Pria berjalan perlahan menikmati panasnya mentari. Sambil menghitung tiap langkah yang dia ambil untuk sampai rumah. Teman-temannya berlarian mendahului sambil bercerita dan bernyanyi riang.
“Pria, ayo…ikut ke rumah Gadhis, menjenguk bagaimana keadaan Gadhis sekarang,”Teriak Eko berlari melewatinya. Tetapi belum jauh anak itu berhenti dan menoleh melihat Pria. Dia melambaikan tangannya sambil berteriak, “ayo…”
Pria hanya menganggukan kepala tanpa menambah kecepatan langkah kaki. Tetap tenang dan satu persatu.
Akhirnya Eko kembali berteriak, “kamu lama…” kemudian dia berlari meninggalkan Pria sendiri untuk mengejar temannya yang lain. Sudah ada Sri, Tri, Wiwik, Eko , dan Rani di barisan depan.
Rumah Gadhis tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya sebentar berjalan kaki mereka akan sampai. Kedatangan anak-anak itu disambut dengan hangat oleh Mama Marta yang sedang duduk diteras rumah.
“Ayo masuk…masuk. Gadhis ada di kamarnya. Masuk saja, biar bulik siapkan minum dulu ya.”
“Iya lik buatkan es teh saja lik, biar mboten susah buatnya,” sahut Eko karena sudah kehausan. Tak urung teman-temannya yang lain melotot sambil mengingatkan betapa tidak sopannya sikap Eko tadi.
“Bagaiman sakitmu Dhis?” tanya Sri mewakili teman-temannya, karena usianya yang paling tua. Gadhis terbaring di tempat tidur sambil sesekali masih meringis seperti menahan sakit.
“Sudah enakan kok teman-teman, kalian tidak usah khawatir.”
“Alkhamdulillah…,” jawab mereka kompak bersamaan.
“Tadi Bu Tas pesan supaya kita mampir melihat kamu,” sahut Wiwik melanjutkan.
“Terimakasih ya teman-teman, kalian sudah mau mampir.”
“Terimakasih lo anak-anak, mau mampir untuk melihat Gadhis,” mama datang sambil membawa es teh dan beberapa camilan khas dari jawa. Ada rengginang, madumangsa, keripik pisang dan beberapa camilan lainnya.
Kahadiran teman-teman sangat menghibur Gadhis. Tetapi bagi Gadhis ada sesuatu yang kurang. Ya…Pria tidak ada disana. Dimana Pria? Mau bertanya Gadhis malu, tidak bertanya penasaran. Akhirnya dia memutuskan untuk diam dan tidak bertanya, daripada nanti dijadikan bahan tertawaan dan godaan teman-temannya.
“Eh…Pria mana ya…tadi sudah aku ajak kemari lo Dhis, tapi sepertinya dia nggak mau,” Gadhis tersenyum senang Eko membuka pembicaraan tentang Pria.
“Kasihan Pria, ibunya sedang menjalani pengobatan lagi Ko, kamu ndak tahu ya?” sambung Tri.
“Ha…beneran? kasihan, berarti dia ditinggal sendiri lagi di rumah sama bapaknya berdua. Pasti budenya mengantarkan Ibunya ke kota lagi untuk berobat,” lanjut Eko.
“Kata makku, ibunya Pria itu sakit perut nggak sembuh-sembuh, katanya disantet orang. Keluar darah terus-terusan,” Tri melanjutkan bercerita sambil menunjukkan wajah ketakutan.
Gadhis yang mendengar semua cerita itu terdiam. Mungkin kertas yang dia baca tadi adalah surat dari ibunya yang sedang berobat di kota. Mungkin karena itu juga, tadi waktu Gadhis meremas tangannya dia diam saja. Padahal sakit perutnya tadi disebabkan dia menahan buang air besar, karena kamar mandi yang bau.
Mama sudah mengomel panjang lebar sejak sampai rumah sampai sebelum teman-temannya datang, agar Gadhis banyak makan sayur, agar dia tidak sembelit. Tapi bagi Gadhis makan sayur adalah siksaan yang paling menyedihkan. Menurut lidahnya, sayur itu terasa pahit dan tidak enak seperti jamu.
Hari-hari berikutnya pertemanan Gadhis dan Pria semakin dekat. Pria lebih sering tertawa setelah peristiwa sakit perut yang dialami Gadhis. Tidak ada yang tahu apa sebabnya, hanya Gadhis dan Pria yang tahu tentang rahasia penyebab sakit perutnya Gadhis.
“Kalau sakit perut lagi bilang, biar tak ambilkan ember buat nampung apapun yang kamu buang,” bisik Pria sambil tersenyum.
“Huh,” biasanya itu jawaban Gadhis sambil memutar kepalanya ke arah lain.
Kenapa harus kepingin BAB di sekolah sih…kenapa juga kamar mandinya bau, terus kenapa lagi si petir boy bisa menyimpulkan kalau aku waktu itu ingin BAB.
Kemudian Gadhis akan berlari tergesa menghindari Pria yang terus menggodanya.
...~~~~...
Hari ini pelajaran olah raga pertama yang dilakukan di luar kelas bagi Gadhis. Di sekolahnya yang lama, jika praktek olah raga siswa-siswa akan digiring menuju aula atau lapangan yang ada di halaman sekolah. Tetapi sekarang dia harus berolah raga di tanah lapang bersama dengan kerbau dan kambing milik penduduk. Tempatnya juga ditumbuhi rumput dan becek karena baru hujan.
Gadhis masih belum bergerak dan tetap berdiri dipinggir lapangan sambil melihat teman-temannya melepas sepatu dan kaus kaki dengan santainya. Mereka seperti tidak peduli dengan kondisi tanah yang becek dan mungkin…mungkin saja ada kotoran kerbau atau kambing di tengah lapangan. Membayangkannya saja Gadhis sudah tidak sanggup, apalagi harus ikut melepas sepatu…tidak akan.
Pria rupanya menyadari hal itu, diam-diam dia mendekati Gadhis sambil berbisik tepat ditelinga, “Mau dibawakan ember buat cuci kaki nanti?” kemudian dengan santai sambil tertawa dia berlalu melewati Gadhis yang berdiri tak bergeming.
“Pria…,” teriak Gadhis tiba-tiba mengagetkan anak laki-laki yang namanya dipanggil.
Tetap seperti biasa dengan gayanya yang sok cool anak itu melihat Gadhis sambil menggoyangkan kepalanya sedikit ke atas, “apa?” katanya hanya menggerakkan bibir tanpa bersuara.
“Tolong…,” kata Gadhis juga tanpa suara hanya menggerakkan bibirnya sambil menjulurkan tangan.
“Nggak mau,” jawab Pria lagi tanpa suara.
Kali ini Gadhis hanya menggerakkan tangannya dan mengakupkan di depan dada sambil memasang wajah memelas agar Pria mau datang ke arahnya.
Hahaha…imutnya, bagaimana bisa aku tolak permintaannya coba.
Akhirnya Pria pun mengalah, dia memutar badan untuk kembali mendatangi Gadhis.
“Apa?” tanyanya ketika sudah dekat.
“Bantu aku jalan, aku takut kena rumput, kena lumpur terus membayangkan kena eek kambing,” Gadhis berbicara sambil memasang tampang jijik.
“Nggak mau ah…jalan saja sendiri.”
“Tolong, hanya pegang tangan aku, biar sepatunya aku bawa sendiri,” wajah Gadhis seperti ingin menangis.
“Lepas dulu sepatunya.”
“Iya, terimakasih ya…,” senyum Gadhis mengembang sempurna. Sebuah senyum yang tidak akan pernah dilupakan oleh anak laki-laki itu sampai kelak mereka dewasa.
Pria mengulurkan tangannya dan disambut dengan wajah ceria oleh Gadhis.
“Pelan-pelan jalannya, aku nggak mau kena eek kambing.”
“Mana kelihatan itu eek, ketutup sama rumput, rumputnya juga basah kan, langsung bersih kaki kamu habis kena eek.”
“Nggak mau kena eek, jijik.”
“Dasar anak kota, manja,” Gadhis memonyongkan sedikit bibirnya ke depan mendengar kalimat Pria.
Dengan terpaksa dan dipaksa akhirnya Gadhis ikut berkumpul dengan teman-temannya. Gadhis tetap menjauhi area tengah lapangan, dia memilih duduk dipinggir yang berdekatan dengan sawah dan berbatas anak sungai kecil yang dibeton. Dia duduk diatas beton yang menurut dia bersih dan jauh dari kata becek.
Pak Har mengumumkan bahwa pelajaran kali ini tentang permainan bola kasti. Siswa satu kelas akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Kebetulan kelompok Gadhis dan Pria akan melawan satu sama lain. Kelompok yang memegang bola akan memukul bola keras-keras untuk diambil temanya yang terdekat, kemudian melemparkan bola itu ke kelompok musuh yang harus berlari mengelilingi lapangan.
Sudah beberapa anak bergiliran dari kelompok Gadhis untuk berlari, dan sekarang adalah giliran Gadhis untuk menyelesaikan bagiannya.
Di kelompok musuh, Priya sedang bersiap untuk menangkap bola dan melemparkan bola itu ke tubuh Gadhis agar kelompoknya menang. Memang permainannya sengaja dibuat sederhana oleh Pak Har.
“Siap semua ya,” peluit pak Har menggema di udara. Bola sudah dipukul dan Gadhis sudah mulai berlari. Alih-alih konsentrasi untuk berlari dan mencapai tempat yang ditentukan, Gadhis malah bingung menghindari kotoran kerbau yang ternyata jumlahnya banyak di tengah lapangan dan di beberpa tempat yang berbeda.
“Pria ayo lempar bolanya ke badan Gadhis,” teriak anak-anak yang satu kelompok dengan Pria.
“Pria…” Pria masih diam, dia hanya tersenyum melihat Gadhis yang berlari berkelok-kelok tidak tentu arah.
Ketika gadhis sudah hampir mendekati akhir, tiba-tiba Pria melemparkan bola kasti dengan sekuat tenaga, Gadhis yang sedang konsentrasi dengan larinya, terlonjak kaget dan langsung berhenti yang akhirnya membuatnya terjatuh tepat di atas kotoran kerbau yang sejak awal ingin dia hindari.
Dengan posisi duduk Gadhis tidak menggerakkan tubuhnya. Dia hanya diam, sambil memandang Pria dengan tatapan marah. Yang dilihat hanya mengangkat kedua tangan sambil mengendikkan bahu, “maaf”, katanya lagi tanpa besuara.
Tiba-tiba air mata Gadhis meleleh, dia menangis sambil berdiri dengan dibantu teman-teman yang lain. Gadhis dibawa ke sungai pinggir sawah untuk dibersihkan kakinya dari kotoran yang melekat. Diam-diam Pria memperhatikan anak perempuan itu sambil tersenyum.
Lucu…, seperti menjaga seorang bayi. Ingin melindunginya dengan membuatnya menangis terlebih dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments