Chapter 05

• The Real Albern •

Kelas berlangsung seperti biasanya. Pembahasan materi dan berakhir tugas. Membosankan. Hanya saja keberadaan sosok malaikat di depan membuat penghuni kelas nyaman pada posisinya masing-masing. Tapi tunggu, hal itu hanya berlaku pada para mahasiswi. Sedangkan bagi para mahasiswa, mereka justru merasa cemburu dan tersaingi akan keberadaan dosen tampan itu. Jadinya kerjaan mereka sedari tadi hanya diam tertekuk, enggan memerhatikan apa yang diajarkan oleh sang dosen.

Begitu kelas selesai, sekejap ruangan langsung kosong. Ralat, masih tersisa beberapa orang. Salah satunya Allena. Ia masih sibuk mengucek mata, karena sedari tadi dirinya lebih banyak memejamkan mata, mengantuk berat. Masih untung tidak ada yang sadar, jadi ia tidak perlu repot-repot menjalankan hukuman. Sementara sisanya, para gadis tengah sibuk meminta nomor dosen dengan alasan agar mempermudah hubungan kabar jika ada suatu masalah mengenai kampus yang berhubungan dengan skripsi.

Setelah pandangannya kembali normal, Allena bangkit dari duduknya dan bergegas pulang dengan langkah sedikit sempoyongan. Begitu pun para gadis tadi, sepertinya sudah selesai dengan urusannya. Tetapi belum sampai kakinya menyentuh lantai keramik luar kelas, panggilan seseorang membuat ia terpaksa menghentikan langkahnya.

Allena memutar badannya kesal, karena waktu pulangnya terundur. Awalnya ia ingin mengomeli sang pemilik suara, namun begitu tahu siapa gerangan, niatnya terurung.

Allena berusaha tersenyum semanis mungkin. "Ya, Mr. Shamus?"

Bryan berlari menghampiri Allena dan balas tersenyum. "Panggil saja Bryan. Bahasa formal hanya membuat suasana canggung. Bicaralah layak pada teman sendiri."

Allena sempat terdiam, sebelum mengangguk kikuk. Mengingat dirinya bersama Bryan berada di satu ruangan sepi, kegugupan mulai melandanya.

"Kau mengantuk?"

"Eh, tidak," elak Allena lalu mengerjapkan matanya dua kali.

"Tidak usah berbohong. Sedari tadi aku melihat kau menguap."

"Oh. Hehe..." Hanya itu respon yang bisa Allena berikan. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi, karena pada kenyataannya dirinya tidak pandai menutupi sesuatu.

Bryan terkekeh. "Jika kau pulang dalam keadaan seperti ini, takutnya sesuatu yang buruk terjadi padamu. Biar kuantar kau pulang."

"Eh, tidak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri. Lagi pula jarak dari sini ke rumahku dekat." Allena berusaha menolak halus.

Bryan menggeleng. "Ini sebagai bentuk perkenalan kita."

"Tapi tadi sud-"

"Itu terlalu formal. Aku ingin lebih santai mengenalmu," sela Bryan lalu mengulurkan tangannya, menggenggam pergelangan Allena.

Baru saja Allena membuka mulutnya, hendak mengeluarkan suara. Bryan sudah mendahuluinya. "Jangan menyesal karena telah menolak, jika nanti nilai tugasmu buruk!"

Saat itulah Allena tercengang. Tidak menyangka jika dosen baru itu berani mengancamnya. Seketika, ketertarikan dirinya akan pria itu lenyap. Ia menghempaskan genggaman Bryan dari tangannya. Inilah yang paling dibencinya dari diri kaum pria. Egois.

Untuk kali ini, Allena terpaksa harus menuruti kemauan Bryan. Namun lain kali, dirinya berencana akan langsung kabur begitu kelas usai.

Awas saja...

Sesampainya mobil Bryan terparkir di depan rumah Allena, tepatnya rumah keluarga Johnson, Allena langsung keluar tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Allena berlari ke dalam rumah tanpa menghiraukan panggilan Bryan di belakang. Ia sudah terlanjur kesal pada sikap semena-mena pria itu. Saking terburu-burunya ingin menuju kamar, kakinya tersandung anak tangga.

"Aww... Shit!" Allena mengaduh disertai umpatan, memegangi kakinya yang berdenyut nyeri.

•••

Sore ini Allena berencana pergi ke toko buku karena semua novel miliknya telah selesai dibaca. Berbeda dengan waktu-waktu lalu yang hanya mengoleksi novel genre fantasi dan action, kali ini ia ingin mencoba membaca novel romance klasik. Tidak lebih dari sekadar penasaran.

Baru saja kenop disentuh, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari luar oleh Melly.

"Ibu... mengagetkan saja."

Melly terkekeh, kemudian menelusuri penampilan putrinya dari bawah sampai atas. "Maaf... omong-omong kau mau kemana? Rapi begitu."

"Toko buku," singkat Allena disertai senyuman manisnya.

"Novel lagi?"

Allena mengangguk mantap.

Melly tidak bisa melakukan apa-apa selain menghela napas lelah. Sudah keberkian kali Allena diperingatinya untuk tidak terlalu sering membeli novel, namun tetap saja gadis itu berkepala batu. Bukan masalah uang, tapi ia hanya tidak ingin putrinya menggeluti dunia khayalan terus. Sudah saatnya Allena berubah, mencoba menikmati dunia luar yang bebas. Bukan mengurung diri di kamar. Bagaimana jika sampai Allena menjadi perawan tua? Oh, ia tak akan sanggup menerima kenyataan itu.

"Baiklah. Ibu antar," putus Melly.

"Tidak perlu. Ibu sendiri masih banyak pekerjaan, bukan? Lebih baik Ibu fokus saja pada hal itu. Lagi pula aku sudah besar, masa keluar rumah saja masih harus didampingi orang tua."

"Tidak, Allena. Ibu tahu bagaimana kau jika sudah asyik di toko buku. Lupa waktu. Apalagi langit sebentar lagi mau gelap. Bahaya kalau anak gadis pergi dan pulang sendirian," ucap Melly, memperingati. "Ibu tetap akan mengantarmu."

Allena menahan lengan Ibunya yang hendak berlalu. "Ibu, please... kalau pun ada yang menjahatiku, aku akan membela diri. Ibu tahu sendirilah, tontonanku film action terus dan aku juga sudah mempelajari semua gerakan pergulatannya. Ada manfaatnya juga, kan, tontonan itu? Tanpa sadar kita sudah mempelajari jurus beladiri." Ia masih memasang wajah memelas. Melly tampak berpikir, menimbang-nimbang. "Percayalah..." lanjut Allena, berusaha meyakinkan.

•••

Allena tersenyum puas. Tidak sia-sia juga ia mengemis dan merayu ibunya. Melly memang dikenal masyarakat sebagai wanita keras kepala. Namun dalam keluarga Johnson, tidak ada yang lebih keras lagi dibanding putrinya.

Allena memasuki kawasan sunyi. Sengaja memilih jalan pintas itu karena lebih cepat sampai tujuan daripada melalui jalanan kota. Toko buku memang banyak, namun toko buku ini sudah menjadi langganannya karena selain harga yang terbilang murah, juga selalu diberi diskon setiap harinya. Status sebagai putri dari seorang desainer kaya, bukan berarti dirinya bisa boros.

Belajar hidup mandiri.

Itu alasan mengapa selama ini dirinya tidak pernah menggunakan kendaran dalam berpergian dan selalu memakai barang-barang sederhana dengan harga terjangkau.

Allena menghela napas. Bulu kuduknya mulai meremang, ditambah udara dingin karena habis reda hujan menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Jalanan benar-benar sepi.

Allena mulai melambatkan langkahnya. Entah hanya perasaannya saja, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang minta tolong.

Sambil melangkah pelan-pelan, telinga semakin ia pasang tajam-tajam.

"Tolong!"

".... Siapa saja tolong aku!"

Benar, kan?

Allena memulai langkah lebarnya, mencari sumber suara. Semakin lama suara itu semakin terdengar jelas, namun beberapa saat kemudian lenyap.

Kemana suara itu pergi? gumam batinnya sembari menggaruk kepala, bingung.

Begitu Allena membalikkan tubuh saat itu juga matanya hampir meloncat karena kaget dengan kejadian yang tengah dilihatnya.

Ia menelan ludahnya susah payah. Sosok berjubah hitam dengan posisi memunggunginya tengah menggigit leher seorang pria. Ralat, dua orang pria, karena satu pria lagi ia lihat sudah terbujur lemah di pinggir jalan.

Tersadar, Allena cepat-cepat sembunyi di balik tembok sebuah bangunan terbengkalai yang entah apa namanya.

Ya Tuhan... semoga makhluk itu tidak menyadari keberadaanku. Allena memohon dalam hati dengan mata terpejam kuat.

Namun sayang, harapan tinggal lah harapan. Karena pada saat ia mengintip kembali ke tempat tadi, sosok itu telah hilang dan tahu-tahu sudah ada di hadapannya saja.

Spontan Allena memekik dan menarik jubah sosok itu. Baru pada detik selanjutnya tubuhnya membeku. Jika dibandingkan ingatan dengan penglihatannya sekarang, seratus persen sama. Sosok itu yang pertama kali sukses membuatnya frustasi semalaman.

"Kau ... Al-bern?"

"Gadis pintar! Kupikir setelah malam itu kau akan melupakanku," ucapnya disertai seringaian menyeramkan.

Tubuh Allena mulai bergetar begitu melihat sepasang gigi taring menjulang dalam mulut pria itu. Juga meneteskan cairan merah kental yang bau anyirnya langsung disambut kebencian hidung Allena.

"Jadi, k-k-kau ..." Napas Allena tercekat.

"Yup. Vampir, sayang..." Albern melanjutkan dengan nada santai, namun mampu menggetarkan tubuh gadis di depannya lebih hebat lagi.

Allena ingin kabur, namun entah mengapa kakinya terasa berat, seperti ada yang membelenggu. Peluh dingin mulai bercucuran dari pelipisnya. Bagian kepala mulai terasa pening dan pandangannya juga berkabur. Sampai pada akhirnya, semua berubah menjadi gelap gulita.

•••

TBC...

Terpopuler

Comments

tukang nyimak

tukang nyimak

punya daya tarik apa sih si allena ini soalnya para cogan pd nempel, yaa biarpun baru dua orang

2020-12-20

0

Niiena Ismntoha Mamae Mirza

Niiena Ismntoha Mamae Mirza

ouw.. ini ternyata cerita vampir to... ok..ok

2020-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!