Chapter 03

• Start Afraid •

Allena menggeliatkan tubuhnya dengan mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan pencahayaan yang datang menyambut iris cokelatnya. Sambil berusaha bangun, pandangannya ia edarkan ke seisi ruangan. Yang ditemukan tetap sama, masih tempat semalam.

Allena mengusap wajahnya gusar. Saat itu pula, bayangan tentang adegan beberapa waktu lalu berputar di memori otaknya, layaknya kaset rusak.

*Allena menatap manik pria itu dalam-dalam. Seringaian tipis terukir di bibir Albern, membuat ia merengkuh tubuhnya, ketakutan. Albern mencekal kuat kedua lengan Allena, hingga ringisan kecil keluar dari bibirnya, lantas menyerah untuk melawan lagi.

Seperti yang dirasakannya pertama kali, sentuhan pria itu terasa seperti es.

Ibu... Tolong aku!

Allena mulai memejamkan mata. Setetes cairan bening menitik dari sudut matanya. Perlahan namun kemungkinan pasti, malam ini, masa kegadisannya akan berakhir.

Tetapi tidak berapa lama, Albern menghentikan kegiatannya di mana ketika mendengar isakan kecil. Ia mengangkat kepala untuk melihat wajah manis gadis di bawahnya.

"Ssstt..." Albern mengulurkan ibu jarinya, menyeka air mata Allena. Allena menatapnya heran masih dengan napas yang memburu. "Calm down. I will not hurt you," sambungnya, tanpa nada*.

Jantung Allena berdenyut, terperangah tidak percaya. Ia melirik sekilas tubuhnya hingga dapat bernapas lega begitu melihat pakaiannya masih melekat lengkap. Itu cukup membuktikan bahwa kehormatannya masih utuh.

Tanpa menunggu waktu lagi, Allena bangkit dan sesegera mungkin meninggalkan tempat terkutuk itu.

•••

"Astaga, Allena... Apa yang terjadi denganmu!?" Baru saja pintu rumah terbuka, nada keterkejutan Melly menyemburnya.

"Aku tidak apa-apa, Bu," balas Allena, acuh tak acuh.

"Tidak apa-apa, bagaimana? Lihatlah penampilanmu sekarang. Lebih mirip *******. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama pesta?"

Allena menghela napas lelah. Terkadang, ibunya suka cerewet dan mulai protektif jika sudah melihat keadaan terburuk dirinya. Bukan kemungkinan baik jika ia menceritakan semua kejadian semalam pada wanita tersebut. Tetapi, daripada disembur oleh pertanyaan, mau tidak mau kebohongan pun ia lontarkan.

"Semalam aku sedikit minum. Mungkin efek dari itu, aku tidak ingat melakukan apa saja. Tapi tenang, Bu, semuanya masih terkendali."

Sejenak wanita paruh baya itu memincingkan mata, kurang yakin. Tetapi akhirnya ia pun mengangguk paham. "Baiklah. Sekarang bersihkan dirimu, lalu makan. Ibu tahu, karena terlalu asyik bersenang-senang semalaman, perutmu pasti belum diisi asupan apapun."

Allena mangut menurut.

"Oh ya, seandainya ada pesta lagi. Sebaiknya kau tidak usah minum. Ibu tidak mau melihat penampilan berantakanmu yang seperti zombie ini lagi, membuat sakit mata," lanjut ibunya disertai gelengan miris.

Mencebik kesal, Allena pun mengangguk juga.

"Satu lagi. Ibu mau pergi keluar sebentar. Kau jaga rumah, ya? Jangan pergi kemana-mana tanpa memberitahu Ibu, apalagi mengizinkan orang asing masuk," pesan Melly kemudian.

Allena menyahut malas. "Oke."

•••

Setelah penampilannya kembali segar, Allena duduk di kursi santai balkon kamar. Sambil bersandar, matanya asyik menatap jalanan ramai di bawah sana. Rintikan hujan mulai turun membasahi bumi. Meski tinggal di perkotaan, namun kesejukan udara pagi masih bisa ia rasakan. Dan kebetulan hari ini sedang tidak ada kelas, jadi ia bisa menikmati waktu santai sepuasnya.

Di sela-sela kegiatan rileksasi, ponselnya bergetar menandakan panggilan masuk.

***Hetty

Calling You***...

Allena menggigit bibir bawahnya, suatu kebiasaan ketika dirinya merasa cemas. Mengingat ia mengingkari janji untuk menghadiri pesta itu, setelah ini Hetty pasti marah besar dan berakhir tidak mau berteman dengannya lagi.

"Tidak. Ini tak akan terjadi." Allena mengatur napas dengan cepat, lantas menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Halo, Allena? Apa kau baik-baik saja?" tanya Hetty di seberang sana, mendengar dari nada suara, sepertinya ia sedang khawatir.

"Untuk sekarang ini... sudah lebih baik."

"Allena, maaf... semua ini salahku," lirih Hetty, suaranya tersirat penyesalan.

"Apa maksudmu?"

"Yeah, karenaku, kau jadi diganggu pria-pria nakal klub. Bodohnya aku malah asyik berpesta dengan teman-temanku di lantai atas. Sekali lagi, aku minta maaf..."

Allena refleks menggeleng, meski pada kenyatannya Hetty tidak dapat melihat itu. "Ini sama sekali bukan salahmu. Lagi pula aku sudah melupakan kejadian semalam. Sudahlah yang lalu biarlah berlalu."

"Ah, Al... kau baik sekali. Omong-omong apa benar semalam kau ditolong oleh Albern?" tanya Hetty lagi, kali ini nadanya terdengar menggoda.

"Tidak!" elak Allena, cepat. Ia cukup trauma dengan kejadian semalam. Mendengar namanya saja ia sudah gemetaran.

"Oh, Allena... jawab yang jujur, aku butuh kepastian. Apa benar yang dibicarakan orang-orang kampus?" desak Hetty.

Allena memutar mata, lelah. Ternyata orang-orang kampus ada yang sempat melihatnya. "Yeah begitulah..."

Seketika pekikan dari ponsel menggetarkan gendang telinga Allena.

"Hetty.... kau mau membuatku tuli, heh?" omel Allena.

"Hehe, maaf..." Hetty berdeham. "Seandainya aku melihat adegan itu langsung. Ouch ... betapa romantisnya kalian..."

Allena termangu.

*Romantis dari mananya?

Yang ada mau menangis*...

"Allena, kau beruntung bisa merasakan sentuhan Albern. Pasti jantungmu lari maraton, kan?"

"Bicara apa kau ini? Tidaklah," sanggah Allena. "Aish, sebenarnya Albern itu siapa sih? Semalam kuperhatikan orang-orang melihatnya dengan tatapan takjub. Yeah, aku akui dia memang rupawan, tapi tidak segitunya juga mereka mengagumi, seperti tidak ada pria tampan lain saja."

Hetty terkekeh geli. "Makanya jangan bergaul dengan novel dan film action terus, jadi ketinggalan kabar, kan?" ledeknya yang langsung membuat bibir Allena mengerucut. "Dia DJ. Masih baru, tapi kepopulerannya sudah berkembang pesat di New York. Jadi, aku mengundangnya karena namanya sedang trending topic. Seandainya malam itu kau masih ada. Pasti kau akan berteriak kagum oleh aksi bermainnya."

Allena berdecih dalam hati. Jangan sampai terjadi. Aku tidak akan sudi mengagumi pria macam itu!

Muak membahas Albern lagi, Allena pun mengalihkan pembicaraan. "Oh ya! Selamat ulang tahun yang ke 23, Hetty. Semoga Tuhan memberkatimu. Maaf, aku tidak jadi mengucapkannya malam itu."

"Terima kasih. Ah, tidak masalah. Yang penting itu keadaanmu. Aku tidak mau dicap sebagai teman yang jahat karena memaksa teman sendiri menghadiri pesta begitu tahu beberapa pria telah menggodanya."

"Hm. Terima kasih sudah mengerti diriku. Kau memang teman terbaikku."

Hetty terkekeh. "You more."

"Baiklah. Sudah dulu, ya, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kampus yang sempat tertunda."

"Selesaikanlah. Aku juga mau melanjutkan pestaku bersama keluarga."

"Terima kasih. Bye..."

"Hm. Bye..."

Setelah itu sambungan telepon terputus.

Allena mengembuskan napasnya lega dengan posisi tubuh menghadap cermin. Untunglah Hetty tidak marah.

Sesaat terdengar suara gemuruh. Ia baru ingat, sedari tadi perutnya belum diisi asupan apapun. Dikarenakan sibuk memikirkan kejadian semalam, hampir saja ia lupa akan kebutuhan pokoknya sendiri.

Allena mengusap perutnya yang rata. "Oh cacing-cacingku... bersabarlah, aku segera berangkat."

•••

Saat ini Allena telah duduk manis di kursi ujung meja makan. Ia menyantap fried chicken yang dibeli ibunya kemarin. Tidak basi. Cukup dihangatkan dan ... cukup nikmatlah.

Saat sedang asyik-asyiknya menikmati hidangan, suara gebrakan pintu yang dibantingkan membuatnya terlonjak kaget.

Apa itu?

Allena sontak berdiri. Setelah beberapa menit merenung, ia putuskan untuk ke depan, melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Allena mengintip di balik tembok yang menghubungkan ruang tamu dengan dapur. Dari kejauhan terlihat jelas pintu utama rumahnya terbuka lebar. Ia melangkah mendekati pintu tersebut, lalu menengok ke sana kemari mencari siapa gerangan yang telah membuka pintu rumahnya. Tapi nihil, matanya tidak menemukan apapun.

Ah, mungkin itu hembusan angin besar, pikirnya.

Setelah menutup pintu, Allena kembali menuju meja makan dan melanjutkan acara santap menyantapnya lagi. Namun tidak sampai satu menit dirinya duduk, pintu utama rumah kembali terbuka, Allena terperanjat, lalu mengembuskan napas lega saat melihat sosok ibunya berdiri di sana.

"Ibu sudah pulang?" Ia berusaha menyembunyikan raut kekagetannya dengan pertanyaan.

"Ah, ya. Kau sudah makan?" tanya Melly seraya melangkah, menghampirinya.

"Ini, sedikit lagi habis."

"Hmm... kau mau buah?" Ibunya menyodorkan keranjang berisi berbagai jenis buah segar.

Allena mengangguk. Selepas mencuci tangan, ia pun mengambil apel.

"Girty bilang, kemarin kau terlambat."

Allena mengangguk lagi, membenarkan.

Girty adalah tetangga Allena yang kebetulan satu fakultas dengannya. Jika ada apa-apa mengenai Allena, Girty selalu memberitahu Melly semuanya. Jadi, jangan heran jika ibunya tahu banyak mengenai kegiatan Allena di kampus. Sebab yang menjadi cctv-nya ya si gadis itu, Girty.

"Tidak ikut kelas dan ... dihukum?"

Allena mengangguk di sela-sela gigitannya pada apel.

"Al... kalau di hatimu ada niat mau kuliah, semua itu tidak akan pernah terjadi."

Allena memandang ibunya, masih dengan bibir bergoyang asyik mengunyah. "Jadi menurut Ibu aku tidak berniat, begitu?"

Ibunya mengedikkan bahu. "Mungkin. Buktinya kau sengaja bergadang demi menonton film action, sedangkan kau tahu sendiri besok ada kelas."

Allena menjeda kunyahannya. "I-Ibu tahu dari mana?"

"Itu tidak penting. Jadi benar, kan, dugaan Ibu?"

Allena kembali mengunyah potongan apel di mulutnya. "Salahkan saja waktu, berjalan begitu cepat. Lagi pula ini telatku yang pertama, mengapa harus khawatir?"

"Ck, kau ini... bukannya menyesal, malah acuh tak acuh."

Allena menaruh apelnya yang tinggal setengah itu ke atas meja, kemudian bangkit dari kursi. "Aku mau mengerjakan tugas skripsi dulu."

"Tunggu!" seru Melly sebelum putrinya berlalu. "Oh kalau diberi nasehat kau selalu saja menghindar. Baiklah, kebetulan hari ini kau sedang tidak ada kelas. Ibu minta kau jaga rumah, karena pukul delapan Ibu mau pergi ke butik."

Jaga rumah? Memangnya aku satpam!? gertak Allena dalam hati, tapi pada akhirnya ia mengangguk juga walau malas.

Melly Johnson merupakan seorang desainer terkenal di kota California. Hasil rancangannya selalu terpakai oleh semua orang, bahkan beberapa selebriti Hollywood pun ikut mengenakannya.

Ia berharap putrinya memakai gaun atau pakaian hasil rancangannya juga, namun sayangnya Allena tidak tertarik dengan dunia fashion. Sehari-harinya saja gadis itu memakai pakaian santai, mana mau disuruh pakai rok atau gaun yang sedikit terbuka?

Jika ditanya apa Melly kecewa, sudah pasti. Padahal jika Allena bersedia, dalam satu kedipan penampilannya dapat dipastikan mampu menyihir mata yang melihatnya. Bentuk tubuhnya saja paling mendukung.

Ia mempunyai kepribadian yang cuek dan tidak terlalu memedulikan sekitar. Dari satu sisi Melly merasa bangga memiliki putri sepertinya. Tampil sederhana dan apa adanya.

"Ada apa?" tanya Melly saat menyadari perubahan raut wajah putrinya.

"Tidak ada. Ya sudah, aku ingin istirahat dulu, lelah." Setelah berkata demikian, Allena mengangkat kakinya, menaiki anak tangga yang mengantarkan menuju kamarnya.

•••

Yang baca rekomendasikan juga dong ke teman-temannya. Biar tambah rame🎉😆

Now...

Terpopuler

Comments

tukang nyimak

tukang nyimak

mash nyimak dulu Thor,, karena penasaran sama allena

2020-12-20

0

Ftl03

Ftl03

Boom Like dari LITTLE RAINBOW😆😆

2020-12-17

0

Nggre Marbun

Nggre Marbun

Semangat thorr
aku padamu💛💋

2020-12-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!