"Dert."
"Dert."
Suara getaran handphone membangunkan Mario dari hibernasinya yang panjang. Betapa tidak, ia mulai tertidur sejak pukul 4 sore kemarin. Setelah beberapa hari tidur tak teratur, demi bermain game online bersama teman-temannya.
"Dert."
Handphone tersebut kembali bergetar. Mario yang matanya masih digelayuti setan batu itu pun, mulai meraba-raba. Mencari dimana letak handphonenya berada.
"Hhhh."
Ia menarik nafas kesal karena belum juga mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun pemuda berusia hampir 17 tahun tersebut sangat malas membuka mata. Padahal jika ia melakukannya mungkin handphone itu kini sudah berhasil ia temukan.
Jujur rasanya ia masih sangat ingin tidur, namun kewajiban sekolah memaksanya untuk bangun. Ia terus meraba-raba, hingga dirinya merosot ke lantai bersama selimut. Perlahan kantuknya pun kian menjadi-jadi.
Dalam keadaan setengah sadar itulah, ia terus bergerak mencari. Tubuh remaja itu terus bergeser, hingga tanpa disadari kepalanya kini sudah keluar dari pintu kamar. Kebetulan pintu kamar itu memang sudah agak terbuka sejak tadi.
Setiap pagi menjelang biasanya sang kakak kedua, Michael bertugas membangunkannya. Namun Mario adalah tipikal makhluk bolot yang doyan molor. Ia tak jua bangun meski sang kakak telah berteriak di dekat telinganya.
Jadilah kadang kakaknya tersebut pergi tanpa menutup kembali pintu kamar. Akibat kesal karena adiknya itu tak kunjung bangun.
Mario terus bergeser, dengan tangan yang masih meraba-raba. Posisinya kini sudah tergeletak di lantai dengan tangan dan kepala yang keluar dari kamar, sedangkan badannya masih berada di dalam.
Hal itu mengundang perhatian Michael, yang saat itu tengah sibuk menyapu rumah. Kebetulan Michael sedang membersihkan area di dekat kamar Mario.
Michael pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dada, pemuda itu lalu meletakkan sapu dan pergi ke dapur.
Tak lama kemudian, Mario yang masih meraba-raba dalam kondisi setengah sadar itu pun terkejut. Tatkala tangannya merasakan sesuatu yang dingin, kenyal, serta sedikit berlendir.
"Iiiiih."
Tiba-tiba ia terbangun dan berteriak, membuat Michael yang berada di dekatnya pun tertawa puas.
"Hahaha, mampus lo." ujarnya kemudian.
"Mike, rese banget sih lo."
Wajah Mario pucat pasi. Ia menyadari jika dirinya baru saja memegang jelly coklat, dan ia pun langsung membuangnya ke lantai. Dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan.
"Lo kan tau gue phobia sama jelly, agar-agar, dan sebagainya. Ngerjain orang nggak harus segitunya juga kali, berlendir tau nggak?"
"Makanya kalau pagi tuh bangun. Tidur aja kerjaan, bukannya bantu beresin rumah. Udah tau dirumah nggak ada pembantu."
"Salah sendiri, rumah sebesar ini nggak nyewa pembantu."
"Mau, bayarin pembantunya?" tanya Michael.
Mario diam, namun masih memasang wajah yang kesal.
"Lagu lo, kayak lo banyak duit aja. Biaya hidup lo aja mahal."
Michael kembali menyapu, sedang Mario kini masuk lagi ke kamarnya. Untuk mencuci tangan di kamar mandi dan mencari dimana handphonenya berada. Tak butuh waktu lama, ia pun segera menemukan perangkat kesayangannya tersebut.
Bagi Mario handphone adalah nyawa. Ia merupakan tipikal makhluk jaman now yang tidak bisa hidup tanpa handphone. Mau tidur, harus liat handphone. Bangun tidur, langsung cari handphone. Mau makan, di foto dulu pakai handphone. Bermain dan bersilaturahmi, ya via handphone. Sampai-sampai BAB pun cebok dengan handphone, eh ditemani handphone.
Bisa dibilang handphone adalah kekasih pertamanya. Setelah itu game online dan barang branded. Maklum, dia adalah seorang hypebeast. Walaupun uang untuk membeli barang tersebut adalah hasil dari memalak kedua kakaknya.
"Hai gaes, gue baru bangun tidur nih. Mata gue masih ngantuk banget."
Mario memulai vlog paginya sambil membersihkan belek, yang masih bersarang di kedua mata. Sementara kini sang kakak Michael, lanjut membersihkan halaman belakang dekat kolam renang.
"Beberapa hari ini gue tuh selalu tidur nggak teratur gaes, karena nge-game mulu bareng Brian sama Cavin. Puncaknya Kemaren gue jadi ngantuk banget."
Mario berjalan ke arah belakang. Sambil memperlihatkan beberapa bagian rumahnya, yang minimalis dan kekinian.
"Jadi gue tidur dari jam 4 sore kemaren, bener-bener nggak kebangun sama sekali sampe pagi ini."
Mario terus melangkah hingga ke halaman belakang, tempat dimana kini Michael berada dan tengah membersihkan daun gugur di sekitaran kolam renang.
Karena terlalu sibuk berpose layaknya anak alay yang sering merasa paling good looking sejagat raya, tanpa sadar Mario sudah berada di pinggir kolam renang. Dan saat kedua kakinya coba melangkah mundur ke belakang, tiba-tiba....
"Byuuur, blooop."
Anak itu jatuh kedalam kolam dengan sangat mengenaskan dihadapan sang kakak.
"Mampus lo."
Kali ini Michael berteriak dengan kesal. Karena air dari kolam renang muncrat keluar, lalu membasahi serta membuat dedaunan telah yang ia kumpulkan menjadi berserakan kembali. Karena terbawa arus air.
"Makanya pagi tuh mandi, bantuin kek kerjaan orang. Malah bikin video nggak jelas, sok hits sih lo."
Michael Masih terus mengoceh. Tak lama kemudian Kakak pertamanya Marcell pun muncul.
"Ada apaan sih?" tanya Marcell heran.
"Tiap pagi ribut mulu." lanjutnya kemudian.
"Tuh, adek kesayangan lo tuh kecebur. Untung ke kolam. Kalo ke panci rebusan, mateng lo."
Michael kembali sinis pada Mario, sementara anak itu kini keluar dari kolam. Ia lalu berjalan ke arah pintu belakang.
"Heh, enak aja. Stop-stop!"
Michael menahan langkah anak itu.
"Apaan sih Mike?" tanya Mario dengan nada yang begitu kesal.
"Enak aja lo mau masuk basah-basah gini."
"Ya emang kenapa, dingin tau nggak?"
"Kenapa lagi lo tanya, gue udah nyapu dan ngepel."
"Rese banget sih lo. Terus gue harus berdiri disini sampe nih baju kering, gitu?. Gue mau mandi, mau sekolah."
"Bodo amat gimana caranya. Yang pasti kalau lo sampe nekad masuk juga dalam keadaan basah kayak gini, gue hajar lo."
"Udah-udah tunggu disitu."
Tak lama kemudian Marcell masuk ke dalam rumah. Ia mengambil handuk dan memberikannya pada Mario.
"Nih pake handuk, lepas bajunya." ujar Marcell.
Mario menatap sekilas dengan sinis ke arah Michael, lalu membuka semua bajunya. Ia pun kini bergerak ke arah pintu belakang.
"Kaki cuci dulu di keran situ?"
Michael memerintahkan Mario untuk mencuci kakinya terlebih dahulu, pada keran yang berada tak jauh dari pintu masuk. Dengan gusar Mario pun menuruti. Ia mencuci kakinya dengan bersih, lalu kembali bergerak mendekati pintu.
"Lap dulu pake keset!" teriak Michael lagi.
Mario pun menghentak-hentakan kakinya dengan kesal di keset, lalu masuk ke dalam rumah.
"Masih ada basah, awas lo."
"Mike."
Kali ini Marcell menatap dan menegur Michael, yang dirasa terlalu keras pada adik bungsu mereka tersebut.
"Nggak usah marah terus." lanjut Marcell lagi.
"Capek gue sama tuh anak, makin gede bukannya makin nyenengin hati. Senggaknya bisa ngurus diri sendiri aja, cukup. Nggak perlu bantuin gue ngerjain semuanya, ini apa-apa masih gue semua. Sampe baju, underwear dia di tarok gitu aja berserakan di kamar, gue lagi yang nyuci. Ini nih nanti ke sekolah, pasti tuh kamar udah kayak kapal pecah."
"Ya udah, nggak usah beresin lain kali. Biar dia punya kesadaran sendiri."
"Kesadaran gimana, Cell?. Lo tau sendiri kan selama ini. Inget nggak waktu itu gue diemin seminggu, sampe tikus bersarang di kamarnya. Bukan masalah gue peduli sama dia. Gue nggak mau tuh tikus beranak pinak sampe bikin batalyon di kamarnya dia, dan akhirnya membahayakan kita semua."
"Ya udah, ya udah. Mending lo selesain dulu urusan lo, biar gue yang bikin sarapan. Abis itu mandi, ntar telat loh ke kantor."
Marcell lalu masuk ke dalam rumah menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan. Sementara kini Michael harus mengulang lagi pekerjaannya, dalam membersihkan dedaunan.
"Nih anak emang ngeselin nih, kerja lagi kan gue dua kali. Gue daftarin juga lo ke NASA, biar ikut misi satu arah ke Mars. Biar tenang hidup gue, dasar bocil FF nggak ada akhlak." Michael lanjut menggerutu.
***
Beberapa saat kemudian, semuanya sudah siap dan rapi. Marcell dan Michael tampak sudah menyantap sarapan pagi mereka di meja makan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 lebih, namun Mario belum juga menampakkan batang hidungnya. Hal ini tentu memaksa Michael kembali berteriak.
"Mario, ini udah siang ya. Jangan salahin gue, kalo gue tinggalin pergi duluan."
Mario buru-buru turun dari lantai atas dan langsung duduk di meja makan untuk sarapan.
"Orang udah pada selesai, lo baru turun. Kebiasaan nggak bisa disiplin, nggak menghargai waktu orang."
"Lo berisik banget sih, Mike?. Bisa nggak, sehari aja lo nggak ngoceh. Apalagi pas gue makan. Pusing tau nggak, gue dengerin lo ngoceh mulu."
"Lo harusnya bisa menghargai waktu orang. Udah tau lo mesti dianterin segala, apa-apa lelet. Mesti update ini lah, itu lah. Udah tau tugas lo pagi itu sekolah."
"Ribet lo, ah." jawab Mario lagi.
"Gue mau pergi sekarang." Michael beranjak dan mengambil tas kerjanya.
"Gue masih sarapan, Mike." Mario seakan meminta pengertian.
"Terserah lo, salah sendiri telat. Orang juga punya kesibukan masing-masing, bukan cuma mau ngurusin lo doang.
"Mike tungguin lah." Kali ini Marcell menengahi.
"Kalo lo mau, lo aja Cell yang anter dia. Muter-muter dah lu sono ke sekolahnya dia dulu."
"Nggak bisa Mike, lo kan kantornya searah sama sekolahnya dia. Lagipula gue ada meeting penting pagi ini."
"Lah sama, gue juga ada meeting penting. Nungguin anak ini mah bisa jantungan dan stroke mendadak tau nggak. Bangun pagi bukannya sigap, mandi, beres-beres. Malah bikin video nggak jelas, update ini, update itu."
Kali ini Mario menatap Michael dengan ekor matanya.
"Kalo nggak mau nganterin gue ya udah, berisik banget." ujarnya ketus.
"Ya udah, bagus dong. Pergi sono sendiri, jangan nyusahin orang mulu." ujar Michael.
"Mike, kasihan. Jangan gitu lah, dia itu adek lo."
"Bodo."
"Ya udah sih."
Mario berlalu dan berjalan cepat ke arah pintu keluar, ia tak menyelesaikan sarapannya. Ia melangkah dengan penuh kekesalan, namun detik berikutnya ia pun menghentikan langkah lalu menoleh.
"Tanggung jawab lo mana?" tanyanya pada Michael.
"Tanggung jawab?"
"Ya tanggung jawab. Ongkos buat gue mana?. Gue kan masih dalam tanggungan lo berdua."
"Masih butuh kan lo sama duit gue?"
"Mike."
Lagi-lagi Marcell memperingatkan adik keduanya tersebut, ia lalu merogoh kantong dan mengambil dompet. Ia mengambil beberapa lembar uang lalu memberikannya pada Mario.
Mario kemudian pergi setelah sebelumnya menatap sinis ke arah kakak keduanya Michael, yang juga menatapnya tak kalah sinis.
"Kebanyakan lo ngasih." ujar Michael pada Marcell.
"Udah biarin lah, kasian dia Mike."
"Lo tuh dari dulu selalu kasian-kasian mulu sama dia, liat aja dia makin hari tuh makin ngelunjak. Lo sih, terlalu manjain dia."
"Gue nggak manjain dia, Mike. Dia itu nggak punya ibu."
"Dia nggak punya ibu?. Kita juga sama Cell, ibu kita meninggal saat melahirkan dia."
"Ya makanya itu, cuma elo dan gue yang dia punya. Lo terlalu keras sama dia. Dia bandel, lo marahin. Dia diem, lo marahin. Dia sakit, lo marahin juga. Dia sehat lo bentak-bentak. Gimana nggak tambah bandel coba?. Salah semua dia dimata lo. Dia butuh bicara sama lo sebagai kakaknya, jangan terus perlakukan dia kayak gitu."
"Ah udah ah, males gue kalau udah ngurusin sifat lo yang lembek itu. Gue mau berangkat." ucap Michael.
Marcell menarik nafas, mencoba menurunkan nada bicaranya.
"Oke lo hati-hati." ujarnya kemudian.
"Iya, lo juga."
Michael lalu keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Beberapa saat kemudian ia pun meninggalkan halaman rumah dan menuju ke kantor. Marcell sendiri berangkat beberapa saat setelah kepergian Michael.
"Lo koq lama banget sih?" tanya Cavin pada Mario, yang baru saja tiba di sekolah sambil tergopoh-gopoh karena takut terlambat.
"Gue naik ojol, Bambang. Gue ngantuk di jalan dan ojolnya ternyata nggak hafal rute. Malah muter-muter dulu."
"Emang lo nggak dianterin si Mike?" tanya Brian yang sejak tadi berada disisi Cavin.
"Dia ngoceh mulu dari pagi, males gue. Punya kakak satu tapi mulutnya banyak kayak dia."
"Bukannya lo udah di ocehin sama dia dari lahir ya?" ujar Cavin lagi.
"Dari masih janin gue udah di ocehin." jawab Mario.
"Hahaha."
Ketiganya pun lalu tertawa.
"Eh PUBG yok." ajak Cavin kemudian.
"Udah mau masuk, Bambang." Mario melirik arloji yah ia pakai.
"Ah masih 20 menit, cukup koq." ujar Cavin lagi.
"Okelah, ayok!"
Mario dan Brian pun mengeluarkan handphone mereka masing-masing. Tak lama kemudian, mereka sudah tampak bermain PUBG mobile bersama.
Dua puluh menit berlalu, bu Dina sang guru kimia tiba dikelas mereka. Dengan tatapan tajam, wajah tegak, serta pandangan yang mengawasi ke setiap sudut kelas.
Pagi itu dimulai dengan penuh rasa horor, para siswa bersikap sangat tegang tetapi tetap dalam mode ke pura-puraan. Pura-pura memperhatikan, pura-pura menyimak. Padahal tak satupun dari mereka yang mengerti, perihal apa yang dijelaskan oleh bu Dina.
Sementara Mario dan teman-temannya kini malah bermain mobile legends dengan mode silent. Mereka terus menunduk memperhatikan layar handphone, sehingga hal tersebut mengundang perhatian bu Dina.
"Sebutkan pengertian Iodin."
Bu Dina melemparkan pertanyaan kepada seisi kelas. Para siswa pun hanya diam, beberapa diantaranya tampak menjatuhkan pulpen agar bisa merunduk dan tak kelihatan.
Ada juga yang pura-pura berfikir dan menulis sesuatu. Padahal kenyataannya tak menulis apa-apa. Semua dimaksudkan agar nama mereka tak dipanggil untuk menjawab pertanyaan.
Sementara Mario dan teman-temannya masih cuek serta masih berkutat dengan hero mobile legends mereka masing-masing.
"Mario."
Tiba-tiba saja bu Dina menyebut nama Mario. Sontak remaja itu pun terkejut lalu keluar dari permainan. Ia langsung membuka menu pencarian sakti jaman now, Mbah Google.
Mario kemudian menjawabnya dengan lancar. Karena sesekali matanya melirik ke arah layar handphone, yang menyajikan pengertian dari apa yang dipertanyakan bu Dina tadi.
"Ditemukan oleh siapa dan pada tahun berapa?" tanya bu Dina lagi.
Dengan secepat kilat jari-jemari Mario kembali bertanya pada Mbah Google. Dan dengan kesaktiannya, si Mbah pun menjawab.
Mario menjawabnya dengan lancar sampai pada kata, "Mesiu".
Ia menjawab dengan wajah yang tegak, seolah menyatakan bahwa dirinya memanglah seorang smart people. Meski ia bukan penonton podcast om botak yang kekar itu.
"Tapi bukan dia yang menamai zat tersebut sebagai Iodin."
Tiba-tiba seorang gadis yang duduk di bangku paling depan nyeletuk, seolah tengah mencari perhatian. Gadis itu bernama Nadia, yang merupakan salah satu anak yang selalu masuk peringkat sepuluh besar.
"Heh Jamilah, sok tau lo. Dia juga berkontribusi dalam menamai zat itu. Jelasin, Bri!"
Mario melempar tugas pada temannya Brian secara sepihak. Dengan wajah santai Brian pun menjawab.
"Jadi gini ya."
Mata Brian melirik sekilas ke arah Handphone yang sengaja ia sembunyikan. Ia juga tengah mengutip jawaban dari Google.
"Pada saat menemukan Iodin, si Courtois ini nggak begitu mempedulikan. Karena dia udah banyak kerjaan, jadi itu penemuan nggak begitu di urusin. Barulah ketika Joseph dan Lois Gay-Lussac mendengar soal penemuan itu dari Sir Humprey Davi, dia pun datang menemui Courtois. Setelah meneliti lebih lanjut, dia mengklaim bahwa temuan itu bernama Ioda yang dalam bahasa Yunani berarti lembayung. Nah Courtois menambah bagian Ine di belakang, terinspirasi dari nama sepupunya Chlorine. Yang juga dijadikan nama sebuah zat kimia."
Nadia terdiam dengan muka sewot, ia tau jawaban Brian mungkin benar. Tapi ia sendiri merasa sudah kalah saing, dengan anak laki-laki yang terkenal nakal seperti mereka.
"Baik, saya terima jawaban kalian. Meskipun saya tau kalian itu sudah pasti curang, sudah pasti copy-paste jawaban di google."
Mario dan Brian saling memberi kode sambil tersenyum meledek.
"Periksa aja bu hp kita." ujarnya dengan percaya diri tingkat dewa.
Bu Dina tau persis, jika anak-anak itu pastilah sudah menghapus semua riwayat pencariannya. Dengan tangan mereka yang super cepat serta kemampuan ngeles yang luar biasa, tentu saja mereka punya sejuta cara untuk berkilah. Bu Dina akan sulit menangkap basah mereka.
"Saya rasa tidak perlu, semua orang juga sudah tau siapa kalian. Cerdas karbitan."
"Koq kasar sih?”
"Dalang pelo."
Cavin mengeluarkan suara layaknya tokoh dalam kartun dalang pelo, yang kemudian dijawab oleh hampir seisi kelas dengan yel khas kartun tersebut.
Hampir seisi kelas pun tertawa-tawa demi melihat bu Dina, yang sukses dibuat sewot oleh Mario dan teman-temannya. Bu Dina berjalan kembali ke meja guru. Namun kemudian,
"Buuuk, Aaaaaa."
Bu Dina terjatuh dan menjerit, antara sakit serta kesal.
"Siapa yang narok kulit pisang disini?” teriaknya kemudian.
Wajahnya berubah menjadi begitu marah, hampir seluruh siswa menahan tawa. Beberapa diantaranya mencoba membantu berdiri namun ditepis oleh bu Dina.
Ia berdiri dengan sendirinya lalu menatap seisi kelas, seakan hendak menelan mereka satu persatu.
"Siapaaa?" hardiknya lagi.
Seisi kelas saling pandang, sebagian dari mereka menunduk dan mengira-ngira. Siapa yang sesungguhnya telah melakukan perbuatan tak berakhlak tersebut. Beberapa diantaranya tampak saling curiga satu sama lain.
Mata bu Dina kini tertuju pada Mario, Brian, dan Cavin yang tampak tengah cosplay menjadi lemur Madagaskar. Memasang wajah seolah-olah tak tau apa-apa.
"Kalian bertiga mengaku dan minta maaf, atau saya laporkan ke dewan guru dan orang tua kalian."
"Dih, kenapa bu?" tanya Mario kemudian. Ia memasang wajah heran, seolah benar tak tau apa maksud bu Dina.
"Saya curiga diantara kalian bertiga pelakunya."
"Loh koq menuduh gitu sih?"
Brian menjawab seraya melayangkan tatapan kearah Mario dan Cavin.
"Karena kalian bertiga yang sepertinya tidak menyukai saya, sejak awal kalian masuk ke sekolah ini."
"Tapi kan saya dari tadi disini bu. Lagi pula saya nggak bawa pisang." jawab Mario membela diri.
"Lantas itu kulit pisang jatuh dari mana, kalau diantara kalian bertiga nggak ada yang bawa pisang?. Jatuh dari supermarket?"
"Iya kali, mungkin di atas kelas ini udah jadi pasar buah."
"Hahaha." Seisi kelas tertawa.
"Diam semuanya!"
Bu Dina kembali berhasil menguasai kelas.
"Kalian bertiga ini, bisanya cuma membuat kesal saja. Pemalas, cerdas palsu."
"Lah, koq jadi malah nyasar kesana sih?" protes Mario.
"Tadi dibilang cerdas karbitan, sekarang cerdas palsu." lanjutnya kemudian.
"Kecerdasan kami nggak ada hubungannya dengan ini semua bu." Suara Brian mulai bernada tidak enak.
"Semua juga sudah pada tau kalau kalian tukang nyontek, dapat juara umum dan juara kelas hasil curang. Pertanyaan yang tadi kalian jawab pun, saya yakin kalian pasti liat google. Dan saya yakin juga pasti kalian yang narok kulit pisang ini disini."
"Kan udah dibilang dari tadi saya nggak bawa pisang, bawanya buah naga."
"Nih."
Mario mengeluarkan buah naga dari dalam tasnya. Karena memang bukan dia yang membawa pisang tersebut, melainkan Cavin.
"Kamu Brian?"
Mata bu Dina kini hanya tertuju pada Brian, pemuda itu pun melebarkan bibir sampai kuping sambil menghela nafas kesal.
"Kan saya dari tadi disini bu, makanya ibu kalau punya mata itu yang banyak kayak laba-laba. Biar salah satunya bisa ditempelkan ke saya dan bisa mengawasi saya. Biar saya nggak kena fitnah ibu yang berantakan itu. Lagian nih ya, saya nggak suka pisang. Doyannya buah mengkudu."
Kali ini mata bu Dina beralih pada Cavin. Karena posisi kulit pisang itu tak jauh dari tempat dimana Cavin duduk.
"Kenapa jadi ngeliatin saya, bu?" tanya Cavin kemudian.
"Pasti kamu pelakunya."
Bu Dina secara serta merta melemparkan tuduhan penuh terhadap Cavin.
"Koq saya?. Emang ibu liat saya yang melakukan. Jangan fitnah gitu lah bu, dosa tau."
"Saya yakin betul kamu pelakunya."
"Atas dasar apa, ibu menuduh saya?"
"Saya feeling."
"Ya tapi kan ibu nuduh nggak ada buktinya." Cavin masih membela diri.
"Tanya aja sama seisi kelas, ada nggak yang liat saya ngelempar kulit pisang ini?" lanjutnya lagi.
"Terus kamu pikir kulit pisang ini jalan sendiri?"
"Mana saya tau, saya kan ikan."
"Hahaha."
Tawa seisi kelas pecah, namun hanya beberapa saat. Karena Bu Dina melotot ke arah mereka semua, dan mereka pun kembali terdiam. Kini mata bu Dina beralih kepada seisi kelas.
"Kalian semua?"
Seisi kelas pun tersentak, mereka mulai dihinggapi ketakutan.
"Apa kalian melihat Cavin melakukannya?"
Sebagian dari mereka menelan ludah, hanya Mario, Brian, dan Cavin saja yang masih tampak petantang-petenteng.
"Jawab!"
Mereka mulai serba salah. Jika mengatakan tidak, maka sudah dipastikan seisi kelas ini akan dihukum. Tetapi jika mengatakan iya, maka resikonya di intimidasi oleh Mario, Brian, dan juga Cavin.
"Jawab, atau kalian saya hukum."
Seisi kelas bersitatap. Mereka melihat ke arah Mario, Brian, dan juga Cavin. Namun ketiga bedebah itu memberikan ekspresi seolah mereka tidak akan melepaskan siapapun, yang berkata jujur pada bu Dina
"Kita nggak tau bu."
Seisi kelas sepakat untuk berkata seperti itu. Karena sebagian dari mereka pun tak melihat saat Cavin melakukannya tadi.
"Masa sama kelakuan teman sendiri nggak tau."
"Kan kita fokus ke ibu tadi." celetuk salah seorang siswa.
"Bener, bu. Kita beneran nggak ngeliat." sambung yang lainnya.
"Denger sendiri kan bu, makanya jangan suka nuduh sembarangan." ujar Cavin.
Kali ini bu Dina hanya diam, ia berjalan kembali ke bangkunya lalu mengambil beberapa buku yang tertinggal disana dan kembali ke ruang guru. Mario, Brian, Cavin, dan seisi kelas kini bisa tertawa lepas.
“Hahaha."
"Cav, by the way lo dapet ide dari mana?" tanya Mario kemudian.
"Ga tau, tiba-tiba aja gue pengen buang itu kulit pisang. Biar dia kepleset."
"Anak setan lu, dasar." celetuk Brian.
Seisi kelas yang mendengar percakapan itu kini malah senyum-senyum sendiri.
"Terus kalau kita dihukum semua gimana nih?" tanya si ketua kelas.
"Gampang, gue ganti rugi. Traktir kalian makan apa aja." ujar Mario.
"Janji ya?" celetuk seorang siswa lainnya.
"Iya, traktir doang mah kecil."
"Asik, gue jadi pengen di hukum nih." ujar yang lainnya lagi.
"Hahaha."
Mereka semua lalu tertawa.
"Panggilan kepada Darriel Elden Mario, Brian Angkasa Wijaya dan Hayden Nicholas Cavin. Segera menuju ke ruang BK."
Seisi kelas menatap ke arah Mario, Brian, dan Cavin. Panggilan itu terdengar tepat sepuluh menit setelah bu Dina meninggalkan ruang kelas mereka.
"Ini pasti kerjaan si baper nih." ujar Cavin dengan nada sinis.
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia." Mario membenarkan.
"Gue yakin dia ngadu ke guru BK pas abis dari sini tadi. Pasti di lebih-lebihin deh ngomongnya, dasar tua nggak nua." ujar Brian sambil memasang wajah yang penuh kekesalan.
"Udah tenang, datangin aja sih. Kita liat dia maunya apa."
Mario mulai merapikan dasinya. Tak lama kemudian ia beserta Brian dan juga Cavin, beranjak menuju ruang BK.
Di dalam ruangan tersebut, mereka menerima wejangan yang lebih mirip ocehan. Dengan panjang lebar kali tinggi, yang lumayan bila dijumlahkan.
Mereka mendengarkan secara seksama. Karena sang guru BK yang berbicara nyaris tanpa jeda. Isinya hanya seputar menyalahkan dan tidak mau mendengarkan. Intinya selalu kembali ke pasal 1, yakni guru selalu benar. Bila guru melakukan kesalahan maka akan kembali ke pasal 1.
Tidak ada toleransi bagi siswa yang menyinggung perasaan guru. Baik itu kesalahan memang dilakukan oleh guru atau siswa itu sendiri, semua tetap salah siswanya.
***
"Lo itu udah dibilangin berkali-kali Mario, jangan bikin ulah. Baru tadi pagi lo bikin gue kesel, ini udah bikin kesel lagi."
Michael memarahi Mario, ketika mereka sudah sampai di halaman rumah. Beberapa waktu lalu ia di telpon oleh pihak sekolah Mario, untuk segera menghadap dan menyelesaikan perkara yang dibuat oleh adik bungsunya tersebut. Ia juga menerima nasehat serta dimintai tolong, untuk lebih mendidik Mario kedepannya.
Ini sudah beberapa kali terjadi dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan ini. Bukan Michael yang tak mau mendidik, melainkan Mario-nya yang memang tidak pernah mau mendengarkan nasehat dari sang kakak.
Kini mereka berdua masih berada di dalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Michael menatap Mario dengan penuh kemarahan, sementara bedebah kecil itu masih sibuk bermain handphone.
"Denger nggak kalau gue ngomong?"
Michael membentak Mario hingga anak itu tersentak dan balas menatap kakaknya, dengan tatapan yang penuh kekesalan.
"Biasa aja kali, Mike. Nggak usah ngebentak gitu, gue belum budek koq. Lagian yang salah tadi itu emang bu Dina, tiap hari juga dia selalu nyari masalah sama gue dan temen-temen gue."
"Lo udah salah, masih aja membela diri."
"Gue bukan membela diri, itu emang kenyataan. Bu Dina tuh setiap hari selalu mencari cara buat menjatuhkan gue, Brian, sama Cavin. Dia sengaja bikin ulah supaya kelihatan gue bertiga itu bandel, biar dia bisa menghukum kami bertiga."
"Sedrama itu ya, pikiran lo terhadap guru lo sendiri. Harusnya lo nyadar diri, Mario. Lo itu juara umum hasil dari kepiawaian lo yang jago nyontek. Kedua temen lo yang peringkat dua dan tiga itu juga sama aja."
"Salah siapa yang nyuruh gue berprestasi mulu?"
Kali ini Michael terdiam. Dialah yang selama ini selalu menuntut, agar adiknya itu selalu berprestasi.
"Coba kalau lo mau terima gue apa adanya, nggak menuntut dan berharap banyak sama gue."
"Terus, lo minta gue toleran kalau misalkan lo bodoh di sekolah?. Lo pikir gue capek-capek kerja itu, cuma buat biayain anak yang sekolahnya ogah-ogahan?. Lo juga harus kasih impact ke gue. Kalau lo merasa nggak pinter, ya lo belajar. Bukan malah mendalami ilmu contek-menyontek. Kalau nyontek aja lo bisa jago, kenapa nggak untuk pelajaran?"
"Lo selalu menuntut gue untuk jadi yang terdepan, maka dari itu gue gunakan segala cara. Lo selalu marah bahkan mukul gue kalau nilai-nilai gue ada yang kurang. Lo selalu mau menyamakan gue sama lo dan juga Marcell. Gue itu nggak sama dengan lo berdua, meskipun kita sedarah. Gue bodoh, nggak sepintar kalian."
"Terus kalau lo bodoh, lo mau terima kenyataan gitu aja?. Hah?" Michael terus menghujani Mario dengan tatapan yang tajam.
"Kita semua terlahir dengan kapasitas otak yang sama, Mario. Hanya saja kita berbeda dalam cara memanfaatkan kapasitas tersebut. Lagipula di jaman yang serba instan kayak gini, belajar bisa dimana aja koq. Tinggal sekali klik di google semua informasi bisa di dapat."
"Lah, makanya itu gue sama temen gue suka pake Google."
"Ya tapi nggak gitu caranya. Lo belajar harusnya."
"Ya Google juga sarana belajar kali, Mike."
"Ya, apa lo pernah memanfaatkannya buat belajar selama ini?. Gue tanya sama lo, pernah nggak?. Nggak pernah kan?. Lo memanfaatkan Google itu cuma buat nyontek karena lo malas belajar. Lo selalu diem-diem bawa handphone dan nyontek di Google, pada saat lo ujian sekolah, ataupun menjawab pertanyaan guru. Gue selalu denger kalau lo lagi berbicara dengan Brian dan juga Cavin, itulah kenapa guru-guru selalu bermasalah sama lo. Mereka pengen lo itu belajar serius, bukan nyontek."
"Ah berisik, ah."
"Masih ngebantah?" Lagi-lagi Michael menghardik Mario.
"Bisa nggak sih nggak usah ngebentak gue?. Gue capek tau nggak jadi adek lo."
"Lo pikir gue nggak capek apa, jadi tukang cari duit buat lo. Asal lo tau ya, biaya sekolah lo aja mahalnya minta ampun. Belum lagi nabung buat biaya kuliah lo nanti, gaya hidup lo selalu tinggi dan gengsi di depan semua orang. Tiap Hp baru keluar, lo udah ngerengek minta di beliin. Ngancem mogok sekolah kalau nggak kasih. Jadi budak gadget, bikin kaya perusahaan pembuat handphone. Lo pikir cari duit itu gampang?"
"Gue juga masih di biayain papa koq. Nggak usah kebanyakan drama deh, Mike. Papa itu kirim uang tiap bulan buat biaya hidup gue. Elo dan Marcell sendiri yang bilang kan."
Kali ini Michael terdiam, ada rasa sakit yang tiba-tiba menghujam jantungnya.
"Kalau lo nggak sanggup lagi ngurus gue, kasih gue ke papa. Udah berapa kali gue minta sama lo, gue mau tinggal sama papa di New York. Tapi lo nggak pernah kasih. Saat lo telponan sama papa, selalu lo menjauh supaya gue nggak bilang ke papa kalau lo itu kakak yang buruk. Kerja lo marah mulu dan lo selalu menghasut papa supaya gue tetap ada di negri ini, supaya tetap bisa lo buat tertekan. Lo benci kan sama gue?. Lo nggak mau punya adek lagi kan, tapi ternyata gue lahir. Iya kan?"
"Masuk..!
Michael menunjuk ke arah rumah. Kali ini Mario yang terdiam, ada kesedihan di pelupuk matanya yang siap meluncur. Meskipun ia merupakan seorang laki-laki, dia tetaplah manusia biasa yang juga bisa merasakan sedih.
"Gue cuma..."
"Masuk...!"
"Sebelum lo gue gampar siang ini." lanjut Michael lagi.
Mario membuka pintu mobil lalu membantingnya cukup keras, kemudian ia pun masuk ke dalam rumah.
Sementara Michael masih terpaku di dalam mobil untuk beberapa saat. Ia terdiam cukup lama seolah memikirkan sesuatu.
Tak lama Michael turut masuk menyusul adik bungsunya itu. Ia bahkan menyusul Mario hingga ke kamarnya, yang kebetulan tidak di kunci.
"Mana handphone lo?"
"Apaan sih, Mike.?"
Michael menyita paksa handphone milik Mario, sehingga adiknya tersebut tampak sangat kacau dan memprotes tingkah laku sang kakak.
"Lo jangan seenaknya ya jadi orang."
Mario berusaha mengambil kembali handphone tersebut dari tangan Michael. Namun Michael menepisnya dan menggenggam ponsel itu kuat-kuat.
Tak hanya itu, Michael juga mengambil laptop gaming yang terletak disisi tempat tidur Mario. Lalu memasukkannya ke dalam lemari, kemudian menguncinya bersamaan dengan handphone Mario tadi.
"Apa-apaan sih lo, Mike. Nggak usah segitunya juga kali. Gue butuh hp itu, gue butuh buat segalanya."
"Nggak ada acara main handphone atau apapun sebelum gue pulang. Kunci lemari ini akan gue bawa. Lo harus belajar, gue nggak mau tau."
Michael bergerak keluar dari kamar Mario.
"Lo kenapa sih tega banget sama gue?. Pantes aja lo nggak punya cewek, galak sih lo jadi orang. Udalah rese, nggak berperasaan, kejam lagi. Lo pikir gue nggak bakal bisa maen game gitu?. Gue bakal ke warnet, liat aja."
Kali ini Michael menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Mario, yang sejak tadi mengikuti langkahnya menuju ke arah pintu depan.
"Ketauan lo ke warnet, gue bisa tutup itu warnet. Gue akan menghalalkan segala cara supaya lo nggak bisa lagi main disana. Lo nggak kasian sama abang-abang penjaganya, kalau dia sampe kehilangan pekerjaan?"
Mario terdiam, Michael tau kelemahan adiknya itu. Senakal-nakalnya Mario, dia adalah anak yang tidak pernah mau melihat orang lain susah. Terlebih kesusahan tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri.
"Lo kenapa sih jahat banget sama gue?"
Suara Mario mulai melemah, sementara kini Michael kembali berjalan. Dengan sigap Mario pun menyusulnya.
"Mike, gue mau handphone gue. Siniin kunci lemarinya, Mike..."
Michael tak menggubris Mario, malah ia kini buru-buru masuk ke dalam mobil.
"Mike, Mikeee."
Michael berlalu tanpa menghiraukan Mario yang sudah kesal setengah mati tersebut. Anak laki-laki berusia 16 tahun itu pun lemas menatap kepergian sang kakak.
"Apa sih salah gue, ya Tuhaaan?. Punya kakak koq gitu amat, bangsat."
Mario terdiam sambil terduduk lesu. Detik berikutnya,
"Aahaaaaaa, huahaaa."
Mario ngamuk layaknya bocah yang tidak diberi uang jajan, ia membenci semua yang telah terjadi di hidupnya. Ia benar-benar sudah gerah dengan semua kejadian yang menimpanya selama ini.
Ia terus berteriak sampai kemudian, ia menyadari banyak ibu-ibu tetangga sekitar yang memperhatikannya dari luar pagar. Karena malu akhirnya Mario pun masuk ke dalam rumah.
***
Esok harinya, sekitar pukul 9:30 pagi. Ketika karyawan perusahaan Ganesha Digital Networking tengah beristirahat dan makan di kantin. Tiba-tiba salah satu dari mereka memperhatikan televisi, yang menyajikan pemberitaan. Mengenai seorang guru yang di aniaya siswanya, sampai mengalami luka parah.
"Mike, itu bukannya sekolah Mario adek lo?" tanya salah seorang dari mereka seraya menatap Michael.
Michael yang sejak tadi hanya fokus makan, kini beralih ke arah televisi. Ia memperhatikan berita itu secara seksama dan bukan alang kepalang. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari siapa guru yang menjadi korban tersebut.
"I, itu kan bu Dina." ujarnya setengah berteriak.
"Bener kan, Mike. Itu sekolah adek lo?" tanya temannya lagi.
Dengan masih tercengang dan nafas yang mulai tak teratur, Michael segera beranjak lalu mencoba menelpon kakaknya Marcell. Yang saat ini juga tengah sibuk bekerja di kantornya.
"Cell, Marcell."
"Ada apa Mike, koq panik gitu?" tanya Marcell heran. Ia sangat terkejut mendengar nada suara Michael yang begitu cemas.
"Bu Dina, Cell."
"Bu Dina?" Marcell mengerutkan dahi.
" Bu Dina gurunya Mario?" tanya nya lagi.
"Iya, gue barusan liat berita kalau bu Dina dipukulin siswanya sampe terluka parah."
"Apa?. Dipukulin?" Marcell benar-benar terkejut.
"Iya, gue khawatir itu kerjaannya Mario. Karena Kemaren, gue baru aja menyelesaikan kasus dia dengan bu Dina."
"Mario ada kasus sama bu Dina?. Koq lo nggak kasih tau gue sih?"
"Duh, Cell. Gue pikir kemaren itu masalahnya sepele dan bisa gue selesaikan sendiri. Gue nggak mau sampe ganggu kerjaan lo juga, cuma gara-gara bedebah satu itu."
"Harusnya apa-apa itu lo bilang ke gue, Mike. Biar gue juga bisa nasehatin Mario. Kalau kayak gini gimana coba?"
"Sorry Cell, sorry banget. Gue nggak kepikiran sampe sana. Dan gue juga nggak mengira, kalau Mario bakal berbuat hal senekat ini."
"Ya udah, ya udah. Kita ke sekolahnya dia aja sekarang."
"Oke, lo hati-hati di jalan Cell. Kalau bisa buruan."
"Oke."
Michael bergegas menuju halaman parkir dan mencari dimana mobilnya berada. Detik berikutnya ia pun mulai melaju kencang menuju ke sekolah Mario. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, di sela kecemasannya yang mulai melonjak naik.
Marcell dan Michael tiba di sekolah Mario di waktu yang nyaris bersamaan. Keduanya lalu memarkir mobil di sembarang tempat saking paniknya. Mereka kemudian keluar menuju kerumunan siswa yang menghambur di setiap sudut sekolah. Agaknya kericuhan yang terjadi, telah mengganggu semua proses belajar-mengajar hari ini.
Marcell langsung berlari ke arah beberapa anggota kepolisian yang berkumpul di depan ruang guru.
"Pak, pak."
Marcell menghampiri salah seorang anggota polisi, dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya salah seorang anggota polisi tersebut pada Marcell.
"Pak, tersangka pelaku pemukulan terhadap bu Dina apa sudah diamankan?"
"Sudah, kebetulan sudah di amankan di kantor polisi."
"Astaga." Tubuh Marcell pun gemetar.
Sementara di sepanjang koridor sekolah, Michael terus bertanya kepada teman-teman sekelas Mario. Perihal dimana adiknya kini berada.
"Dek, liat Mario, Brian, atau Cavin nggak?" tanya Michael cemas.
"Mereka dibawa ke kantor polisi kak." ujar salah seorang dari mereka.
"Apa?"
Michael seperti dihantam batu besar, keringat dingin kini mengucur deras di tubuhnya. Benar dugaannya, Mario lah pelakunya.
Sesegera mungkin ia pun berlari. Ia tiba di dekat mobilnya, tepat setelah Marcell tiba di dekat mobilnya pula.
"Kita ke kantor polisi sekarang Mike, ini udah nggak bener." Nafas Marcell terdengar sangat memburu.
"Lo tau kantor polisinya dimana?" tanya Michael kemudian, Marcell pun mengangguk. Tak lama kemudian mereka langsung tancap gas, menuju ke kantor polisi yang dimaksud.
Di sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, Marcell dan Michael tidak dapat menyembunyikan keresahan dan kepanikan. Berkali-kali mereka nyaris menabrak pengendara lain, saking ruwetnya pikiran mereka saat ini.
Beruntung, mereka masih bisa sedikit menguasai emosi. Sehingga mereka bisa melewati jalan demi jalan dengan selamat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!