lain.

Setelah mendengarkan pidato singkat dari sang kepala sekolah, seluruh siswa pun kembali ke kelas masing-masing untuk menerima raport. Dan usai raport tersebut diterima serta mendengar pengumuman jadwal libur sekolah, mereka semua berhamburan dan bersiap untuk pulang ke rumah.

"Darren."

Seorang guru tampak menyambangi Darren, yang bersiap masuk ke dalam mobilnya.

"Pak Andrew, ada apa pak?" tanya Darren lalu tersenyum.

"Selamat ya, atas prestasi kamu. Bapak bangga sekali."

Pak Andrew menjabat tangan Darren lalu menepuk pundak remaja, yang berusia belum genap 15 tahun tersebut.

"Terima kasih pak, ini juga berkat bimbingan bapak dan guru yang lain." puji Darren.

"Sama-sama." Pak Andrew tersenyum.

"Oh iya, jangan lupa soal olimpiade matematika dan fisika." lanjutnya kemudian.

"Oh iya hampir lupa saya pak, kira-kira itu diselenggarakan nya kapan ya pak?. Saya lupa informasi waktu itu, udah sibuk sama urusan yang lain. Tapi tetap belajar koq tenang aja, hehe."

"Sekitar 3 bulan lagi lah. Kami sudah memutuskan bahwa kamu akan dipasangkan dengan juara umum dari kelas 12, Mikhaela Azalea Wijaya.”

"Kak Mikha?"

"Iya, kalau bukan dia siapa lagi. Di sekolah ini yang kemampuan fisikanya sama kayak kamu ya cuma Mikha. Bapak harap kalian bisa bekerjasama dengan baik, karena waktu 3 bulan itu tidaklah lama. Kami ingin kamu dan Mikha termasuk juga peserta lain bisa membawa nama sekolah kita, agar semakin baik lagi kedepannya.”

"Baik pak, kebetulan saya sama Kak Mikha memang cukup dekat. Kami dulu satu SMP, sering pulang-pergi ke sekolah sama-sama dan belajar bersama."

"Baguslah kalau begitu, ya sudah kamu pulang dulu sana. Kalau mau ngelayap, pulang dulu. Ganti baju, jangan pakai atribut sekolah."

"Baik pak, saya permisi. Selamat siang."

"Selamat siang, hati-hati dijalan."

Darren masuk ke dalam mobilnya, tak lama kemudian mobil tersebut pun melaju meninggalkan pelataran parkir sekolah. Darren begitu antusias pulang ke rumah, ia ingin segera memberi kejutan kepada kedua orang tuanya mengenai prestasi yang didapatkannya hari ini.

Remaja tampan bertubuh tinggi tersebut buru-buru keluar dari dalam mobil, ketika ia sudah sampai di halaman rumah. Ia menenteng piala dan piagam sambil tak henti-hentinya tersenyum. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan disambut oleh asisten rumah tangga.

"Eh Mas Darren udah pulang?" tanya si asisten rumah tangga, sambil menatap apa yang ada ditangan Darren.

Tanpa sungkan Darren pun mencium tangan perempuan berusia paruh baya tersebut. Ia selalu menghormati siapapun, tak peduli apa pekerjaan dan latar belakangnya.

"Darren juara umum lagi bik Wati."

"Alhamdulilah, mas Darren memang pinter. Bibi selalu bangga sama mas Darren."

"Makasih ya bik, oh iya mama mana bik?"

Darren melirik ke sekitar ruangan dan mencari dimana ibunya.

"Ee, anu. Ibu baru saja keluar, mas. Katanya ada urusan mendadak sama klien."

"Loh, semalam kan mama udah janji hari ini bakal libur demi Darren. Koq malah ingkar gitu sih?"

"Ya mana bibi tau, mas. Tadi ibu buru-buru banget perginya."

"Kalau papa?"

"Bapak juga sudah pergi dari pagi, mas. Nggak lama setelah mas berangkat ke sekolah tadi."

Darren menarik dan menghela nafas dengan kesal. Ia lalu meraih handphonenya dan mencoba menghubungi nomor sang ibu.

"Hallo, ma."

"Iya sayang, kenapa?"

Suara diseberang sana tampak tergesa-gesa.

"Mama gimana sih, kan udah janji semalam sama Darren. Kalau mama hari ini bakalan dirumah."

"Sayang, mama minta maaf ya. Mama sibuk banget sekarang, ada hal yang mesti mama urus dan itu mendesak sekali."

"Harusnya mama nggak usah janji apa-apa sama Darren, jadi Darren juga nggak berharap apa-apa sama mama."

"Iya tapi mama...."

Telpon terputus. Darren mematikan handphone nya lalu membanting alat komunikasi tersebut, ke atas sofa yang tak jauh dari tempat dimana ia berdiri. Disusul kemudian piala dan piagamnya.

"Braaak."

Remaja itu lalu berjalan dan masuk ke kamar. Detik berikutnya, terdengar suara pintu kamar yang dibanting keras.

"Braaak."

Keesokan harinya ketika bangun di pagi hari, sayup-sayup Darren mendengar suara ayah dan ibunya dari ruang makan. Remaja itu pun beranjak dari tempat tidur, menuju ke arah sumber suara tersebut dengan penuh semangat. Tampak ibu dan ayahnya tengah sarapan pagi sambil menelepon, entah menelpon siapa.

"Oke pak, saya segera kesana pagi ini."

"Ma."

Darren menyapa ibunya yang tampak sibuk menelpon.

"Iya sayang."

Ibunya menyudahi percakapan di telpon dan mencoba berinteraksi dengan Darren.

"Darren juara umum lagi."

Belum sempat menjawab, tiba-tiba handphone ibunya kembali berdering dan ibunya kembali mengangkat telpon tersebut.

"Iya pak, sebentar lagi saya jalan kesana."

Ibunya bergegas menyelesaikan makan, lalu mengambil tas tangannya yang berada di dekat Darren.

"Ma."

"Sayang, mama udah tau kalau kamu juara umum dan mama udah nggak kaget lagi koq. Kamu dari kecil emang pinter kan, mama pergi dulu ya."

"Muach."

Ibu Darren mencium kening puteranya, lalu berpamitan.

"Bye sayang, bye papa."

Ayahnya hanya melambaikan tangan, sang ibu meninggalkan Darren begitu saja. Pemuda itu kini terduduk lesu, pada saat yang bersamaan ayahnya selesai menelpon. Ia lalu memperhatikan wajah Darren yang murung tak bergairah.

"Koq kamu nggak makan, Darren?" tanya ayahnya heran.

"Kalian kayak gini aja terus, sampai kalian lupa kalau punya anak."

Suara Darren terdengar penuh kemarahan, namun nadanya rendah seolah tertahan. Ada rasa sesak yang memaksa air matanya merebak di pelupuk mata. Namun karena merasa dirinya laki-laki, ia menahannya agar tidak menangis. Padahal hatinya begitu sakit. Ayahnya pun menghela nafas dalam-dalam, ia lalu memegang bahu remaja yang belum genap berusia 15 tahun tersebut dengan lembut.

"Perusahaan papa dan perusahaan mama, memiliki ratusan karyawan. Kalau kami tidak bekerja dengan baik, lalu perusahaan kami bangkrut. Berapa banyak pegawai dan buruh pabrik yang akan gagal memberi makan keluarga mereka?. Berapa banyak orang yang akan kehilangan sumber mata pencarian?"

"Tapi Darren ini anak kalian, pa. Darren butuh kalian juga."

"Kapan kami pernah meninggalkan kamu?. Kami selalu ada buat kamu, Darren."

"Ada, tapi rasa nggak ada. Kalian pikir Darren cukup dengan melihat kalian aja tanpa berinteraksi, tanpa bicara. Tanpa perhatian dan sebagainya, iya?"

Lagi-lagi ayahnya menarik nafas panjang lalu menatap Darren lekat-lekat.

"Darren, Kalau perusahaan kami bangkrut. Bukan hanya karyawan dan buruh pabrik yang bakal menjadi korban, kamu juga. Kamu pikir sekolah kamu nggak dibayar pake uang?. Makan kamu nggak dibeli pake uang?. Semua fasilitas yang kamu pakai sekarang ini nggak dibeli dan dibayar pakai uang?"

"Darren nggak butuh uang, pa."

"Papa tau, tapi sekolah kamu yang butuh uang. Pihak asuransi kesehatan kamu yang butuh uang, pedagang yang makanannya kamu beli yang butuh uang. Atau kamu mau bilang, nggak apa-apa kita miskin dan tinggal di kolong jembatan. Asal kita sama sama terus setiap hari, berinteraksi terus setiap hari. Begitu?"

Darren tak menjawab, seluruh jawabannya seolah terkunci oleh semua ucapan ayahnya. Logikanya berkata jika semua ucapan ayahnya tersebut memang benar, namun hatinya sangat ingin memberontak. Ia ingin marah semarah-marahnya.

"Cobalah untuk lebih realistis Darren, usia kamu sudah hampir 15 tahun. Hidup tidak semudah yang kamu pikirkan, apa yang papa dan mama lakukan siang dan malam semata-mata untuk kamu. Supaya kamu tidak kekurangan, masih banyak anak lain di luar sana yang bermimpi hidup seperti kamu. Harusnya kamu bersyukur, tidak terlahir dalam keluarga yang serba kekurangan."

Darren makin diam. Ayahnya lalu mengambil handphone dan kunci mobil yang terletak diatas meja.

"Papa pergi dulu." ujarnya kemudian.

Ayah Darren beranjak pergi, sementara kini Darren berada di puncak kekesalan. Apapun yang telah dijelaskan ayahnya tadi tak mampu membendung kemarahan dihatinya, ia melangkah dengan emosi yang siap

meledak. Tangannya terkepal, sementara nafasnya memburu serta giginya gemertak. Tak lama kemudian, ia pun pergi keluar. Mendahului langkah ayahnya lalu masuk ke dalam mobil.

"Darren, kamu mau kemana?" tanya ayahnya heran.

Namun pemuda itu tak menjawab sepatah kata pun. Ia lalu menghidupkan mesin mobil dan tancap gas, meninggalkan halaman rumah tersebut. Darren menginjak pedal gas dengan penuh kebencian.

Mobilnya melaju kencang menerobos beberapa lampu merah. Ia tak peduli dengan bahaya apa yang akan dihadapinya jika ia terus seperti ini. Ia hanya ingin melampiaskan seluruh kekesalannya dan berharap bahwa ia akan merasa lebih baik setelah ini.

Ia terus melaju kencang, hingga di suatu jalan tanpa sadar muncul sebuah mobil dari arah yang berlawanan. Mobil tersebut pun juga tampak melaju kencang dan seperti kehilangan kendali.

Darren yang terkejut melihat kemunculan mobil tersebut, langsung menginjak rem. Begitupun dengan si pengemudi mobil tersebut. Sadar bahwa mobilnya akan segera bertabrakan dengan mobil Darren, ia pun langsung menginjak rem. Hingga mobil keduanya sama-sama berhenti, hanya dengan jarak kurang dari setengah meter.

"Woi, goblok lo." teriak Darren penuh emosi, sambil menongolkan kepalanya dari kaca mobil.

Darren lalu keluar dari dalam mobilnya, begitupun dengan si pemilik mobil tersebut. Mereka sudah siap saling menyerang dan beradu argumen. Namun emosi keduanya mendadak berhenti, ketika mereka berdua saling menatap satu sama lain.

"Darren?"

"Kak Mikha?"

Keduanya sama-sama tidak menyangka. Darren dan Mikhaela tak begitu menyadari jenis mobil dan plat yang digunakan oleh masing-masing dari mereka. Padahal di hari-hari biasanya acap kali mereka bertemu dan saling memperhatikan kendaraan satu sama lain.

"Aduh maaf ya, mobil kamu nggak kenapa-kenapa kan?"

Mikhaela tampak khawatir dan melihat ke arah mobil Darren.

"Mm, nggak kak. Cuma nyaris aja."

Keduanya tampak kikuk dan salah tingkah.

"Mm, kakak pinggiran dulu deh mobilnya."

"I, iya kak. Darren juga."

Mereka kembali ke mobil masing-masing lalu memarkirnya di pinggir jalan. Karena akan mengganggu pengguna jalan lain, jika masih berada ditempat yang tadi. Sesaat kemudian keduanya sama-sama keluar lalu duduk di kursi taman, yang berada di pinggir jalan tersebut.

"Maafin Darren ya kak, Darren nyetirnya nggak hati-hati. Darren kepikiran masalah dirumah."

"Iya, kakak juga minta maaf ya. Tadi juga lagi ada masalah dirumah, makanya kakak nyetir nya nggak fokus."

"Iya kak."

Darren menatap wajah Mikha, tampak kedua mata gadis itu sembab seperti habis menangis.

"Mm, kakak abis nangis ya?" tanya Darren dengan nada yang terkesan ragu-ragu.

Ia takut pertanyaannya malah membuat Mikha merasa tidak nyaman. Mikha pun tersenyum tipis lalu menunduk, perlahan senyumannya berubah menjadi sebuah tangisan yang tumpah tak tertahankan.

"Mama sama papa kakak, tau sendiri kan?. Tiap hari mereka berantem, mereka nggak pernah menganggap kakak ini ada dirumah. Yang mereka ributkan setiap saat selalu sama, perihal karir mama yang lebih tinggi ketimbang papa. Papa merasa disudutkan, sementara mama maunya mendominasi. Padahal kakak mau bilang kalau kemarin kakak dapat juara umum, nggak taunya pagi-pagi tadi udah berantem. Kamu mungkin udah bosen denger cerita kayak gini. Selama kita kenal, hampir setiap hari kakak selalu menceritakan hal yang sama soal keadaan di rumah."

Darren menyentuh bahu Mikha dan mengusapnya dengan lembut. Ia lalu memberikan sapu tangan dari dalam sakunya kepada Mikha. Mikha pun menyeka air matanya sambil sesenggukan.

"Makasih ya, Darr." ujar Mikha kemudian.

"Sama-sama kak." jawab Darren.

"Kalau kamu kenapa?. Mama sama papa kamu berantem juga dirumah?" tanya Mikha seraya menatap wajah Darren.

"Nggak sih, kak."

Darren menjatuhkan pandangannya jauh ke depan, lalu menghela nafas panjang.

"Kakak kan tau, mama sama papa Darren itu jarang berantem. Hampir nggak pernah malah. Tapi ya gitu, biasa penyakit lama. Kayak yang sering Darren ceritain ke kakak, mereka terlalu sibuk. Sampai-sampai waktu buat Darren itu nggak ada. Dari kecil Darren diasuh sama bibi yang kerja dirumah. Darren pikir semakin Darren besar, mereka akan semakin menyadari keberadaan Darren. Tapi nyatanya mereka malah semakin sibuk, seolah Darren ini nggak penting. Darren juga pengen di perhatikan dan diajak ngobrol secara intens dan intim sama kedua orang tua Darren. Banyak hal yang kadang ingin Darren ceritakan ke mereka, tapi terbentur masalah waktu dan pekerjaan mereka."

Mikha lalu menggenggam tangan Darren, ada perasaan hangat yang tiba-tiba menjalar.

"Sabar ya Darr, Kita sama koq. Sama-sama kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, mereka cuma mikirin diri mereka sendiri. Mereka nggak pernah menyadari kalau kita juga punya mata, telinga, hati, perasaan. Mereka nggak pernah tau kalau kita juga bisa terluka atas sikap mereka terhadap kita."

Darren membalas genggaman tangan itu, dan perasaan keduanya pun kian bertambah hangat.

"Iya kak. Oh iya, kakak udah dikasih tau pak Andrew belum soal Olimpiade matematika dan fisika?"

Darren mengalihkan topik pembicaraan, agar suasana tidak bertambah sedih. Ia tidak ingin lagi menceritakan perihal kedua orang tuanya. Sebab apabila diceritakan, yang muncul hanyalah perasaan sedih, marah dan juga benci.

"Belum, emang pak Andrew bilang apa?"

"Katanya sih salah satu perwakilannya untuk fisika itu, aku sama kakak. Kita dipasangkan."

"Oh ya?" Mikha nyaris tak percaya.

"Iya, dan kita cuma punya waktu kurang lebih 3 bulan doang."

"Waduh kenapa pak Andrew baru bilang sekarang, ya. Waktu 3 bulan itu mepet banget loh, mana kakak mau ujian nasional juga. Mesti belajar juga untuk itu. Sekolah ini emang kadang-kadang ya, suka mendadak kalau ada apa-apa."

"Darren juga nggak ngerti kak. Mungkin selama beberapa bulan ini, mereka menyeleksi kita dengan melihat hasil belajar kita dulu. Dan baru dapat hasil keputusannya sekarang."

"Bisa jadi sih. Tapi itu berarti kita harus belajar dengan giat, waktu kita mepet soalnya."

Darren mengangguk.

"Kita belajar sama-sama seperti biasa."

Mikha tersenyum, begitupun dengan Darren

"Abis ini kamu mau kemana?” tanya Mikha kemudian.

"Nggak tau juga kak, mau pulang males. Kalau kakak sendiri?"

"Kakak juga nggak tau mesti kemana ini, balik juga palingan mereka masih bertengkar. Nggak ada capeknya. Kadang saking gregetannya, kakak tuh pengen mereka cerai. Kelar kan semuanya?"

"Loh koq gitu?" tanya Darren heran.

"Ya, buat apa. Berumah tangga cuma buat berdebat doang, tiap hari debat. Pagi, siang , sore, malem. Nggak secara live, di handphone. Di sms juga berantem, capek kakak liatnya. Ada gitu, orang yang mau menjalani neraka rumah tangga kayak gitu. Kalau kakak mah mending cerai daripada begitu."

Darren menarik nafas, ucapan Mikha ada benarnya.

"Iya juga sih kak, kalau papa sama mama Darren mah terlalu kompak. Kompak buat membangun bisnis, tapi lupa sama anak. Apa Darren cerai aja sama mereka berdua?"

Kali ini Darren mengeluarkan pernyataan yang membuat Mikha tertawa. Ia sengaja melucu demi agar gadis itu tersenyum dan menyudahi kesedihannya.

Dan itu cukup berhasil meski sedikit garing. Ia berhasil membuat Mikha akhirnya terlihat sedikit bahagia, ditengah kegalauan hati yang melanda mereka.

"Kita cari sarapan aja yuk, gimana?"

Darren mengeluarkan ide yang tampaknya terpikirkan juga oleh Mikha.

"Boleh, aku juga belum sarapan. Tadi dirumah males. Jangan kan sarapan, denger suara mereka berantem aja udah bikin kenyang duluan."

"Hahaha."

Keduanya lalu tertawa.

"Mau makan dimana nih?" tanya Darren kemudian.

"Ya jangan tanya aku lah, kamu sendiri mau makan apa?"

"Cewek emang selalu gitu, ya."

"Maksudnya?"

"Iya, diajak makan aja susah nentuin mau makan apa dan dimana."

Mikha kembali tertawa.

"Nggak gitu, oke deh aku yang tentukan ya.”

"Ok."

"Gimana kalau di abah nasi uduk yang deket sekolah kita?"

"Wah boleh juga tuh, tapi emang abah buka? Kita kan pada libur sekolah."

"Abah mah buka tiap hari."

"Oh ya?"

"Ya, iya. Kalau ngandelin anak sekolah doang mah, terbentur libur. Terus mereka nggak makan masa?. Kalau nggak jualan kan gimana bisa dapet duit."

"Iya juga ya, koq aku nggak kepikiran sih."

"Kamu kan emang bodoh."

"Hahaha enak aja, aku juara umum ya."

"Kan nggak menjamin analisa nya panjang.”

"Buuuk."

Kali ini Darren memukul kepala Mikha, namun dengan pukulan yang bahkan nyaris tak bertenaga. Hanya sebuah peringatan untuk perempuan nakal yang mengatainya bodoh.

"Kurang ajar ya kamu dek, sama kakak."

Lagi-lagi dan lagi mereka tertawa. Agaknya kedua remaja itu sudah mulai melupakan permasalahan rumah, yang tengah mereka hadapi.

"Ya udah ah, jalan sekarang yuk. Ntar nasi uduknya abis lagi." ajak Mikha kemudian.

Darren pun beranjak, begitu juga dengan Mikha. Mereka sama-sama masuk ke mobil masing-masing. Sesaat kemudian, keduanya pun meninggalkan tempat itu dan menuju ke tempat dimana mereka ingin pergi.

Hari itu berlalu dengan penuh kegembiraan. Meskipun tatkala ingat akan keadaan rumah, mereka akan sedikit merasa sedih. Namun mereka segera menepisnya, karena rasa bahagia itu mahal bagi mereka. Maka mereka tak ingin menodainya barang sedetik pun.

Usai sarapan, Darren pergi kerumah Reno dan menumpang mandi disana. Kebetulan ia membawa pakaian di mobilnya.

Sementara Mikha masih menemani pemuda itu dan mengobrol bersama Reno. Seharian itu mereka habiskan dengan mencari buku-buku bacaan, di salah satu toko buku terbesar di kota itu.

Darren dan Mikha memang suka membaca dan membahas apapun. Mereka juga dikelilingi teman-teman yang gemar menghabiskan waktu dengan buku.

Hingga malam mulai beranjak naik, keduanya berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Mereka kembali di saat jam orang tua mereka belum kembali dari kerja. Mereka tak ingin berhadapan ataupun bertegur sapa dengan kedua orang tua mereka tersebut.

Sesampainya dirumah, keduanya langsung mandi dan tidur dengan earphone yang disambungkan ke pemutar lagu. Mendengarkan musik sleep song dengan volume yang keras.

Esok harinya mereka bangun di pagi-pagi sekali agar bisa berangkat lebih awal, dan menghindari melihat hal negatif yang biasanya terjadi setiap pagi dirumah mereka. Seperti pertengkaran dan perdebatan. Begitulah kehidupan mereka berlangsung setiap hari.

Terpopuler

Comments

pipi gemoy

pipi gemoy

mampir Thor

2023-05-29

0

LalaLolita

LalaLolita

Halo Kak Othor, aku br mau mulai baca... 🥰🥰🥰 Kelihatannya menarik, udh ada sequelnya... ❤️❤️

2022-05-05

2

Damayanti Amir

Damayanti Amir

mampirrrr smngattt thor

2022-03-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!