Ketika Kisah Kita Ternyata Abadi
Gadhis melangkahkan kaki mungilnya masuk ke halaman sekolah yang terletak disebuah desa di Jawa Timur. Sebuah tempat yang asing baginya karena selama ini dia tinggal di kota.
Rambut ikalnya dikepang ekor kuda oleh mama. Perawakannya yang cukup tinggi membuat jalannya terlihat semampai dengan tas yang menggantung di punggung. Kulitnya putih bersih, menunjukkan kalau sebenarnya dia berasal dari keluarga yang berkecukupan.
“Maafkan papa ya Dhis, karena papa kita jadi harus pulang ke rumah kakek nenek, dan kamu harus sekolah di desa seperti ini.”
Gadhis menggenggam tangan papa erat. Pandangan mata yang sebelumnya menatap lurus ke depan, menjadi berubah memandang ke wajah papa yang berjalan di sisinya.
“Gadhis baik-baik saja pa…papa tidak usah merasa bersalah.”
“Semuanya akan baik-baik saja nak, jangan takut, semua akan kembali seperti dulu lagi.”
Gadhis hanya menganggukkan kepala menanggapi kalimat papa. Sebuah gerakan yang mungkin sama sekali tak terlihat oleh papa, karena papa tak pernah mengalihkan pandangannya dari lurus menatap ke depan.
Genggaman tangan papa semakin erat, ketika langkah mereka semakin mendekati sebuah pintu. Di depan pintu tergantung sebuah papan yang bertuliskan “RUANG KEPALA SEKOLAH”.
Tak lama setelah papa mengetuk pintu, keluarlah seorang lelaki yang sudah terlihat tua dan berkepala botak. Gadhis sudah ingin tertawa kalau tidak ingat dia sedang berada di ruang Kepala Sekolah. Meskipun dalam hati merasa geli, Gadhis harus benar-benar menahan diri.
“Selamat pagi pak, saya ayah dari Gadhis, siswa yang mau pindah untuk bersekolah disini.”
“Oh ini yang namanya Gadhis. Kelas berapa kamu nak?”
“Kelas 5 pak.”
“Di sekolah lama biasanya ranking berapa kamu?”
Apaan sih, baru ketemu juga sudah tanya ranking.
Meskipun dengan menggerutu Gadhis tetap menjawab pertanyaan itu dengan sopan, “biasanya ranking satu pak.”
“Wah…pinter, semoga disini kamu tetap hebat ya, biar bisa membantu menambah pengetahuan teman-temannya, maklum sekolah ini kan didesa,” dengan senyum yang mengembang Bapak Kepala Sekolah memberi nasehat pertamanya.
“Iya, pak,” jawab gadhis sopan.
“Sebentar ya pak, silahkan tunggu sebentar, saya akan mengantarkan Gadhis menemui guru kelasnya.”
“Baik pak, saya akan menunggu disini.”
“Sambil menunggu, silahkan bapak menyelesaikan administrasi ke bu guru yang ada di ruang sebelah ya, nanti saya akan kembali.”
Setelah berbicara dengan papa, bapak kepala Sekolah mengulurkan tangannya hangat, “ayo Dhis, ikut bapak.”
Sambil menganggukan kepala Gadhis menyambut tangan hangat itu untuk digenggamnya. Bagaimanapun Gadhis masih terlalu takut untuk masuk ke lingkungan baru sendirian.
Ketika sampai di depan ruang kelas, genggaman tangan gadhis semakin erat saja. Tangannya mulai sedikit berkeringat, mungkin karena menyadari hal itu Bapak kepala Sekolah menundukkan tubuhnya. Menggenggam tangan Gadhis dengan hangat dan ditepuk-tepuk perlahan.
“Semuanya akan baik-baik saja tidak perlu takut, ya…” senyum yang mengembang membuat hati Gadhis yang semula takut menjadi tenang seketika. Melihat Gadhis yang sudah tenang Pak Wagiman (Nama Bapak kepala Sekolah) kembali berdiri dan mengetuk pintu kelas.
Tok…tok. Untuk beberapa saat pintu itu belum terbuka. Gadhis mendengar seorang Bu Guru menjelaskan tentang sebuah materi pelajaran.
“Kalau sudah mengerti, kalian kerjakan dulu tugasnya, Bu Tasmi ada tamu.”
Tak lama setelah itu terbukalah pintu ruang kelas lima. Dibelakang pintu terlihat berdiri seorang Guru yang berwajah jutek.
“Ah, Pak Wagiman…ada apa nggih pak?”
“Ini murid kelas 5 yang baru pindah dari kota, namanya Gadhis. Saya harap Bu Tasmi dapat membimbing Gadhis dengan baik, biar anaknya betah sekolah disini.”
“Oh nggih pak, Insyaallah saya akan lakukan yang terbaik,” Gadhis melihat Bu Tasmi mengulurkan tangannya menyambut Gadhis.
Dengan senang hati Gadhis menyambut tangan itu, untuk kemudian masuk ke dalam kelas menemui teman-teman barunya.
Aaa…Ternyata orang-orang di desa senang sekali mengulurkan tangan.
Di depan kelas Gadhis berdiri di sisi Bu Tasmi, “Ayo Dhis, perkenalkan diri kamu ke teman-temannya.”
“Baik bu.”
“Selamat pagi teman-teman, nama saya Gadhis Ayu Putri Sasmito. Sebelumnya saya bersekolah di kota. Saya pindah ke sekolah ini karena mengikuti orang tua saya, terimakasih teman-teman. Gadhis harap kita dapat berteman dengan baik ya.”
Tak ada satupun dari teman-temannya yang mengeluarkan suara untuk berkomentar. Semuanya diam memandang Gadhis mulai dari atas ke bawah. Gadhis yang tidak paham hanya bingung dan senyum-senyum di depan kelas.
“Baiklah karena perkenalan siswa sudah selesai, ibu harap kalian bisa menerima teman baru kalian dengan baik. Jangan dinakali dan diganggu ya temannya.”
“Karena bangku kosong hanya ada disebelah Pria, jadi Gadhis akan duduk disebelah Pria mulai hari ini.”
Gadhis berjalan mendekati bangku kosong Yang ditunjukkan Bu Tasmi. Disitu ada seorang anak laki-laki yang hanya sepintas meliriknya kemudian sibuk kembali dengan buku dan tugas yang ada didepannya. Karena tak ingin mengganggu Gadhis melewatkan sapaan pertamanya dengan anak laki-laki yang dipanggil Pria itu. Gadhis meletakkan tasnya dengan tenang kemudian sibuk dengan buku tulis dan pelajaran sama seperti anak yang lain. Tanpa mereka tahu takdir akan membawa keduanya melalui kisah panjang yang tak berkesudahan.
~Rumah Kakek~
Rumah kakek adalah penggambaran sebuah rumah yang menunjukkan derajat dari pemilik rumahnya. Rumahnya luas dengan pagar tembok tinggi di sekelilingnya. Tidak ada pagar di depan rumah. Halaman rumah yang luas ditumbuhi banyak pohon buah, ada mangga, pisang, jeruk nambangan dan beberapa buah lain dengan pokok pohon yang besar. Terlihat sekali kalau mereka berasal dari keluarga berada.
Mama menunggu dengan cemas kembalinya papa dari sekolah untuk mengantarkan Gadhis. Sebagai seorang ibu, ada rasa khawatir yang berlebihan kepada anak semata wayangnya. Memasuki lingkungan baru yang jauh berbeda dari lingkungan hidup sebelumnya, pasti tidaklah mudah bagi Gadhis. Meskipun mama tahu putri kecilnya adalah anak yang pemberani.
Dari kejauhan terlihat papa berjalan perlahan mendekati rumah. Wajah papa menunjukkan beban yang tak ringan. Apalagi pantulan cahaya matahari menyinari wajah papa dan membuat papa mengerutkan dahinya.
“Bagaimana pa?” mama yang sudah tidak sabar berlari mendekati papa yang baru masuk halaman rumah.
“Tidak apa-apa, mama kan tahu bagaimana Gadhis, dia anak yang berani. Papa lihat Gadhis akan baik-baik saja dengan semua ini. Dia akan dengan mudah beradaptasi. Mama tidak usah terlalu khawatir.”
“Bagaimana dengan papa, apa rencana papa selanjutnya?”
“Mama tahu kan, papa tak mungkin akan terus berada disini. Papa tidak bisa apa-apa disini. Papa akan kembali ke kota dan akan memulai bisnis papa mulai dari nol lagi. Ada teman papa yang bersedia membantu.”
“Ingat pa, pengalaman yang kemarin jangan sampai terulang lagi. Usaha catering kita hancur karena papa terlalu percaya pada seseorang. Untung rumah kita tidak ikut terjual. Kalau tidak, habislah semua.”
“Iya, mama benar, pengalaman kemarin akan menjadi pembelajaan buat papa. Orang yang papa percaya malah menghancurkan kepercayaan pelanggan dan menyerobot semua pelanggan untuk berpindah ke perusahaannya. Mana papa tahu kalau dia akan curang seperti itu.”
“Sekarang yang berlalu biarlah berlalu. Mama berdoa semoga perusahaan yang papa rintis lagi ini nanti akan lebih sukses dari sebelumnya. Kasihan anak-anak yang masih setia sama papa. Mereka kan masih berharap tetap bekerja sama papa.”
“Iya, rencana papa, untuk sementara rumah yang kita tempati akan menjadi tempat workshop kita. Karena workshop yang lama terjual untuk menutup semua kerugian.”
“Papa yakin tidak membutuhkan bantuan mama nantinya?”
“Mama tunggu disini saja dulu dengan tenang. Biar papa yang berusaha dan mengurus semuanya.”
Pembicaraan itu terhenti ketika terdengar suara kakek memenggil nama papa dari ruang tengah, “Sas kesini sebentar kamu, bapak mau bicara sebentar. Ajak pula istrimu kesini.”
“Nggih pak,” jawab papa menanggapi panggilan kakek.
“Ayo ma, kita ke ruang tengah, sepertinya ada yang penting yang ingin disampaikan bapak,” tanpa suara, mama mengikuti langkah papa menuju ke ruang tengah untuk menemui kakek.
Nenek sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi bagi kakek, kehadiran Gadhis cucunya dan Marta menantunya adalah sebuah anugerah tersendiri yang sangat dia syukuri.
“Duduk dulu, ada yang ingin bapak tanyakan.”
“Nggih pak,” ayah menjawab sambil menunggu mama Marta duduk, untuk kemudian meletakkan tubuhnya sendiri di sebuah kursi kayu ukir yang ada di ruang itu.
“Bapak langsung saja,” ehmm kakek berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Apapun yang akan kamu lakukan nanti bapak akan tetap mendukungmu Sas. Kamu anak bapak satu-satunya, seperti Gadhis juga cucu bapak satu-satunya. Bapak tidak ingin membuat cucu dan menantu bapak hidup susah. Kalau kamu mau tetap disini mengurusi sawahnya bapak, bapak akan senang sekali. Tetapi kalau kamu mau kembali membuka usahamu seperti dulu, bapak juga akan mendukungmu. Bapak akan membantu berapapun modal yang kamu butuhkan. Itu bukan masalah buat bapak.”
“Maaf pak, bukannya Sas menolak bantuan bapak. Sas akan memulai lagi semuanya dari awal dengan usaha Sas sendiri. Sas titip Marta dan Gadhis sementara untuk tinggal disini dulu. Sas harap bapak tidak keberatan.”
“Baiklah Sas. Tentu saja bapak tidak keberatan Mata dan Gadhis tinggal disini. Bapak malah yang berharap mereka berdua bisa kerasan tinggal di desa. Biasanya kan mereka ke sini hanya untuk berkunjung.”
“Maaf pak, kalau Marta ikut bicara. Marta sangat berterimakasih atas kesediaan bapak menampung kami. Saya juga ingin menyampaikan permintaan maaf saya, kalau nantinya saya dan anak kami merepotkan bapak."
“Kamu itu ngomong apa. Bagaimanapun kamu dan Gadhis adalah keturunanku yang akan mewarisi semua hartaku,”
Semua diawali pada hari itu. Hari dimana Gadhis harus memulai hidup di lingkungan baru yang tak dikenalnya sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments