"Panggilan kepada Darriel Elden Mario, Brian Angkasa Wijaya dan Hayden Nicholas Cavin. Segera menuju ke ruang BK."
Seisi kelas menatap ke arah Mario, Brian, dan Cavin. Panggilan itu terdengar tepat sepuluh menit setelah bu Dina meninggalkan ruang kelas mereka.
"Ini pasti kerjaan si baper nih." ujar Cavin dengan nada sinis.
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia." Mario membenarkan.
"Gue yakin dia ngadu ke guru BK pas abis dari sini tadi. Pasti di lebih-lebihin deh ngomongnya, dasar tua nggak nua." ujar Brian sambil memasang wajah yang penuh kekesalan.
"Udah tenang, datangin aja sih. Kita liat dia maunya apa."
Mario mulai merapikan dasinya. Tak lama kemudian ia beserta Brian dan juga Cavin, beranjak menuju ruang BK.
Di dalam ruangan tersebut, mereka menerima wejangan yang lebih mirip ocehan. Dengan panjang lebar kali tinggi, yang lumayan bila dijumlahkan.
Mereka mendengarkan secara seksama. Karena sang guru BK yang berbicara nyaris tanpa jeda. Isinya hanya seputar menyalahkan dan tidak mau mendengarkan. Intinya selalu kembali ke pasal 1, yakni guru selalu benar. Bila guru melakukan kesalahan maka akan kembali ke pasal 1.
Tidak ada toleransi bagi siswa yang menyinggung perasaan guru. Baik itu kesalahan memang dilakukan oleh guru atau siswa itu sendiri, semua tetap salah siswanya.
***
"Lo itu udah dibilangin berkali-kali Mario, jangan bikin ulah. Baru tadi pagi lo bikin gue kesel, ini udah bikin kesel lagi."
Michael memarahi Mario, ketika mereka sudah sampai di halaman rumah. Beberapa waktu lalu ia di telpon oleh pihak sekolah Mario, untuk segera menghadap dan menyelesaikan perkara yang dibuat oleh adik bungsunya tersebut. Ia juga menerima nasehat serta dimintai tolong, untuk lebih mendidik Mario kedepannya.
Ini sudah beberapa kali terjadi dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan ini. Bukan Michael yang tak mau mendidik, melainkan Mario-nya yang memang tidak pernah mau mendengarkan nasehat dari sang kakak.
Kini mereka berdua masih berada di dalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Michael menatap Mario dengan penuh kemarahan, sementara bedebah kecil itu masih sibuk bermain handphone.
"Denger nggak kalau gue ngomong?"
Michael membentak Mario hingga anak itu tersentak dan balas menatap kakaknya, dengan tatapan yang penuh kekesalan.
"Biasa aja kali, Mike. Nggak usah ngebentak gitu, gue belum budek koq. Lagian yang salah tadi itu emang bu Dina, tiap hari juga dia selalu nyari masalah sama gue dan temen-temen gue."
"Lo udah salah, masih aja membela diri."
"Gue bukan membela diri, itu emang kenyataan. Bu Dina tuh setiap hari selalu mencari cara buat menjatuhkan gue, Brian, sama Cavin. Dia sengaja bikin ulah supaya kelihatan gue bertiga itu bandel, biar dia bisa menghukum kami bertiga."
"Sedrama itu ya, pikiran lo terhadap guru lo sendiri. Harusnya lo nyadar diri, Mario. Lo itu juara umum hasil dari kepiawaian lo yang jago nyontek. Kedua temen lo yang peringkat dua dan tiga itu juga sama aja."
"Salah siapa yang nyuruh gue berprestasi mulu?"
Kali ini Michael terdiam. Dialah yang selama ini selalu menuntut, agar adiknya itu selalu berprestasi.
"Coba kalau lo mau terima gue apa adanya, nggak menuntut dan berharap banyak sama gue."
"Terus, lo minta gue toleran kalau misalkan lo bodoh di sekolah?. Lo pikir gue capek-capek kerja itu, cuma buat biayain anak yang sekolahnya ogah-ogahan?. Lo juga harus kasih impact ke gue. Kalau lo merasa nggak pinter, ya lo belajar. Bukan malah mendalami ilmu contek-menyontek. Kalau nyontek aja lo bisa jago, kenapa nggak untuk pelajaran?"
"Lo selalu menuntut gue untuk jadi yang terdepan, maka dari itu gue gunakan segala cara. Lo selalu marah bahkan mukul gue kalau nilai-nilai gue ada yang kurang. Lo selalu mau menyamakan gue sama lo dan juga Marcell. Gue itu nggak sama dengan lo berdua, meskipun kita sedarah. Gue bodoh, nggak sepintar kalian."
"Terus kalau lo bodoh, lo mau terima kenyataan gitu aja?. Hah?" Michael terus menghujani Mario dengan tatapan yang tajam.
"Kita semua terlahir dengan kapasitas otak yang sama, Mario. Hanya saja kita berbeda dalam cara memanfaatkan kapasitas tersebut. Lagipula di jaman yang serba instan kayak gini, belajar bisa dimana aja koq. Tinggal sekali klik di google semua informasi bisa di dapat."
"Lah, makanya itu gue sama temen gue suka pake Google."
"Ya tapi nggak gitu caranya. Lo belajar harusnya."
"Ya Google juga sarana belajar kali, Mike."
"Ya, apa lo pernah memanfaatkannya buat belajar selama ini?. Gue tanya sama lo, pernah nggak?. Nggak pernah kan?. Lo memanfaatkan Google itu cuma buat nyontek karena lo malas belajar. Lo selalu diem-diem bawa handphone dan nyontek di Google, pada saat lo ujian sekolah, ataupun menjawab pertanyaan guru. Gue selalu denger kalau lo lagi berbicara dengan Brian dan juga Cavin, itulah kenapa guru-guru selalu bermasalah sama lo. Mereka pengen lo itu belajar serius, bukan nyontek."
"Ah berisik, ah."
"Masih ngebantah?" Lagi-lagi Michael menghardik Mario.
"Bisa nggak sih nggak usah ngebentak gue?. Gue capek tau nggak jadi adek lo."
"Lo pikir gue nggak capek apa, jadi tukang cari duit buat lo. Asal lo tau ya, biaya sekolah lo aja mahalnya minta ampun. Belum lagi nabung buat biaya kuliah lo nanti, gaya hidup lo selalu tinggi dan gengsi di depan semua orang. Tiap Hp baru keluar, lo udah ngerengek minta di beliin. Ngancem mogok sekolah kalau nggak kasih. Jadi budak gadget, bikin kaya perusahaan pembuat handphone. Lo pikir cari duit itu gampang?"
"Gue juga masih di biayain papa koq. Nggak usah kebanyakan drama deh, Mike. Papa itu kirim uang tiap bulan buat biaya hidup gue. Elo dan Marcell sendiri yang bilang kan."
Kali ini Michael terdiam, ada rasa sakit yang tiba-tiba menghujam jantungnya.
"Kalau lo nggak sanggup lagi ngurus gue, kasih gue ke papa. Udah berapa kali gue minta sama lo, gue mau tinggal sama papa di New York. Tapi lo nggak pernah kasih. Saat lo telponan sama papa, selalu lo menjauh supaya gue nggak bilang ke papa kalau lo itu kakak yang buruk. Kerja lo marah mulu dan lo selalu menghasut papa supaya gue tetap ada di negri ini, supaya tetap bisa lo buat tertekan. Lo benci kan sama gue?. Lo nggak mau punya adek lagi kan, tapi ternyata gue lahir. Iya kan?"
"Masuk..!
Michael menunjuk ke arah rumah. Kali ini Mario yang terdiam, ada kesedihan di pelupuk matanya yang siap meluncur. Meskipun ia merupakan seorang laki-laki, dia tetaplah manusia biasa yang juga bisa merasakan sedih.
"Gue cuma..."
"Masuk...!"
"Sebelum lo gue gampar siang ini." lanjut Michael lagi.
Mario membuka pintu mobil lalu membantingnya cukup keras, kemudian ia pun masuk ke dalam rumah.
Sementara Michael masih terpaku di dalam mobil untuk beberapa saat. Ia terdiam cukup lama seolah memikirkan sesuatu.
Tak lama Michael turut masuk menyusul adik bungsunya itu. Ia bahkan menyusul Mario hingga ke kamarnya, yang kebetulan tidak di kunci.
"Mana handphone lo?"
"Apaan sih, Mike.?"
Michael menyita paksa handphone milik Mario, sehingga adiknya tersebut tampak sangat kacau dan memprotes tingkah laku sang kakak.
"Lo jangan seenaknya ya jadi orang."
Mario berusaha mengambil kembali handphone tersebut dari tangan Michael. Namun Michael menepisnya dan menggenggam ponsel itu kuat-kuat.
Tak hanya itu, Michael juga mengambil laptop gaming yang terletak disisi tempat tidur Mario. Lalu memasukkannya ke dalam lemari, kemudian menguncinya bersamaan dengan handphone Mario tadi.
"Apa-apaan sih lo, Mike. Nggak usah segitunya juga kali. Gue butuh hp itu, gue butuh buat segalanya."
"Nggak ada acara main handphone atau apapun sebelum gue pulang. Kunci lemari ini akan gue bawa. Lo harus belajar, gue nggak mau tau."
Michael bergerak keluar dari kamar Mario.
"Lo kenapa sih tega banget sama gue?. Pantes aja lo nggak punya cewek, galak sih lo jadi orang. Udalah rese, nggak berperasaan, kejam lagi. Lo pikir gue nggak bakal bisa maen game gitu?. Gue bakal ke warnet, liat aja."
Kali ini Michael menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Mario, yang sejak tadi mengikuti langkahnya menuju ke arah pintu depan.
"Ketauan lo ke warnet, gue bisa tutup itu warnet. Gue akan menghalalkan segala cara supaya lo nggak bisa lagi main disana. Lo nggak kasian sama abang-abang penjaganya, kalau dia sampe kehilangan pekerjaan?"
Mario terdiam, Michael tau kelemahan adiknya itu. Senakal-nakalnya Mario, dia adalah anak yang tidak pernah mau melihat orang lain susah. Terlebih kesusahan tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri.
"Lo kenapa sih jahat banget sama gue?"
Suara Mario mulai melemah, sementara kini Michael kembali berjalan. Dengan sigap Mario pun menyusulnya.
"Mike, gue mau handphone gue. Siniin kunci lemarinya, Mike..."
Michael tak menggubris Mario, malah ia kini buru-buru masuk ke dalam mobil.
"Mike, Mikeee."
Michael berlalu tanpa menghiraukan Mario yang sudah kesal setengah mati tersebut. Anak laki-laki berusia 16 tahun itu pun lemas menatap kepergian sang kakak.
"Apa sih salah gue, ya Tuhaaan?. Punya kakak koq gitu amat, bangsat."
Mario terdiam sambil terduduk lesu. Detik berikutnya,
"Aahaaaaaa, huahaaa."
Mario ngamuk layaknya bocah yang tidak diberi uang jajan, ia membenci semua yang telah terjadi di hidupnya. Ia benar-benar sudah gerah dengan semua kejadian yang menimpanya selama ini.
Ia terus berteriak sampai kemudian, ia menyadari banyak ibu-ibu tetangga sekitar yang memperhatikannya dari luar pagar. Karena malu akhirnya Mario pun masuk ke dalam rumah.
***
Esok harinya, sekitar pukul 9:30 pagi. Ketika karyawan perusahaan Ganesha Digital Networking tengah beristirahat dan makan di kantin. Tiba-tiba salah satu dari mereka memperhatikan televisi, yang menyajikan pemberitaan. Mengenai seorang guru yang di aniaya siswanya, sampai mengalami luka parah.
"Mike, itu bukannya sekolah Mario adek lo?" tanya salah seorang dari mereka seraya menatap Michael.
Michael yang sejak tadi hanya fokus makan, kini beralih ke arah televisi. Ia memperhatikan berita itu secara seksama dan bukan alang kepalang. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari siapa guru yang menjadi korban tersebut.
"I, itu kan bu Dina." ujarnya setengah berteriak.
"Bener kan, Mike. Itu sekolah adek lo?" tanya temannya lagi.
Dengan masih tercengang dan nafas yang mulai tak teratur, Michael segera beranjak lalu mencoba menelpon kakaknya Marcell. Yang saat ini juga tengah sibuk bekerja di kantornya.
"Cell, Marcell."
"Ada apa Mike, koq panik gitu?" tanya Marcell heran. Ia sangat terkejut mendengar nada suara Michael yang begitu cemas.
"Bu Dina, Cell."
"Bu Dina?" Marcell mengerutkan dahi.
" Bu Dina gurunya Mario?" tanya nya lagi.
"Iya, gue barusan liat berita kalau bu Dina dipukulin siswanya sampe terluka parah."
"Apa?. Dipukulin?" Marcell benar-benar terkejut.
"Iya, gue khawatir itu kerjaannya Mario. Karena Kemaren, gue baru aja menyelesaikan kasus dia dengan bu Dina."
"Mario ada kasus sama bu Dina?. Koq lo nggak kasih tau gue sih?"
"Duh, Cell. Gue pikir kemaren itu masalahnya sepele dan bisa gue selesaikan sendiri. Gue nggak mau sampe ganggu kerjaan lo juga, cuma gara-gara bedebah satu itu."
"Harusnya apa-apa itu lo bilang ke gue, Mike. Biar gue juga bisa nasehatin Mario. Kalau kayak gini gimana coba?"
"Sorry Cell, sorry banget. Gue nggak kepikiran sampe sana. Dan gue juga nggak mengira, kalau Mario bakal berbuat hal senekat ini."
"Ya udah, ya udah. Kita ke sekolahnya dia aja sekarang."
"Oke, lo hati-hati di jalan Cell. Kalau bisa buruan."
"Oke."
Michael bergegas menuju halaman parkir dan mencari dimana mobilnya berada. Detik berikutnya ia pun mulai melaju kencang menuju ke sekolah Mario. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, di sela kecemasannya yang mulai melonjak naik.
Marcell dan Michael tiba di sekolah Mario di waktu yang nyaris bersamaan. Keduanya lalu memarkir mobil di sembarang tempat saking paniknya. Mereka kemudian keluar menuju kerumunan siswa yang menghambur di setiap sudut sekolah. Agaknya kericuhan yang terjadi, telah mengganggu semua proses belajar-mengajar hari ini.
Marcell langsung berlari ke arah beberapa anggota kepolisian yang berkumpul di depan ruang guru.
"Pak, pak."
Marcell menghampiri salah seorang anggota polisi, dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya salah seorang anggota polisi tersebut pada Marcell.
"Pak, tersangka pelaku pemukulan terhadap bu Dina apa sudah diamankan?"
"Sudah, kebetulan sudah di amankan di kantor polisi."
"Astaga." Tubuh Marcell pun gemetar.
Sementara di sepanjang koridor sekolah, Michael terus bertanya kepada teman-teman sekelas Mario. Perihal dimana adiknya kini berada.
"Dek, liat Mario, Brian, atau Cavin nggak?" tanya Michael cemas.
"Mereka dibawa ke kantor polisi kak." ujar salah seorang dari mereka.
"Apa?"
Michael seperti dihantam batu besar, keringat dingin kini mengucur deras di tubuhnya. Benar dugaannya, Mario lah pelakunya.
Sesegera mungkin ia pun berlari. Ia tiba di dekat mobilnya, tepat setelah Marcell tiba di dekat mobilnya pula.
"Kita ke kantor polisi sekarang Mike, ini udah nggak bener." Nafas Marcell terdengar sangat memburu.
"Lo tau kantor polisinya dimana?" tanya Michael kemudian, Marcell pun mengangguk. Tak lama kemudian mereka langsung tancap gas, menuju ke kantor polisi yang dimaksud.
Di sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, Marcell dan Michael tidak dapat menyembunyikan keresahan dan kepanikan. Berkali-kali mereka nyaris menabrak pengendara lain, saking ruwetnya pikiran mereka saat ini.
Beruntung, mereka masih bisa sedikit menguasai emosi. Sehingga mereka bisa melewati jalan demi jalan dengan selamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Ayuk Vila Desi
tegang....
2022-01-16
0
Daylily
jadi ikut tegang
2021-11-13
0
Faridatur
sejauh ini bagus, jadi kangen jaman sekolah😍
2021-09-24
1