Hari ini Gadhis sudah mulai berangkat sendiri. Beberapa hari Gadhis masih meminta papa untuk mengantarnya. Lokasi sekolah yang terletak persis di pinggir jalan raya jalur cepat Jawa Timur-Jawa Tengah masih membuat Gadhis takut untuk berangkat sekolah sendiri. Karena papa akan berangkat ke kota nanti siang, Gandhis memberanikan diri untuk berangkat sendiri ke sekolah.
Kecanggungan dengan teman baru sudah mulai berkurang. Masih ingat pada hari dia memperkenalkan diri, teman-temannya hanya memandang saja dari atas kepala sampai kaki. Bayangkan bagaimana canggungnya Gadhis saat itu.
Tapi ternyata itu hanya karena penampilan Gadhis yang berbeda. Mulai dari ikat rambut yang lucu, jaket yang cantik, kaos kaki putih yang tebal, tas yang bergambar sailor moon sampai sepatu hitam beludru yang tidak dijual didesa.
Semuanya terjawab ketika jam istirahat tiba.
“Kenalkan namaku Sri, kuncir rambutmu lucu sekali Dhis,” kata teman barunya yang bernama Sri sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan dengannya.
“Iya aku Gadhis, tahu kan…tadi sudah kenalan dalam kelas. Mmmm…ini kuncir rambutnya beli di kota, mungkin di desa belum ada,” sahut Gadhis tersenyum tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri.
“Iya, mbakku kerja dikota, kapan-kapan aku mau minta untuk dibelikan yang seperti itu. Pasti mbakku tahu tempatnya,” kata Wiwik yang punya potongan rambut pendek.
Mau dipakai dimana coba kucir rambutnya?
“Kalau aku ndak pingin punyamu Dhis, bapak ibukku ndak akan mampu membelikan, kasian nanti malah kepikiran, kalau kamu mbah kung mu orang kaya, pasti mampu membelikan,” sahut Tri yang berambut panjang dan dibiarkan tergerai.
Gadhis memandang satu persatu temannya. Mereka ramah dan baik, semuanya akan baik-baik saja, begitu fikir Gadhis. Tidak akan ada masalah, dia akan baik-baik saja di sini, tidak ada yang perlu ditakutkan.
Hari ini sekolah masih sepi. Ketika Gadhis melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah, hanya terlihat Mas Yono sedang membersihkan lingkungan sekolah.
Mas Yono adalah penjaga sekolah sekaligus petugas kebersihan di sekolah itu. Istilahnya Pak Bon, kenapa dipanggil mas, karena usianya masih muda dan belum menikah.
“Mas lagi bersihin apa?”
“Ini Dhis sedang membersihkan kamar mandi, anak-anak kalau nyiram kamar mandi kurang banyak airnya jadi bau pesing.”
“Iya, aku juga sering bau gak enak, makanya kalau kebelet ditahan saja.”
“Kalau lagi kebelet jangan ditahan, bisa jadi penyakit tahu,” entah dari mana datangnya Pria yang datang sambil nyamber kaya petir.
“Tck…kan nggak lama nahannya. Nggak sampai satu hari.”
“Tahan saja terus, hati-hati kalau perut mules karena salah makan, memang bisa ditahan?”
Ih…laki-laki kok judes.
“Sudah Dhis, biarkan saja, itu anak memang begitu, suka judes kalau ngomong. Tapi mending kamu masih diajak ngomong, anak yang lain ndak pernah diajak ngomong sama dia.”
“Masa Mas Yono, makanya nggak kelihatan sering kumpul sama teman-teman.”
Karena merasa sudah ada teman, akhirnya Gadhis memutuskan untuk mengikuti Pria masuk ke dalam kelas,”Mas, Gadhis masuk kelas dulu ya, mau baca-baca catatan.”
“Iya Dhis hati-hati disamber petir,” jawab mas Yono sambil tertawa.
Gadhis hanya tertawa menanggapi ucapan Mas Yono sambil memonyongkan sedikit bibirnya. Buat Gadhis kalau petirnya Pria itu biasa.
Sampai di bangku tempatnya duduk, Gadhis sengaja meletakkan tasnya dengan keras. Karena tak ada tanggapan dari petir boy akhirnya Gadhis mengeluarkan suara.
“Woi, ada orang disini, memang lagi baca apa sih, serius sekali.”
“Bukan urusan kamu,” dengan cepat Pria melipat kertas yang tadi dibacanya.
“Contekan ya, kalau mau ulangan itu belajar jangan menyiapkan contekan.”
Gadhis hanya mendapatkan lirikan mata dari Pria tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Ganteng-ganteng pelit senyum…dasar petir boy.
“huh,” dengus gadhis perlahan. Tapi nyatanya terdengar jelas di telinga Pria.
“Apa hah huh hah huh, nggak usah mbatin orang lain, suatu saat butuh sama aku lo, kualat kan jadinya.”
Kelas mulai penuh dengan anak-anak yang mulai berdatangan. Saling sapa, saling canda, suasana kelas yang semula tenang menjadi riuh seketika.
“Dhis sudah siap belum, aku nanti nyontoh ya, kamu kan pinter,” pinta Eko yang duduk tepat di depan Gadhis.
“Biasa...,” toyoran Rani telak mengenai Eko yang duduk di sebelahnya.
Semua berjalan lancar sampai tiba-tiba perut Gadhis terasa melilit. Sakitnya terasa sebelum lonceng istirahat berbunyi.
Haduh kenapa perutku ya...Jangan-jangan omongan Pria kejadian.
Dengan susah payah Gadhis menahan rasa melilit diperutnya. Tangannya mulai mencari-cari minyak kayu putih yang biasa dibawakan mama dalam tas. Setelah beberapa saat mencari, barang yang dicari ternyata tidak ada.
Minyak kayu putihku mana…kok nggak ada. Bagaimana ini, perutku semakin sakit.
Keringat dingin mulai bermunculan didahi dan tubuh Gadhis. Duduknya pun mulai tidak tenang, sedikit-sedikit bergerak kekanan sebentar kemudian bergerak kekiri.
Lumayan sedikit berkurang, untung Pria nggak sadar kalau aku gerak terus dari tadi.
“Kamu kenapa, dari tadi gerak-gerak terus badannya. Kalau kebelet pipis, pipis dulu jangan ditahan.”
“Nggak kok, siapa yang nahan pipis. Aku nggak kebelet kok.”
“Yakin kamu nggak apa-apa, kalau ditahan nanti jadi penyakit.”
“Rewel,” jawab Gadhis sewot.
Semua kembali tenang sampai waktu istirahat selesai. Tiba-tiba gadhis terkulai lemas dengan wajah pucat dan tubuh yang basah karena keringat.
“Bu Tas, sepertinya Gadhis sakit,” teriak Pria dari bangkunya.
Anak itu sama sekali tidak berani menyentuh tubuh Gadhis. Hanya melihat sambil sekali-sekali bertanya, “Dhis kamu tidak apa-apa?”
Bu Tas yang mendengar teriakan Pria langsung mendatangi bangku tempat duduk Gadhis. Gadhis terlihat sangat pucat. Tubuhnya dalam posisi menelungkup di atas meja. Tangannya memegangi perut yang makin lama makin terasa makin terasa melilit.
“Mama…Gadhis sakit,” terdengar suara gadhis sangat lemah ditelinga Pria.
“Sri, cepat ambilkan minyak kayu putih di ruang guru ya, bilang sama Pak Har Gadhis sakit, biar pak Har datang kesini,” Pak Har adalah guru olah raga yang juga bertanggung jawab jika ada anak yang sakit.
“Mama…” rintih Gadhis perlahan.
“Gadhis nak, apa yang kamu rasakan, apa perlu Bu Tas memanggil mama kamu untuk menjemput?”
Tak ada jawaban dari Gadhis, air mata mulai membasahi pipi dan tangan Gadhis. Tangannya mulai meremas semua yang ada di atas meja. Tak terkecuali tangan Pria yang ada di dekatnya yang sedari tadi sudah kena remas tangan Gadhis.
Kamu kenapa, kamu sakit apa, jangan, jangan sakit seperti ibuku. Cukup ibu saja yang mengalami kesakitan yang seperti aku lihat. Kamu akan sehat, kamu akan sembuh. Atau jangan…jangan…
Bu Tas masih bingung melihat keadaan Gadhis, “apa kamu sudah menstruasi nak, mendapat tamu rutin tiap bulan?” tetap tidak ada jawaban dari Gadhis.
Apa itu menstruasi bu…saya tidak mengerti. Mama…perut Gadhis makin sakit.
Pintu ruang kelas tiba-tiba terbuka dengan keras, Pak Har masuk dengan tergopoh-gopoh, “Kenapa muridnya Bu Tas, apa perlu kita bawa ke rumah sakit?”
“Badannya sudah dingin begini bu.”
“Sebelum dibawa ke rumah sakit, sebaiknya orang tuanya di beri tahu terlebih dahulu Pak Har, jangan asal bawa, harus ada ijin orang tua.”
“Iya benar juga, kalau tidak, kita bawa saja ke puskesmas desa, kan dekat bu.”
Tanpa sekitarnya memperhatikan karena sudah bingung dengan pemikiran masing-masing. Pria menundukkan kepalanya sambil membisikkan sesuatu ke telinga Gadhis. Dan ajaibnya meskipun dengan gerakan pelan hampir tak terlihat Gadhis menganggukkan kepalanya.
“Maaf Bu Tas, Pak Har, mungkin sebaiknya mamanya Gadhis dipanggil untuk menjemput.”
“Eko, Mas Yono sudah kamu beri tahu belum untuk menjemput mama gadhis?”
“Sudah bu, mas Yono langsung berangkat naik sepedanya.”
“Ya sudah. Memangnya kenapa Pria, apa kamu tahu sesuatu?”
“Tidak Pak Har, mungkin mama Gadhis lebih tahu. Karena dari tadi gadhis terus memanggil mamanya.”
Dengan cekatan Pria melepaskan tangannya dari genggaman erat Gadhis, “lepaskan dulu tangannya, bukunya mau aku masukkan dulu dalam tas.”
Terdengar suara rem sepeda berdecit di depan kelas. Mama Gadhis tampak tergesa mendatangi Gadhis yang terlihat makin pucat.
“Gadhis kamu kenapa. Nak? Kita pulang ya.”
Tak lama, terdengar suara motor masuk ke halaman sekolah. Kakek Pomo terlihat memakirkan motornya di tempat yang mudah dijangkau. Tidak semua orang memiliki motor, hanya orang-orang tertentu yang punya motor di desa itu.
“Ayo Ta, segera tuntun Gadhis keluar. Kita bawa Gadhis pulang dulu,” perintah kakek tak terbantahkan ke mama.
“Maaf Pak Bu, kalau sudah merepotkan, biar hari ini saya bawa cucu saya pulang dulu.”
“Nggih monggo Pak Pomo, silahkan bawa Gadhis pulang dulu,” Bu Tar menjawab dengan hormat. Siapa yang tidak mengenal kakek. Salah seorang tetua yang disegani dilingkungan itu.
Pak Wagiman, Kepala Sekolah hanya mengikuti dari depan pintu kelas sampai motor kakek.
“Maaf lo Man kalau cucuku merepotkan.”
“Ndak apa-apa Mo, namanya juga anak sakit, wes sana bawa cucumu pulang.”
Semua kembali tenang. Suasana kelas kembali kondusif untuk tempat belajar. Dibangkunya terlihat Pria sedang senyum-senyum sendiri sambil berkata dalam hati…
Kualat kan kamu…diberi tahu jangan suka nahan, masih juga ditahan-tahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments