"Juara umum pertama dari kelas 10 diraih oleh...."
Pemilik suara itu diam sejenak seraya menatap ke arah seluruh siswa SMA Yayasan Bina Mulia 12, yang saat ini tengah berkumpul di lapangan.
Mata seluruh siswa itu menatap fokus ke depan, ke arah si pemilik suara yang tak lain adalah wakil kepala sekolah.
Dihadapan sang wakil kepala sekolah tersebut, terdapat sebuah pengeras suara. Sedang ditangannya tergenggam secarik kertas, berisi pengumuman hasil evaluasi belajar semester ini.
"Darren Greyson."
Seluruh siswa tampak terkejut. Beberapa orang seolah menatap tidak senang, ke arah nama yang disebutkan tadi dan ada beberapa juga yang terlihat saling berbisik. Entah apa yang tengah mereka bicarakan mengenai anak itu. Ada yang tersenyum, ada pula yang tak sabar menunggunya maju ke depan.
Tak lama kemudian, nama yang disebutkan tadi itu pun maju ke arah podium. Ia lalu berdiri di sisi kedua orang yang telah terlebih dahulu dipanggil, sebagai juara umum ketiga dan kedua. Berdampingan pula dengan para juara umum dari kelas 11 dan 12.
"Nah inilah dia para juara umum 1, 2 dan 3 dari kelas 10, 11, dan 12 SMA BINA MULIA 12.”
Tepuk tangan dan sorak sorai mewarnai lapangan sekolah tersebut, beberapa diantaranya tampak senang dan antusias. Sebagian lain memasang wajah datar, ada pula yang menunjukkan ekspresi tidak suka.
"Saya harap mereka ini bisa menjadi inspirasi untuk kalian semua, siapa pun bisa berdiri disini jika kalian giat belajar. Dan untuk kalian yang berdiri di depan sini, kalian patut bangga dengan hasil kerja keras kalian. Tetapi ingat jangan sombong, jangan pelit dengan ilmu, serta jangan lengah untuk selalu belajar. Karena posisi kalian tidaklah tetap, siapapun berpeluang menggeser posisi kalian dan menggantikan kalian untuk berdiri disini. Demikian pesan dari saya selaku wakil dari kepala sekolah. Kepada bapak kepala sekolah, kami minta untuk menyerahkan piala dan piagam kepada para juara umum SMA Bina Mulia 12."
Sang kepala sekolah pun maju ke depan, untuk memberikan piala dan piagam penghargaan kepada para juara tersebut. Tampak Darren Greyson tersenyum, setelah menerima piala dan piagam. Remaja itu lalu menoleh ke arah seorang gadis dari kelas 12, yang juga menjadi juara umum di angkatannya hari itu. Mereka bertemu pandang dan saling tersenyum satu sama lain.
Setelah mendengarkan pidato singkat dari sang kepala sekolah, seluruh siswa pun kembali ke kelas masing-masing untuk menerima raport. Dan usai raport tersebut diterima serta mendengar pengumuman jadwal libur sekolah, mereka semua berhamburan dan bersiap untuk pulang ke rumah.
"Darren."
Seorang guru tampak menyambangi Darren, yang bersiap masuk ke dalam mobilnya.
"Pak Andrew, ada apa pak?" tanya Darren lalu tersenyum.
"Selamat ya, atas prestasi kamu. Bapak bangga sekali."
Pak Andrew menjabat tangan Darren lalu menepuk pundak remaja, yang berusia belum genap 15 tahun tersebut.
"Terima kasih pak, ini juga berkat bimbingan bapak dan guru yang lain." puji Darren.
"Sama-sama." Pak Andrew tersenyum.
"Oh iya, jangan lupa soal olimpiade matematika dan fisika." lanjutnya kemudian.
"Oh iya hampir lupa saya pak, kira-kira itu diselenggarakan nya kapan ya pak?. Saya lupa informasi waktu itu, udah sibuk sama urusan yang lain. Tapi tetap belajar koq tenang aja, hehe."
"Sekitar 3 bulan lagi lah. Kami sudah memutuskan bahwa kamu akan dipasangkan dengan juara umum dari kelas 12, Mikhaela Azalea Wijaya.”
"Kak Mikha?"
"Iya, kalau bukan dia siapa lagi. Di sekolah ini yang kemampuan fisikanya sama kayak kamu ya cuma Mikha. Bapak harap kalian bisa bekerjasama dengan baik, karena waktu 3 bulan itu tidaklah lama. Kami ingin kamu dan Mikha termasuk juga peserta lain bisa membawa nama sekolah kita, agar semakin baik lagi kedepannya.”
"Baik pak, kebetulan saya sama Kak Mikha memang cukup dekat. Kami dulu satu SMP, sering pulang-pergi ke sekolah sama-sama dan belajar bersama."
"Baguslah kalau begitu, ya sudah kamu pulang dulu sana. Kalau mau ngelayap, pulang dulu. Ganti baju, jangan pakai atribut sekolah."
"Baik pak, saya permisi. Selamat siang."
"Selamat siang, hati-hati dijalan."
Darren masuk ke dalam mobilnya, tak lama kemudian mobil tersebut pun melaju meninggalkan pelataran parkir sekolah. Darren begitu antusias pulang ke rumah, ia ingin segera memberi kejutan kepada kedua orang tuanya mengenai prestasi yang didapatkannya hari ini.
Remaja tampan bertubuh tinggi tersebut buru-buru keluar dari dalam mobil, ketika ia sudah sampai di halaman rumah. Ia menenteng piala dan piagam sambil tak henti-hentinya tersenyum. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan disambut oleh asisten rumah tangga.
"Eh Mas Darren udah pulang?" tanya si asisten rumah tangga, sambil menatap apa yang ada ditangan Darren.
Tanpa sungkan Darren pun mencium tangan perempuan berusia paruh baya tersebut. Ia selalu menghormati siapapun, tak peduli apa pekerjaan dan latar belakangnya.
"Darren juara umum lagi bik Wati."
"Alhamdulilah, mas Darren memang pinter. Bibi selalu bangga sama mas Darren."
"Makasih ya bik, oh iya mama mana bik?"
Darren melirik ke sekitar ruangan dan mencari dimana ibunya.
"Ee, anu. Ibu baru saja keluar, mas. Katanya ada urusan mendadak sama klien."
"Loh, semalam kan mama udah janji hari ini bakal libur demi Darren. Koq malah ingkar gitu sih?"
"Ya mana bibi tau, mas. Tadi ibu buru-buru banget perginya."
"Kalau papa?"
"Bapak juga sudah pergi dari pagi, mas. Nggak lama setelah mas berangkat ke sekolah tadi."
Darren menarik dan menghela nafas dengan kesal. Ia lalu meraih handphonenya dan mencoba menghubungi nomor sang ibu.
"Hallo, ma."
"Iya sayang, kenapa?"
Suara diseberang sana tampak tergesa-gesa.
"Mama gimana sih, kan udah janji semalam sama Darren. Kalau mama hari ini bakalan dirumah."
"Sayang, mama minta maaf ya. Mama sibuk banget sekarang, ada hal yang mesti mama urus dan itu mendesak sekali."
"Harusnya mama nggak usah janji apa-apa sama Darren, jadi Darren juga nggak berharap apa-apa sama mama."
"Iya tapi mama...."
Telpon terputus. Darren mematikan handphone nya lalu membanting alat komunikasi tersebut, ke atas sofa yang tak jauh dari tempat dimana ia berdiri. Disusul kemudian piala dan piagamnya.
"Braaak."
Remaja itu lalu berjalan dan masuk ke kamar. Detik berikutnya, terdengar suara pintu kamar yang dibanting keras.
"Braaak."
Keesokan harinya ketika bangun di pagi hari, sayup-sayup Darren mendengar suara ayah dan ibunya dari ruang makan. Remaja itu pun beranjak dari tempat tidur, menuju ke arah sumber suara tersebut dengan penuh semangat. Tampak ibu dan ayahnya tengah sarapan pagi sambil menelepon, entah menelpon siapa.
"Oke pak, saya segera kesana pagi ini."
"Ma."
Darren menyapa ibunya yang tampak sibuk menelpon.
"Iya sayang."
Ibunya menyudahi percakapan di telpon dan mencoba berinteraksi dengan Darren.
"Darren juara umum lagi."
Belum sempat menjawab, tiba-tiba handphone ibunya kembali berdering dan ibunya kembali mengangkat telpon tersebut.
"Iya pak, sebentar lagi saya jalan kesana."
Ibunya bergegas menyelesaikan makan, lalu mengambil tas tangannya yang berada di dekat Darren.
"Ma."
"Sayang, mama udah tau kalau kamu juara umum dan mama udah nggak kaget lagi koq. Kamu dari kecil emang pinter kan, mama pergi dulu ya."
"Muach."
Ibu Darren mencium kening puteranya, lalu berpamitan.
"Bye sayang, bye papa."
Ayahnya hanya melambaikan tangan, sang ibu meninggalkan Darren begitu saja. Pemuda itu kini terduduk lesu, pada saat yang bersamaan ayahnya selesai menelpon. Ia lalu memperhatikan wajah Darren yang murung tak bergairah.
"Koq kamu nggak makan, Darren?" tanya ayahnya heran.
"Kalian kayak gini aja terus, sampai kalian lupa kalau punya anak."
Suara Darren terdengar penuh kemarahan, namun nadanya rendah seolah tertahan. Ada rasa sesak yang memaksa air matanya merebak di pelupuk mata. Namun karena merasa dirinya laki-laki, ia menahannya agar tidak menangis. Padahal hatinya begitu sakit. Ayahnya pun menghela nafas dalam-dalam, ia lalu memegang bahu remaja yang belum genap berusia 15 tahun tersebut dengan lembut.
"Perusahaan papa dan perusahaan mama, memiliki ratusan karyawan. Kalau kami tidak bekerja dengan baik, lalu perusahaan kami bangkrut. Berapa banyak pegawai dan buruh pabrik yang akan gagal memberi makan keluarga mereka?. Berapa banyak orang yang akan kehilangan sumber mata pencarian?"
"Tapi Darren ini anak kalian, pa. Darren butuh kalian juga."
"Kapan kami pernah meninggalkan kamu?. Kami selalu ada buat kamu, Darren."
"Ada, tapi rasa nggak ada. Kalian pikir Darren cukup dengan melihat kalian aja tanpa berinteraksi, tanpa bicara. Tanpa perhatian dan sebagainya, iya?"
Lagi-lagi ayahnya menarik nafas panjang lalu menatap Darren lekat-lekat.
"Darren, Kalau perusahaan kami bangkrut. Bukan hanya karyawan dan buruh pabrik yang bakal menjadi korban, kamu juga. Kamu pikir sekolah kamu nggak dibayar pake uang?. Makan kamu nggak dibeli pake uang?. Semua fasilitas yang kamu pakai sekarang ini nggak dibeli dan dibayar pakai uang?"
"Darren nggak butuh uang, pa."
"Papa tau, tapi sekolah kamu yang butuh uang. Pihak asuransi kesehatan kamu yang butuh uang, pedagang yang makanannya kamu beli yang butuh uang. Atau kamu mau bilang, nggak apa-apa kita miskin dan tinggal di kolong jembatan. Asal kita sama sama terus setiap hari, berinteraksi terus setiap hari. Begitu?"
Darren tak menjawab, seluruh jawabannya seolah terkunci oleh semua ucapan ayahnya. Logikanya berkata jika semua ucapan ayahnya tersebut memang benar, namun hatinya sangat ingin memberontak. Ia ingin marah semarah-marahnya.
"Cobalah untuk lebih realistis Darren, usia kamu sudah hampir 15 tahun. Hidup tidak semudah yang kamu pikirkan, apa yang papa dan mama lakukan siang dan malam semata-mata untuk kamu. Supaya kamu tidak kekurangan, masih banyak anak lain di luar sana yang bermimpi hidup seperti kamu. Harusnya kamu bersyukur, tidak terlahir dalam keluarga yang serba kekurangan."
Darren makin diam. Ayahnya lalu mengambil handphone dan kunci mobil yang terletak diatas meja.
"Papa pergi dulu." ujarnya kemudian.
Ayah Darren beranjak pergi, sementara kini Darren berada di puncak kekesalan. Apapun yang telah dijelaskan ayahnya tadi tak mampu membendung kemarahan dihatinya, ia melangkah dengan emosi yang siap
meledak. Tangannya terkepal, sementara nafasnya memburu serta giginya gemertak. Tak lama kemudian, ia pun pergi keluar. Mendahului langkah ayahnya lalu masuk ke dalam mobil.
"Darren, kamu mau kemana?" tanya ayahnya heran.
Namun pemuda itu tak menjawab sepatah kata pun. Ia lalu menghidupkan mesin mobil dan tancap gas, meninggalkan halaman rumah tersebut. Darren menginjak pedal gas dengan penuh kebencian.
Mobilnya melaju kencang menerobos beberapa lampu merah. Ia tak peduli dengan bahaya apa yang akan dihadapinya jika ia terus seperti ini. Ia hanya ingin melampiaskan seluruh kekesalannya dan berharap bahwa ia akan merasa lebih baik setelah ini.
Ia terus melaju kencang, hingga di suatu jalan tanpa sadar muncul sebuah mobil dari arah yang berlawanan. Mobil tersebut pun juga tampak melaju kencang dan seperti kehilangan kendali.
Darren yang terkejut melihat kemunculan mobil tersebut, langsung menginjak rem. Begitupun dengan si pengemudi mobil tersebut. Sadar bahwa mobilnya akan segera bertabrakan dengan mobil Darren, ia pun langsung menginjak rem. Hingga mobil keduanya sama-sama berhenti, hanya dengan jarak kurang dari setengah meter.
"Woi, goblok lo." teriak Darren penuh emosi, sambil menongolkan kepalanya dari kaca mobil.
Darren lalu keluar dari dalam mobilnya, begitupun dengan si pemilik mobil tersebut. Mereka sudah siap saling menyerang dan beradu argumen. Namun emosi keduanya mendadak berhenti, ketika mereka berdua saling menatap satu sama lain.
"Darren?"
"Kak Mikha?"
Keduanya sama-sama tidak menyangka. Darren dan Mikhaela tak begitu menyadari jenis mobil dan plat yang digunakan oleh masing-masing dari mereka. Padahal di hari-hari biasanya acap kali mereka bertemu dan saling memperhatikan kendaraan satu sama lain.
"Aduh maaf ya, mobil kamu nggak kenapa-kenapa kan?"
Mikhaela tampak khawatir dan melihat ke arah mobil Darren.
"Mm, nggak kak. Cuma nyaris aja."
Keduanya tampak kikuk dan salah tingkah.
"Mm, kakak pinggiran dulu deh mobilnya."
"I, iya kak. Darren juga."
Mereka kembali ke mobil masing-masing lalu memarkirnya di pinggir jalan. Karena akan mengganggu pengguna jalan lain, jika masih berada ditempat yang tadi. Sesaat kemudian keduanya sama-sama keluar lalu duduk di kursi taman, yang berada di pinggir jalan tersebut.
"Maafin Darren ya kak, Darren nyetirnya nggak hati-hati. Darren kepikiran masalah dirumah."
"Iya, kakak juga minta maaf ya. Tadi juga lagi ada masalah dirumah, makanya kakak nyetir nya nggak fokus."
"Iya kak."
Darren menatap wajah Mikha, tampak kedua mata gadis itu sembab seperti habis menangis.
"Mm, kakak abis nangis ya?" tanya Darren dengan nada yang terkesan ragu-ragu.
Ia takut pertanyaannya malah membuat Mikha merasa tidak nyaman. Mikha pun tersenyum tipis lalu menunduk, perlahan senyumannya berubah menjadi sebuah tangisan yang tumpah tak tertahankan.
"Mama sama papa kakak, tau sendiri kan?. Tiap hari mereka berantem, mereka nggak pernah menganggap kakak ini ada dirumah. Yang mereka ributkan setiap saat selalu sama, perihal karir mama yang lebih tinggi ketimbang papa. Papa merasa disudutkan, sementara mama maunya mendominasi. Padahal kakak mau bilang kalau kemarin kakak dapat juara umum, nggak taunya pagi-pagi tadi udah berantem. Kamu mungkin udah bosen denger cerita kayak gini. Selama kita kenal, hampir setiap hari kakak selalu menceritakan hal yang sama soal keadaan di rumah."
Darren menyentuh bahu Mikha dan mengusapnya dengan lembut. Ia lalu memberikan sapu tangan dari dalam sakunya kepada Mikha. Mikha pun menyeka air matanya sambil sesenggukan.
"Makasih ya, Darr." ujar Mikha kemudian.
"Sama-sama kak." jawab Darren.
"Kalau kamu kenapa?. Mama sama papa kamu berantem juga dirumah?" tanya Mikha seraya menatap wajah Darren.
"Nggak sih, kak."
Darren menjatuhkan pandangannya jauh ke depan, lalu menghela nafas panjang.
"Kakak kan tau, mama sama papa Darren itu jarang berantem. Hampir nggak pernah malah. Tapi ya gitu, biasa penyakit lama. Kayak yang sering Darren ceritain ke kakak, mereka terlalu sibuk. Sampai-sampai waktu buat Darren itu nggak ada. Dari kecil Darren diasuh sama bibi yang kerja dirumah. Darren pikir semakin Darren besar, mereka akan semakin menyadari keberadaan Darren. Tapi nyatanya mereka malah semakin sibuk, seolah Darren ini nggak penting. Darren juga pengen di perhatikan dan diajak ngobrol secara intens dan intim sama kedua orang tua Darren. Banyak hal yang kadang ingin Darren ceritakan ke mereka, tapi terbentur masalah waktu dan pekerjaan mereka."
Mikha lalu menggenggam tangan Darren, ada perasaan hangat yang tiba-tiba menjalar.
"Sabar ya Darr, Kita sama koq. Sama-sama kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, mereka cuma mikirin diri mereka sendiri. Mereka nggak pernah menyadari kalau kita juga punya mata, telinga, hati, perasaan. Mereka nggak pernah tau kalau kita juga bisa terluka atas sikap mereka terhadap kita."
Darren membalas genggaman tangan itu, dan perasaan keduanya pun kian bertambah hangat.
"Iya kak. Oh iya, kakak udah dikasih tau pak Andrew belum soal Olimpiade matematika dan fisika?"
Darren mengalihkan topik pembicaraan, agar suasana tidak bertambah sedih. Ia tidak ingin lagi menceritakan perihal kedua orang tuanya. Sebab apabila diceritakan, yang muncul hanyalah perasaan sedih, marah dan juga benci.
"Belum, emang pak Andrew bilang apa?"
"Katanya sih salah satu perwakilannya untuk fisika itu, aku sama kakak. Kita dipasangkan."
"Oh ya?" Mikha nyaris tak percaya.
"Iya, dan kita cuma punya waktu kurang lebih 3 bulan doang."
"Waduh kenapa pak Andrew baru bilang sekarang, ya. Waktu 3 bulan itu mepet banget loh, mana kakak mau ujian nasional juga. Mesti belajar juga untuk itu. Sekolah ini emang kadang-kadang ya, suka mendadak kalau ada apa-apa."
"Darren juga nggak ngerti kak. Mungkin selama beberapa bulan ini, mereka menyeleksi kita dengan melihat hasil belajar kita dulu. Dan baru dapat hasil keputusannya sekarang."
"Bisa jadi sih. Tapi itu berarti kita harus belajar dengan giat, waktu kita mepet soalnya."
Darren mengangguk.
"Kita belajar sama-sama seperti biasa."
Mikha tersenyum, begitupun dengan Darren
"Abis ini kamu mau kemana?” tanya Mikha kemudian.
"Nggak tau juga kak, mau pulang males. Kalau kakak sendiri?"
"Kakak juga nggak tau mesti kemana ini, balik juga palingan mereka masih bertengkar. Nggak ada capeknya. Kadang saking gregetannya, kakak tuh pengen mereka cerai. Kelar kan semuanya?"
"Loh koq gitu?" tanya Darren heran.
"Ya, buat apa. Berumah tangga cuma buat berdebat doang, tiap hari debat. Pagi, siang , sore, malem. Nggak secara live, di handphone. Di sms juga berantem, capek kakak liatnya. Ada gitu, orang yang mau menjalani neraka rumah tangga kayak gitu. Kalau kakak mah mending cerai daripada begitu."
Darren menarik nafas, ucapan Mikha ada benarnya.
"Iya juga sih kak, kalau papa sama mama Darren mah terlalu kompak. Kompak buat membangun bisnis, tapi lupa sama anak. Apa Darren cerai aja sama mereka berdua?"
Kali ini Darren mengeluarkan pernyataan yang membuat Mikha tertawa. Ia sengaja melucu demi agar gadis itu tersenyum dan menyudahi kesedihannya.
Dan itu cukup berhasil meski sedikit garing. Ia berhasil membuat Mikha akhirnya terlihat sedikit bahagia, ditengah kegalauan hati yang melanda mereka.
"Kita cari sarapan aja yuk, gimana?"
Darren mengeluarkan ide yang tampaknya terpikirkan juga oleh Mikha.
"Boleh, aku juga belum sarapan. Tadi dirumah males. Jangan kan sarapan, denger suara mereka berantem aja udah bikin kenyang duluan."
"Hahaha."
Keduanya lalu tertawa.
"Mau makan dimana nih?" tanya Darren kemudian.
"Ya jangan tanya aku lah, kamu sendiri mau makan apa?"
"Cewek emang selalu gitu, ya."
"Maksudnya?"
"Iya, diajak makan aja susah nentuin mau makan apa dan dimana."
Mikha kembali tertawa.
"Nggak gitu, oke deh aku yang tentukan ya.”
"Ok."
"Gimana kalau di abah nasi uduk yang deket sekolah kita?"
"Wah boleh juga tuh, tapi emang abah buka? Kita kan pada libur sekolah."
"Abah mah buka tiap hari."
"Oh ya?"
"Ya, iya. Kalau ngandelin anak sekolah doang mah, terbentur libur. Terus mereka nggak makan masa?. Kalau nggak jualan kan gimana bisa dapet duit."
"Iya juga ya, koq aku nggak kepikiran sih."
"Kamu kan emang bodoh."
"Hahaha enak aja, aku juara umum ya."
"Kan nggak menjamin analisa nya panjang.”
"Buuuk."
Kali ini Darren memukul kepala Mikha, namun dengan pukulan yang bahkan nyaris tak bertenaga. Hanya sebuah peringatan untuk perempuan nakal yang mengatainya bodoh.
"Kurang ajar ya kamu dek, sama kakak."
Lagi-lagi dan lagi mereka tertawa. Agaknya kedua remaja itu sudah mulai melupakan permasalahan rumah, yang tengah mereka hadapi.
"Ya udah ah, jalan sekarang yuk. Ntar nasi uduknya abis lagi." ajak Mikha kemudian.
Darren pun beranjak, begitu juga dengan Mikha. Mereka sama-sama masuk ke mobil masing-masing. Sesaat kemudian, keduanya pun meninggalkan tempat itu dan menuju ke tempat dimana mereka ingin pergi.
Hari itu berlalu dengan penuh kegembiraan. Meskipun tatkala ingat akan keadaan rumah, mereka akan sedikit merasa sedih. Namun mereka segera menepisnya, karena rasa bahagia itu mahal bagi mereka. Maka mereka tak ingin menodainya barang sedetik pun.
Usai sarapan, Darren pergi kerumah Reno dan menumpang mandi disana. Kebetulan ia membawa pakaian di mobilnya.
Sementara Mikha masih menemani pemuda itu dan mengobrol bersama Reno. Seharian itu mereka habiskan dengan mencari buku-buku bacaan, di salah satu toko buku terbesar di kota itu.
Darren dan Mikha memang suka membaca dan membahas apapun. Mereka juga dikelilingi teman-teman yang gemar menghabiskan waktu dengan buku.
Hingga malam mulai beranjak naik, keduanya berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Mereka kembali di saat jam orang tua mereka belum kembali dari kerja. Mereka tak ingin berhadapan ataupun bertegur sapa dengan kedua orang tua mereka tersebut.
Sesampainya dirumah, keduanya langsung mandi dan tidur dengan earphone yang disambungkan ke pemutar lagu. Mendengarkan musik sleep song dengan volume yang keras.
Esok harinya mereka bangun di pagi-pagi sekali agar bisa berangkat lebih awal, dan menghindari melihat hal negatif yang biasanya terjadi setiap pagi dirumah mereka. Seperti pertengkaran dan perdebatan. Begitulah kehidupan mereka berlangsung setiap hari.
Hari-hari berikutnya, Darren dan Mikhaela lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama di luar. Sekedar menambah pengetahuan sekaligus menghindari suasana rumah, yang runyam dan berantakan.
Sesaat setelah pulang sekolah, kerap kali mereka berdua menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah, perpustakaan nasional, bahkan di beberapa toko buku untuk mencari materi pelajaran matematika dan fisika. Mereka membahas soal-soal dan memecahkan berbagai macam rumus yang masih kurang mereka pahami.
Saking seringnya terlihat bersama, beberapa orang teman dekat Darren mengira jika keduanya berpacaran.
"Dar, gue liat akhir-akhir ini lo berdua-duaan mulu sama mbak Mikha. Udah kayak sendal kanan kiri, kemana-mana berdua." ujar Bimo disuatu pagi ketika mereka tengah sarapan di kantin sekolah.
"Iya tuh, gue sama Reno mergokin lo mulu kan." timpal Yudha.
"Adalah lo sama dia di toko buku, di perpusnas, di mall, di tempat makan, di tukang rujak pinggir jalan, dalam got." lanjutnya kemudian.
"Hahaha, nggak gitu juga bro. Hiperbola lo, ah." ujar Darren sambil tertawa.
"Lo pacaran ya sama dia?" tanya Reno yang kemudian disambut lagi oleh tawa Darren.
"Ya nggak lah, gila. Gue sama kak Mikha itu kan udah lama temenan, lo juga udah pada tau selama ini. Nah rencananya gue sama dia bakal mewakili sekolah kita untuk olimpiade fisika. Kalau jadi sih, makanya kita belajar bareng."
"Ooo, gitu." jawab temannya serentak.
"Tapi, lo cocok bro sama mbak Mikha." ujar Yudha dengan nada menggoda.
"Yoi, bro. Mbak Mikha itu cantik, pinter lagi. Hari gini, dimana lagi nyari cewek dengan paket lengkap begitu. Yang ada kalau pinter tapi kurang cakep. Giliran yang cakep, otaknye blo'on.” timpal Reno dengan penuh semangat.
"Tapi kan, gue lebih muda dari dia."
"Ya siapa tau kan dia demen sama dedek crunchy."
"Apaan tuh dedek Crunchy?"
"Kremes-kremes gemes."
"Hahaha."
Mereka semua tertawa lepas.
"Panjang umur nih cewek."
Tiba-tiba mata Bimo melirik ke suatu arah. Darren, Reno, dan Yudha serentak mengikuti arah pandangan Bimo. Tampak Mikhaela muncul bersama teman-temannya, gadis berambut panjang tersebut terlihat tengah berjalan sambil berbincang. Sesekali mereka tertawa riang, entah apa yang sesungguhnya tengah mereka bahas. Tapi yang namanya perempuan memang selalu begitu, mereka selalu heboh dalam setiap keadaan.
Pada saat mata Mikha dan Darren bertemu pandang, Mikha pun memberikan senyuman termanis yang ia miliki. Teman-teman Darren secara tidak sadar melambaikan tangan ke arah gadis itu, dan dibalas dengan lambaiannya yang hangat.
Perlahan Darren menyadari bahwa gadis itu memang memiliki pesona yang sangat kuat. Hingga dirinya pun seperti terserang sebuah rasa, rasa yang ia juga tak tau apa artinya.
***
Suatu ketika.
"Sok jual mahal lo, sok kecakepan tau nggak."
"Heh, emangnya kenapa kalau gue nggak mau. Lo pikir aja kenapa gue nggak mau. Liat ke dalam diri lo, lo ngaca. Lo aja kasar banget begini. Sifat dan karakter lo, hati lo, itu terpancar keluar. Gimana orang nggak negatif sama lo, mulut lo aja kotor."
Mikha berteriak pada salah satu teman seangkatannya yang baru saja menyatakan cintanya pada Mikha, namun ditolak baik-baik olehnya. Tetapi laki-laki itu tak terima dengan keputusan Mikha, hingga mengeluarkan kata-kata kasar terhadap gadis itu.
"Masih aja sok jual mahal lo ya, gue yakin lo juga udah nggak perawan lagi. Cewek model kayak lo."
"Plaaak."
Sebuah tamparan mendarat di wajah pemuda itu. Pemuda itu siap membalas, namun tiba-tiba saja Darren muncul dan menahan laju tangannya. Ia bahkan mendorong pemuda tersebut hingga nyaris terjatuh.
"Sekali lagi lo sentuh dia, gue patahkan tangan lo." Darren berkata dengan nada penuh kemarahan.
"Nggak usah ikut campur lo, lo kira lo siapa hah?. Baru kelas satu aja udah songong sama senior, nggak pengen idup lama lo?"
"Gue nggak takut sama lo atau siapapun. Mau lo 100 kali lebih senior dari gue, gue nggak takut."
"Oke."
Anak itu kemudian menjauh, setelah sebelumnya mengacungkan jari tengah sambil melihat Mikha. Darren pun kini fokus pada Mikha.
"Kakak nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa Darr, makasih ya."
Darren mengangguk.
"Sebaiknya kakak laporin ke guru BP, sebelum dia berbuat lebih lanjut. Jangan sampai menunggu dilecehkan lebih dalam dulu baru ngadu."
"Iya, Darr."
"Kalau ada apa-apa kasih tau aku."
"Iya."
Mikha kemudian berlalu. Kembali ke arah teman-teman perempuannya yang sejak tadi memperhatikan, namun takut untuk berbuat sesuatu. Karena reputasi anak yang tadi mengganggunya memang sangatlah ditakuti di angkatan mereka. Baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dia suka bersikap semena-mena dan sampai hari ini belum ada yang berani melawannya. Kecuali tadi, saat Mikha dan Darren sama-sama menentangnya. Darren kembali ke kelas dan menceritakan hal tersebut pada Reno, Yudha, dan Bimo.
"Tuh anak emang kurang ajar, bro. Udah miskin harta, miskin attitude. Dia masuk ke sekolah ini karena masih keponakan jauhnya ketua yayasan, nggak tau ponakan dari mana. Yang jelas ketua yayasan nggak tau kalau kelakuan tuh anak begitu. Beberapa guru yang kayaknya menjilat pun, terkesan menutup-nutupi kesalahan tuh bocah di depan ketua yayasan." ujar Reno panjang lebar.
"Lo tau dia anak mana?" tanya Darren penasaran.
"Tau lah, orang gue pernah ngikutin dia sampe kerumahnya. Bapaknya preman yang suka malak-malakin pedagang. Emaknya jualan di deket rumahnya, tapi gayanya selangit. Waktu itu kan dia pernah juga melecehkan gebetan gue. Gue ajak berantem, eh malah pergi. Abis itu mobil gue bannya dipecahin, di baretin. Cemen jadi orang."
"Siapa yang cemen?"
Tiba-tiba anak yang mereka bicarakan tersebut sudah berada di kelas Darren. Beserta beberapa orang rekannya, lengkap dengan tongkat baseball dan juga penggaris kayu.
Seisi kelas mulai memojokkan diri, bahkan ada yang sampai keluar kelas. Darren dan teman-temannya berdiri dengan tatapan yang menantang.
"Maju lo.” ujar Darren dengan tegas.
Teman-teman dari anak itu pun maju, namun Darren menahannya dengan tangan.
"Wait, kenapa lo nggak ikut berkelahi?" Darren bertanya pada anak itu.
"Kenapa hanya temen lo aja yang lo suruh?” lanjut Darren kemudian.
"Lo takut?" ujarnya lagi.
Anak itu terbakar emosi. Ia lalu mengambil tongkat baseball di tangan salah satu temannya, lalu bergerak cepat ke arah Darren dan mengayunkan tongkat tersebut. Dengan cepat Darren pun menghindar.
"Buuuk."
"Buuuk."
"Buuuk."
Darren berhasil memukul anak itu meski dengan tangan kosong. Anak itu belum mau menyerah, ia terus menyerang Darren. Sementara kini temannya berkelahi dengan teman-teman Darren.
"Bak, buk, bak, buk."
Acap kali Darren terkena pukulan. Namun setiap kali itu juga ia membalasnya dengan lebih keras, begitu juga dengan teman-temannya. Ada untungnya juga mereka pandai beladiri dan sering terlibat tawuran, kejadian seperti ini bukan masalah besar bagi mereka.
Seisi kelas ricuh, sampai kemudian guru dan para security pun datang untuk meredam kedua belah pihak.
"Stop...!"
"Hentikan...!"
"Ada apa ini?"
Seorang guru tampak berteriak dan menyuruh mereka semua untuk tenang.
"Ada apa ini?" tanya guru tersebut sekali lagi, sambil memberikan tatapan penuh kemarahan ke arah Darren dan teman-temannya. Tak lama kemudian pak Andrew dan guru lainnya pun tiba, mereka sama menanyakan perihal apa yang telah terjadi.
"Dia duluan menantang saya, bu."
Anak itu memberikan pembelaan dihadapan para guru dan pihak keamanan sekolah. Sebelum Darren dan teman-temannya sendiri angkat bicara.
"Kamu kenapa Darren?. Kenapa kamu menantang kakak kelas kamu?" tanya guru tersebut.
"Lah, harusnya ibu nanya?. Kenapa kakak kelas dateng ke kelas junior dan membuat keributan. Dimana-mana yang dateng lah yang salah, mana bawa tongkat baseball dan lain-lain lagi."
"Kalau kamu yang memulai duluan, bagaimana?. Mereka juga dateng ada alasan nya kan?. Nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api."
"Dia melecehkan teman saya, bu. Teman dia juga ada, satu angkatan sama dia, gara-gara cinta nya di tolak. Saya tau ibu pro sama ketua yayasan, tapi nggak melindungi kejahatan juga."
"Apa buktinya?"
Suara guru tersebut seperti menantang, meminta Darren agar bisa membuktikan tuduhannya.
"Banyak saksi yang melihat kejadian itu dan banyak juga korban kekerasan dari anak ini, baik laki-laki maupun perempuan. Selama ini mereka tidak mau mengadu karena ibu selalu membela anak ini."
"Heh, hati-hati kamu ya kalau bicara?"
"Ibu yang hati-hati, kami bisa saja mengadu kepada orang tua kami dan orang tua kami bisa saja membawa kasus ini ke ranah hukum. Ibu udah siap untuk mempertanggung jawabkan semuanya?"
Wajah guru tersebut berubah pucat dan penuh ketakutan.
"Sudah-sudah, selesaikan diruang kepala sekolah."
Kali ini Andrew menengahi, mereka semua akhirnya disidang diruang kepala sekolah. Para korban baik yang baru maupun lama diminta memberikan keterangan. Para saksi pun akhirnya mau membuka mulut.
Setelah melalui persidangan panjang selama beberapa hari, akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan anak tersebut dari sekolah itu. Entah kemana akhirnya ia. Apakah pindah ke sekolah lain atau apa, tak ada juga yang ingin tau. Sedangkan guru yang selama ini membela dan menutupi kesalahannya diberikan sangsi. Dengan di mutasi ke sekolah lain yang masih dalam naungan yayasan yang sama.
Akhirnya para siswa yang pernah menjadi korban merasa lega dan bahagia. Walaupun wajah Darren dan teman-temannya penuh luka pukulan berupa memar dan biru lebam, namun apa yang mereka dapat sepadan.
"Makasih loh, Darr. Karena kamu keadilan bisa ditegakkan di sekolah kita."
Mikha berujar sambil mengompres memar di wajah Darren yang masih tersisa. Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, namun memarnya masih ada.
"Kamu udah ngucapin itu berkali-kali kak, bahkan dari sejak kejadian hari pertama."
Mikha pun lalu tersenyum.
"Rasanya nggak cukup sekali untuk berterima kasih sama kamu."
"Tapi kan Darren nggak sendirian melakukan itu. Dibantu juga temen-temen Darren dan para saksi yang mau buka suara."
"Iya, tapi tetep provokatornya kan kamu."
Kali ini Darren tertawa.
"Enak aja, emang demo dan kerusuhan ada provokator." ujarnya kemudian.
"Ya, apalah arti sebuah istilah."
"Berarti dong, beda istilah beda makna."
"Iya pak guru." Kali ini Mikha meledek Darren, dan lagi-lagi mereka tertawa.
"Aw."
Tiba-tiba Darren mengeluh sakit pada bagian yang di kompres oleh Mikha.
"Ini masih sakit?” tanya Mikha penasaran.
"Masih tau."
"Duh, kasian kamu."
Mikha menyentuh bagian memar itu dengan tangannya yang lembut. Namun bukan pipi Darren yang tersentuh, melainkan hatinya. Sentuhan lembut itu sukses memberikan rasa hangat yang menjalar sampai ke hatinya.
"Perasaan apa ini?"
Darren pun tak mengerti.
Sejak saat itu entah kenapa, Darren seolah merasakan sentuhan tangan Mikha setiap hari. Tatapan mata indah perempuan itu selalu hadir dalam benaknya, baik siang maupun malam.
Seringkali ia terbangun ditengah malam dan teringat akan gadis itu. Ia pun tiba-tiba jadi lebih bersemangat untuk berangkat ke sekolah, karena ia akan bertemu Mikha.
Hal ini sempat ia utarakan pada teman-temannya ketika mereka tengah berkumpul dirumah Reno. Sesaat setelah mereka mengerjakan pekerjaan rumah.
"Jatuh cinta kali lo, Darr." ujar Yudha mengira-ngira.
"Apa gue bilang, udalah lo tembak aja dia. Jangan ngulur waktu, Darr. Ntar dia jadian sama orang loh." ujar Reno.
"Betul." Bimo membenarkan ucapan Reno.
"Jangan sampe lo menyesal dikemudian hari, bro." lanjut Bimo kemudian.
Darren sempat berfikir, agaknya ia sedikit ragu.
"Tapi lo pada yakin dia bakal terima gue, secara gue kan adik kelasnya dia. Sedangkan di angkatan dia, yang ganteng, pinter, populer banyak bray. Gimana kalau dia nggak suka sama gue, cuma menganggap gue sebatas temen dan adik kelas doang."
"Ya mana kita tau kalau nggak dicoba, kodarr."
Kali ini Reno mengeplak kepala Darren dengan buku.
"Lo coba aja dulu, siapa tau beruntung. Iya nggak, bro?" tanya Reno pada Yudha dan Bimo.
"Yoi, gue setuju sama Reno." ujar Yudha.
"Masa lo minder sama kakak kelas. Cemen lo, Darr."
Kali ini Bimo membuat Darren agak sedikit terbakar semangatnya.
"Tapi gimana caranya?. Kan lo pada tau kalau gue belum pernah pacaran."
"Yaelah, itu mah gampang. Lo tinggal ajak dia ketemuan, ngobrol di suatu tempat. Terus lo bilang deh maksud lo apa."
Darren terdiam dan berfikir, agaknya omongan Yudha barusan bisa ia pahami. Meskipun dihatinya masih ada sejumput ketakutan.
Cukup lama Darren berfikir dan memantapkan hatinya. Sampai sesuatu ketika, ia memberanikan diri untuk menahan Mikha sesaat setelah pulang sekolah. Agar gadis itu tak buru-buru pulang kerumah. Mikha yang heran dengan sikap Darren belakangan ini pun penasaran.
"Emangnya kenapa Darr?" tanya nya kemudian.
"Aku mau membicarakan sesuatu sama kakak."
"Soal apa?. Soal rumah lagi?. Mama sama papa kamu lagi?"
Darren menggeleng.
"Bukan kak, tapi ada hal lain."
"Soal olimpiade?"
"Bukan juga."
Mikha berfikir sejenak.
"Hm, kakak tau nih."
Kali ini Darren menatap ke arah Mikha. Ia ingin tau apa yang sesungguhnya telah diketahui gadis itu, mengenai perasaannya.
"Kamu lagi jatuh cinta kan sama cewek?. Terus kamu pengen minta pendapat kakak cara untuk mendekatinya kan?. Hayo, ngaku." ujar Mikha sambil tersenyum nakal.
"Bukan itu, kak."
"Udalah nggak usah ngeles, santai aja sama kakak mah."
"Bukan itu."
"Terus?"
"Iya aku jatuh cinta."
"Nah kan, bener kan. Kata kakak juga apa. Ciee, ciee, sama siapa?. Pasti orangnya cantik, kan?"
"Iya."
Kali ini Darren menatap Mikha lekat-lekat.
"Dia cantik, cantik banget."
Mikha makin kegirangan.
"Siapa Darr, orangnya. Penasaran aku."
"Dia ada disini."
"Ya iyalah, pasti juga anak sekolah ini kan?. Pertanyaannya, anaknya itu siapa?. Namanya siapa, kelas berapa?"
"Dia ada disini."
Darren berkata dengan nada tegas dan mimik yang serius, membuat Mikha tiba-tiba terdiam sekaligus tercengang. Apalagi tak lama kemudian, ia merasakan tangannya di sentuh oleh Darren dan digenggamnya dengan erat.
"Orang nya ada disini." Darren berujar dengan tatapan mata yang tak terlepas dari Mikha.
Suasana berubah hening, tubuh Mikhaela mulai dingin dan gemetaran.
"Kak, kakak mau nggak jadi pacar aku?" tanya nya penuh harap.
Sementara Mikha sudah berada dalam titik beku, ia tak bisa mengatakan apapun. Ia tak menyangka jika perempuan yang dimaksud oleh Darren itu adalah dirinya. Ia mengira Darren akan jatuh cinta pada teman-teman seangkatannya. Karena teman seangkatannya sendiri sudah banyak yang mengantri ingin menjadi pacar Darren.
"Kak?" Darren meminta kepastian.
"Tapi, Darr. Usia aku lebih tua dua tahunan loh dari kamu."
"Memangnya apa masalahnya dengan usia?. Kita nggak bisa meminta dilahirkan duluan atau belakangan, dan setahu aku cinta itu tidak perlu syarat apapun. Termasuk usia siapa yang seharusnya lebih tua."
"Ya tapi kan...."
"Aku bukan mau mendengar kata tapi, yang aku mau denger kamu mau apa nggak?"
Mikha melepaskan genggaman tangan Darren, lalu menatap pemuda itu dengan seksama.
"Kasih kakak waktu untuk berfikir."
Darren agak kecewa mendengar permintaan tersebut. Terlebih karena ia pun sudah mengumpulkan keberanian sekian hari hanya untuk melakukan hal ini. Ia berharap segera mendapatkan jawaban saat ini juga, namun agaknya ia harus lebih sabar.
"Berapa lama?"
"Kakak nggak tau ini akan berapa lama, yang jelas kakak harus berfikir. Meminta pendapat orang-orang terdekat kakak, teman-teman kakak."
"Kenapa nggak tanya sama hati kakak sendiri, nggak usah melibatkan orang lain?. Apa yang menurut hati kakak benar."
Mikha terdiam mendengar ucapan itu. Darren benar soal perasaan, kita tak perlu bertanya pada orang lain. Bertanya pada hati dan diri sendiri adalah hal yang paling benar.
"Iya, kakak minta waktu. Nanti pasti kakak jawab dan ini nggak akan lama."
"Oke, Darren tunggu."
Mikha pun lalu pulang ke rumahnya, begitu juga dengan Darren. Meski ia agak sedikit kecewa, namun Darren merasa lega karena telah berhasil mengalahkan ketakutannya. Ia sudah berani menyatakan perasannya secara gamblang tanpa takut akan hal apapun. Kini ia hanya harus bersabar menunggu hasilnya.
Beberapa hari pun berlalu, Darren tampak duduk sendirian di taman dekat gerbang sekolah sambil membaca buku. Tiba-tiba semua teman-temannya menghampiri.
"Woi, ngapain lo." tanya Reno seraya menepuk bahu Darren. Darren yang terkejut itu pun lalu menutup bukunya dan memperhatikan ketiga temannya itu.
"Nih, gue lagi baca buku ini." Darren menunjukkan buku pengembangan diri yang ia baca.
"Lo baru beli?" tanya Bimo kemudian.
"Yoi."
"Ntar gue pinjem dong."
"Ya udah, tapi jangan pindahin penanda kertas nya."
"Iya, Kodarr."
"Eh Darr, by the way mbak Mikha gimana?" tanya Reno kemudian. Mereka sangat penasaran dengan apa yang sudah terjadi diantara keduanya.
"Nggak tau, dia belum ngomong apa-apa ke gue. Mungkin masih mikir."
"Lama amat mikirnya." celetuk Yudha yang diikuti gelak tawa yang lainnya.
"Nggak tau, semedi dulu kali dia. Minta wangsit."
Darren memperpanjang candaan mereka, lalu mereka pun kembali tertawa. Hingga tanpa mereka sadari, tiba-tiba Mikha dan teman-temannya sudah ada disana.
Reno menepuk bahu Bimo dan Yudha, memberi mereka kode untuk segera menjauh. Mikha menoleh sebentar ke arah teman-temannya, dan teman-temannya memberi isyarat agar gadis itu mendekati Darren.
Mereka semua akhirnya pergi dan menyelinap dibalik tembok kelas dengan mata yang masih mengintip. Sementara kini Mikha mendekat ke arah Darren.
"Hai, Darr."
"Hai."
Keduanya tampak kikuk satu sama lain, Mikha lalu duduk di sisi Darren. Kemudian hening, suasana berumah menjadi kaku. Untuk beberapa saat keduanya membisu dan tak bicara sepatah kata pun.
"A, aku. Mau memberikan jawaban atas pertanyaan kamu tempo hari." ujar Mikha terbata-bata.
"Aku mau terima kamu."
Kali ini Darren tersentak dan ia pun sontak menatap gadis itu. Wajahnya yang tadinya lesu langsung sumringah, seperti mendapatkan sebuah hadiah spesial.
Teman-teman mereka yang mengintip pun tak kalah senangnya. Bahkan secara tidak sadar, Reno dan Diana teman Mikha sampai saling berpegangan tangan. Meskipun akhirnya mereka sama-sama melepaskan genggaman tersebut, lalu merasa malu dan juga kaku.
"Serius kamu mau jadi pacar aku?" tanya Darren masih tak percaya, Mikha mengangguk lalu tersenyum.
"Iya, aku serius koq."
Darren menarik nafas lega sambil tak henti-hentinya tersenyum.
"Aku seneng banget mendengar semua ini, aku pikir kamu akan menolak."
"Tadinya sih begitu."
Darren agak terkejut mendengar kata tersebut.
"Oh, ya?. Kenapa sekarang berubah pikiran?" tanya Darren kemudian.
"Aku mau menolak, karena aku pikir apa kata orang nanti. Kalau aku pacaran sama adik kelas. Apa kata teman-teman aku dan juga apa omongan seisi sekolah, apalagi kamu kan banyak yang suka. Tapi setelah aku pikir lagi, omongan kamu ada benarnya. Lebih baik aku bertanya pada hati aku sendiri, aku maunya bagaimana?. Dan hati aku menjawab, aku juga suka sama kamu. Aku nggak bisa membayangkan seandainya kamu nggak jatuh cinta sama aku. Misalkan kamu sama orang lain, aku juga belum tentu bisa rela."
Darren menarik nafas lalu menggenggam tangan Mikha dengan erat. Ia meletakkan tangan gadis itu di dadanya."
"Aku cuma suka sama kamu koq, tenang aja. Aku nggak kan sama orang lain."
"Janji."
"Iya, tapi kamu juga janji. Jangan sama orang lain."
Mikha tersenyum, gadis itu tersipu dan menunduk dalam.
"Kamu kenapa sih, bisa suka sama aku." tanya Mikha penasaran.
"Kan yang lain banyak yang suka sama kamu, cantik-cantik lagi."
"Kalau ditanya soal itu, aku juga nggak tau mesti jawab apa. Saat ini yang aku tau, aku punya perasaan sayang dan suka sama kamu. Nggak peduli siapapun yang ada di sekitar aku, siapapun yang menyukai aku. Yang aku tau, aku cuma suka sama kamu."
Mikha kembali tersipu dan tersenyum, tanpa segan ia pun lalu menyandarkan kepalanya di bahu Darren. Darren sendiri agak terkejut melihat sikap perempuan itu, namun ia membiarkannya saja.
"Aku senang, Darr. Aku senang karena kamu orangnya. Kamu adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku dan paling tau apa yang terjadi dalam hidup aku."
"Aku juga senang koq, karena orang yang aku cintai itu ternyata kamu. Orang yang nggak perlu aku ceritakan lagi bagaimana kondisi kehidupan aku, bagaimana aku menjalani hari-hari aku."
"Mulai hari ini, kita akan menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Kita nggak perlu takut dan sedih lagi soal keadaan rumah kita. Karena kita bisa membuat bahagia ditempat lain."
"Ya, aku harap juga begitu. Yang jelas hari ini aku bahagia."
"Aku juga."
Sejak saat itu keduanya resmi berpacaran.
Hari demi hari pun mulai berubah. Suasana belajar yang semula biasa saja, kini berganti menjadi keadaan yang dipenuhi perasaan aneh.
Bukannya merasa lebih nyaman setelah jadian, keduanya malah terjebak perasaan lain. Seperti takut salah bicara mengenai pelajaran, takut berpendapat, takut berkomentar, ataupun takut untuk saling mengkoreksi kesalahan masing-masing. Sama sekali berbeda dengan saat sebelum mereka berpacaran.
Saat itu mereka lebih leluasa mengemukakan pendapat dan berdebat mengenai pelajaran. Namun kini semuanya tampak canggung. Mereka takut pasangan mereka jadi tersinggung dan ngambek akibat salah bicara.
Ruang gerak mereka menjadi terbatas, tetapi keduanya tetap berusaha keras untuk belajar. Mereka masih bersikeras untuk tidak mencampur adukan antara perasaan dan pelajaran, meskipun itu sulit.
Hingga suatu hari, Darren tidak mendapati Mikhaela disekolah. Hari itu Mikha tidak masuk, Darren mencoba menghubungi nomor handphonenya namun tak diangkat. Ia lalu menyambangi kelas Mikha dan bertanya pada teman sebangkunya, Diana.
"Kak Di, Mikha kemana ya?"
"Dia nggak masuk hari ini, dek." jawab Diana.
"Iya, kira-kira kakak tau nggak dia kemana?. Soalnya aku hubungi nomornya nggak diangkat, di sms juga nggak dibales."
Diana beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik Darren keluar dari dalam kelas tersebut.
"Gini dek, semalam Mikha telpon kakak. Katanya orang tuanya berantem lagi. Dia minta kakak untuk jemput dia, tapi habis itu telponnya terputus. Tadi pagi kakak sms, nggak di read. Nah tadi juga orang tuanya nelpon kakak, dan nanyain Mikha ada apa nggak dirumah kakak. Katanya semalam Mikha pergi dari rumah tanpa pamit."
Wajah Darren berubah panik, setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan Diana. Pemuda itu bergegas menuju pelataran parkir lalu masuk ke dalam mobilnya. Usai mengelabui satpam sekolah dengan berpura-pura orang tuanya sakit, ia pun akhirnya bisa lolos dan mulai mencari keberadaan Mikha.
Darren mencari Mikha di segala penjuru, hampir semua tempat ia datangi. Hampir semua jalan sudah ia telusuri, namun tanda-tanda keberadaan Mikha belum juga ditemukan. Mobilnya terus melaju, hingga tanpa disadarinya kini ia sudah mulai keluar dari wilayah Jakarta. Ia tak tau harus kemana lagi.
Mencari orang yang kabur dari rumah ternyata tak semudah yang ia bayangkan, Darren meraih handphonenya dan mencoba mengecek sms. Tiba-tiba saja pesannya untuk Mikha berubah menjadi terkirim, ia pun segera menghubungi nomor Mikha dan kebetulan diangkat.
"Hallo." Terdengar suara Mikha di seberang.
"Kamu dimana sekarang?" Nada bicara Darren setengah berteriak.
"Darr." Suara Mikha Terisak menahan tangis.
"Kamu dimana, Mikha. Kasih tau aku, biar aku jemput."
"Aku mau sendirian dulu, Darr."
"Mikha, please. Aku khawatir sama kamu."
"Maafin aku, Darr."
"Mikha, seharian ini aku nyariin kamu dan belum pulang ke rumah sama sekali. Kamu jangan buat aku tambah kepikiran, kamu dimana sekarang?"
Hening.
"Jawab, Mikha...!"
Akhirnya Mikha pun memberitahukan keberadaannya, Darren lalu bergegas menuju kesana. Tak sulit bagi Darren menemukan gadis itu. Karena dia tau persis wilayah tersebut dan ia pun langsung mengajak gadis itu untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, hujan turun dengan derasnya. Sejak tadi Darren hanya diam, ia sangat kesal dengan sikap Mikhaela yang meninggalkan rumah sampai sejauh ini.
"Kamu ngapain di sini?. Ini tuh wilayah Bogor, udah diluar Jakarta. Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?. Kamu itu udah kelas 3 SMA, Mikha. Mikir tuh yang panjang dikit, jangan kayak anak SD yang asal mikir asal bertindak."
Mikha menunduk, tak disangkanya Darren akan semarah itu padanya.
"Aku sebenarnya kerumah tante Shinta, sepupu mama. Tapi tadi aku dengar dia terima telpon dari mama dan ngasih tau kalau aku dirumah nya, makanya aku pergi. Aku nggak mau mama datang dan jemput aku, aku udah muak banget sama mereka. Bertengkar setiap hari dengan topik yang itu-itu lagi."
"Ya, tapi nggak kayak gini juga caranya. Kalau kamu sampai di apa-apain orang dijalan tadi gimana?. Siapa yang mau menolong kamu. Itu tadi jalanan sepi banget loh, gimana coba?"
"Aku minta maaf, Darr. Aku janji nggak akan kayak gini lagi."
"Berjanji lah sama diri kamu sendiri, itu lebih penting."
Mikhaela menunduk, Darren mengurangi kecepatan karena hujan kini turun sangat deras sekali. Ketika mobil mereka memasuki sebuah jalan dengan hutan disisi kanan dan kiri jalan, tiba-tiba saja mobil Darren mengalami penurunan kecepatan drastis hingga berhenti mendadak.
"Loh, ini kenapa ya?"
Darren mencoba menghidupkan kembali mesin mobilnya, namun tak bisa.
"Coba cek mesinnya, Darr."
Diluar hujan masih deras, Darren keluar lalu mendorong mobilnya hingga sampai ke bawah pohon. Disana air hujan tak begitu deras karena terhalang dedaunan yang rimbun. Darren lalu memeriksa mesinnya, tak lama kemudian Mikha pun ikut keluar.
"Gimana, Darr?"
"Nggak tau, ini rusaknya dimana. Mana masih di tengah-tengah lagi. Balik belakang nanggung, ke depan masih jauh."
"Ya udah masuk dulu ke mobil, basah tau."
Darren menuruti keinginan Mikha. Cukup lama mereka ada di mobil, mencoba mencari bantuan dari teman-teman mereka. Namun sebagian besar tak bisa datang menjemput, hingga akhirnya hujan pun sedikit mereda.
"Gimana, Darr?"
"Reno katanya mau jemput. Tapi mobilnya lagi dipake sama kakaknya, jadi kita nunggu dulu. Kata dia di sekitar sini ada satu Villa. Kita kesana aja, mau nggak?"
"Lah terus mobilnya?"
"Ya tinggal aja dulu, lagian hari udah mau gelap. Emang kamu nggak haus, nggak laper, nggak pengen ke toilet gitu?"
"Iya sih, ya udah yuk...!"
Darren dan Mikha keluar dari dalam mobil tersebut. Mereka mencari villa yang dimaksud, dengan bantuan arahan dari Reno via telpon. Cukup jauh mereka berjalan, meski melewati hutan rimbun yang mampu menahan air hujan, namun tubuh mereka tetap saja basah.
Mereka tiba di villa tersebut dalam keadaan kedinginan. Bentuk villa itu seperti rumah sederhana pada umumnya, namun cukup indah dan benar-benar terpencil. Sesampainya disana, mereka langsung disambut oleh penjaga villa. Mereka diberikan sepasang handuk bersih, teh hangat serta makanan.
"Makasih ya pak." Darren berterima kasih kepada si penjaga villa tersebut.
"Sama-sama, oh ya mbak sama mas ini mau menginap disini?" tanya nya kemudian.
"Hmm,sebenarnya kita nunggu teman jemput pak. Mobil kami mogok, ada di jalan atas sana. Tapi mungkin, kami mau menyewa kamar di villa ini untuk istirahat sampai teman kami datang."
"Oh, sok atuh mas silahkan."
"Berapa ya, pak?. Untuk dua kamar?"
Usai sang penjaga villa menyebutkan harga sewa, Darren pun langsung membayarnya. Dan setelah mendapatkan bayaran, si penjaga langsung menunjukkan dimana kamar tersebut. Darren dan Mikha masuk ke kamar yang berseberangan.
Setelah membersihkan diri, Darren keluar dan mengetuk pintu kamar Mikha. Memastikan kalau gadis itu sudah tidur dan benar Mikha tertidur. Tetapi ia lupa mengunci pintu, Darren mendekatinya lalu menyelimuti gadis itu agar ia merasa hangat. Setelah memastikan semua aman, ia pun berbalik hendak keluar. Namun tiba-tiba Mikha terbangun dan menarik lengannya.
"Kamu terbangun karena aku?" tanya Darren kemudian.
"Nggak, Darr. Kita disini aja boleh nggak?. Aku nggak mau pulang."
Wajah Mikha tampak murung dan sedih. Darren lalu duduk disisinya dan membantu gadis itu untuk bangun.
"Nggak boleh gitu, kita harus pulang. Kita masih punya rumah. Walaupun kita membenci rumah, tapi kita mesti sekolah. Kamu yang sabar, sebentar lagi kamu lulus SMA. Kamu minta kuliah yang jauh aja, biar nggak pusing lagi sama masalah dirumah."
"Terus nanti, kalau aku kuliahnya jauh kamu gimana?"
"Nanti aku nyusul kuliah ditempat kamu, kalau aku udah selesai SMA. Yang penting, kamu jangan jatuh cinta sama orang lain."
"Kalau aku jatuh cinta sama orang lain?"
"Aku akan kecewa."
"Terus?"
"Aku mungkin nggak akan berbuat apa-apa?"
"Koq gitu?" Mikha ngambek.
"Harusnya kamu perjuangkan aku, dong."
"Aku nggak akan memaksa orang yang sudah tidak mencintai aku lagi."
"Why?"
"Karena kalau kamu cinta sama aku, kamu nggak akan mencintai orang lain."
"Bisa aja, jepitan jemuran." canda Mikha, Darren pun lalu tertawa.
Mikha menyandarkan kepalanya di dada Darren, entah mengapa ia merasa amat begitu nyaman. Mungkin karena dirumahnya, ia jarang merasakan kebersamaan dan kehangatan seperti ini. Jantung Darren pun berdegup kencang. Meski ia telah berulangkali mencium Mikha, namun baru kali ini ia benar benar merasa keinginan tersebut amat sangat memuncak. Ditambah lagi, hanya ada mereka berdua di ruangan tersebut.
Nafas Mikha terasa hangat di dadanya, gairah remajanya pun memburu. Darren menengadahkan wajah Mikha lalu mencium bibir gadis itu dengan lembut. Gayung bersambut, Mikha pun membalas ciuman tersebut tak kalah hangatnya. Mereka muda, bergairah dan sedang lupa. Maka terjadilah semua itu, sebuah hal terlarang yang terjadi begitu saja.
Mikha terhempas dengan sebuah teriakan panjang, disusul teriakan Darren yang tak kalah kencangnya. Mereka berdua pun tertidur saling berpelukan dengan keadaan tubuh sama-sama telanjang, hanya ada selimut yang menutupi.
Reno tiba pukul 4 pagi, ditemani teknisi yang bekerja di bengkel ayahnya. Mereka melihat keadaan mobil Darren dan mencari tau dimana letak masalahnya. Setelah berkutat hampir setengah jam, akhirnya mobil tersebut bisa hidup kembali. Di sepanjang jalan Darren dan Mikha hanya diam. Mereka kikuk, bingung, dan tak tau harus berkata apa. Mereka masih sama-sama mengingat kejadian semalam.
"Udah sampai, aku turun disini aja."
Mikha meminta untuk turun ketika mereka belum tepat di depan rumah, masih ada jarak sekitar 50 meter lagi. Sementara Reno masih menemani di mobil belakang.
"Kamu yakin nggak mau aku antar sampai rumah." tanya Darren dengan wajah sedikit khawatir.
"Nggak usah, nanti mama malah nanya kalian siapa dan takutnya kalian disalahkan. Bilang sama Reno terima kasih."
Darren mengangguk. Mikha bersiap membuka pintu mobil, namun Darren memegang tangannya. Mikha diam menatap Darren.
"Aku nggak akan meninggalkan kamu."
Mikha menunduk, ia lalu membuka pintu mobil dan berjalan ke arah rumahnya. Sementara kini Darren berbalik arah menuju rumahnya pula. Perasaannya campur aduk dan benar-benar bingung. Ia telah melakukan sebuah hal yang terlarang, lalu apa selanjutnya?.
Sejak hari itu Mikha berubah, ia sangat jarang melintas di depan Darren dan seperti menghindar. Kalaupun terpaksa mereka bertemu untuk urusan Olimpiade, keduanya sama sama memilih bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Beberapa waktu pun cepat berlalu, mereka mengikuti ajang olimpiade matematika dan fisika seperti yang telah dikatakan oleh pak Andrew pada waktu itu. Mereka menyabet juara pertama di ajang kompetisi tingkat internasional tersebut. Seluruh dewan guru dan seisi sekolah sangat senang dan bangga ketika mendapat telpon dari pak Andrew, yang mengabarkan bahwa sekolah mereka menang.
Sementara Darren dan teman-temannya yang juga berangkat mewakili sekolah mereka, tampak bangga dan haru saat menerima penghargaan dari pihak penyelenggara. Usai acara tersebut, mereka kembali ke hotel tempat dimana mereka menginap.
Namun tiba-tiba Mikha jatuh pingsan, mereka semua panik. Darren yang berada cukup jauh mencoba menerobos kerumunan dan langsung membawa Mikha ke kamarnya, dengan bantuan beberapa orang lainnya. Teman satu tim mereka mencoba memberikan minyak angin ke tubuh Mikha, tak lama kemudian gadis itu pun siuman.
"Mikha, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Darren khawatir.
Mikha menatap Darren, namun tak lama kemudian ia buru-buru beranjak ke kamar mandi hotel dan terdengar suara seperti muntah. Darren membuka pintu kamar mandi dan benar bahwa Mikha sedang muntah-muntah. Salah seorang teman mereka yang perempuan pun langsung masuk dan mengusap-usap punggung Mikha, hingga gadis itu selesai muntah.
Darren membantu memapah Mikha untuk kembali ke tempat tidur. Tak lama kemudian, pak Andrew dan beberapa guru yang mendampingi mereka selama berkompetisi hari itu pun datang.
"Mikha kamu baik-baik aja?" tanya pak Andrew khawatir, Mikha mengangguk lemah.
"Masuk angin mungkin, karena beberapa hari ini kalian kurang tidur dan kamu juga suka telat makan. Kamu merasa butuh ke rumah sakit?"
Mikha menggeleng.
"Saya cuma perlu tidur sebentar, pak."
"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Kita pulangnya kan masih nanti malam."
Sejak kepulangan mereka dari olimpiade tersebut, Mikha makin terus menghindari Darren. Berkali-kali Darren mencoba mendekatinya, namun Mikha selalu menghindar. Sampai akhirnya, pemuda itu mendapati Mikha yang tampak tergesa-gesa dari suatu arah.
"Mikha."
Darren menarik lengan Mikha dan membuat gadis itu sangat terkejut.
"Darren, aku mau masuk kelas. Lepasin...!"
"Aku akan lepasin sampai kamu jelaskan ke aku. Kamu kenapa menghindari aku beberapa waktu belakangan ini, salah aku apa?"
"Ini bukan masalah apa-apa. Aku cuma lagi pengen sendiri, Darr. Please."
"Mikha aku tanya sama kamu sekarang."
Darren menyentuh perut Mikha sambil terus menatapnya.
"Apa kamu hamil?" tanya nya kemudian.
Wajah Mikha tampak syok ketika Darren menanyakan hal tersebut. Ia menepis tangan Darren yang masih menempel di perutnya, dan berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Darren yang satunya lagi. Namun pemuda itu tetap menahannya.
"Mikha, kasih aku jawaban iya atau nggak."
"Lepasin Darren, jangan paksa aku."
"Kamu tinggal bilang aja iya atau nggak."
"Kalau aku hamil kamu mau apa?"
Petir menggelegar di hati Darren, perlahan ia pun melepaskan cengkaraman tangannya.
"Kamu hamil?" tanya nya dengan wajah tak percaya.
"Beneran kamu hamil?" Ia mengulanginya sekali lagi.
Mikha memejamkan matanya. Lalu kedua tangannya tampak menutup wajah, kemudian bergerak mengusap kepala serta rambutnya.
"Darren, beberapa saat lagi aku akan ujian nasional. Kamu juga mau ujian kenaikan kelas kan. Jangan buat suasana menjadi semakin runyam."
"Aku nggak Mau membuat suasana menjadi kacau, aku hanya butuh kejelasan. Aku hanya mau tau kamu hamil atau nggak?"
"Cukup, tolong kecilkan volume suara kamu. Kamu tau kan disekolah ini banyak tukang nyinyir, jadi tolong jangan ganggu aku dulu."
Mikha berlalu meninggalkan Darren, pemuda itu hanya bisa terpaku menatap kepergian gadis yang sangat disayanginya itu.
Hari demi hari pun berlalu. Darren tak bisa mengajak Mikha untuk bicara, karena perempuan itu terus dan terus menghindar. Sampai suatu hari ketika ujian nasional dan kenaikan kelas sudah selesai. Tiba-tiba saja Darren diajak pergi oleh kedua orang tuanya, ia dijemput dari sekolah. Tanpa banyak bertanya, remaja itu mengikuti kemauan orang tuanya. Mereka pergi ke sebuah rumah yang diketahui adalah milik sepupu ayahnya dan ditempat tersebut, kini ia dihadapkan pada sebuah masalah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Jadi ini anak kalian?. Anak yang sudah berani menghancurkan masa depan anak saya."
Seorang wanita berbicara dengan ketus sambil menatap Darren dengan penuh kebencian. Sementara ibu Darren tampak menantang wanita itu, dengan tatapan yang tak kalah sinisnya.
Didekat wanita itu duduk seorang laki-laki dan di sebelahnya terdapat seorang gadis, yang sudah tidak asing lagi bagi Darren. Mikha, gadis itu tampak tegar dan dingin hari itu. Ia diam dan membuang tatapannya ke suatu arah. Sementara ayah Darren duduk didamping puteranya yang masih belum mengerti, akan duduk permasalahan sebenarnya.
"Kamu tau anak saya hamil?"
Petir menyambar di langit hati Darren, dirinya teringat saat itu pernah menanyakan hal ini secara langsung pada Mikha. Namun Mikha memberikan jawaban yang justru membuatnya bingung.
"Jadi, Mikha benar-benar hamil?"
Darren menatap Mikha. Gadis itu tetap diam ditempatnya, tanpa menatap ke arah Darren sedikitpun.
"Iya, dan itu karena perbuatan kamu. Kamu menghancurkan hidup anak saya."
"Benar kamu pelakunya Darren?"
Ibu Darren bertanya pada puteranya sambil menatap matanya dalam-dalam. Dan dengan tegas Darren pun menjawab,
"Iya ma, itu anak Darren. Saya akan bertanggung jawab om, tante."
"Tanggung jawab kata kamu?. Tanggung jawab seperti apa?. Heh, kamu itu masih belum genab 15 tahun mau sok bertanggung jawab sama anak saya. Memangnya kamu mau kasih dia makan apa?. Sekolah aja baru kelas 1 SMA sok membicarakan tanggung jawab. Kamu pikir menikah itu gampang, kayak yang kamu liat dalam drama-drama dan kisah dongeng?. Dasar kurang didikan kamu.”
"Eh Bu Nadine, dimana-mana yang salah itu ya perempuannya. Kenapa main kasih aja ke anak laki-laki, anak ibu yang kurang dididik." Ibu Darren berusaha membela anaknya.
"Dasar anak Ibu aja yang kegatelan, anak saya ini masih kecil. Anak situ yang lebih tua, pasti anak saya dirayu, digoda sama anaknya situ.” lanjutnya kemudian.
"Eh, bu Yurike jangan sembarangan ya. Sampai kelas 3 SMA ini saja dia baru pacaran pertama kali sama anak ibu. Kalau memang dia kegatelan pasti sudah selama ini dia godain anak laki-laki seumuran dia. Pasti anak ibu yang ngerayu anak saya, karena keluarga kami ini kaya raya. Pasti kalian mau menggantungkan hidup kalian sama keluarga kami, kalau sampai kami menikahkan anak kami dengan anak ibu."
"Eh hati-hati ya bu, kalau bicara. Saya dan papa nya Darren itu punya perusahaan besar, ibu mau uang berapapun bisa kami bayar. Bilang aja kehamilan anak ibu mau ibu manfaatkan untuk uang kami."
"Ma cukup, ma...!"
Ayah Darren dan ayah Mikha mencoba melerai istri-istri mereka, yang sudah hampir masuk ke dalam fase beradu fisik.
"Ma, cukup ma. Darren mohon, kasihan Mikha. Dia lagi hamil."
"Diam kamu...!"
Ibunya dan ibu Mikha sama sama membentak, seketika suasana menjadi hening.
"Mikha, aku mau menikahi kamu. Kamu mau kan?. Jangan bunuh anak itu, dia nggak bersalah."
Darren memohon pada Mikha. Namun seperti ibunya yang keras hati, Mikha tak bergeming sedikitpun.
"Ayo Mikha, kita pulang. Mama sudah muak melihat tampang keluarga yang tidak bermoral ini." Ibu Mikha menyeret puterinya keluar.
"Tante tunggu...!"
Darren menahan ibu Mikha.
"Maksud tante apa ingin bertemu saya dan keluarga saya, kalau tante nggak mau saya bertanggung jawab atas kehamilan Mikha."
"Saya hanya ingin melihat sampah seperti apa yang sudah mengotori anak saya, ternyata bocah ingusan seperti kamu. Saya nggak butuh tanggung jawab kamu, yang saya butuh adalah menandai kamu untuk tidak mengganggu anak saya lagi. Saya sekarang tau betapa bodohnya anak saya, dan dia harus mendapatkan hukumannya."
"Eh bu Nadine, sok bawa sana anakmu itu. Kami juga nggak bakal menikahkan anak kami sekarang, masa depan Darren itu masih panjang."
"Awas kalau sampai anak kamu menemui anak saya lagi."
"Awas juga kalau anak ibu yang gatel dan nggak bisa jaga diri itu menemui Darren lagi, kami nggak sudi."
Ibu Mikha membawa puterinya tanpa perlawanan, sementara kini Darren ditahan oleh ayah dan ibunya.
"Kenapa kamu mengecewakan kami, Darren?"
Tatapan mata ibunya seolah menembus jantung Darren.
"Kenapa, ma?. Apa Darren harus berbuat kesalahan seperti ini dulu, baru kalian ada untuk Darren. Selama ini kalian kemana?. Mikha yang menemani Darren, Mikha yang memberikan Darren kasih sayang, perhatian, pujian, harapan."
"Itulah pikiran kamu itu masih bocah. Apa harus dengan cara kamu hamili dan membuat malu keluarga?. Mentang-mentang kamu menganggap dia yang memberikan kamu segalanya. Berfikir itu realistis Darren, orang tua ini sibuk untuk siapa kalau bukan untuk kamu. Kamu pikir kami berdua ini nggak ke pengen leha-leha dirumah. Santai, nggak kerja?. Kamu pikir kami nggak mau?. Mau banget, tapi sayangnya uang nggak bisa jatuh dari langit kalau nggak dicari. Tugas kamu itu cuma belajar dan dapat nilai yang bagus. Gimana kalau kamu terlahir sebagai anak orang miskin yang harus bekerja dulu, baru bisa sekolah?. Hidup udah enak, nggak tau terima kasih kamu. Malah bikin masalah. Pokoknya kamu akan mama pindahkan sekolah di luar negri."
"Darren nggak mau, Darren akan mencari cara untuk menikahi Mikha."
"Kamu liat sikap keluarganya tadi, lihat sikap Mikha. Apa dia butuh tanggung jawab kamu?. Paling juga sebentar lagi anak itu bakal digugurkan oleh orang tuanya, pikirkan masa depan kamu."
Darren terdiam, hatinya hancur luluh lantak. Dari tempat ia berdiri, ia masih bisa melihat Mikha masuk ke dalam mobil. Dan itulah terakhir kali ia melihat gadis itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!