"Lo koq lama banget sih?" tanya Cavin pada Mario, yang baru saja tiba di sekolah sambil tergopoh-gopoh karena takut terlambat.
"Gue naik ojol, Bambang. Gue ngantuk di jalan dan ojolnya ternyata nggak hafal rute. Malah muter-muter dulu."
"Emang lo nggak dianterin si Mike?" tanya Brian yang sejak tadi berada disisi Cavin.
"Dia ngoceh mulu dari pagi, males gue. Punya kakak satu tapi mulutnya banyak kayak dia."
"Bukannya lo udah di ocehin sama dia dari lahir ya?" ujar Cavin lagi.
"Dari masih janin gue udah di ocehin." jawab Mario.
"Hahaha."
Ketiganya pun lalu tertawa.
"Eh PUBG yok." ajak Cavin kemudian.
"Udah mau masuk, Bambang." Mario melirik arloji yah ia pakai.
"Ah masih 20 menit, cukup koq." ujar Cavin lagi.
"Okelah, ayok!"
Mario dan Brian pun mengeluarkan handphone mereka masing-masing. Tak lama kemudian, mereka sudah tampak bermain PUBG mobile bersama.
Dua puluh menit berlalu, bu Dina sang guru kimia tiba dikelas mereka. Dengan tatapan tajam, wajah tegak, serta pandangan yang mengawasi ke setiap sudut kelas.
Pagi itu dimulai dengan penuh rasa horor, para siswa bersikap sangat tegang tetapi tetap dalam mode ke pura-puraan. Pura-pura memperhatikan, pura-pura menyimak. Padahal tak satupun dari mereka yang mengerti, perihal apa yang dijelaskan oleh bu Dina.
Sementara Mario dan teman-temannya kini malah bermain mobile legends dengan mode silent. Mereka terus menunduk memperhatikan layar handphone, sehingga hal tersebut mengundang perhatian bu Dina.
"Sebutkan pengertian Iodin."
Bu Dina melemparkan pertanyaan kepada seisi kelas. Para siswa pun hanya diam, beberapa diantaranya tampak menjatuhkan pulpen agar bisa merunduk dan tak kelihatan.
Ada juga yang pura-pura berfikir dan menulis sesuatu. Padahal kenyataannya tak menulis apa-apa. Semua dimaksudkan agar nama mereka tak dipanggil untuk menjawab pertanyaan.
Sementara Mario dan teman-temannya masih cuek serta masih berkutat dengan hero mobile legends mereka masing-masing.
"Mario."
Tiba-tiba saja bu Dina menyebut nama Mario. Sontak remaja itu pun terkejut lalu keluar dari permainan. Ia langsung membuka menu pencarian sakti jaman now, Mbah Google.
Mario kemudian menjawabnya dengan lancar. Karena sesekali matanya melirik ke arah layar handphone, yang menyajikan pengertian dari apa yang dipertanyakan bu Dina tadi.
"Ditemukan oleh siapa dan pada tahun berapa?" tanya bu Dina lagi.
Dengan secepat kilat jari-jemari Mario kembali bertanya pada Mbah Google. Dan dengan kesaktiannya, si Mbah pun menjawab.
Mario menjawabnya dengan lancar sampai pada kata, "Mesiu".
Ia menjawab dengan wajah yang tegak, seolah menyatakan bahwa dirinya memanglah seorang smart people. Meski ia bukan penonton podcast om botak yang kekar itu.
"Tapi bukan dia yang menamai zat tersebut sebagai Iodin."
Tiba-tiba seorang gadis yang duduk di bangku paling depan nyeletuk, seolah tengah mencari perhatian. Gadis itu bernama Nadia, yang merupakan salah satu anak yang selalu masuk peringkat sepuluh besar.
"Heh Jamilah, sok tau lo. Dia juga berkontribusi dalam menamai zat itu. Jelasin, Bri!"
Mario melempar tugas pada temannya Brian secara sepihak. Dengan wajah santai Brian pun menjawab.
"Jadi gini ya."
Mata Brian melirik sekilas ke arah Handphone yang sengaja ia sembunyikan. Ia juga tengah mengutip jawaban dari Google.
"Pada saat menemukan Iodin, si Courtois ini nggak begitu mempedulikan. Karena dia udah banyak kerjaan, jadi itu penemuan nggak begitu di urusin. Barulah ketika Joseph dan Lois Gay-Lussac mendengar soal penemuan itu dari Sir Humprey Davi, dia pun datang menemui Courtois. Setelah meneliti lebih lanjut, dia mengklaim bahwa temuan itu bernama Ioda yang dalam bahasa Yunani berarti lembayung. Nah Courtois menambah bagian Ine di belakang, terinspirasi dari nama sepupunya Chlorine. Yang juga dijadikan nama sebuah zat kimia."
Nadia terdiam dengan muka sewot, ia tau jawaban Brian mungkin benar. Tapi ia sendiri merasa sudah kalah saing, dengan anak laki-laki yang terkenal nakal seperti mereka.
"Baik, saya terima jawaban kalian. Meskipun saya tau kalian itu sudah pasti curang, sudah pasti copy-paste jawaban di google."
Mario dan Brian saling memberi kode sambil tersenyum meledek.
"Periksa aja bu hp kita." ujarnya dengan percaya diri tingkat dewa.
Bu Dina tau persis, jika anak-anak itu pastilah sudah menghapus semua riwayat pencariannya. Dengan tangan mereka yang super cepat serta kemampuan ngeles yang luar biasa, tentu saja mereka punya sejuta cara untuk berkilah. Bu Dina akan sulit menangkap basah mereka.
"Saya rasa tidak perlu, semua orang juga sudah tau siapa kalian. Cerdas karbitan."
"Koq kasar sih?”
"Dalang pelo."
Cavin mengeluarkan suara layaknya tokoh dalam kartun dalang pelo, yang kemudian dijawab oleh hampir seisi kelas dengan yel khas kartun tersebut.
Hampir seisi kelas pun tertawa-tawa demi melihat bu Dina, yang sukses dibuat sewot oleh Mario dan teman-temannya. Bu Dina berjalan kembali ke meja guru. Namun kemudian,
"Buuuk, Aaaaaa."
Bu Dina terjatuh dan menjerit, antara sakit serta kesal.
"Siapa yang narok kulit pisang disini?” teriaknya kemudian.
Wajahnya berubah menjadi begitu marah, hampir seluruh siswa menahan tawa. Beberapa diantaranya mencoba membantu berdiri namun ditepis oleh bu Dina.
Ia berdiri dengan sendirinya lalu menatap seisi kelas, seakan hendak menelan mereka satu persatu.
"Siapaaa?" hardiknya lagi.
Seisi kelas saling pandang, sebagian dari mereka menunduk dan mengira-ngira. Siapa yang sesungguhnya telah melakukan perbuatan tak berakhlak tersebut. Beberapa diantaranya tampak saling curiga satu sama lain.
Mata bu Dina kini tertuju pada Mario, Brian, dan Cavin yang tampak tengah cosplay menjadi lemur Madagaskar. Memasang wajah seolah-olah tak tau apa-apa.
"Kalian bertiga mengaku dan minta maaf, atau saya laporkan ke dewan guru dan orang tua kalian."
"Dih, kenapa bu?" tanya Mario kemudian. Ia memasang wajah heran, seolah benar tak tau apa maksud bu Dina.
"Saya curiga diantara kalian bertiga pelakunya."
"Loh koq menuduh gitu sih?"
Brian menjawab seraya melayangkan tatapan kearah Mario dan Cavin.
"Karena kalian bertiga yang sepertinya tidak menyukai saya, sejak awal kalian masuk ke sekolah ini."
"Tapi kan saya dari tadi disini bu. Lagi pula saya nggak bawa pisang." jawab Mario membela diri.
"Lantas itu kulit pisang jatuh dari mana, kalau diantara kalian bertiga nggak ada yang bawa pisang?. Jatuh dari supermarket?"
"Iya kali, mungkin di atas kelas ini udah jadi pasar buah."
"Hahaha." Seisi kelas tertawa.
"Diam semuanya!"
Bu Dina kembali berhasil menguasai kelas.
"Kalian bertiga ini, bisanya cuma membuat kesal saja. Pemalas, cerdas palsu."
"Lah, koq jadi malah nyasar kesana sih?" protes Mario.
"Tadi dibilang cerdas karbitan, sekarang cerdas palsu." lanjutnya kemudian.
"Kecerdasan kami nggak ada hubungannya dengan ini semua bu." Suara Brian mulai bernada tidak enak.
"Semua juga sudah pada tau kalau kalian tukang nyontek, dapat juara umum dan juara kelas hasil curang. Pertanyaan yang tadi kalian jawab pun, saya yakin kalian pasti liat google. Dan saya yakin juga pasti kalian yang narok kulit pisang ini disini."
"Kan udah dibilang dari tadi saya nggak bawa pisang, bawanya buah naga."
"Nih."
Mario mengeluarkan buah naga dari dalam tasnya. Karena memang bukan dia yang membawa pisang tersebut, melainkan Cavin.
"Kamu Brian?"
Mata bu Dina kini hanya tertuju pada Brian, pemuda itu pun melebarkan bibir sampai kuping sambil menghela nafas kesal.
"Kan saya dari tadi disini bu, makanya ibu kalau punya mata itu yang banyak kayak laba-laba. Biar salah satunya bisa ditempelkan ke saya dan bisa mengawasi saya. Biar saya nggak kena fitnah ibu yang berantakan itu. Lagian nih ya, saya nggak suka pisang. Doyannya buah mengkudu."
Kali ini mata bu Dina beralih pada Cavin. Karena posisi kulit pisang itu tak jauh dari tempat dimana Cavin duduk.
"Kenapa jadi ngeliatin saya, bu?" tanya Cavin kemudian.
"Pasti kamu pelakunya."
Bu Dina secara serta merta melemparkan tuduhan penuh terhadap Cavin.
"Koq saya?. Emang ibu liat saya yang melakukan. Jangan fitnah gitu lah bu, dosa tau."
"Saya yakin betul kamu pelakunya."
"Atas dasar apa, ibu menuduh saya?"
"Saya feeling."
"Ya tapi kan ibu nuduh nggak ada buktinya." Cavin masih membela diri.
"Tanya aja sama seisi kelas, ada nggak yang liat saya ngelempar kulit pisang ini?" lanjutnya lagi.
"Terus kamu pikir kulit pisang ini jalan sendiri?"
"Mana saya tau, saya kan ikan."
"Hahaha."
Tawa seisi kelas pecah, namun hanya beberapa saat. Karena Bu Dina melotot ke arah mereka semua, dan mereka pun kembali terdiam. Kini mata bu Dina beralih kepada seisi kelas.
"Kalian semua?"
Seisi kelas pun tersentak, mereka mulai dihinggapi ketakutan.
"Apa kalian melihat Cavin melakukannya?"
Sebagian dari mereka menelan ludah, hanya Mario, Brian, dan Cavin saja yang masih tampak petantang-petenteng.
"Jawab!"
Mereka mulai serba salah. Jika mengatakan tidak, maka sudah dipastikan seisi kelas ini akan dihukum. Tetapi jika mengatakan iya, maka resikonya di intimidasi oleh Mario, Brian, dan juga Cavin.
"Jawab, atau kalian saya hukum."
Seisi kelas bersitatap. Mereka melihat ke arah Mario, Brian, dan juga Cavin. Namun ketiga bedebah itu memberikan ekspresi seolah mereka tidak akan melepaskan siapapun, yang berkata jujur pada bu Dina
"Kita nggak tau bu."
Seisi kelas sepakat untuk berkata seperti itu. Karena sebagian dari mereka pun tak melihat saat Cavin melakukannya tadi.
"Masa sama kelakuan teman sendiri nggak tau."
"Kan kita fokus ke ibu tadi." celetuk salah seorang siswa.
"Bener, bu. Kita beneran nggak ngeliat." sambung yang lainnya.
"Denger sendiri kan bu, makanya jangan suka nuduh sembarangan." ujar Cavin.
Kali ini bu Dina hanya diam, ia berjalan kembali ke bangkunya lalu mengambil beberapa buku yang tertinggal disana dan kembali ke ruang guru. Mario, Brian, Cavin, dan seisi kelas kini bisa tertawa lepas.
“Hahaha."
"Cav, by the way lo dapet ide dari mana?" tanya Mario kemudian.
"Ga tau, tiba-tiba aja gue pengen buang itu kulit pisang. Biar dia kepleset."
"Anak setan lu, dasar." celetuk Brian.
Seisi kelas yang mendengar percakapan itu kini malah senyum-senyum sendiri.
"Terus kalau kita dihukum semua gimana nih?" tanya si ketua kelas.
"Gampang, gue ganti rugi. Traktir kalian makan apa aja." ujar Mario.
"Janji ya?" celetuk seorang siswa lainnya.
"Iya, traktir doang mah kecil."
"Asik, gue jadi pengen di hukum nih." ujar yang lainnya lagi.
"Hahaha."
Mereka semua lalu tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Hanny Saswyanta
Semangat ya thoor
2022-02-22
0
Ayuk Vila Desi
novelnya bagus...bener2 kayak kehidupam sehari2.kan emang afa yg kaya gitu.sok...
2022-01-16
0
Alya Yuni
Murid mcm it keluarkn dri sklah biar tau
2022-01-16
0