14 tahun kemudian.
Masih ditempat yang sama sejak kejadian antara Mikha dan Darren berakhir. Ruang kelas Darren sama sekali tak berubah, hanya catnya saja yang diperbaharui. Susunan bangkunya masih sama, hiasan dindingnya pun masih persis seperti dulu.
Di sana, diruang kelas itu. Tampak seorang siswa berwajah tampan tengah menjawab pertanyaan guru kimianya dengan sangat detail, namun gayanya begitu songong dan tengil. Ia berbicara dengan penuh percaya diri, seolah dirinya adalah manusia terpintar sejagat raya.
"Kata atom berasal dari bahasa Yunani yakni
Atomos, yang berarti tidak dapat dibagi-bagi. Semua material di dunia ini memiliki bagian yang kecil-kecil. Sehingga jika bagian tersebut dibagi lagi, maka terdapat lah bagian yang paling kecil. Sebuah bagian yang tidak dapat dibagi lagi, itulah yang disebut dengan atom. Atom adalah penyusun materi terkecil dari segala materi yang ada, sekian yang mulia."
Anak itu mengakhiri ucapannya sambil menatap sang guru dengan tatapan yang tinggi hati. Raut wajahnya seolah menyatakan,
"Saya bisa koq menjawab pertanyaan mudah seperti ini."
Seisi kelas pun tak kuasa menahan senyum, demi melihat ekspresi wajahnya yang tengil dan minta dijitak itu. Apalagi tadi ia mengakhiri jawaban dengan kata, "yang mulia". Seolah memberikan julukan baru kepada gurunya tersebut. Tentu saja hal itu membuat sang guru jengkel setengah mati.
"Baik hari ini kamu lolos, Axl Maldino Hadley. Tapi kalau saya liat besok kamu tidak mengerjakan PR lagi, saya tidak akan segan-segan memberi hukuman untuk kamu."
Guru Kimia tersebut kembali ke depan. Sementara remaja tampan itu kini memperhatikan salah seorang temanya, yang tengah mengendap-endap menuju tempat duduk. Ia pun tersenyum, karena ia tau temannya itu pasti sedang merencanakan sesuatu hal yang jahat. Atau bahkan sudah mengerjakannya.
Guru kimia itu melangkah dengan kepala tegak dan berjalan layaknya model catwalk. Sambil mengibaskan rambutnya yang panjang terurai, ia pun duduk di kursi guru. Ia lalu mengambil sebuah buku dan membuka buku tersebut. Namun itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Guru tersebut tampak gelisah, lalu mengecek bagian belakang roknya dan berusaha berdiri. Seisi kelas memperhatikan wanita itu, wajahnya kini tampak merah padam. Dan tak lama kemudian,
"Axl, Chico, Jodi, dan Adrian. Berdiri kalian semua...!"
Keempat pemuda yang disebutkan namanya itu pun berdiri, sambil menahan tawa. Sesekali mereka bersitatap dan seolah saling memberi kode. Entah kode apa yang mereka gunakan, yang jelas hanya mereka yang mengerti arti dari kode tersebut.
"Siapa yang meletakkan lem di bangku ibu?" tanya guru tersebut sambil memberikan tatapan horor ke seisi kelas, terutama pada keempat pemuda itu tadi. Keempat pemuda itu pun diam sambil menahan tawa.
"Kamu, Axl?"
"Loh koq saya bu, dari tadi kan saya duduk disini. Nggak boleh menuduh sembarangan, bu. Emang saya amoeba, bisa membelah diri. Terus jalan kedepan dan ngasih lem di bangku ibu. Sebelum ibu memberi saya pertanyaan, ibu duduk kan disitu dan saya disini. Sampai ibu bertanya, saya juga tetap disini."
Mata guru kimia itu kini tertuju pada Chico, Jodi, dan Adrian. Ketiga anak itu balas menatap guru mereka tersebut dengan tatapan seolah tak bersalah.
"Salah satu dari kalian harap segera mengaku. Kalau tidak, kalian akan berhadapan dengan guru BP.”
"Dari tadi saya kan disini, bu." ujar Chico ikut-ikutan membela diri.
"Saya juga." tambah Jodi.
"Kita bukan hayabusa, bu. Yang bisa bergerak secepat kilat." lanjutnya kemudian.
Jodi menyebutkan salah satu hero Assasin favoritnya, pada game mobile legends. Diketahui jika hayabusa adalah ninja yang bisa bergerak menumpas lawan secepat bayangan. Dan kali ini tatapan mata guru kimia tertuju pada Adrian, dia yang paling berpotensi untuk melakukan perbuatan tersebut. Karena jika dilihat dari sudut pandang geografis, Adrian duduk di baris paling ujung. Satu barisan dengan meja guru, dan dia duduk di bangku paling depan.
Mengapa sang guru kimia tersebut mencurigai mereka berempat?. Karena mereka memang merupakan teman akrab dan sudah langganan membuat onar disekolah, termasuk mengerjai beberapa orang guru. Meskipun keempatnya juga terkenal pintar dan berprestasi di sekolah, baik di bidang akademik maupun olahraga. Tapi kenakalan mereka kadang diluar batas. Membuat siapapun yang melihatnya, pasti mengelus dada.
"Adrian, sebaiknya kamu mengaku. Daripada ketiga teman kamu ikut saya panggil ke ruang BP.”
"Koq ibu nyalahin saya sih?. Menuduh tanpa bukti itu dosa, bu." Adrian berkilah. Ekspresi wajahnya tampak tenang, seolah memang dirinya tidak bersalah.
"Ibu tau ini ulah kalian berempat, karena kalian memang sudah langganan membuat onar di sekolah. Ada yang bertindak sebagai provokator, pengatur strategi, pengawas, dan petugas pelaksana. Semua guru disekolah ini sudah hafal dengan kalian, nggak ada satupun siswa yang nakalnya melebihi kalian."
"Ya tetap nggak bisa dong bu, kalau nggak ada bukti. Iya nggak, bro?" Adrian meminta dukungan ketiga temannya dan langsung disambut dengan pembelaan.
"Yoi, bro." jawab ketiganya serentak.
Sang guru kimia tak percaya begitu saja, ia masih terus menatap Adrian dengan penuh kecurigaan. Sayangnya di dalam kelas tersebut CCTV nya selalu rusak, pelakunya ya siapa lagi kalau bukan mereka.
"Kalau ibu nggak percaya, tanya aja nih sama Karina."
Adrian melihat ke arah teman sebangkunya, gadis itu pun menunduk. Antara takut pada guru kimia itu dan juga takut pada Adrian serta teman-temannya. Karena reputasi mereka yang cukup disegani disekolah ini.
Selama ini, Adrian dan yang lainnya tidak pernah pelit dalam memberikan contekan pada siapapun. Karina takut jika salah bicara, ia terancam tak lagi mendapatkan contekan. Baik dalam pekerjaan rumah maupun ujian.
"Benar Karina, kamu tidak melihat Adrian ke meja saya tadi?" Guru kimia tersebut menyerca Karina, dengan pertanyaan yang bernada menekan.
"Nggak, bu. Sa, saya nggak lihat."
Karina terus menunduk, sementara sang guru kimia masih memberondongnya dengan tatapan yang mengerikan. Agaknya ia curiga dengan intonasi dan cara bicara Karina yang tampak tidak luwes serta terbata-bata.
"Bener?"
"Be, bener, bu. Sa, Saya nggak bohong.."
Karina berusaha menyembunyikan tangannya yang gemetar. Sang guru lalu menarik nafas kesal, ia tau mereka berempat lah pelakunya. Namun sangat sulit menghadirkan saksi, mengingat hampir seisi kelas adalah loyalis mereka.
"Baik, kalian berempat ikut saya ke ruang BP."
Guru kimia tersebut keluar dari dalam kelas, sementara kini keempat remaja itu tampak saling bertatapan. Tak lama kemudian mereka pun tertawa geli, diikuti gelak tawa yang lainnya.
"Hahaha."
"Kenapa sih dia?" tanya Axl kemudian.
"Tau, orang nggak ada buktinya juga." jawab Adrian.
"Udalah turutin aja, lagian lumayan nonton drama gratis. Ntar kan dia pasti ngegas tuh di depan guru BP, seneng aja liat dia sok merasa teraniaya." ujar Chico kemudian.
Mereka pun akhirnya menyambangi ruang BP, untuk menghadapi interogasi dari yang mulia guru BP. Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, mereka pun berdebat dengan sang guru kimia dihadapan guru BP. Lalu kemudian mereka dimarahi, diceramahi, diberi wejangan, disuruh perjanjian dan pulang kembali ke kelas. Begitulah agenda mainstreamnya.
Dan tetap saja anak-anak itu menerima nasehat melalui kuping kanan dan kembali keluar lewat kuping yang sama, tidak masuk sama sekali. Mereka kembali cekikikan dikelas, berlaku seenaknya, tetap membantah omongan guru yang mengajar di jam berikutnya. Tak ada satupun dari mereka yang kapok, meski telah masuk ke ruang BP berulang kali.
Bahkan beberapa anak ada yang memberi mereka julukan sebagai pak Lurah ruang BP atau ahli ruang BP, karena saking seringnya mereka dipanggil dan dimarahi.
***
Ketika pulang sekolah, tiba-tiba saja....
"Nino."
Langkah Axl Maldino Hadley pun terhenti, saat ayahnya yang tengah berada di ruang keluarga memanggil. Nino adalah panggilan sayang yang diberikan sang ayah padanya sejak kecil.
"Ada apa, dad?"
Remaja itu pun mendekat lalu mencium tangan ayahnya, dirumah ia adalah anak yang begitu baik serta santun.
"Daddy koq nggak kerja?" tanya Axl heran.
"Daddy hari ini mesti meninjau lokasi yang akan dibangun perumahan, makanya nggak berangkat ke kantor. Oh ya tadi pak Tio guru Bp kamu, telpon daddy. Besok daddy disuruh ke sekolah kamu. Katanya kamu dan teman-teman kamu bermasalah sama ibu Marisa tadi di sekolah, bener?"
Axl terdiam sejenak, tak disangkanya guru BP akan kembali melaporkan hal ini pada ayahnya. Ini bukan kali pertamanya Andrew mendapat panggilan atas kenakalan Axl.
Bahkan ini adalah kesekian puluh kalinya terhitung sejak ia masuk SD. Namun belakangan ini ia berjanji untuk tidak nakal lagi dan tak akan ada panggilan lagi untuk ayahnya itu.
"Dasar pengaduan tuh, si kampret Tio." gerutunya dalam hati.
"Nino, Kamu nggak jawab pertanyaan daddy?" Andrew bertanya sekali lagi.
"Eh, oh, eh, iya dad."
Axl tampak gelagapan, ketika lamunannya terpaksa buyar oleh pertanyaan yang diberikan ayahnya.
"Daddy tanya, apa bener kamu bermasalah sama ibu Marisa di sekolah tadi?. Hmm?"
"Mmm, sedikit sih dad." jawab Axl setengah gugup.
"Kamu ngerjain dia lagi?" tanya ayahnya masih dengan tatapan yang menginterogasi.
"Bukan Nino tapi Adrian, dad."
"Tapi kamu yang nyuruh, kan?"
Axl menggerakkan kedua bola matanya ke kanan dan ke kiri, lalu remaja itu pun nyengir bagai venom. Ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Ia tak ingin kelihatan cengengesan dan terkesan tak berwibawa di mata anaknya. Padahal ekspresi Axl saat itu sangat lucu, terlihat ketakutan namun dominan dikuasai oleh kebandelan tingkat dewa.
"Nino tau kan, daddy dulu juga mengajar disana. Ibu Marissa itu anaknya teman daddy. Nino jangan mempermalukan daddy, daddy mohon banget sama Nino."
Axl merasa tak enak mendengar ayahnya yang memohon dengan sangat tersebut. Meskipun telah berulangkali ia melakukan kesalahan, ayahnya tidak pernah memarahinya dengan keras. Ataupun memukul seperti yang dilakukan oleh ayah-ayah lain diluar sana. Jujur sebenarnya ia ingin sekali menjadi anak baik, namun kadang keadaan sekitar memaksanya untuk menjadi toxic.
"Iya dad, Nino janji." ujarnya kemudian.
"Udah berapa kali Nino janji sama daddy?"
Ayahnya mengeluarkan pertanyaan, yang makin membuat Axl merasa bersalah.
"Berkali-kali, dad."
Axl memasang tampang tak berdosa, meski sesungguhnya dalam hatinya tidak demikian. Ia adalah tipikal anak yang memang sangat menyebalkan. Apapun yang telah ia lalukan, selalu saja membuatnya tak pandai menunjukkan rasa penyesalan. Bahkan kadang terkesan tak peduli sama sekali. Kali ini ayahnya memegang bahu Axl dan menatapnya dengan lembut.
"Bisa kan, penuhi satu aja dari janji itu?. Hmmm?"
Hati Axl seperti dipukul benda keras. Seketika ia merasa lumpuh demi mendengar suara lembut dan penuh kasih tersebut. Axl pun lalu menatap ayahnya dan menjawab.
"Bisa, dad.”
"Nah gitu dong. Itu baru anaknya daddy Andrew Hadley" mereka lalu tersenyum satu sama lain.
"Ya udah, sekarang kamu ganti baju sana. Terus makan siang.”
"Iya, dad. Nino ke kamar dulu ya."
"Iya.”
Axl pun beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai dua, sementara kini Andrew Hadley melanjutkan pekerjaan. Ia kembali berkutat dengan laptopnya.
"Anak toxic itu sudah pulang?"
Seorang wanita paruh baya dengan wajah angkuh, tiba-tiba saja muncul dan mendekat ke arah Andrew.
"Udah Ma, Nino udah pulang. Baru aja naik ke kamar. Kenapa sih harus menyebut dia seperti itu?. Ucapan itu adalah doa loh, ma. Ucapkan yang baik-baik aja, biar dia semakin baik.”
Andrew membela anaknya mati-matian seperti biasanya, meskipun yang ia hadapi adalah ibu kandungnya sendiri.
"Anak itu selalu saja bikin ulah, dalam satu bulan saja bisa bikin 3 sampai 4 masalah. Apa nggak capek kamu ngadepin anak kayak dia?. Mama aja capek ngeliatnya.”
"Udahlah, ma. Lagipula tadi masalahnya sepele koq dan udah selesai juga. Tinggal besok Andrew ke sekolahnya dia dan menerima nasehat dari guru BP nya. Soal apa dan bagaimana yang mereka ingin Andrew lakukan terhadap anak itu. Nggak usah diperpanjang.”
"Kamu itu terlalu memanjakan dia, Andrew. Coba sekali-kali kamu marahin dia. Pukul kek, kurung ke dalam gudang. Biar anak itu disiplin dan bisa mengerti aturan.”
"Ma, mendidik anak itu nggak harus dengan cara marah-marah. Apalagi sampai menyakiti fisik dan mentalnya dia. Itu bukan cara mendidik anak yang benar, semua bisa dibicarakan baik-baik. Lagipula marah nggak akan menyelesaikan masalah dan nggak menjamin anak bakalan ngerti, yang ada dia malah makin bandel. Andrew udah sering bicara sama dia, dia juga bisa ngerti. Memang perubahan itu nggak bisa di dapat secara instan, harus sabar dan pelan-pelan. Andrew nggak mau pakai kekerasan.”
"Tapi cara kamu itu nggak tegas, Andrew. Buktinya dia masih saja bikin masalah. Ingat nggak kamu, 3 bulan yang lalu dia beli sepatu harga 45 jt pake kartu kredit kamu tanpa izin. 5 bulan sebelumnya bolos sekolah dan jalan jalan ke luar negri bareng teman-temannya. Kebut-kebutan di jalan sampai di tangkap polisi, berkelahi, tawuran. Mana ada perubahannya dengan cara didikan kamu yang lembek itu?"
"Ma, Nino itu masih kecil ma. Masih 14 tahun, gede badan doang. Dia juga bisa masuk SMA karena akselerasi. Semestinya dia itu masih SMP, masih anak-anak. Wajarlah kalau dia nakal, emang usia lagi nakal-nakalnya. Lagian kan tadi Andrew udah bilang, merubah kebiasaan buruk itu nggak bisa instan. Harus sabar dan pelan-pelan.”
"Ya tapi nggak kayak gitu juga, nakalnya itu udah masuk alam kategori tidak wajar. Kamu tau kan seusia itu belum boleh mengemudi, tapi kamu selalu menuruti semua keinginan dia. Malah di beliin mobil segala, akibatnya anak itu ngelunjak kan?. Selalu bikin malu nama keluarga. Keturunan keluarga kita nggak ada yang seperti itu.”
"Please, ma. Andrew mohon sama mama, nggak usah bawa-bawa soal keturunan. Nanti kalau Nino dengar hatinya bisa terluka. Andrew nggak mau dia tumbuh menjadi anak yang frustasi karena beban pikiran. Andrew mau masa muda nya tenang dan penuh kasih sayang, agar dia tumbuh menjadi pribadi yang baik.”
"Terserah kamu lah. Yang jelas, mama sudah mengatakan apa yang seharusnya mama katakan sama kamu. Kalau terjadi apa-apa sama kamu karena ulah anak itu, kamu tanggung sendiri akibatnya. Mama nggak mau tau.”
Wanita itu pun berlalu. Andrew menghela nafas dalam-dalam dan mencoba meredam emosi nya yang terlanjur terpancing. Tak lama kemudian, Axl tiba-tiba turun dan mendekati ayahnya.
"Dad.”
"Hei, kamu udah ganti baju?" Andrew tampak gelagapan. Ia sangat takut kalau Axl mendengar percakapannya dengan ibunya.
"Kamu, udah lama turunnya?" tanya Andrew dengan nada cemas dan curiga.
Axl mengangguk, jantung Andrew pun kian berdegup kencang. Ia takut hati anaknya menjadi terluka mendengar apa yang tadi dibicarakan oleh ibunya.
"Kamu...”
"Maafin Nino ya, dad. Selama ini keturunan keluarga kita nggak ada yang seperti Nino, nggak ada yang nakal kayak Nino.”
Andrew kembali menghela nafas panjang lalu mengusap kepala anak laki-lakinya tersebut.
"Setiap manusia, terlahir dengan karakter yang berbeda-beda. Nggak semua orang atau satu garis keturunan tersebut bisa disamakan, sayang.”
"Tapi Nino nggak enak, dad. Setiap kali Nino bikin masalah, pasti daddy yang di omelin sama oma Marta.”
"Daddy udah biasa koq diomelin sama oma kamu. Sudah lebih 40 tahun ini selalu kena omel.”
Axl menatap Andrew dan begitu pun sebaliknya. Tak lama kemudian keduanya pun sama-sama tertawa. Andrew lalu merangkulnya dan mengajaknya duduk di sofa.
"Oma dan opa kamu itu dulu emang tukang marah. Daddy pulang telat aja, dimarahin abis-abisan. Daddy nggak dikasih makan malem, diomelin terus sampai pagi. Pas paginya mau sekolah malah nggak dapat uang jajan.”
"Hahaha, oh ya?. Segitunya dad?" Suasana mulai mencair.
"Iya. Oma kamu itu kalau ngomel, kesalahan daddy yang udah bertahun-tahun lalu. Yang udah usang jadi mumi, bisa dibangkitkan kembali sama dia.”
"Hahaha." Axl makin terpingkal-pingkal.
"Seriusan, dad?"
"Serius, udah gitu ngomelnya lama lagi. Makanya, daddy nggak mau membesarkan kamu dengan cara seperti itu.”
Kali ini Axl diam, ia menatap ayahnya dalam-dalam. Lalu kembali muncul perasaan bersalah dihatinya, perasaaan bersalah karena terus mengecewakan ayahnya.
"Maafin, Nino ya dad.” ujarnya seraya menunduk.
"Daddy selalu maafin kamu koq.”
Andrew tersenyum tipis namun tulus. Ia lalu kembali mengusap rambut Axl bahkan mengacak-ngacaknya. Axl menarik badan dan menghindarkan kepalanya dari tangan Andrew sambil tersenyum. Lalu hening.
"Mau peluk daddy?"
Andrew melirik ke arah Axl, Axl balas meliriknya namun tak ada reaksi ingin memeluk. Tak lama kemudian Andrew pun beranjak. Ia mengerti anak laki-lakinya itu sudah beranjak remaja, ia tak lagi manja dan sering minta di peluk seperti dulu. Andrew pun merelakannya, Namun detik berikutnya Axl kembali bersuara.
"Dad.”
Andrew pun menghentikan langkahnya. Namun tidak menoleh ke arah Axl yang masih duduk di kursi.
"Nino sayang daddy.”
Andrew menghela nafas lalu tersenyum tanpa menoleh. Ia pun lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Tak lama kemudian, handphone Axl berdering. Ternyata panggilan dari Jodi.
"Ax."
"Apaan?"
"PUBG, Bujaaaank. Kita udah pada nungguin lo dari tadi. Kalau nggak mau, gue ajak orang lain nih.”
"Iya-iya, lupa gue. Abis ngobrol sama bokap gue tadi.”
"Ya udah buruan...!"
"Gue maksi dulu."
"Hah, maksiat?"
"Makan siang, Bambang."
"Lo belom makan dari tadi?"
"Belom. Lo kalau mau maen duluan, duluan aja. Ntar gue nyusul.”
"Gue tungguin aja dah.”
"Ya udah, gue makan dulu.”
"5 menit pokoknya."
"Asuuu, lo kira gue anggota paskibra kayak waktu SMP.”
"Lah kan lo dulu paskibra.”
"Kan udah kagak sekarang, Bambang”
"Tapi lo bisa kan makan 5 menit.”
"Iya, iyaaa."
Axl pun pergi keruang makan untuk makan siang, tak lama kemudian Andrew kembali muncul.
"Daddy nggak makan?" tanya Axl pada Andrew.
"Ini mau makan.”
"Ayolah, bareng."
Andrew pun lalu mendekat ke arah meja makan dan duduk di hadapan Axl.
"Ini siapa yang masak, dad?” tanya Axl kemudian.
"Daddy lah, siapa lagi. Oma kamu mah mana bisa masak.” bisik Andrew pelan yang diikuti gelak tawa keduanya.
"Tapi kalau ngomel jago.”
Kali ini Axl menimpali.
"Hush, ntar di denger loh. Terus kita di omelin sampe pagi.”
"Sampe tahun depan, dad.”
"Hihihi." Keduanya kembali cekikikan.
Mereka pun lalu makan sambil berbincang.
Usai makan, Axl menepati janjinya untuk bermain PUBG bersama teman-temannya. Mereka bermain selama beberapa jam.
Lalu sore harinya. Ketika Andrew Hadley pergi untuk urusan pekerjaan, Axl pun turut pergi. Ia tak ingin berlama-lama dirumah bersama oma nya yang cerewet itu.
Ia menghabiskan waktu senggangnya bersama dengan teman-temannya. Sekedar mengunjungi toko buku dan mencari buku-buku bacaan yang baru, serta nongkrong ditempat-tempat hits yang ada di kotanya.
Malam harinya ia dan teman-temannya kembali bermain game online bersama. Bahkan berlangsung cukup lama, karena hari itu mereka tidak memiliki pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Hari-hari pun berlanjut dan berlangsung kurang lebih sama, penuh dengan urusan sekolah dan game online. Acap kali ia ketahuan oleh Andrew saat bermain di waktu yang sudah larut.
Biasanya, Andrew akan menegur dan langsung memintanya untuk segera tidur. Axl akan pura-pura tertidur sambil ngorok jika Andrew sedang mengawasinya. Dan pada saat Andrew sudah keluar dari kamarnya, ia akan kembali bermain game online dibawah selimut. Dengan earphone yang sengaja dipasang agar suara game tersebut tidak kemana-mana.
Meskipun begitu, entah mengapa ia selalu saja bangun lebih awal. Seberapa malam pun ia tertidur akibat keasyikan main game online, ia tetap akan bangun pukul 5 pagi. Biasanya ia akan mengawali pagi dengan mandi dan membereskan kamar. Jika ada tugas sekolah yang belum dikerjakan, maka ia akan mengerjakannya. Sebelum akhirnya ia berangkat ke sekolah.
Ia sama sekali tidak pernah terlambat datang ke sekolah, walaupun seringkali pada akhirnya ia tertidur di kelas. Akibat rasa kantuk yang disebabkan oleh jadwal tidurnya yang berantakan.
Kalau sudah ketahuan tidur dikelas, biasanya guru akan menegur dan menghukumnya untuk berdiri hormat di tiang bendera. Namun Axl kerapkali bolos dari hukuman dan tidur disalah satu ruang terpencil di perpustakaan.
Banyak guru yang merasa kesal padanya, namun banyak juga yang membelanya. Karena Axl adalah anak yang sangat cerdas dalam bidang apapun, begitupula dengan teman-temannya. Mereka semua adalah juara kelas, sedang Axl sendiri menyabet juara umum. Bahkan sejak SD-SMP posisinya sebagai juara umum belum bisa digeser oleh siapapun.
Ia adalah tipikal anak jaman now dengan segala kelebihannya. Ganteng, pintar, populer, kaya. Namun sayang kenakalannya kadang tidak bisa ditolerir.
Ia seringkali membantah guru dan membuat ulah, ia tak kapok dengan hukuman bahkan menganggap kemarahan dan nasehat gurunya sebagai angin lalu.
Namun kepada beberapa guru, ia dikenal baik dan santun. Tergantung bagaimana cara guru tersebut menghadapinya.
Itulah kenapa jika ada guru yang bermasalah dengannya. Selalu banyak pula guru yang bersedia membelanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
pipi gemoy
Axl bisa bersama guru orang tua nya😱
suka bacanya panjang isinya 👍
2023-05-29
0
LalaLolita
Setelah Papa Dan, Papa Arka, sekarang Papa An... Papa An lembut dan baik hati ❤️❤️
2022-05-05
1
LalaLolita
Gile bandel banget... turunan siapa ini? Wkwkwk... 😂😂😂
2022-05-05
1