Kamar Kakek

“Masih marah?”

“Nggak…”

“Kok aku didiamkan.”

“Nggak apa-apa, ini sekarang kita bicara.”

Pria menahan tawanya. Anak perempuan kalau marah ternyata lama. Padahal peristiwa permainan kasti itu sudah lama berlalu, tapi gadhis masih lebih banyak mendiamkannya.

Bu Tasmi masih menjelaskan materi pelajaran matematika. Pria sudah tidak lagi memperhatikan apapun yang dijelaskan gurunya hari ini, karena fikirannya berkelana ke tempat lain. Dia masih memikirkan kedatangan ibu.

Kemarin ketika ibu datang, Pria hampir tidak bisa menahan air matanya. Tubuhnya sangat kurus, matanya cekung dengan lingkaran hitam yang sangat kentara. Bibirnya masih pucat, tetapi kelihatan kalau lebih baik dari ketika ibu berangkat. Ibu sudah bisa berjalan sendiri tanpa dituntun bude.

Untung ada Mas Barjo, anak Bude Tarti (kakak Ibu) yang punya rumah di kota. Kalau tidak, entah berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan ayah untuk membiayai pengobatan ibu. Paling tidak ibu dan bude tidak harus membayar penginapan atau membeli makan.

Sebenarnya Pria ingin seperti anak-anak yang lain. Bercanda, tertawa lepas, tidak memikirkan apapun. Tetapi mana bisa, dia melihat ibu kesakitan hampir tiap hari sejak beberapa tahun lalu. Kalau ibu kambuh, ibu akan meninggalkannya sendiri dengan ayah di rumah. Hanya surat yang dikirimkan ibu dari kota sebagai pengobat rindu, karena memang ibu bisa lebih dari satu bulan meninggalkannya untuk berobat ke kota.

“Jangan ngelamun,” suara Gadhis memecah lamunan Pria, “ditunjuk Bu Tas buat mengerjakan soal kapok kamu.”

“Disuruh mengerjakan ya maju, kalau tidak bisa, palingan disuruh berdiri sampai istirahat.”

“Malu tahu, kalau tidak bisa mengerjakan.”

“Aku nggak malu, kok.”

Ketika bel istirahat berbunyi pun Pria tidak beranjak dari tempat duduknya. Karena penasaran yang tidak bisa ditahan, akhirnya meluncur juga pertanyaan dari bibir mungil anak itu.

“Kamu kenapa, apa ibumu sakit lagi?”

“Hmm…nggak, bahkan kemarin ibuku sudah pulang.”

“Itu ibunya sudah pulang, berarti kan sudah sehat. Kamu mikir apa. Kata papaku, urusan orang dewasa biar difikirkan orang dewasa. Anak-anak seperti kita cuman harus bahagia, bermain, sekolah, bercanda.”

“Dhis, ayo beli jajan,” teriak Sri, menunggu di depan pintu. Disitu sudah terlihat teman-teman yang lain ikut menunggu.

“Nggak ah, aku mau disini dulu.”

“Ya wes, aku ke beli jajan dulu ya.”

Gadhis hanya menganggukkan kepala, kemudian meneruskan obrolannya dengan Pria.

“Kamu tahu, sebenarnya aku pindah sekolah karena pekerjaan papaku sedang ada masalah. Aku tahu meskipun mama dan papa nggak cerita, tapi aku diam saja. Aku nggak mau fikiran mama dan papa bertambah karena lihat aku sedih.”

Pria hanya diam mendengarkan semua yang dikatakan Gadhis. Dia tidak ingin berkomentar. Matanya hanya sekilas melihat wajah Gadhis, kemudian kembali sibuk melamun membayangkan kesakitan yang dirasakan ibu.

Dia selalu menahan air matanya setiap kali ibu menangis kesakitan. Sama seperti yang diucapkan Gadhis, ibunya sudah cukup merasa kesakitan jadi dia tidak boleh menambah beban fikiran ibu.

“Dhis, kamu mau ikut aku besok?”

“Ikut kamu, kemana?”

“Sepedahan, biasanya kalau hari minggu, aku ikut ayah ke sawah naik sepeda. Tapi sawah ayahku agak jauh. Kalau sawah kakekmu kan dekat. Apa kamu mau?”

“Mau…mau, selama aku disini, aku belum pernah kemana-mana.”

“Baik, besok setelah sholat subuh aku jemput ke rumahmu.”

Siang itu Gadhis pulang sekolah dengan hati riang, membayangkan besok pagi akan sepedahan bareng Pria.

“Kenapa kamu, makan sambil senyum-senyum begitu,” tanya mama ketika menemani Gadhis menghabiskan makan siangnya.

“Nggak kok, siapa yang senyum-senyum. Ma, besok boleh ya aku sepedahan sama teman aku?”

“Hmmm…sepedahan sama siapa?”

“Itu Pria, teman sekelas aku yang kemarin bantu waktu aku sakit perut.”

“Yang waktu mampir anak laki-laki sendiri itu?”

“Bukan, dia nggak ikut waktu kesini.”

“Jauh sepedahannya?”

“Nggak tahu.”

“Sambil dimakan nasinya, sayurnya dihabiskan. Tanya kakek dulu boleh apa tidak. Mama nggak tahu daerah sini. Kalau kakek ijinkan, mama juga akan ijinkan.”

Gadhis mengunyah makanannya dengan semangat, karena sudah tidak sabar untuk bertanya kepada kakek boleh atau tidak.

“Kakek,” Gadhis berlari menuju kamar kakek yang pintunya sedikit terbuka.

“Kakek…kakek di dalam?” tidak ada sahutan dari dalam kamar kakek. Perlahan Gadhis melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.

Tumben kamar kakek terbuka, nggak biasanya kamar ini terbuka.

Ketika sudah berada di dalam kamar. Mata Gadhis mengamati dengan seksama isi kamar itu. Dipojok kamar ada beberapa benda yang bentuknya mirip payung terbuat dari kayu atau bambu yang diberi kerudung kain putih. Payung-payung itu diletakkan dengan alas kayu yang berlubang agar bisa berdiri dengan tegak. Ada sebuah tempat tidur berukir ular yang juga terbuat dari kayu, terletak tepat ditengah kamar. Disebelahnya berdiri sebuah lemari kaca yang berukir serupa dengan tempat tidur kakek. Ada sebuah meja dan duah buah kursi dengan ukiran yang juga serupa disudut kamar yang lain.

Langkah kecil kaki Gadhis membawanya mendekati meja. Diatas meja terdapat bunga yang direndam dalam sebuah mangkok yang terbuat dari tembaga. Ada segelas kopi yang sudah dingin dan piring yang berisi makanan berulam ayam diatasnya. Ada sebuah piring lagi yang diatasnya diletakkan sesisir pisang emas, dan anehnya semua itu masih dalam keadaan utuh.

Disudut tersembunyi dekat almari ada sebuah guci tembaga yang diisi dengan beberapa tangkai bunga berbau wangi. Gadhis tak tahu bunga apa itu. Ketika kaki Gadhis melangkah lebih masuk kedalam karena tertarik dengan sebuah kotak berwarna emas di bawah tempat tidur, tiba-tiba terdengar suara berderit seseorang membuka pintu.

“Sedang apa non?” gadhis melonjak kaget karena tiba-tiba terdengar suara pak Bandi yang sudah berdiri di belakangnya.

“Eh Pak Bandi, kaget aku,” jawab Gadhis sambil tersenyum, “mencari kakek, mau pamit besok mau sepedahan, kata mama disuruh pamit sama kakek karena mama nggak tahu orang-orang dan tempat-tempat yang ada di desa ini, pak,” lanjut Gadhis menjelaskan.

“Oh, kakek sedang ada di kebun belakang,” pak Bandi sedikit menjeda omongannya kemudian melanjutkan, “non jangan masuk kamar kakek lagi tanpa ijin ya.”

“Memang kenapa, ini kan kamar kakek aku.”

“Karena tidak sopan,” Jawab pak Bandi dengan tatapan mata tajam.

Tanpa mempedulikan perkataan pak Bandi, Gadhis berlari ke belakang menuju kebun dimana kakek sedang menghabiskan siangnya. Sedangakan Pak Bandi melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar kakek, melihat ke kanan dan kekiri kemudian perlahan menghilang dibalik pintu yang tertutup.

“Kakek…,” teriak Gadhis tidak sabar.

“Waduh cucu kakek, sudah makan siang?”

“He’em, sudah.”

“Ada apa, tumben mencari kakek, biasanya habis maem terus tidur siang.”

“Gadhis mau minta ijin.”

“Minta ijin?” kakek sedikit menegakkan tubuhnya dari posisi setengah tidur yang tadi dilakukan, “kemana?”

“Diajak teman.”

“Siapa temannya, sini duduk dekat kakek.”

Sambil menjawab Gadhis berdiri memposisikan tubuhnya mendekati tempat duduk kakek, “Namanya Pria, Gadhis mau diajak sepedahan ke sawah milik ayahnya.”

“Kapan sepedahannya?”

“Besok pagi kek.”

Kakek diam, seperti sedang memikirkan sesuatu, “Kita lihat besok ya nduk, siapa yang akan mengajakmu dan kamu akan diajak kemana.”

“Tapi kek…” Gadhis tidak lagi melanjutkan ketika melihat tatapan mata milik kakek.

“Kamu masuk, panggilkan Pak Bandi kesini ya.”

“Iya, kek.”

Setelah kepergian Gadhis, Pak Bandi mendatangi kakek. Gadhis masih memperhatikan kakeknya dan Pak Bandi dari jauh. Mereka berbicara setengah berbisik sambil sekali-sekali melihat Gadhis. Kemudian tampak Pak Bandi mengangguk-anggukkan kepala sambil membungkukkan Badan.

Keesokan paginya Gadhis sudah siap dengan celana pink dan kaos pink bergambar sailormoon. Jaket pinknya yang cantik sudah melekat dibadannya. Sepatu kets putih sudah terpasang dikakinya. Semua sudah siap, tinggal menunggu kedatangan Pria. Gadhis mondar mandir di depan teras rumah dengan tidak sabar.

Mama keluar dari dalam rumah dengan menyampirkan syal panjangnya melintasi bahu, “Masuk dulu, tunggu di dalam saja.”

“Nggak ah, tunggu di sini saja.”

“Assalamualaikum, bulik.”

“Waalaikumsalam, ini yang namanya Pria?”

“Iya, saya temannya Gadhis bulik.”

“Duduk dulu sebentar, biar bulik panggilkan kakeknya Gadhis dulu ya, diijinkan atau tidak.”

Sebelum mama masuk ke dalam untuk memanggil kakek Pomo, kakek sudah terleih dahulu muncul di teras rumah.

“Siapa namamu, mau diajak kemana Gadhis, siapa nama bapakmu?”

“Selamat pagi kek, nama saya Pria Prakoso, bapak saya bernama Rahmat, Gadhis mau saya ajak ke sawah ayah saya kek.”

“Nama bapakmu Rahmat, Siapa nama ibumu?” tanya kakek selanjutnya.

“Nama ibu saya Rustini kek,” kakek terdiam menampakkan wajah yang tidak bisa ditebak ekspresinya, datar bahkan terkesan dingin.

“Gadhis masuk, kamu anak laki-laki…silahkan pulang. Jangan berani-berani kamu berteman dengan cucuku.”

Mama menunjukkan wajah kaget luar biasa, berusaha untuk membantah perkataan kakek, “tapi pak, mereka kan teman sekolah, biarkan mereka bermain pak, Gadhis mungkin ingin melihat sekeliling desa, pak.”

Gadhis mulai menangis, “kakek, Gadhis ingin sepedahan sama Pria, ingin lihat sawah ayahnya Pria. Kakek…” kakek tak bergeming, meninggalkan mereka bertiga kembali masuk ke dalam rumah.

“Mama…” pecahlah tangis Gadhis sambil memeluk mama Marta.

“Maaf Pria, bulik tidak bisa mengijinkan kalau kakeknya Pria tidak mengijinkan, maaf ya nak.”

Pria yang bingung hanya menganggukkan kepala, kemudian pulang sambil menunduk.

Kalau saja keduanya tahu, bahwa hari itu adalah pertemuan mereka yang terakhir. Mungkin mereka akan memaksa kakek untuk mengizinkan.

Episodes
1 Pertemuan
2 Teman Baru
3 Aku Akan Menjagamu
4 Kamar Kakek
5 Yang Tersembunyi
6 Menyimpanmu di Hatiku
7 Jalani Saja Dulu
8 Tapi Aku Mencintaimu
9 Detektif Gadungan
10 Curiga
11 Memberanikan Diri
12 Rencana Tuhan
13 Apakah Aku Salah Mencurigaimu?
14 Availabel
15 Pelangi di Matamu
16 Kancil atau Anak Gajah
17 Jangan Sentuh Bisa Hamil
18 Antara Punggung dan Gunung
19 Siapa Dia?
20 Man's Most Wanted
21 Jaga Jarak
22 Laki-laki Tak Tahu Malu
23 Pernah Cium Disitu Nggak ?
24 Sebuah Hubungan
25 Perjalanan
26 Sebuah Ikatan
27 Orang Desa Modern ?
28 Keinginan Kakek
29 Cerita Masa Lalu
30 Ahhh...Disela Sambungan Telepon
31 Mentari Setelah Badai
32 Cerita Hari Ini
33 Pertanyaan Sederhana Jawaban Kompleks
34 Ritual
35 Teman Kecil Yang Hilang
36 Conan is in The House
37 Kerasukan
38 Sebelum Lamaran
39 Pertemukan Aku Sekali Saja
40 Aku Salah, Apa Kamu Benar?
41 Keinginan Yang Tak Mungkin
42 Kesurupan lagi
43 Nangkring
44 Tangismu
45 Malam Pertama Bersama
46 Melepas Diri
47 Perempuan Itu
48 Kita Harus Berpisah
49 Rasa yang Ambigu
50 Haruskah Kita Tetap Menikah?
51 Dua Sahabat Terbaik
52 Biar Keluargamu Tahu
53 Teman Kecilku
54 Masuk Dalam Cengkraman Buaya
55 Balada Boncengin Sahabat
56 Kita Reset Semuanya
57 Setengah Ikhlas
58 Pencarian
59 Memberi Bukan Menerima
60 Ternyata Bule
61 CCTV Berjalan
62 Sang Penghubung
63 Hati yang Dikuasai Ambisi
64 Kisah Dibalik Episode Ini
65 Harus Bagaimana
66 Mencari Kebenaran
67 Jangan Dekati Cucuku
68 Aku Mencintaimu
69 Kemana Takdir Akan Membawa
70 Ketangkap Basah
71 Mengintip Dibalik Topeng
72 Sebuah Permintaan
73 Beda Jalan Satu Tujuan
74 Wajah Dibalik Topeng
75 Kesempatan Dalam Kesempitan
76 Jatuh Cinta...Memalukan.
77 Bertemu Untuk Berpisah
78 Untuk Kali Ini
79 Menjelang Prahara
80 Prahara 1
81 Prahara 2
82 Prahara 3
83 Badai Belum Berlalu 1
84 Badai Belum Berlalu 2
85 Badai Belum Berlalu 3
86 Badai Belum Berlalu 4
87 Badai Belum Berlalu 5
88 Kehancuran Setelah Badai
89 Kamu Dimana, Dengan Siapa...
90 Sahabat
91 Protes dan Marah, Pada Siapa?
92 Dua Lelaki
93 Takdir Cinta
94 Benarkah Semua Selesai?
95 Kehancuran To The Next Level
96 Anak ini...
97 Jangan Lakukan Apapun
98 Dua Jalan Berbeda
99 Berkompromi
100 Wellcome Baby Girl
101 Pertemuan Chapter 2
102 Hubungan Yang Aneh
103 Sensitifnya Ibu Hamil
104 Waktunya Mengakhiri dan Mengawali
105 Playboy Kaleng?
106 Aku Menghilang Dalam Dirimu
107 Rahasia Apa Yang Aku Tidak Tahu
108 Hati Yang Tak Mau Mengerti
109 Tak Pernah Saling Melupakan
110 Memangnya Inseminasi Buatan?
111 Tidak Ada Bekas Anak
112 Artiku Dalam Hidupmu
113 Rencana Yang Hanya tinggal Rencana
114 Menuju Jalan Baru
115 Pengumuman
116 Harapan Terbaik
117 The Day
118 Pemgumuman
119 Belah Duren?!
120 Kapan Bisanya?
121 Akhirnya Tendangan Bebas dan Goal
122 Semua Akan Baik-Baik Saja
Episodes

Updated 122 Episodes

1
Pertemuan
2
Teman Baru
3
Aku Akan Menjagamu
4
Kamar Kakek
5
Yang Tersembunyi
6
Menyimpanmu di Hatiku
7
Jalani Saja Dulu
8
Tapi Aku Mencintaimu
9
Detektif Gadungan
10
Curiga
11
Memberanikan Diri
12
Rencana Tuhan
13
Apakah Aku Salah Mencurigaimu?
14
Availabel
15
Pelangi di Matamu
16
Kancil atau Anak Gajah
17
Jangan Sentuh Bisa Hamil
18
Antara Punggung dan Gunung
19
Siapa Dia?
20
Man's Most Wanted
21
Jaga Jarak
22
Laki-laki Tak Tahu Malu
23
Pernah Cium Disitu Nggak ?
24
Sebuah Hubungan
25
Perjalanan
26
Sebuah Ikatan
27
Orang Desa Modern ?
28
Keinginan Kakek
29
Cerita Masa Lalu
30
Ahhh...Disela Sambungan Telepon
31
Mentari Setelah Badai
32
Cerita Hari Ini
33
Pertanyaan Sederhana Jawaban Kompleks
34
Ritual
35
Teman Kecil Yang Hilang
36
Conan is in The House
37
Kerasukan
38
Sebelum Lamaran
39
Pertemukan Aku Sekali Saja
40
Aku Salah, Apa Kamu Benar?
41
Keinginan Yang Tak Mungkin
42
Kesurupan lagi
43
Nangkring
44
Tangismu
45
Malam Pertama Bersama
46
Melepas Diri
47
Perempuan Itu
48
Kita Harus Berpisah
49
Rasa yang Ambigu
50
Haruskah Kita Tetap Menikah?
51
Dua Sahabat Terbaik
52
Biar Keluargamu Tahu
53
Teman Kecilku
54
Masuk Dalam Cengkraman Buaya
55
Balada Boncengin Sahabat
56
Kita Reset Semuanya
57
Setengah Ikhlas
58
Pencarian
59
Memberi Bukan Menerima
60
Ternyata Bule
61
CCTV Berjalan
62
Sang Penghubung
63
Hati yang Dikuasai Ambisi
64
Kisah Dibalik Episode Ini
65
Harus Bagaimana
66
Mencari Kebenaran
67
Jangan Dekati Cucuku
68
Aku Mencintaimu
69
Kemana Takdir Akan Membawa
70
Ketangkap Basah
71
Mengintip Dibalik Topeng
72
Sebuah Permintaan
73
Beda Jalan Satu Tujuan
74
Wajah Dibalik Topeng
75
Kesempatan Dalam Kesempitan
76
Jatuh Cinta...Memalukan.
77
Bertemu Untuk Berpisah
78
Untuk Kali Ini
79
Menjelang Prahara
80
Prahara 1
81
Prahara 2
82
Prahara 3
83
Badai Belum Berlalu 1
84
Badai Belum Berlalu 2
85
Badai Belum Berlalu 3
86
Badai Belum Berlalu 4
87
Badai Belum Berlalu 5
88
Kehancuran Setelah Badai
89
Kamu Dimana, Dengan Siapa...
90
Sahabat
91
Protes dan Marah, Pada Siapa?
92
Dua Lelaki
93
Takdir Cinta
94
Benarkah Semua Selesai?
95
Kehancuran To The Next Level
96
Anak ini...
97
Jangan Lakukan Apapun
98
Dua Jalan Berbeda
99
Berkompromi
100
Wellcome Baby Girl
101
Pertemuan Chapter 2
102
Hubungan Yang Aneh
103
Sensitifnya Ibu Hamil
104
Waktunya Mengakhiri dan Mengawali
105
Playboy Kaleng?
106
Aku Menghilang Dalam Dirimu
107
Rahasia Apa Yang Aku Tidak Tahu
108
Hati Yang Tak Mau Mengerti
109
Tak Pernah Saling Melupakan
110
Memangnya Inseminasi Buatan?
111
Tidak Ada Bekas Anak
112
Artiku Dalam Hidupmu
113
Rencana Yang Hanya tinggal Rencana
114
Menuju Jalan Baru
115
Pengumuman
116
Harapan Terbaik
117
The Day
118
Pemgumuman
119
Belah Duren?!
120
Kapan Bisanya?
121
Akhirnya Tendangan Bebas dan Goal
122
Semua Akan Baik-Baik Saja

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!