Terjebak di Era Nokia
"Dert."
"Dert."
Suara getaran handphone membangunkan Mario dari hibernasinya yang panjang. Betapa tidak, ia mulai tertidur sejak pukul 4 sore kemarin. Setelah beberapa hari tidur tak teratur, demi bermain game online bersama teman-temannya.
"Dert."
Handphone tersebut kembali bergetar. Mario yang matanya masih digelayuti setan batu itu pun, mulai meraba-raba. Mencari dimana letak handphonenya berada.
"Hhhh."
Ia menarik nafas kesal karena belum juga mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun pemuda berusia hampir 17 tahun tersebut sangat malas membuka mata. Padahal jika ia melakukannya mungkin handphone itu kini sudah berhasil ia temukan.
Jujur rasanya ia masih sangat ingin tidur, namun kewajiban sekolah memaksanya untuk bangun. Ia terus meraba-raba, hingga dirinya merosot ke lantai bersama selimut. Perlahan kantuknya pun kian menjadi-jadi.
Dalam keadaan setengah sadar itulah, ia terus bergerak mencari. Tubuh remaja itu terus bergeser, hingga tanpa disadari kepalanya kini sudah keluar dari pintu kamar. Kebetulan pintu kamar itu memang sudah agak terbuka sejak tadi.
Setiap pagi menjelang biasanya sang kakak kedua, Michael bertugas membangunkannya. Namun Mario adalah tipikal makhluk bolot yang doyan molor. Ia tak jua bangun meski sang kakak telah berteriak di dekat telinganya.
Jadilah kadang kakaknya tersebut pergi tanpa menutup kembali pintu kamar. Akibat kesal karena adiknya itu tak kunjung bangun.
Mario terus bergeser, dengan tangan yang masih meraba-raba. Posisinya kini sudah tergeletak di lantai dengan tangan dan kepala yang keluar dari kamar, sedangkan badannya masih berada di dalam.
Hal itu mengundang perhatian Michael, yang saat itu tengah sibuk menyapu rumah. Kebetulan Michael sedang membersihkan area di dekat kamar Mario.
Michael pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dada, pemuda itu lalu meletakkan sapu dan pergi ke dapur.
Tak lama kemudian, Mario yang masih meraba-raba dalam kondisi setengah sadar itu pun terkejut. Tatkala tangannya merasakan sesuatu yang dingin, kenyal, serta sedikit berlendir.
"Iiiiih."
Tiba-tiba ia terbangun dan berteriak, membuat Michael yang berada di dekatnya pun tertawa puas.
"Hahaha, mampus lo." ujarnya kemudian.
"Mike, rese banget sih lo."
Wajah Mario pucat pasi. Ia menyadari jika dirinya baru saja memegang jelly coklat, dan ia pun langsung membuangnya ke lantai. Dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan.
"Lo kan tau gue phobia sama jelly, agar-agar, dan sebagainya. Ngerjain orang nggak harus segitunya juga kali, berlendir tau nggak?"
"Makanya kalau pagi tuh bangun. Tidur aja kerjaan, bukannya bantu beresin rumah. Udah tau dirumah nggak ada pembantu."
"Salah sendiri, rumah sebesar ini nggak nyewa pembantu."
"Mau, bayarin pembantunya?" tanya Michael.
Mario diam, namun masih memasang wajah yang kesal.
"Lagu lo, kayak lo banyak duit aja. Biaya hidup lo aja mahal."
Michael kembali menyapu, sedang Mario kini masuk lagi ke kamarnya. Untuk mencuci tangan di kamar mandi dan mencari dimana handphonenya berada. Tak butuh waktu lama, ia pun segera menemukan perangkat kesayangannya tersebut.
Bagi Mario handphone adalah nyawa. Ia merupakan tipikal makhluk jaman now yang tidak bisa hidup tanpa handphone. Mau tidur, harus liat handphone. Bangun tidur, langsung cari handphone. Mau makan, di foto dulu pakai handphone. Bermain dan bersilaturahmi, ya via handphone. Sampai-sampai BAB pun cebok dengan handphone, eh ditemani handphone.
Bisa dibilang handphone adalah kekasih pertamanya. Setelah itu game online dan barang branded. Maklum, dia adalah seorang hypebeast. Walaupun uang untuk membeli barang tersebut adalah hasil dari memalak kedua kakaknya.
"Hai gaes, gue baru bangun tidur nih. Mata gue masih ngantuk banget."
Mario memulai vlog paginya sambil membersihkan belek, yang masih bersarang di kedua mata. Sementara kini sang kakak Michael, lanjut membersihkan halaman belakang dekat kolam renang.
"Beberapa hari ini gue tuh selalu tidur nggak teratur gaes, karena nge-game mulu bareng Brian sama Cavin. Puncaknya Kemaren gue jadi ngantuk banget."
Mario berjalan ke arah belakang. Sambil memperlihatkan beberapa bagian rumahnya, yang minimalis dan kekinian.
"Jadi gue tidur dari jam 4 sore kemaren, bener-bener nggak kebangun sama sekali sampe pagi ini."
Mario terus melangkah hingga ke halaman belakang, tempat dimana kini Michael berada dan tengah membersihkan daun gugur di sekitaran kolam renang.
Karena terlalu sibuk berpose layaknya anak alay yang sering merasa paling good looking sejagat raya, tanpa sadar Mario sudah berada di pinggir kolam renang. Dan saat kedua kakinya coba melangkah mundur ke belakang, tiba-tiba....
"Byuuur, blooop."
Anak itu jatuh kedalam kolam dengan sangat mengenaskan dihadapan sang kakak.
"Mampus lo."
Kali ini Michael berteriak dengan kesal. Karena air dari kolam renang muncrat keluar, lalu membasahi serta membuat dedaunan telah yang ia kumpulkan menjadi berserakan kembali. Karena terbawa arus air.
"Makanya pagi tuh mandi, bantuin kek kerjaan orang. Malah bikin video nggak jelas, sok hits sih lo."
Michael Masih terus mengoceh. Tak lama kemudian Kakak pertamanya Marcell pun muncul.
"Ada apaan sih?" tanya Marcell heran.
"Tiap pagi ribut mulu." lanjutnya kemudian.
"Tuh, adek kesayangan lo tuh kecebur. Untung ke kolam. Kalo ke panci rebusan, mateng lo."
Michael kembali sinis pada Mario, sementara anak itu kini keluar dari kolam. Ia lalu berjalan ke arah pintu belakang.
"Heh, enak aja. Stop-stop!"
Michael menahan langkah anak itu.
"Apaan sih Mike?" tanya Mario dengan nada yang begitu kesal.
"Enak aja lo mau masuk basah-basah gini."
"Ya emang kenapa, dingin tau nggak?"
"Kenapa lagi lo tanya, gue udah nyapu dan ngepel."
"Rese banget sih lo. Terus gue harus berdiri disini sampe nih baju kering, gitu?. Gue mau mandi, mau sekolah."
"Bodo amat gimana caranya. Yang pasti kalau lo sampe nekad masuk juga dalam keadaan basah kayak gini, gue hajar lo."
"Udah-udah tunggu disitu."
Tak lama kemudian Marcell masuk ke dalam rumah. Ia mengambil handuk dan memberikannya pada Mario.
"Nih pake handuk, lepas bajunya." ujar Marcell.
Mario menatap sekilas dengan sinis ke arah Michael, lalu membuka semua bajunya. Ia pun kini bergerak ke arah pintu belakang.
"Kaki cuci dulu di keran situ?"
Michael memerintahkan Mario untuk mencuci kakinya terlebih dahulu, pada keran yang berada tak jauh dari pintu masuk. Dengan gusar Mario pun menuruti. Ia mencuci kakinya dengan bersih, lalu kembali bergerak mendekati pintu.
"Lap dulu pake keset!" teriak Michael lagi.
Mario pun menghentak-hentakan kakinya dengan kesal di keset, lalu masuk ke dalam rumah.
"Masih ada basah, awas lo."
"Mike."
Kali ini Marcell menatap dan menegur Michael, yang dirasa terlalu keras pada adik bungsu mereka tersebut.
"Nggak usah marah terus." lanjut Marcell lagi.
"Capek gue sama tuh anak, makin gede bukannya makin nyenengin hati. Senggaknya bisa ngurus diri sendiri aja, cukup. Nggak perlu bantuin gue ngerjain semuanya, ini apa-apa masih gue semua. Sampe baju, underwear dia di tarok gitu aja berserakan di kamar, gue lagi yang nyuci. Ini nih nanti ke sekolah, pasti tuh kamar udah kayak kapal pecah."
"Ya udah, nggak usah beresin lain kali. Biar dia punya kesadaran sendiri."
"Kesadaran gimana, Cell?. Lo tau sendiri kan selama ini. Inget nggak waktu itu gue diemin seminggu, sampe tikus bersarang di kamarnya. Bukan masalah gue peduli sama dia. Gue nggak mau tuh tikus beranak pinak sampe bikin batalyon di kamarnya dia, dan akhirnya membahayakan kita semua."
"Ya udah, ya udah. Mending lo selesain dulu urusan lo, biar gue yang bikin sarapan. Abis itu mandi, ntar telat loh ke kantor."
Marcell lalu masuk ke dalam rumah menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan. Sementara kini Michael harus mengulang lagi pekerjaannya, dalam membersihkan dedaunan.
"Nih anak emang ngeselin nih, kerja lagi kan gue dua kali. Gue daftarin juga lo ke NASA, biar ikut misi satu arah ke Mars. Biar tenang hidup gue, dasar bocil FF nggak ada akhlak." Michael lanjut menggerutu.
***
Beberapa saat kemudian, semuanya sudah siap dan rapi. Marcell dan Michael tampak sudah menyantap sarapan pagi mereka di meja makan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 lebih, namun Mario belum juga menampakkan batang hidungnya. Hal ini tentu memaksa Michael kembali berteriak.
"Mario, ini udah siang ya. Jangan salahin gue, kalo gue tinggalin pergi duluan."
Mario buru-buru turun dari lantai atas dan langsung duduk di meja makan untuk sarapan.
"Orang udah pada selesai, lo baru turun. Kebiasaan nggak bisa disiplin, nggak menghargai waktu orang."
"Lo berisik banget sih, Mike?. Bisa nggak, sehari aja lo nggak ngoceh. Apalagi pas gue makan. Pusing tau nggak, gue dengerin lo ngoceh mulu."
"Lo harusnya bisa menghargai waktu orang. Udah tau lo mesti dianterin segala, apa-apa lelet. Mesti update ini lah, itu lah. Udah tau tugas lo pagi itu sekolah."
"Ribet lo, ah." jawab Mario lagi.
"Gue mau pergi sekarang." Michael beranjak dan mengambil tas kerjanya.
"Gue masih sarapan, Mike." Mario seakan meminta pengertian.
"Terserah lo, salah sendiri telat. Orang juga punya kesibukan masing-masing, bukan cuma mau ngurusin lo doang.
"Mike tungguin lah." Kali ini Marcell menengahi.
"Kalo lo mau, lo aja Cell yang anter dia. Muter-muter dah lu sono ke sekolahnya dia dulu."
"Nggak bisa Mike, lo kan kantornya searah sama sekolahnya dia. Lagipula gue ada meeting penting pagi ini."
"Lah sama, gue juga ada meeting penting. Nungguin anak ini mah bisa jantungan dan stroke mendadak tau nggak. Bangun pagi bukannya sigap, mandi, beres-beres. Malah bikin video nggak jelas, update ini, update itu."
Kali ini Mario menatap Michael dengan ekor matanya.
"Kalo nggak mau nganterin gue ya udah, berisik banget." ujarnya ketus.
"Ya udah, bagus dong. Pergi sono sendiri, jangan nyusahin orang mulu." ujar Michael.
"Mike, kasihan. Jangan gitu lah, dia itu adek lo."
"Bodo."
"Ya udah sih."
Mario berlalu dan berjalan cepat ke arah pintu keluar, ia tak menyelesaikan sarapannya. Ia melangkah dengan penuh kekesalan, namun detik berikutnya ia pun menghentikan langkah lalu menoleh.
"Tanggung jawab lo mana?" tanyanya pada Michael.
"Tanggung jawab?"
"Ya tanggung jawab. Ongkos buat gue mana?. Gue kan masih dalam tanggungan lo berdua."
"Masih butuh kan lo sama duit gue?"
"Mike."
Lagi-lagi Marcell memperingatkan adik keduanya tersebut, ia lalu merogoh kantong dan mengambil dompet. Ia mengambil beberapa lembar uang lalu memberikannya pada Mario.
Mario kemudian pergi setelah sebelumnya menatap sinis ke arah kakak keduanya Michael, yang juga menatapnya tak kalah sinis.
"Kebanyakan lo ngasih." ujar Michael pada Marcell.
"Udah biarin lah, kasian dia Mike."
"Lo tuh dari dulu selalu kasian-kasian mulu sama dia, liat aja dia makin hari tuh makin ngelunjak. Lo sih, terlalu manjain dia."
"Gue nggak manjain dia, Mike. Dia itu nggak punya ibu."
"Dia nggak punya ibu?. Kita juga sama Cell, ibu kita meninggal saat melahirkan dia."
"Ya makanya itu, cuma elo dan gue yang dia punya. Lo terlalu keras sama dia. Dia bandel, lo marahin. Dia diem, lo marahin. Dia sakit, lo marahin juga. Dia sehat lo bentak-bentak. Gimana nggak tambah bandel coba?. Salah semua dia dimata lo. Dia butuh bicara sama lo sebagai kakaknya, jangan terus perlakukan dia kayak gitu."
"Ah udah ah, males gue kalau udah ngurusin sifat lo yang lembek itu. Gue mau berangkat." ucap Michael.
Marcell menarik nafas, mencoba menurunkan nada bicaranya.
"Oke lo hati-hati." ujarnya kemudian.
"Iya, lo juga."
Michael lalu keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Beberapa saat kemudian ia pun meninggalkan halaman rumah dan menuju ke kantor. Marcell sendiri berangkat beberapa saat setelah kepergian Michael.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Defairalynn
mario adalah ak
2023-07-09
0
Hanny Saswyanta
Iya beneran seru ceritanya
2022-02-22
0
Roni An
ceritanya 😍😍
2022-02-21
0